Hukum tabur tuai ini mirip dengan konsep “karma” dalam suatu agama. Hukum tabur tuai adalah bahwa segala sesuatu yang kita lakukan mempunyai akibat. Kenyataan ini berangkat dari dua hal: Pertama, Allah adalah Allah yang telah memberi kehendak bebas kepada manusia. Allah sendiri konsekuen dengan kebebasan yang telah diberikan itu. Sebagai buktinya, Allah meletakkan pohon ujian di taman Eden. Oleh sebab itu harus ditegaskan bahwa nasib manusia di tangan manusia itu sendiri. Kedua, Allah adalah Allah yang adil yang menuntut pertanggungjawaban. Keadilan Allah tidak bertentangan dengan kasih-Nya. Oleh sebab itu, manusia adalah makhluk yang hidup di bawah bayang-bayang keadilan Allah. Itulah sebabnya penyaliban Tuhan Yesus memuaskan hati Allah Bapa dalam menggenapi tuntutan keadilan Allah. Setiap dosa harus dihukum dan Tuhan Yesus menggantikan tempat kita.
Keadaan manusia bukanlah hasil dari penentuan nasib atau takdir. Oleh karenanya dunia ini bukan panggung sandiwara, tetapi medan pergumulan antara memilih yang jahat atau baik. Keberuntungan atau kemalangan. Kehidupan atau kebinasaan. Tuaian dari apa yang kita tabur itu bisa kita tuai, baik selama hidup dalam dunia maupun di balik kubur. Apa yang kita tuai persis seperti yang kita tabur. Perhitungan Allah tepat (a person will reap exactly what he plants). Oleh sebab itu kita tidak boleh hidup ceroboh. Dalam Galatia 6:7 tertulis bahwa Allah tidak dapat dipermainkan. Manusia berurusan dengan Allah dan tidak dapat menghindari hukum tersebut. Semua yang kita lakukan dalam hidup ini menimbulkan reaksi dan tindakan Allah atas diri kita, sebab kita adalah hasil karya-Nya. Ia sebagai Hakim yang adil untuk memberkati orang yang hidup dalam kebenaran dan menghukum orang yang tidak hidup dalam kebenaran.
Kalau seseorang sudah mengenal Tuhan dan mulai mengerti kebenaran, maka ia harus mulai bertanggung jawab. Misalnya, kalau seorang anak Allah sudah mengerti bahwa tubuhnya adalah bait Roh Kudus, maka ia dipanggil untuk merawat tubuhnya dengan baik melalui olahraga yang teratur, tidur cukup, pola makan yang sehat, dan lain sebagainya. Tetapi jika seseorang yang sudah mengerti kebenaran tidak menjaga kesehatan tubuhnya seperti merokok, mengkonsumsi alcohol, dan lain sebagainya, maka Tuhan tidak mudah menyembuhkannya dengan mukjizat. Ia harus menuai apa yang ia tabur.
Kalau seseorang sembrono dalam bekerja, seperti tidak mau bekerja keras, malas, tidak jujur, dan tidak bisa dipercayai dalam pekerjaan, maka jika ia menghadapi masalah ekonomi, Tuhan tidak mudah menolongnya. Ia harus menuai apa yang ia tabur. Sesungguhnya dia sendiri yang telah menjadikan dirinya bermasalah atau hidup dalam kesulitan. Memang kalau kita berbuat dosa, Tuhan pasti mengampuni, yaitu jika kita bertobat, tetapi akibat dosa itu sendiri tetap harus ditanggung. Mukjizat tidak dapat meniadakan hukum tabur tuai ini.
Seperti contoh lainnya, seorang ibu minta kepada pendetanya agar pendeta tersebut meletakkan tangan kepada anaknya, dengan maksud supaya anaknya naik kelas dan mendapat nilai yang baik di sekolah. Ibu ini mengharapkan mukjizat atau cara mudah mendapat nilai baik untuk anaknya. Di satu sisi doa perlu dipanjatkan, tetapi tanggung jawab membimbing anak untuk belajar rajin juga penting, khususnya anak itu sendiri harus rajin belajar. Untuk hal-hal yang di luar kemampuan kita, kita berharap Tuhan bertindak dan Tuhan pasti bertindak sesuai dengan kebijaksanaan-Nya. Tetapi untuk hal-hal yang menjadi bagian kita, kita yang harus mengerjakannya sendiri secara maksimal. Bukan Tuhan yang harus mengerjakan bagian kita tersebut. Jadi kalau seorang pendeta mengiming-iming mukjizat untuk menyelesaikan dengan mudah segala masalah, tetapi tidak mengajarkan prinsip tanggung jawab sesuai dengan hukum tabur tuai, maka ia menyesatkan umat dan menjadikan jemaat sebagai pribadi-pribadi yang tidak bertanggung jawab. Ini sangat berbahaya. Ironisnya, dewasa ini di banyak gereja justru pendeta seperti itu yang dianggap benar dan menjadi “laris”.