Indahnya Paradoks Dalam Firman Tuhan

 

Indahnya Paradoks Dalam Firman Tuhan

Mat 6:33  Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya maka semuanya akan ditambahkan kepadamu

Apakah paradoks itu? Paradoks adalah 2 hal yang sepertinya bertentangan satu sama lain, berbeda tapi tak dapat dipisahkan dan tidak ada yang salah, keduanya benar. Yang membedakannya dengan kontradiksi adalah kontardiksi ada salah satu yang salah. Misalnya : Jakarta ibukota Indonesia, bandung ibukota Indonesia, 2 hal ini adalah kontradiksi karena takmungkin ada 2 kota yang jadi ibikota harus A benar atau B benar (hukum non kontradiksi). Kontradiksi perlu diharmonisasikan. Tidak dapat dipungkiri alkitab “dipenuhi” dengan paradoks-paradoks, kita harus dengan rendah hati mengakui adanya tension yang tidak dapat dimengerti sepenuhnya oleh rasio manusia yang dicipta, berdosa dan terbatas, namun bukan berarti iman Kristen adalah irrasional, justru melalui ini kita belajar kerendahan hati dan mengakui manusia yang terbatas tidak mampu menampung pemikiran Allah yang tak terbatas. Paradoks yang paling banyak disoroti adalah kedaulatan Allah dan kehendak bebas manusia, namun sebenarnya bukan hanya itu, di artikel ini kita akan mengkaji lebih seksama paradoks-paradoks dan keindahannya.

 

Paradoks dalam Alkitab

Pertama, doktrin Allah, doktrin yang utama dalam sistematik teologi ini memperkenalkan satu paradoks yang membuat orang menjauhi namanya “Allah Tritunggal”, Allah adalah 3 Pribadi, tapi Allah adalah pribadi yang artinya 1 pribadi, Allah bukan suatu label yang tak berpribadi tapi dalam pribadi yang esa ini terdapat 3 pribadi (Bapa,Yesus,Roh). Baca Ul 6:4 dan 1 Yoh 5:7. Paradoks pertama adalah Allah 1 Pribadi tapi juga 3 Pribadi.

Kedua, doktrin Kristus, Kristus adalah Allah 100%, didalam Dia berdiam kepenuhan keilahian, Dia melakukan pekerjaan Allah : meredakan badai, mengampuni dosa (Rom 9:5,Kol 2:9), Yesus maha tahu (Yoh4:18) dan tidak terbatas tetapi Yesus juga manusia 100%, Dia dapat haus, lapar, dan mati (Yoh 1 :14), Yesus terbatas, tidak maha tahu (Mat 24:36). Bagaimana dalam 1 tubuh terdapat dwi natur, manusia atau Allah? Paradoks kedua adalah Yesus yang dwinatur yaitu manusia sepenuhnya dan Allah sepenuhnya.

Ketiga, doktrin keselamatan, inilah yang paling banyak menuai kontroversi dimana-mana dan yang paling terkenal adalah perdebatan antara 2 kubu yaitu hyper-calvinisme dan arminianisme (meskipun calvin dan Arminius tidak bermusuhan). Kubu hyper menyatakan keselamatan adalah anugrah Allah seutuhnya, manusia yang ditetapkan selamat apapun yang diperbuatnya tetap tidak akan kehilangan keselamatannya, kelemahannya adalah manusia bukan lagi gambar Allah karena Allah ada kehendak bebas dan kalau begini manusia robot bukan gambar Allah, tapi arminianisme (dalam hal ini pengikut Arminius, pandangan asli Arminius sendiri tidak begini, ini sudah banyak diselewengkan) menganggap keselamatan sepenuhnya berada di tangan manusia, kelemahhan doktrin ini adalah Allah akan selalu bergantung pada manusia. Posisi yang paling setia pada Alkitab adalah calvinisme, calvin merumuskan TULIP yang sangat mengayomi seluruh bagian dan seluruh doktrin keselamatan alkitab. Calvin menyatakan nama-nama umat pilihan sudah Allah tetapkan sebelum dunia dijadikan (Ef 1:4) maka Allah tidak bergantung pada manusia, namun di sisi lain manusia tetap punya kehendak bebas, dia bertanggungawab pada setiap keputusannya termasuk kalau ia memilih murtad, disini muncul satu lagi paradoks, mungkin orang akan merasa lebih gampang mengerti dan menganut arminianisme atau hypercal daripada calvinis (reformed) karena tidak ada paradoks, tapi kebenaran tetap kebenaran, meskipun kelihatan mudah, tapi arminian dan hypercal punya kelemahan tapi calvinis yang justru sulit dan paradoks justru itulah yang benar maka kita tiba pada paradoks yang ketiga yaitu antara kedaulatan Allah dan kehendak bebas manusia.

Keempat paradoks dalam doa, Allah lah yang menetapkan segala sesuatu, Allah juga tahu segala sesuatu, kalau demikian untuk apa kita berdoa mohon sesuatu bukankah Allah telah menetapkan hari depan? Ataukah hari depan umat manusia Allah tidak tau?semua masih bisa berubah? Tentu tidak, karena jikalau demikian Allah terjebak lagi harus tergantung pada manusia. Kita tiba pada paradoks keempat, Penetapan Allah, pengetahuan Allah dan keputusan manusia khususnya dalam hal doa.

Kelima, paradoks antara kedaulatan Allah (God’s decretive will/sovereign will) dan kehendak moral Allah (perceptive will), misalnya dalam hal manusia berbuat dosa, di kejadian 6:6 muncul frasa “Allah menyesal”. Jikalau Allah sudah menetapkan segala sesuatu (atau tahu segala sesuatu), termasuk keberdosaan manusia, mengapa Allah dikatakan menyesal apakah hanya seperti sandiwara? Contoh lain dari kasus ini adalah Firaun dan Yudas yang mengkhianati Yesus.

Pada kesempatan ini kita hanya membahas 5 paradoks yang umumnya menjadi pertanyaan besar, meskipun masih banyak paradoks lain yang alkitab singkapkan misalnya Allah itu kasih tapi Allah itu Allah yang murka, proses pengudusan adalah anugrah Roh Kudus tapi juga menuntut usaha manusia, sebenarnya dengan mengetahui prinsip yang tepat dan mengerti mengapa Tuhan menciptakan paradoks-paradoks, kita dapat mengerti dan menjawab semua kesulitan dalam paradoks Kristen seberapa banyaknya pun paradoks yang kita hadapi.

Paradoks dan Predestinasi

Sebelum masuk pada pembahasan paraoks, terlebih dahulu bereskan pemahaman doktrin keselamatan yang calvin tulis (predestinasi), supaya jangan terus menerus disalah mengerti oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dalam mempelajari doktrin predestinasi. Kita wajib mengerti ini dulu sebelum kita membahas paradoks, agar kita lebih jelas saat mengerti keindahan paradoks. Calvin menyatakan kedaulatan Allah dan Kehendak bebas manusia keduanya benar, Calvin menyatakan anugrah Allah berupa pengorbanan Yesus adalah sesuatu yang berharga yang tidak boleh dan tidak bisa diinjak dan dibuang orang, maka dia merumuskan Limited Atonement, yang mana keselamatan ditawarkan kepada seluruh bangsa tapi hanya diberikan pada sejumlah orang dan orang yang dianugrahkan itu tak dapat menolak (Irresistible Grace), kenapa tidak dapat? Karena tidak ada seorang pun yang bisa melawan tarikan Roh Kudus dan tak seorangpun yang bisa menginjak darah Yesus, kalau penebusan Yesus diterima atau tidaknya berdasarkan pada keputusan manusia maka Yesus menjadi seperti pengemis yang minta-minta orang untuk terima darahnya dan orang-orang kafir yang mati tanpa percaya Yesus adalah orang yang dengan seenaknya menginjak penawaran dari seorang pengemis bernama Yesus, tentu tidak demikian, kita budak, Allah tuan, tidak ada pemberian Allah yang bergantung manusia, tidak ada pemberian Allah yang bisa ditolak manusia. Maka dasar Limited Attonement jelas, demikian juga dengan Preseverance of Saint. Saint dalam kata ini yang dimaksud calvin adalah bukan orang yang pernah mengaku dengan mulutnya dia percaya Yesus lalu kegereja dan rohani dan sebagainya, bukan juga pendeta, hamba Tuhan atau pelayan gereja, saint disini adalah umat pilihan, domba Allah, umat tebusan yang Allah sudah pilih dari semula, siapa mereka?dari mana kita tahu? Jawabanya manusia tidak boleh tau nama-nama ini hanya Allah yang tahu namun manusia bisa menerka dari buahnya, apakah dia setia sampai mati?kita bisa mengatakan Stefanus, Petrus, Musa, Elia, Paulus termasuk di dalamnya karena kita melihat mereka mampertahankan iman sampai akhir. Satu-satunya kemungkinan adalah melihatnya sampai akhir hidupnya semasa hidup apakah kita tahu? Tidak! Maka orang Kristen masih mungkin murtad? Masih, dan kalau dia memang betul-betul murtad sampai mati maka kita menyimpulkan satu hal bahwa dia bukan umat pilihan. Umat pilihan yang sejati (yang calvin sebut saint),yang namanya ada pada buku kehidupan (wahyu 13:8) tidak mungkin murtad hanya mungkin mereka jatuh dalam dosa, Petrus pernah jatuh dan menyangkal Yesus 3x, saint belum tentu tidak mungkin jatuh mungkin jatuh tapi suatu saat pasti kembali dan yang terpenting, sikap hatinya saat berdosa, teguran Roh Kudus pasti ada dalam hatinya. Jadi nama-nama itu (saint) kita tidak tau, adalah kebodohan bagi seorang manusia yang mau menjadi Allah dengan mencoba pola pikir Allah dalam otaknya dan coba memikirkan apa yang seharusnya hanya Allah yang tahu, ingat dosa pertama manusia adalah keinginan menjadi seperti Allah, saint hanya Allah yang tahu tugas manusialah yang harus kita pikirkan, menginjili, kerjakan keselamatan dan tetap hidup setia sampai mati. Calvin membiarkan ada tension dalam TULIP, dia tidak mencoba mengakomodasi keduanya seperti yang dilakukan hypercal dan arminian? Mengapa? Jawabannya akan kita bahas di bawah.

Usaha manusia menjembatani Paradoks

Usaha manusia untuk menjembatani paradoks dengan kemampuan akal budinya akan menghasilkan teologi yang mati, kaku dan statis. Jika kita memperhatikan dan mempelajari dengan seksama seluruh doktrin yang benar adalah dinamis, komprehensif dan berkesinambungan, di atas kita sudah membahas Hypercalvinisme dan Arminianisme yang berusaha menjembatani paradoks dan sudah kita kaji kelemahan keduanya secara singkat pada bagian ini kita akan memakai lebih dalam 4 Alternatif system pemikiran yang mencari jalan aman tapi justru terjebak pada teologia yang mati.

Pertama, kita menghilangkan/meniadakan kehendak ketetapan Allah dan hanya membicarakan kehendak moral Allah saja. Diterapkan dalam ketetapan Allah atas penyelamatan manusia misalnya theologi seperti ini akan mencoba untuk menghindari semua pernyataan Alkitab yang mengajarkan tentang Allah yang menetapkan. Seperti kita sudah pernah bahas, kecenderungan seperti agaknya berbau liberal karena tidak bersedia menerima keseluruhan pengajaran yang dinyatakan dalam Alkitab, sebaliknya hanya mau menerima apa yang dapat dijelaskan oleh rasio pribadi saja.

Kedua, pada dasarnya dengan prinsip yang sama, menghilangkan dan tidak mempedulikan bagian Alkitab yang membicarakan kehendak moral/umum Allah dan hanya memperhatikan kehendak kedaulatan Allah. Variasi yang kedua ini agaknya jarang kita jumpai.

Variasi yang ketiga dan keempat, sebenarnya memiliki kemiripan dengan variasi pertama dan kedua, namun lebih halus sifatnya, yaitu: berusaha untuk mengharmoniskan tegangan tersebut dengan melakukan subordinasi kehendak Allah. Kemungkinannya adalah: meletakkan kehendak kedaulatan Allah di bawah kehendak moral Allah (variasi ketiga), atau meletakkan kehendak moral Allah di bawah kehendak kedaulatan Allah (variasi keempat).

Aplikasi variasi 3: semua pengertian tentang kehendak kedaulatan Allah dibaca di bawah terang kehendak moral Allah, yaitu misalnya Allah memilih orang untuk diselamatkan (doktrin predestinasi), dapat dijelaskan dengan mengatakan bahwa Allah memilih karena Dia telah mengetahui akhirnya siapa yang mau bertobat siapa yang tidak. Berdasarkan pra-pengetahuan Allah ini, Ia menetapkan pemilihan-Nya atas siapa yang diselamatkan. Jalan ini misalnya diambil oleh theologi Arminianism. Kesulitan theologi seperti ini adalah: kita sedang memisahkan pra-pengetahuan Allah (God's foreknowledge) dengan penetapan Allah (God's foreordain). Lagipula theologi seperti ini berbenturan langsung dengan ayat Alkitab yang menyatakan: “bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu” (Yoh. 15:16). Pengertian pada variasi 3 ini berbenturan dengan penyataan Yesus Kristus karena jika Allah memilih manusia karena Dia mengetahui bahwa manusia tersebut pada akhirnya percaya kepada-Nya, maka ini berarti bukan Allah yang terlebih dahulu memilih manusia, melainkan manusia yang terlebih dahulu memilih Allah, sedangkan pilihan Allah adalah konsekuensi logis dari pilihan manusia. Melihat ketetapan Allah sebagai konsekuensi logis pilihan manusia adalah sebuah doktrin yang buruk karena tidak menghargai Allah sebagai Allah.

Aplikasi variasi 4: semua pengertian tentang kehendak moral/umum Allah dibaca di bawah terang kehendak kedaulatan Allah. Contohnya seperti yang dikembangkan dalam pengertian anthropopathis. Setiap pengertian “Allah menyesal” ditafsir di bawah terang ketidak-berubahan Allah (yang juga diajarkan oleh Alkitab). Atau dengan mengartikan semua kata “semua” dalam panggilan keselamatan Allah sebagai “semua orang pilihan.” Dalam pemahaman subordinasi ini, sama seperti pada variasi 3, selalu ada akibat penekanan pada yang satu dengan mengorbankan yang lain. Pada variasi 4 selalu ada kecenderungan untuk kurang peka terhadap God's preceptive will. Penekanan akan God's sovereign will at the expense of God's preceptive will ini memiliki kecenderungan fatalisme atau Hyper-Calvinisme, kalau pun bukan secara teori (pada dasarnya orang tidak suka menyebut dirinya Hyper, apalagi menyebut diri fatalis), maka secara praktis; kalau bukan consciously, subconsciously. Persoalan dari theologi ‘Reformed’ yang seperti ini adalah karena penekanannya yang tidak seimbang pada kehendak kedaulatan Allah, akan mengakibatkan suatu spiritualitas yang tidak peka terhadap kekurangan dan kelemahan.

Kita masih berada di aplikasi variasi 4. Tidak mengherankan jika ada orang menyebut diri ‘Reformed’ tapi doanya suam-suam (doa toh tidak mengubah Tuhan), malas menginjili (Tuhan sudah menetapkan semuanya dan rencana Tuhan tidak ada yang gagal), kurang ada pergumulan dengan pribadi Allah (tidak ada waktu, sibuk menggumulkan rumusan logis doktrin-doktrin ‘Reformed’), menjadikan doktrin hanya sebatas pengetahuan yang tidak merubah hidup (mengapa mesti merubah hidup jika saya melihat doktrin atau pengetahuan akan Allah sebagai obyek seperti diajarkan Descartes), sangat kurang dalam kerendahan hati (saya adalah orang pilihan [mengenai kamu saya agaknya kurang jelas]), Gambaran-gambaran di atas agaknya sangat karikatural, tapi saya percaya kita tidak kebal terhadap kelemahan-kelemahan tsb. A good Reformed theology always encourages self-criticism; otherwise it is unfaithful to the semper reformanda spirit. Pada intinya, theologi pada variasi 4 ini sangat rentan terhadap kondisi status quo dengan mengatas-namakan (again, consciously or subconsciously) “kehendak kedaulatan Allah.” Status quo di sini bisa berupa ketidakpekaan terhadap kelemahan Gereja/komunitas sendiri, ketidakpekaan terhadap ketidak-sempurnaan pribadi, ketidakpekaan terhadap perlunya pertumbuhan yang terus menerus, merasa diri cukup (dalam pengertian yang negatif [self-satisfied]), tidak perlu merasa diperlengkapi oleh orang lain, tidak merasa perlu belajar dari orang lain, hanya mau mengajar orang lain dsb. Dampak theologi seperti ini sebenarnya cukup menakutkan bagi spiritualitas kita, dan bagi saya pribadi, kelemahan ‘kecil’ doktrinal seperti ini sebenarnya jauh lebih berbahaya daripada doktrin yang sangat kacau dari ajaran bidat. Karena kekacauan pada ajaran bidat langsung kita sadari, kelemahan ‘kecil’ seperti ini sangat gampang menemukan tempat dalam hati dan pikiran kita. Di sini kita melihat jalan subordinasi merupakan pilihan yang tidak bijaksana sekalipun tampak lebih logis dan lebih mudah dijelaskan namun sebenarnya tidak memuat keseluruhan kekayaan Alkitab, yang sudah jelas tidak dapat dipaksakan ke dalam logika rasionalisme yang sangat terbatas kemampuannya.

Menghayati paradoks secara benar

Setelah kita jelas tentang TULIP dan kesalahan pemikiran-pemikiran dalam menyelesaikan paradoks barulah kita masuk ke poin yang paling penting yaitu keindahan paradoks. Apa indahnya suatu hal yang membingungkan seperti ini? Kasian sekali kalau kita terus menjadi orang yang melihat rumusan sebagai sesuatu yang membingungkan. Jangan terjebak pada kognitif, terobos lebih jauh. Calvin tidak bermaksud membuat teologianya menjadi mati dan justru tidak mempermuliakan Tuhan dan malah menjadi perdebatan tak berujung. Oleh sebab itu, pada bagian ini saya katakan penting, bahkan sangat penting, karena selain menghapus kebingungan kita dalam mengerti paradoks yang hampir tidak dimengerti orang Kristen mayoritas juga membuka mata kita melihat keindahan yang Tuhan ingin kita sampai pada tahap itu. Tuhan tidak pernah menciptakan doktrin yang tak ada faedahnya, yang hanya menjadi perdebatan rumusan di akademi-akademi. Agar tidak menyulitkan kita mulai mendaftar poin-poin inti yang tidak harus kita jaga

1. Paradoks adalah kebenaran firman Tuhan bukan buatan manusia

2. Setiap kepingan dalam paradoks adalah kebenaran, tidak ada yang boleh dihilangkan, misalnya Allah berdaulat itu benar dan manusia berkehendak bebas juga benar.

3. Pemikiran manusia terbatas dan Tuhan menuntut manusia rendah hati, indah sekali Tuhan membuat paradoks untuk membungkam mulut manusia yang sombong.

4. Doktrin tidak dimengerti sebagai rumusan tapi menjadikan relasi pribadi kita menjadi lebih baik, kita harus mengerti Allah secara personal (berpribadi) bukan impersonal.

5. Meskipun terlihat plin plan atau kurang kompleks karena ketidakmengertian, tidak apa karena memang itulah posisi kita, kecendrungan seperti itu justru sepertinya dilandasi oleh kecongkakan.

6. Hanya ada satu cara jika anda tetap ingin menjembatani paradoks tanpa kelemahan yaitu menjadi seperti Allah (Kej 3:5)

Teologia yang sejati menuntut kelincahan kita untuk bergerak dalam perspektif yang berbeda-beda dan pada saatnya. Pengkhotbah 3:11 memberi kunci kita untuk mengerti keindahan paradoks. “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir”. Dalam bahasa asli dapat diterjemahkan saatnya atau saat-Nya. Ada waktu, ada saat saya menyoroti kehidupan saya dari perspektif kedaulatan Allah: di situ saya terhibur karena tahu dengan pasti Allah memelihara hidup saya dengan setia, bahkan di dalam kegagalan pun saya tidak perlu berputus asa dan tidak lagi berpengharapan karena segala sesuatu mendatangkan kebaikan bagi saya. Saya tidak perlu panik jika saya tidak segera menyaksikan pertumbuhan dalam diri orang lain, karena Allah yang mengatur semuanya itu, saya tidak perlu berusaha menolong Allah karena saya tahu rencana Allah tidak mungkin ada yang gagal.

Ada waktu saya menyoroti kehidupan saya dari perspektif kehendak moral Allah: saya harus bergumul untuk mencari wajah Allah, bergumul tidak melepaskan Allah kecuali Dia memberkati saya, menegur diri dan menyesal ketika kegagalan dan kejatuhan rohani menimpa hidup saya, ketakutan jika Allah tidak lagi hadir dalam kehadiran-Nya yang memberkati, bergumul untuk mendapatkan kepenuhan Roh Kudus agar kesaksian hidup kita berkuasa dan bukan digerakkan oleh kedagingan. Seperti pada paradoks Yesus, Dwinatur Yesus tidak terpisahkan, saling berkomunikasi, tapi tidak bercampur. Kuncinya adalah pada waktu, ada saat dimana Yesus menyatakan natur keilahiannya ada waktu dia menunjukkan natur manusianya. Yang perlu ditekankan kita bukan menganut metode subordinasi (yaitu ada yang tunduk dibawah ada yang berkuasa), tetapi yang ditekankan adalah aspek bergantian, saat Dia lapar, natur Ilahinya seakan terselubung bukan hilang tapi berada dibelakang, tetap ada tapi tidak dinyatakan. Demikian pula dalam mengerti kedaulatan Allah dan kehendak moral Allah. Dua hal itu perlu kita hayati pada waktu yang berbeda-beda. Ketika saya gagal misalnya, saya perlu menyediakan waktu dari perspektif kehendak kekal Allah yang tidak berubah (di situ saya mendapat penghiburan karena kegagalan saya tidak mungkin menghancurkan rencana Allah, saya tidak perlu masuk ke dalam penyesalan atau dukacita yang tidak lagi berpengharapan, terus mempersoalkan masa lampau dan terus menerus mengatakan "seandainya dulu ...", karena hal tsb tidak akan konstruktif). Di sisi yang lain, dari perspektif kehendak moral Allah saya merenungkan kegagalan saya tersebut dan menyesalinya, berusaha untuk tidak mengulanginya kembali karena hal itu mendukakan Tuhan. Melihat keadaan dunia yang tidak banyak orang hidup bagi Kerajaan Allah, dari perspektif God's decretive will saya tidak perlu menjadi super gelisah sampai berusaha menjadi hero di dalam Kerajaan Allah yang berusaha menolong dan membantu Allah, karena semuanya berada dalam kehendak kedaulatan Allah. Dari perspektif God's preceptive will saya harus introspeksi diri apakah saya sudah memberitakan Injil, saya perlu memohon kepada Tuhan akan adanya satu kebangunan rohani, saya perlu menjadi 'gelisah' rohani melihat keadaan yang seperti itu. Mengenal kelincahan kedua perspektif itu sama dengan mengenal kairos atau saat Allah. Kejadian 6:6 harus kita mengerti Allah benar-benar menyesal dalam artian Allah kita adalah Allah yang berperasaan, dan Allah kita bukan Allah yang statis tapi Allah yang dimanis tapi tidak berubah, dalam rencana kekalnya dia tidak berubah namun dalam hubungan/relasinya dengan manusia Allah dinamis dan dapat berubah. Allah bisa bersukacita, bersedih, memberkati, menyesal, Allah bahkan pernah membuang Israel ke perbudakan karena dosa mereka.. Demikian pula kita dalam mengerti doktrin Allah, didalam PL Allah mulai dengan KeesanNya, baru di PB Allah menyatakan tiga Pribadi dengan jelas, di PB belum jelas, dari sini kita melihat Tuhan sendiri menangani paradoks dengan penempatan waktu yang jitu. Contoh lain adalah dalam mengerti doktrin predestinasi, Kita bersyukur pada anugrah Allah yang akan memelihara umat pilihan-Nya(God sovereign will), inilah yang menjadi kekuatan kita saat kita jatuh dalam dosa, saat kita tidak setia tapi disisi lain saat kita mulai malas dan merasa diri cukup layan, kita dituntut untuk berkomitmen sungguh-sungguh dalam iman kepercayaan kepada Tuhan, berjalan dan setia pada Tuhan, tidak murtad karena Allah adalah Allah yang hidup yang berelasi dengan manusia dan Ia memiliki kehendak moral yang ia ingin kita kerjakan (God Preceptive will), manusia dicipta sebagai gambar Allah bukan robot. Analogi untuk menjelaskan paradoks adalah uang logam, manusia tidak dapat melihat kedua sisinya pada saat yang bersamaan, karena manusia terbatas pada waktu dan ruang, meskipun demikian kedua sisi itu tetap ada, hanya sisi yang satu menyembunyikan diri dibalik sisi sebelahnya, untuk melihat sisi sebelahnya kita membutuhkan waktu untuk membalik koin, ini menunjukkan keterbatasan kita. Semua doktrin sistematik baik, tapi kurang teology of time, inilah kunci untuk menghayati keindahan paradoks, saat gagal kita ingat ada kedaulatan Allah yang akan mendatangkan kebaikan dalam hidup kita tapi dalam mengerjakan keselamatan pun kita tidak main-main dan serius karena ada kehendak moral Allah. Konsep antropophatisme (yaitu bahwa Allah mengomunikasikan dirinya dalam bahasa manusia, seperti baby-talk, supaya kita bisa memahami-Nya misal pada Kej 6:6) saya rasa adalah kurang tepat, karena konsep ini intinya tetap ingin mengharmonisasikan paradoks (dengan demikian menganggap paradoks adalah kontradiksi yang perlu diharmonisasikan), antropopatisme mengunakan mentode sub-ordinasi dalam mengharmonisasikan. Seperti yang sudah kita bahas tidak kalah penting kedaulatan Allah dan kehendak moral Allah maka tidak ada yang bisa disubordinasi, untuk itu kita harus dengan rendah hati menerima tension ini. Sebelum kita mengerti suatu doktrin jauh lebih baik kita mengerti profil dari hamba Tuhan yang mengajarkannya. Kesalahan orang-orang mengerti dan kecendrungan mengabaikan aspek kerohanian membuat teologi justru menjadi perdebatan tak berujung. Paradoks ada bukan untuk dijembatani tapi bagaimana kita melihat pemeliharaan dan penyertaan Tuhan lewat setiap kepingan paradoks yang ada. Melihat manfaat yang diberikan setiap kepingan dalam setiap perspektif waktu yang berbeda. Mengerti paradoks membuat setiap hal yang terjadi pada hidup kita dapat di cover oleh anugrah Allah dan ketaatan pada Allah, membuat kita setiap saat memandang kepada Allah inilah keindahan paradoks, tanpa paradoks hidup kita akan terkotak dan justru menjauh dari Allah. Begitu indahnya mengeri iman Kristen yang dinamis, Allah yang berpribadi, Allah yang berelasi dengan manusia, sekaligus Allah yang tidak tergantung pada manusia. Amin. Soli deo Gloria

Jaminsen

Welcome, TO BE LIKE JESUS

Post a Comment

Previous Post Next Post