Theology and Science
Signifikansi:
Perdebatan antara teologi dan sains sudah berlangsung sangat lama. Perdebatan ini telah menghasilkan beragam sikap untuk menjelaskan relasi antara teologi dan sains. Sebagian orang menganggap bahwa dua hal ini sama sekali terpisah dan tidak seharusnya dibicarakan bersama-sama, apalagi dalam konteks mencari kaitan antara keduanya. Yang lain berpandangan bahwa salah satu dari bidang ini memiliki kebenaran yang lebih tinggi daripada yang lain. Jika keduanya bertentangan, maka kebenaran terletak pada salah satu bidang yang dianggap lebih otoritatif, entah itu teologi atau sains. Sebagian yang lain mempercayai bahwa dua bidang ini masih dapat diharmoniskan.
Walaupun perdebatan di atas sudah berlangsung sangat lama, namun hal ini masih signifikan untuk dibahas. Ada dua hal yang mendasari keyakinan ini. Pertama, pelajaran dari sejarah. Sejarah perdebatan yang panjang antara teologi dan sains telah mengubah pandangan banyak orang terhadap gereja, teologi, bahkan otoritas Alkitab itu sendiri. Perubahan yang terjadi cenderung ke arah yang negatif. Dampak yang sudah terjadi ini semakin sulit untuk diperbaiki dalam sebuah jaman yang semakin sekuler dan humanis. Kecil kemungkinan bagi para teolog untuk mempengaruhi dan mengubah opini yang sudah tercipta, karena hanya sedikit orang yang belajar teologi. Mereka lebih banyak bersentuhan dengan buku-buku sains daripada teologi. Di samping itu, alam memang tampak lebih dekat dengan manusia daripada Allah yang terkesan jah sekali an abstrak bagi kebanyakan orang. Manusia cenderung memusatkan perhatian pada yang tampak, sedangkan yang tidak tampak kurang diminati.[1]
Kedua, beragam kepentingan di balik perdebatan. Selain melibatkan motivasi teologis seperti disinggung di atas, perseteruan antara teologi dan sains juga merambah pada bidang lain, misalnya moral. Willem B. Drees dengan tepat menjelaskan bahwa sebagian orang yang tertarik dengan perdebatan ini ternyata lebih mengedepankan aspek pragmatis daripada teoritis. Mereka ingin melihat kontribusi apa yang dapat diberikan oleh para teolog dan ilmuwan bagi kesejahteraan umat manusia. Secara khusus mereka menggumulkan tentang solusi bagi problem-problem ekologis.[2] Mereka bukan hanya tertarik pada isu epistemologis (siapa yang benar dan bagaimana hal itu dapat dibuktikan), tetapi pada isu praktis.
Sejarah singkat perdebatan antara teologi dan sains:
Dalam sejarah perkembangannya, teologi terus mendapatkan lawan tangguh yang berusaha menjadikan diri sebagai ratu ilmu pengetahuan (the Queen of Science). Dari awal kekristenan ilmu filsafat selalu bersaing dengan teologi. Dalam beberapa kasus filsafat berhasil mempengaruhi jemaat Kristen mula-mula (1Kor 1:23; 15:12; Kol 2:8; 1Yoh 4:2). Pada abad permulaan filsafat semakin merajalela, terutama filsafat gnostisisme. Sepanjang sejarah gereja pun filsafat terus berebut posisi dengan teologi.
Tanpa mengecilkan pengaruh dari filsafat terhadap orang-orang Kristen, makalah ini hanya akan memfokuskan pada satu ilmu, yaitu ilmu alam (sains). Pembatasan ini didasari pada judul seminar yang memang membahas tentang relasi Kitab Suci dan alam. Walaupun fokus utama dalam makalah ini bukanlah filsafat, namun - seperti akan dipaparkan berikut ini – filsafat tetap tidak bisa diabaikan secara total, karena perdebatan antara teologi dan sains juga mencakup filsafat. Baik teologi maupun sains sama-sama mengandung muatan filosofis di dalamnya.
Jika perdebatan hanya difokuskan pada sains, maka titik awal pertama yang perlu disinggung berkaitan dengan seorang ilmuwan yang bernama Nikolas Kopernikus (1473-1543 M) dan Galileo Galilei (1564-1542 M). Keduanya dikenal sebagai tokoh yang mempopulerkan teori HELIOSENTRIS (matahari sebagai pusat tata surya). Pada waktu konsep ini mulai berkembang, gereja merespon pandangan ini secara negatif dan menganggap keduanya sebagai pengajar ajaran sesat yang merendahkan otoritas gereja dan Alkitab. Mereka pun dipaksa untuk mengubah pandangan.
Satu hal yang perlu diketahui dalam perseteruan ini adalah perseteruan ini lebih bersifat filosofis daripada teologis. Yang ditentang oleh dua ilmuwan tersebut bukanlah otoritas Alkitab tetapi validitas filsafat Aristotelian yang mendasari pandangan geosentris (bumi sebagai pusat dari tata surya) yang dianut oleh gereja. Thomas H. Henderson menulis, “It was not a simple conflict between science and religion, as usually portrayed. Rather it was a conflict between Copernican science and Aristotelian science which had become Church tradition”.[3] Berdasarkan konsep kosmologisnya yang bertingkat-tingkat, Aristotle meyakini bahwa alam semesta memiliki batasan dan berbentuk sebuah bola dengan bumi sebagai pusat yang tidak bergerak.[4] Konsep inilah yang diadopsi oleh gereja dan dijadikan ajaran resmi. John Dillenberger mengungkapkan hal ini dalam sebuah kalimat, “The Ptolemaic system which had originated in Hellenic soil and which subsequently acquired Aristotelian form, had been brought into close relationship with the Biblical picture...his understanding of nature had been accepted but it was given Christian baptism.[5] Jadi, perseteruan ini “was not a choice between one science and another, or between one philosophy and a scientific view; it was a choice between philosophies, between the Aristotelian-Ptolemaic or the Neo-Platonic-Phthagorean”.[6]
Bukti lain bahwa Kopernikus dan Galileo tidak berusaha merendahkan ajaran ALkitab dapat dilihat dari kesalehan dan iman mereka. Dari semua catatan tentang kehidupan dan perkataan Galileo terlihat bahwa dia adalah seorang Katholik yang ketat.[7] Dalam suratnya kepada Madame Christina, pemimpin di Tuscany, Galileo menulis dengan tegas bahwa Kitab Suci tidak mungkin menyatakan sesuatu yang tidak benar. Ia juga menegaskan bahwa Kopernikus tidak mengabaikan Alkitab.[8]
Apa yang diajarkan oleh Kopernikus dan Galileo jelas merupakan sesuatu yang sangat serius di mata gereja pada waktu itu. Jika pandangan Aristotle yang sudah sedemikian terhisap dalam dogma gereja ternyata salah, maka berbagai masalah akan mencuat ke permukaan. Menurut Dillenberger ada tiga alasan utama mengapa teori yang baru ini menimbulkan masalah bagi para teolog: “First, it seemed to run counter to those Bible passages which assumed the centrality of the earth and the movement of the sun. Second, it dislodged the comfortable interrelation of space and destiny. Third, it confronted man with the anxiety engendered by infinity”.[9]
Seiring dengan “kemenangan” Kopernikus dan Galileo atas gereja, sebagian orang mulai menyangsikan wibawa para pemimpin gereja. Pada akhirnya sikap skeptis ini juga diarahkan pada Alkitab. Mulai akhir abad ke-18 otoritas Alkitab dalam hal-hal yang berkaitan dengan alam mulai dipertanyakan secara serius. Pada masa inilah terjadi perubahan pemahaman yang sangat radikal dan kritis terhadap Alkitab. Hal ini berkaitan dengan perkembangan ilmu-ilmu baru dalam bidang geogologi, palaentologi dan biologi. Kalau penemuan Kopernikus dan Galileo sebelumnya hanya berhubungan dengan sesuatu di luar dunia ini, penemuan-penemuan baru dalam tiga bidang ini lebih berkaitan dengan sejarah dunia. Ketika hasil penemuan ini berkontradiksi dengan catatan Alkitab, maka akibat yang ditimbulkan akan menjadi lebih serius. Langdon Gilkey menyatakan, “When Copernican, Galilean, and Newtonian astronomy had taken away the view of the spatial realms of the universe implied in scriptre, that was incidental to the Bible, which was in essence no geographical tract. But when the new sciences showed that the Biblical history was in error, that was something else again, and the understanding of what Biblical truth was had perforce to change”.[10] Pendapat yang senada juga disuarakan oleh Bernard Ramm, “The battle to keep the Bible as a respected book among the earned scholars and the academic world was fought and lost in the nineteenth century. The astronomy of Copernicus did not begin to have the influence on human thought as did the events of the nineteenth century. During that period there was a mushrooming of anti-Biblical, anti-Christian movements”.[11]
Kalau pada masa sebelumnya semua catatan Alkitab yang berkaitan dengan alam dianggap sebagai kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi, mulai abad ke-19 kecenderungan ini berbalik arah. Semua keterangan Akitab tentang alam, sejarah maupun geografi mulai ditolak. Sains sekarang menjadi hakim atas Alkitab.
Situasi di atas pada gilirannya membawa banyak perubahan penting yang bersifat negatif. Pengaruh ini pun akhirnya merambah pada bidang keagamaan secara umum. Gilkey berpendapat bahwa “the most important change in the understanding of religious truth in the last centuries – a change that still dominates our thought today – has been caused more by the work of science than by any other factor, religious or cultural”.[12] Situasi ini semakin diperparah dengan perkembangan berbagai filsafat yang anti kekristenan seperti rasionalisme, empirisisme dan eksistensialisme. Salah satu perubahan yang esensial pada masa ini adalah cara pandang terhadap Alkitab yang hanya dilihat sebagai buku yang penuh simbol, bukan catatan historis, sebagaimana dirangkum dengan baik oeh Gilkey, “The change referred to is that from the understanding of religious truths as made up of propositions containing, among other things, divinely revealed “information” on almost any topic of interest, to the understanding of them as a system of symbols which make no authoritative assertions about concrete matters of fact”.[13]
Kondisi di atas memberikan tantangan yang berat bagi para teolog injili yang masih mempercayai kebenaran Alkitab. Mengingat pada waktu itu bukti-bukti ilmiah yang mendukung Alkitab tidak terlalu banyak, sebagian teolog terjebak untuk mengikuti kebenaran sains. Mereka berpendapat bahwa jika teologi dan sains berbeda pendapat, maka teologi harus menyesuaikan dengan sains. Salah satu contoh dari hal ini adalah upaya beberapa orang untuk menerapkan Gap Theory pada waktu menafsirkan Kejadian 1:1-2.[14] Kecenderungan yang salah seperti ini disinggung sekaligus ditentang oleh Weston W. Field. Ia mengatakan:
Some have intentionally abandoned the clear implications of Scripture that the earth and everything on it, the universe and everything in it (even allowing for reasonable gaps in the genealogies of Genesis) were created ex nihilo (out of nothing) but a few thousand years ago. Others, in an unconscious, or perhaps even a conscious, desire to gain respectability with those in the fields of science who completely dismiss the Bible as unscientific and, therefore, of little or no value where it impinges upon matters of scientific interest, have unwittingly compromised the truth of Scripture by seeking what appear to be unnatural interpretations of Scripture, in order to form supposed harmonisations between the facts of the Bible and what are felt to be the facts of science, many of which are only theories.[15]
Integrasi: sebuah perspektif teologis
Bagaimana orang Kristen seharusnya menyikapi perdebatan antara teologi dan sains? Apakah keduanya memang bertentangan dan tidak mungkin diharmonisasikan? Penjelasan berikut ini akan membuktikan bahwa kontradiksi sebenarnya hanya terjadi pada tingkat penafsiran (teologi versus sains). Secara ontologis kitab suci (scripture) dan alam (nature) tidak tidak mungkin mengandung kontradiksi. Jika keduanya ditafsirkan secara tepat, maka tidak mungkin ada kontradiksi antara keduanya. Raam menulis:
If we believe that the God of creation is the God of redemption, and that the God of redemption is the God of creation, then we are committed to some very positive theory of harmonization between science and evangelicalism. God cannot contradict His speech in Nature by His speech in Scripture. If the Author of Nature and Scipture are the same God, then the two books of God must eventually recite the same story.[16]
Jack Wood Sears dengan yakin menyatakan:
I recognize that conflicts now exist between our understanding of scientific truth and our understanding of Biblical truth, but I believe these conflicts should not surprise anyone but should be expected. I also believe that as we approach more nearly the Truth (and I believe that there is Absolute Truth) these conflicts will diminish. If ultimate truth is ever attained in science and in our understanding of the Bible, I believe the conflict will evaporate completely.[17]
Pendapat di atas mendapat dukungan yang kuat dalam Alkitab. Pertama, Alkitab dimulai dengan Allah yang menciptakan langit dan bumi (Kej 1:1).[18] Pemunculan di bagian paling awal Alkitab menunjukkan betapa pentingnya teks ini. Posisi seperti ini menyiratkan bahwa konsep penciptaan dunia oleh Allah merupakan dasar dari seluruh Alkitab. Dalam salah satu judul bab dari bukunya yang terkenal yaitu Philosophy for Understanding Theology, Diogenes Allen menyebut bahwa pondasi dari teologi Kristen adalah fakta bahwa dunia diciptakan.[19]
Kisah penciptaan selanjutnya menunjukkan bahwa manusia adalah pusat dari dunia. Manusia diciptakan sebagai mahkota ciptaan yang diberi mandat untuk menguasai bumi (Kej 1:26, 28).[20] Untuk menguasai bumi jelas diperlukan pengenalan terhadap alam. Manusia harus mengeksplorasi semua informasi tentang alam supaya mereka mampu menaklukkannya. Ayat inilah yang telah menjadi dasar sekaligus keunikan Kristiani dalam pergumulan ilmiah. Pandangan Timur kuno umumnya menganggap alam bersifat ilahi,[21] karena itu tidak mungkin diselidiki sedemikian rupa seolah-olah manusia berada di atas alam. Di sisi lain pandangan Hellenis justru melihat alam (materi) sebagai sesuatu yang sangat rendah,[22] karena itu tidak layak untuk diselidiki. Hanya Alkitab yang memberikan pandangan seimbang tentang alam. Kebenaran ini seharusnya mendorong orang Kristen untuk berani meneliti alam dan menggunakannya untuk kemuliaan Allah.
Kedua, Allah dapat dikenal melalui alam (wahyu umum). Keyakinan bahwa alam dapat menyatakan sesuatu tentang Allah bukanlah ide yang baru ditemukan pada masa sains modern. Mazmur 19:1 mengajarkan bahwa ciptaan menyatakan kemuliaan Allah. Paulus pun menegaskan bahwa melalui alam semesa manusia seharusnya dapat mengetahui kekuatan yang kekal dan keilahian Allah (Rom 1:19-21). Pemberian hujan dan pengaturan musim pun di mata Paulus membuktikan bahwa sesuatu dalam diri Allah, yaitu kebaikan-Nya (Kis 14:17; bdk. Mat 5:45; Kis 17:26-27).
Kebenaran ini tetap didengungkan oleh bapa-bapa gereja dan para pemikir Kristen pada periode-periode selanjutnya.[23] Menurut Origen (sekitar 185-254 M), bapa gereja yang menganut penafsiran alegoris, Allah telah meletakkan pengajaran dan pengetahuan tentang hal-hal yang tidak terlihat dalam benda-benda yang terlihat di dunia ini. Konsep ini diteruskan oleh Ambrose dari Milan (340-397 M) dan Basil Agung (329-379 M). Agustinus (354-430 M) adalah orang pertama yang memakai istilah “kitab alam” sebagai rujukan pada alam semesta sebagai refleksi kebenaran ilahi. Konsep yang lebih integratif dan konkrit tentang penggunaan alam sebagai sarana mengenal Allah dipopulerkan oleh Anselmus dan Thomas Aquinas. Keduanya berusaha membuktikan keberadaan Allah melalui argumentasi yang alamiah dan rasional.[24]
Ketiga, kedaulatan Allah yang mutlak atas segala sesuatu. Alkitab memberikan bukti yang melimpah tentang bagaimana Allah menguasai alam. Ia bukan hanya menciptakannya, tetapi juga menggunakannya untuk menggenapi rencana-Nya. Allah berada di balik semua fenomena alam, baik yang ada di langit, bumi maupun lautan (Mzm 135:6). Dia memberikan hujan dan mengatur musim-musim (Kis 14:17; 17:26; band. Kej 2:7; Im 26:4). Api, hujan es, salju, kabut dan angin badai dikatakan “melakukan firman-Nya” (Mzm 148:8; band. Ay 37:6-13; 38:22-30). Mazmur 135:6 “Ia menaikkan kabut dari ujung bumi, Ia membuat kilat mengikuti hujan, Ia mengeluarkan angin dari dalam perbendaharaan-Nya”. Kemunculan matahari dan fajar setiap hari membutuhkan perintah Dia (Ay 38:12; Mat 5:45a). Allah menumbuhkan rumput untuk binatang maupun tanaman untuk manusia (Mzm 104:14-15). Ia memelihara burung di udara (Mat 6:26), sehingga tidak ada satu pun yang jatuh ke tanah di luar kehendak Allah (Mat 10:29). Tentang binatang-binatang di laut, pemazmur berkata kepada Tuhan, “semuanya menantikan Engkau, supaya diberikan makanan pada waktunya” (Mzm 104:27). Jika Allah sedemikian berdaulat atas alam, sulit dimengerti jika kebenaran yang Dia letakkan di alam dan Dia jaga akhirnya berkontradiksi dengan kebenaran-Nya di kitab suci.
Problem epistemologi: sebuah perspektif filosofis
Dalam perdebatan antara teologi dan sains muncul suatu kesan bahwa apa yang dikatakan Alkitab baru akan diterima sebagai kebenaran kalau sudah dibuktikan. Di sisi lain sains mendapat posisi yang lebih kuat. Penemuan dalam sains diasumsikan sebagai sesuatu yang objektif dan pasti benar. Mereka yang tetap mempercayai catatan Alkitab yang berkontradiksi dengan suatu teori sains secara otomatis dianggap sebagai orang yang kurang rasional. Di kalangan para ilmuwan sendiri sempat timbul suatu kesan bahwa mereka yang percaya kepada kebenaran Alkitab dianggap bukan seorang ilmuwan yang sejati.
Kecenderungan di atas jelas masih memerlukan pengujian lebih lanjut. Sayangnya dalam banyak kasus, asumsi seseorang lebih banyak berperan. Inti persoalan bukan lagi terletak pada ketersediaan fakta yang mendukung satu pandangan, tetapi pada asumsi dasar yang dipakai. Dengan kata lain, inti perdebatan terletak pada masalah epistemologi.
Benarkah sains bersifat objektif dan tanpa penafsiran? Benarkah sesuatu yang benar harus dapat dibuktikan terlebih dahulu baru diterima sebagai kebenaran? Apakah sains dapat menjadi hakim atas Alkitab? Penjelasan berikut akan menjawab deretan persoalan ini.
Pertama-tama yang perlu diketahui adalah bahwa sains tidak seobjektif yang dipikirkan oleh sebagian orang.[25] Dalam sains ada penafsiran. Dalam sains bahkan ada “iman” terhadap beberapa asumsi yang tidak mungkin dibuktikan dan karena itu dianggap sebagai “kebenaran yang tidak perlu dibuktikan”. Sains kadangkala lebih merupakan suat kepercayaan daripada penyimpulan ilmiah. Walaupun hal ini dapat dimengerti, tetapi tetap tidak dapat dipertanggungjawabakan.[26]
Dalam diskusi seputar asal-usul dunia maupun manusia, sains tidak akan pernah dapat memberikan bukti yang konklusif. Scott M. Huse menulis, “it is impossible to prove scientifically any theory of origins. This is because the very essence of the scientific method is based on observation and experimentation, and it is impossible to make observations or conduct experiments on the origin of the universe.[27] Apabila seorang ilmuwan ingin meneliti asal-usul dunia, maka dia harus memiliki iman tertentu terhadap sebuah asumsi. Dia harus beriman pada “the doctrine of uniformity, which assumes that these present processes may be extrapolated indefinitely into the past or future”.[28]
“Iman” dalam sains juga dapat dilihat dalam kasus evolusi. Huse mengutip pernyataan Harrison Matthews yang memberikan prakata untuk buku Darwin Origin of Species edisi tahun 1971 sebagai berikut: “belief in the theory of evolution is thus exactly parallel to belief in special creation – both are concepts which believers know to be true but neither, up to the present, has been capable of proof”.[29] Dengan kata lain, “evolution can only be correctly labelled as a belief, a subjective philosophy of origins, the religion of many scientists”.[30]
Hal lain yang perlu kita pahami sehubungan dengan sains adalah titik tolaknya yang berbeda dengan kebenaran Alkitab. Dalam beberapa kasus perdebatan, inti masalah terletak pada titik tolak yang berbeda. Sebagai contoh, dalam hal usia bumi. Dengan memperhitungkan kecepatan cahaya dan jarak bintang-bintang dengan bumi, sebagian ilmuwan meyakini bahwa usia alam semesta pasti sudah jutaan tahun. Pandangan ini sekalipun secara perhitungan matematis masuk akal, namun tetap didasarkan pada satu asumsi dasar yang linear (setelah bintang diciptakan, bintang memerlukan waktu jutaan tahun untuk mencapai bumi). Asumsi dasar linear ini berbeda dengan konsep penciptaan yang simultan. Dalam Kejadian 1:1 disebutkan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi. Frase “langit dan bumi” merujuk pada segala sesuatu, termasuk bumi dan bintang-bintang. Karena keadaan bumi masih belum siap didiami (Kej 1:2), maka Allah mulai menata dan menciptakan apa yang belum ada (Kej 1:3-31).[31] Di antara dua asumsi dasar ini – linear atau simultan - sulit ditentukan mana yang secara objektif tepat, karena tidak ada cara ilmiah apapun untuk membuktikan mana yang tepat. Dalam hal ini orang Kristen harus mempercayai apa yang diajarkan dalam Alkitab sekalipun hal itu tidak bisa dibuktikan benar atau salah. Alkitab sendiri mengajarkan bahwa “karena iman kita mengerti bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat” (Ibr 11:3).
“Beriman” dalam hal-hal yang ilmiah adalah tidak salah. Jika para ilmuwan mau jujur, dalam kasus-kasus tertentu secara logika lebih masuk akal mengimani ajaran Alkitab daripada ajaran sains. Contoh yang paling jelas adalah Teori Ledakan Besar (Big Bang Theory). Untuk mempercayai bahwa alam semesta yang relatif teratur ini berasal dari sebuah ledakan diperlukan iman yang lebih besar daripada mempercayai bahwa alam semesta diciptakan oleh Allah yang mahakuasa dan bijaksana. Begitu pula dengan evolusi. Diperlukan iman yang sangat besar untuk mengamini bahwa sistem tubuh manusia yang begitu kompleks dan relatif teratur merupakan hasil proses alamiah yang panjang dari sebuah zat yang paling sederhana. Diperlukan iman yang sangat besar untuk percaya bahwa sebuah keberadaan yang berpribadi dihasilkan dari sesuatu yang tidak berpribadi.
Meninjau ulang hermeneutika tradisional
Dalam bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa kontradiksi tidak mungkin terjadi antara kitab suci dan alam. Kontradiksi hanya terjadi antara teologi dan sains. Kekalahan gereja melawan sains pada jaman dulu seharusnya memberi pelajaran yang berharga bagi orang Kristen modern untuk jeli dalam menafsirkan Alkitab.
Hal mendasar yang harus diketahui adalah bahwa Alkitab bukan buku pegangan sains. Pernyataan ini tidak berarti bahwa Alkitab tidak mengandung kebenaran ilmiah sama sekali. Beberapa buku sudah ditulis untuk membuktikan bahwa Alkitab sejak dulu sudah memberikan banyak kebenaran ilmiah yang baru diungkap oleh sains modern, misalnya bumi berbentuk bulat (Yes 40:22), bumi terletak pada kehampaan (Ay 26:7).[32]
Semua “bukti ilmiah” tersebut memang membuktikan keunikan Alkitab, tetapi hal ini tidak berarti bahwa semua bagian Alkitab harus ditafsirkan secara ilmiah tanpa mengetahui makna yang sebenarnya dari teks tersebut. Orang Kristen harus memahami jenis literatur (genre), konsep dunia kuno maupun konteks suatu teks, sehingga tidak salah dalam menafsirkannya. Ketika Yosua memberhentikan matahari di Gibeon (Yos 10), peristiwa ini tampaknya memang faktual karena banyak suku bangsa di dunia memiliki kisah leluhur tentang matahari yang tidak keluar dalam satu hari.[33] Bagaimanapun, kisah ini tampaknya tidak mengajarkan bahwa matahari yang bergerak mengelilingi bumi. Penulis Kitab Yosua hanya mencatat apa yang dikatakan Yosua waktu itu sesuai dengan konsep berpikir dunia kuno. Apa yang dikatakan Yosua hanyalah sebuah ungkapan waktu itu yang menggambarkan pergerakan matahari. Sampai sekarang pun orang modern tetap memiliki ungkapan tertentu yang menyiratkan pergerakan matahari, misalnya “matahari terbit dari timur”, “terbenam di barat”. Orang modern juga kadangkala masih menggunakan istilah “ujung dunia” sekalipun mereka mengetahui bahwa bumi adalah bulat.
Hal lain yang perlu dimiliki orang Kristen adalah keterbukaan untuk menyelidiki alam atau hal lain. Orang Kristen tidak perlu alergi dengan ilmu pengetahuan. Seiring dengan perkembangan berbagai ilmu pengetahuan, kebenaran Alkitab justru semakin lebih jelas dan diteguhkan. Dalam bidang arkheologi misalnya, berbagai penemuan baru telah memberi kontribusi positif bagi studi biblika maupun apologetika.[34] Jika ilmu alam semakin berkembang, maka di kemudian hari kebenaran Alkitab justru akan semakin terlihat. Orang Kristen harus menyatakan kebenaran dari dua buku Allah: scripture (kitab suci) dan nature (alam).
*) Yakub Tri Handoko, Th.M., Gembala Sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus dan Dosen Tetap Sekolah Teologi Awam Reformed (STAR), Surabaya.
[1] W. Stanley Heath, Sains Iman & Teknologi (Yogyakarta: Yayasan ANDI, 1997), 42.
[2] “Where to Look for Guidance: On the Nature of “Religion and Science”, Zygon, Vol. 39, no. 2 (June 2004), 367-368.
[3] Dikutip dari “What were Galileo's scientific and biblical conflicts with the Church?”, http://www.christiananswers.net/q-eden/galileo.html.
[4] Charles E. Hummel, The Galileo Connection (Downer Grove: InterVarsityPress, 1986), 27-29.
[5] John Dillenberger, Protestant Thought & Natural Science: A Historical Study (Nashville/New York: Abingdon Press, 1960), 22. Italics ditambahkan.
[6] Ibid., 27.
[7] Salah satu sumber yang bermanfaat untuk melihat figur Galileo dari perspektif yang lain – selain dari perspektif gereja yang cenderung menempatkan Galileo sebagai tokoh sejarah gereja yang sangat negatif – adalah Dava Sobel, Galileo’s Daughter (New York: Walker & Company, 1999), 11-12; Stillman Drake, Discoveries and Opinions of Galileo (New York: Doubleday Anchor Books, 1957), 173-216.
[8] Henderson, “What were…”
[9] Protestant Thought, 26.
[10] Langdon Gilkey, Religion and the Scientific Future (New York: Harper & Row Publishers, 1970), 9.
[11] The Christian View of Science and Scripture (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1954), 15.
[12] Religion and the Scientific Future, 4.
[13] Ibid.
[14] Sebagai contoh George H. Pember, Earth’s Earliest Ages (London: Hodder and Stoughton, reprinted, 1907).
[15] Unformed and Unfilled: The Gap Theory (Phillipsburg: Presybterian and Reformed Pblishing Co., 1976), 5.
[16] Ramm, The Christian View, 25.
[17] Conflict and Harmony in Science and the Bible (Grand Rapids: Baker Book House, 1968), 13.
[18] Ibid., 26.
[19] (Atlanta: John Knox Press, 1985), 1-14.
[20] “Berkuasa” dalam konteks ini tidak menagndung makna eksploitasi seperti yang sempat dituduhkan oleh beberapa orang terhadap kekristenan sebagai penyebab kerusakan ekologis. Untuk jawaban singkat tapi berbobot terhadap tuduhan ini, lihat Walter C. Kaiser, Hard Saying of the Old Testament (Downer Grove: InterVarsityPress, 1988), 16-19.
[21] W. Endrew Hoffecker, ed., Membangun Wawasan Dunia Kristen Volume 2 (diterjemahkan oleh Peter Suwadi Wong; Surabaya: Momentum, 2008), 11-24.
[22] Ibid.,25-44.
[23] Untuk ringkasan yang baik dan bermanfaat tentang hal ini, lihat Peter Harrison, “The Bible and the Emergence of Modern Science”, Science & Chrisian Belief, Vol. 18, No. 2 (2006), 116-119.
[24] Lihat Collin Brown, Philosophy & the Christian Faith (Downer Grove: InterVarsityPress, 1968), 20-32.
[25] Untuk pembahasan lebih detil tentang mitos seputar sains, lihat Rousas John Rushdoony, The Mythology of Science ( Nutley, NJ: The Craig Press, 1978), 1-15.
[26] Heath, Sains, Iman & Teknologi, 8.
[27] The Collapse of Evolution (Grand Rapids: Baker Book House, 1983), 1.
[28] Henry M. Morris, Studies in the Bible and Science (Philadelphia: Presbyterian and Reformed Publishing Co., 1966), 109.
[29] Ibid., 1.
[30] Ibid.
[31] John Sailhamer, “Genesis”, Expositor’s Bible Commentary Vol. II (Grand Rapids: Zondervan Publishing House). Electronic edition.
[32] Jeff Harvey & Charles Pallaghy, Alkitab & Ilmu Pengetahuan (diterjemahkan oleh Wimanjaya K. Liotohe; Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil “Immanuel”, 1984), 17. Harvey & Pallaghy juga memberikan banyak contoh lain dari beragam disiplin sains.
[33] Ibid., 8.
[34] Lihat William Ramsay, St. Paul the Traveller and the Roman Citizen (London: Hodder and Stoughton, 1908); The Cities of St. Paul (London: Hodder and Stoughton, 1907); The Bearing of Recent Discovery on the Trustworthiness of the New Testament (Grand Rapids: Baker Book House, 1953); Alfred J. Hoerth, Archaeology and the Old Testament (Grand Rapids; Baker Books, 1998); John McRay, Archaeology & the New Testament (Grand Rapids: Baker Academic, 1991); Merrill F. Unger, Archaeology and the New Testament (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1962).
Can We Believe God in the Age of Science :
A Critical Assesment to Evolution and Big Bang Theory *)
Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih. - Roma 1:20
“Kita melihat bagaimana Allah, bagaikan seorang arsitek, menciptakan dunia sesuai tatanan dan pola yang mengatur semua sedemikian sempurna”. - Johanes Kepler
Hadirnya teori evolusi kehidupan maupun teori Big Bang oleh para astronom evolusionis merupakan wujud penolakan terhadap kebenaran sejarah Penciptaan. Penolakan ilmuwan terhadap kebenaran Penciptaan adalah karena kronologis penciptaan dan keberadaan Allah tidak dapat diobservasi oleh para ilmuwan di laboratorium mereka. Proses Penciptaan yang mendadak dalam menciptakan alam semesta dengan segala isinya menimbulkan kesan bahwa Allah merencanakan tanpa pemikiran yang dalam. Dengan kata lain mereka menganggap Allah bukanlah pribadi yang mengerti ilmu atau Allah bukanlah Pribadi Intelektual.
Pernyataan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma sangat kontras dengan pandangan astronom evolusionis. Paulus berpikir bahwa penciptaan dunia yang ada merupakan cermin kebesaran kapabilitas pemikiran dan perbuatan Allah yang tak tertandingi oleh siapapun, dan dapat disaksikan dan diamati manusia, meskipun wujud Allah Sang Designer alam semesta tidak telihat secara visual tetapi karyaNya adalah nyata dan saat ini alam semesta telah manjadi pusat penelitian manusia
Pemikiran Paulus ini sejalan dengan pemikiran seorang ilmuwan bernama Johanes Kepler, dimana setelah menemukan pola logis sederhana dalam gerakan planet, dia mengemukakan “ Kita melihat bagaimana Allah, bagaikan seorang arsitek, menciptakan dunia sesuai tatanan dan pola yang mengatur semua sedemikian sempurna”. Bagi Kepler gerakan planet yang logis dan sederhana merupakan cerminan kemahabesaran pemikiran Allah serta kearifanNya yang tidak berkesudahan. Selain itu Kepler memiliki keyakinan bahwa pemikiran alam semesta ini kacau balau tidak cocok dengan kemahabesaran Allah.
Kepler melalui temuannya telah melihat bahwa Allah adalah pribadi Intellegent Designer. Pemikiran ini sejalan dengan pemikiran Paulus, bagi Paulus perencanaan dan penciptaan alam semesta yang begitu luar biasa, menjadi alasan yang cukup untuk membuat manusia mengakui keberadaan dan ke mahabesaran Allah sang Pencipta. Karena seberapapun cerdasnya intelektual manusia, tetap tidak memiliki arti apa-apa dibandingkan dengan perencana dan pencipta alam semesta yang sangat kompleks ini. Sebagaimana pemikiran dalam matematik, dimana suatu nilai tertentu tidak akan memiliki arti apapun bila dibandingkan dengan suatu nilai tak terhingga.
Allah : Sang Ilmuwan Agung
Para ilmuwan yang mempercayai teori evolusi kosmologi modern dan evolusi kehidupan, pada suatu tulisannya menyatakan bahwa pemikiran para kreasionis adalah sesuatu pemikiran yang terbelakang dan tidak akan mendapat dukungan, karena bila mengikuti keilmuwan kreasionis, maka ilmu pengetahuan akan kembali kita ke jaman purbakala. Bagi mereka Big Bang teori yang merupakan usulan ilmuwan modern tentang asal-usul alam semesta yang lebih masuk akal dibandingkan dengan penjelasan Alkitab.
Namun harus diingat bahwa Big Bang teori yang didasarkan atas ”persamaan matematis area gaya”, bukanlah hasil percobaan atau pengamatan, namun hanya suatu teori. Untuk bisa diakui sebagai kebenaran, teorinya harus harus bisa dibuktikan melalui pengamatan dan percobaan. Masalah nya adalah bisakah kita mengamati masa lalu dengan data yang ada sekarang ?. Atau meski sejarah big-bang teori yang secara matematis telah membuat susunan data sampai pada kondisi yang memuaskan terhadap pekerjaan-pekerjaan dilapangan (meski beberapa pengamatan tetap menyimpan masalah) bisakah para ilmuwan membuat teori Big Bang menjadi suatu fakta yang dapat direalisasikan ?. Hal yang sama adalah apa yang terjadi pada teori evolusi
Meski para kreasionis juga tidak dapat mengamati proses penciptaan masa lalu, namun mereka memiliki jawaban epistemologi karena percaya bahwa Roh Kudus telah menyatakan pada hambaNya, untuk menuliskan secara kronologis bagaimana Allah menciptakan alam semesta ini. Itu sebabnya para kreasionis tidak pernah mengalami frustasi dan putus asa ketika tidak dapat menyingkap kebenaran alam semesta karena menyadari keterbatasannya dibandingkan dengan Pencipta yang tidak terbatas.
Sebagai contoh bisa disimak pernyataan salah seorang astronom kreasionis, Profesor dari Institut for Creation Research. Dia telah menerbitkan buku yang berjudul Starlight and Time, sebuah buku yang mudah dibaca dengan keterangan-keterangan tambahan –tambahan secara teknik. Ketika ditanya apakah model itu benar ?. Saya tidak tahu- ia tidak tahu. Dia hanya mengatakan bahwa model matematisnya lebih Alkitabiah dan lebih ilmiah dari model matematis dari big bang. Mungkin terdapat model-model yang lain , bahkan mungkin lebih baik, model-model dimana tidak ada seorangpun telah memikirkanya atau belum memikirkannya.
Inilah pernyataan seorang kreasionis rendah hati yang menyadari keterbatasannya didepan penciptaNya. Karena didepan Pencipta, sebagaimanapun cerdasnya seseorang , dia tidak dapat berdalih.
Bila Allah adalah Allah maka bukanlah hal yang mustahil Dia merencanakan, melakukan Penciptaan dalam waktu yang singkat atau 6 hari dengan hasil yang sempurna. Sehingga benda-benda penerang harus tampak pada akhir hari ke 6, dan berguna bagi manusia untuk menentukan waktu
Apa yang dijelaskan Alkitab tentang sejarah penciptaan alam semesta, menyatakan kepada kita betapa hebatnya Intelktual Sang Pencipta alam semesta ini. Karya – karya ilmiah Allah yang tak terbatas yang tertulis dalam Alkitab, menjadi saksi kebesaran Pribadi Intelligent Designer. Dimana kita bisa membandingkan bahwa karya-karya manusia bukanlah apa-apa bila dibandingkan dengan karya-karya Sang Ilmuwan Agung.
Coba kita renungkan bersama, apakah artinya rekayasa genetika karya manusia ( seperti kloning Dolly atau ataupun reproduksi asexual yang lain) dibandingkan dengan penciptaan Hawa yang diambil dari tulang rusuk Adam (Kej.2:21-23), peng-fungsi-an kembali ovarium Sarah (Kejadian 15-21), Elsabet istri Zakaria (Lukas 1:1-23)., Hanna istri Elkana ( I Samuel 1:19).
Selain itu kebesaran Pencipta juga bisa dilihat dari berkatNya atas Yakub ketika dirumah Laban melakukan rekayasa genetika Yakub atas domba-domba Laban (Kejadian 30), keajaiban peristiwa ilmiah ini dapat terungkap kemudian oleh Mendel, dan menjadi dasar ilmu ilmu rekayasa genetika modern (lebih jauh mengenai hal ini dapat dilihat pada tulisan Inswasti Cahyani dalam Jurnal Sains Penciptaan Indonesia No.23 Desember 2007).
Sementara para ahli medis meneliti kemungkinan berbagai macam penyakit, maka bagi Sang Intelligent Designer ini,melakukan gen therapy bukanlah hal yang sulit, dimana hal ini bisa dilihat bagaimana Yesus melakukan penyembuhan beberapa orang yang cacat sejak lahir
Bila kita membaca peristiwa runtuhnya tembok Yerikho (Yoshua 6:1-20) kita juga bisa mengerti kelimiahan peristiwa tersebut melalui ilmu mekanika getaran dimana amplitudo tak terbatas yang menyebabkan runtuhnya tembok Yerikho ini terjadi akibat adanya resonansi (frekwensi natural dinding = frekwensi sorak sorai dan genderang bangsa Israel).
Selain itu peristiwa meyeberangnya bangsa Israel melalui laut Teberau dapat tersingkap keilmiahannya dari keseimbangan gaya aksi – reaksi ( angin timur dan gaya hidrostatis air) dalam Hukum Newton I.
Masih banyak hal-hal lain karya-karya Sang Ilmuwan Agung ini yang dapat diungkap melalui temuan hukum-hukum manusia yang terbatas yang tertulis dalam Alkitab. Namun juga banyak karya-karyaNya yang nyata ada dalam sejarah tetapi keilmiahanya hanya bisa dimengerti oleh Dia yang tidak terbatas.
Dan dari hal yang tidak bisa dimengerti manusia ini tidak seharusnya kita berspekulasi, bahkan ingin menggantikan kebenaran FirmanNya. Karena Dia adalah Allah Pencipta , Sang Ilmuwan Agung yang tak terbatas dan kita adalah manusia, ciptaan yang terbatas.
Dentuman Besar, Jarak Cahaya Bintang dan permasalahannya
Tentang dentuman besar (Big Bang)
Sebuah model asal mula alam semesta yang digambarkan oleh model Friedmann, yang membenarkan Dentuman Besar. ( Big Bang). Model Friedmann menandai bahwa pada suatu masa lampau, antara sepuluh sampai duapuluh milyar tahun yang lalu,jarak antara galaksi yang bertetangga pastilah nol. Pada saat itu, yang disebut dentuman besar (Big Bang), kerapatan alam semesta dan lekukan dari ruang-waktu akan tak terhingga, yang berarti terdapat sebuah titik singularitas di alam semesta. Kejadian-kejadian sebelum dentuman besar tidak membentuk bagian model ilmiah dari alam semesta. Dengan alasan tersebut mereka memotong masa sebelum dentuman besar dari model dan mengatakan bahwa waktu memiliki permulaan pada saat Dentuman Besar. Saat dentuman besar alam semesta sebagian besar akan terisi oleh sebagian besar foton,elektron, dan neutron dan anti pertikel-pertikelnya, bersama dengan beberapa proton dan neutron
Sejak Dentuman besar alam semesta secara keseluruhan akan mengembang dan mendingin.sampai pada akhirnya ketika daerah cukup kecil, daerah tersebut akan berputar cukup cepat untuk menyeimbangkan gaya tarik gravitasi. Pada proses ini lahirlah galaksi-galaksi yang berputar seperti piringan
Stephen Hawking yang merasa bahwa segala teori dari kondisi yang sangat panas dan mendingin saat dia mengembang dalam model Big Bang sesuai dengan bukti-buti pengamatan, menyatakan bahwa tetap menyisakan sejumlah pertanyaan yang tidak terjawab :
1. Mengapa alam semesta mula-mula panas ?
2. Mengapa alam semesta menjadi sangat seragam dalam skala yang besar atau mengapa dia terlihat sama pada seluruh titik pada ruang dan dalam semua arah ?
3. Mengapa alam semesta bermula dengan laju pengembangan yang sangat dekat dengan laju perkembangan kritis hanya untuk mencegah peruntuhan kembali ?
4. Apakah asal mula fluktuasi kerapatan ini ?
Pertanyaan Stephen Hawking ini merupakan suatu konsekwensi logis dari sebuah model yang tanpa design,tanpa tujuan dan juga tanpa interdependent. Apa yang mereka keluarkan dari teori Big Bang, yaitu tentang kejadian-kejadian sebelum dentuman besar, karena tidak membentuk model ilmiah dari alam semesta sebenarnya memberi makna tentang ketidak jelasan model ini. Artinya manusia sebenarnya memiliki batas-batas dalam pengamatan ilmiah, sebagaimana diungkapkan Henry Morris, bahwa pengamatan manusia hanya terbatas pada proses (yang juga terbatas)
Tentang cahaya bintang
Kritik terhadap Penciptaan secara Alkitabiah seringkali menggunakan cahaya bintang sebagai argumentasi untuk melawan alam semesta yang muda argumentasinya adalah :
1. Ada galaksi yang begitu jauh, agar cahaya bintang sampai ke bumi perlu waktu milyaran tahun
2. Kita dapat melihat galaksi-galaksi ini, yang berarti cahaya-cahaya bintang tersebut
3. Sehingga alam semesta paling tidak milyaran tahun usianya, jauh lebih tua dari 6000 tahun, atau usia yang diindikasikan oleh Alkitab
Para pendukung Big Bang memandang hal ini sebagai suatu argument yang baik melawan skala waktu Alkitabiah, kita akan melihat apakah memang argument mereka dapat diterima. Alam semesta sangat besar dan luas dan terdapat galaxy-galaxy yang jauh, tapi bukan berarti bahwa alam semesta harus berusia milyaran tahun.
Kita bisa melihat beberapa anggapan tidak pernah diungkapkan oleh para astronomer dalam merajut teori mereka. Suatu usaha mengestimasi umur segala sesuatu secara ilmiah akan memerlukan sejumlah anggapan-anggapan. Angapan-anggapan tersebut dapat berupa kondisi awal, nilai-nilai yang konstant atau tidak berubah, kontaminasi dari sistim, dan banyak hal-hal lain. Jika salah satu dari anggapan-anggapan ini salah, maka estimasi usia juga salah. Seringkali suatu pandangan hidup yang salah harus ditanggung ketika masyarakat memiliki anggapan-anggapan yang salah. Argumentasi jarak cahaya bintang memiliki beberapa anggapan yang dipertanyakan-ada sesuatu yang membuat argument tersebut tidak kuat :
Kecepatan cahaya yang konstant
Biasanya dianggap bahwa kecepatan cahaya konstan terhadap waktu. Nilai saat ini dalam suatu kondisi vakum dalam satu tahun mencapai jarak 6 trilyun miles. Tetapi apakah hal ini selalu begitu ?. perdebatan masalah ini tidak akan dikemukakan disini, namun hal yang perlu dicatat disini adalah bahwa dampak perubahan kecepatan atas alam semesta dan kehidupan di bumi tidak sepenuhnya diketahui, beberapa ilmuwan kreasionis secara aktif masih mencari hubungan pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut kecepatan cahaya. Beberapa dari mereka merasa bahwa anggapan kecepatan konstan mungkin masuk akal dan bahwa penyelesaian terhadap jarak cahaya bintang terletak ditempat lain.
Anggapan kekakuan waktu
Banyak orang mengaanggap bahwa aliran waktu selalu memiliki nilai yang sama dalam semua kondisi. Awalnya, hal ini tampaknya seperti suatu anggapan yang masuk akal. Tetapi kenyataannya anggapan ini salah. Dan terdapat sejumlah cara dentuman berbeda dalam mana nature waktu nonrigid dapat memungkinkan jarak cahaya bintang mencapai bumi dalam skala waktu Alkitabiah.
Anggapan sinkronisasi
Cara lain yang yang menyangkut relativitas waktu adalah pentingnya topik sinkronisasi waktu: bagaimana jam ditempatkan sehingga mereka membaca waktu yang sama pada saat waktu yang sama. Relativitas telah mnunjukkan bahwa sinkronisasi tidaklah absolut.
Anggapan naturalisme
Salah satu hal yang paling dilewatkan adalah anggapan yang paling melawan Alkitab ialah anggapan naturalisme. Naturalisme adalah keyakinan bahwa secara fisik “ semuanya telah ada dengan sendirinya“. Pendukung naturalisme menganggap bahwa semua fenomena dapat dijelaskan dalam term “hukum alam”. Hal ini bukan hanya suatu anggapan buram, tetapi jelas melawan Alkitab.
Dari berbagai anggapan yang ada perlu dipertanyakan, dan bila salah satu anggapan-anggapan itu salah maka teori yang dikemukakan juga bisa salah.
Akhir dari pemikiran tentang teori tentang Big Bang dan juga jarak cahaya bintang, kita sangat sulit bahkan hampir tidak mungkin untuk melihat kenyataan,serta berargumentasi tentang hal-hal yang terjadi pada masa lalu. Itulah sebabnya mengapa, pada akhirnya, satu-satunya cara untuk mengerti kejadian-kejadian masa lalu secara pasti adalah memiliki rekaman sejarah yang bisa dipercaya dan ditulis oleh saksi hidup. Itulah sebenarnya yang kita miliki dalam Alkitab.
Mythology usia lapisan dan fosil jutaan tahun
Untuk dapat menyatakan bahwa teori evolusi benar telah bekerja keras serta melakukan berbagai upaya dan masuk dalam hampir semua sistim ilmu pengetahuan.
Misalnya para geolog evolusionis mereka percaya akan usia lapisan jutaan tahun, termasuk didalamnya proses pmbentukan fosil namun realitas yang terjadi sungguh sangat berbeda, misalnya :
1. Lapisan yang terjadi saat lapisan St Helen hanya terjadi dalam beberapa hari;
2. Fosil tidak pernah terbentuk dalam jutaan tahun, fosil kebanyakan ditemukan dalam kondisi makhluk hidup yang masih beraktivitas, gambar dibawah menunjukkan realitas bagaimana fosil ikan makan ikan hal ini menunjukkan bahwa sebelum ikan selesai makan ikan kecil batuan fosil telah membeku;
3. Radioisotop yang diandalkan ternyata tidak memberikan fakta yang diharapkan.
Dari kenyataan ini bagaimana mungkin kita bisa percaya tentang usia batuan atau bumi yang tua ?
Enam Hari Penciptaan : bukan kemustahilan bagi Sang Ilmuwan Agung
Dalam Alkitab telah dinyatakan bahwa Allah menciptakan alam semesta dalam waktu 6 hari sebagaimana tertulis Sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh. (Keluaran 20:11)
Dari apa yang diuraikan diatas tentang Sang Intelektual Agung, jelas setiap apa yang dilakukan Allah selalu memiliki konsep, dasar pemikiran, design,dan tujuan.
Penciptaan dalam Alkitab adalah jawaban paling logis yang mampu menjawab apa yang dipertanyakan manusia mengenai ketidak mengertiannya tetntang asal –usul alam semesta. Karena dengan penciptaan alam semesta yang begitu kompleks, maka hanya kemampuan supernatural lah yang mampu melakukan itu
Alkitab mengatakan kepada kita bahwa pada mulanya Allah menciptakan langit (shamayim) dan bumi (errets) . bumi pada masa itu dilingkupi air. Kemudian Allah menciptakan terang, yang bukan dari matahari, dimana matahari belum diciptakan.
Pada hari yang kedua diletakkan satu peristiwa yang menarik, yang sering diabaikan oleh umat Kristen. Kita membicarakan tentang penciptaan cakrawala yang memisahkan air yang diatas dan dibawah (Kej.1:7). Kondisi ini menjelaskan pada kita bahwa selain ada samudra yang menutupi bumi juga ada lapisan air diatas atmosfer bumi, yang kemungkinan dlam bentuk uap. Kanopi air ini adalah faktor yang sangat penting, karena inilah yang melindungi kehidupan di bumi.
Pada hari yang ketiga Allah berfirman berkumpulah semua air pada satu tempat, sehingga kelihatan yang kering. Indikasinya adalah bahwa hanya ada satu lautan di bumi. Implikasinya adalah sebagian besar yang menutup bumi adalah air,sedangkan benua atau daratan hanya bagian kecil seperti yang terlihat sekarang. Juga pada hari yang ketiga, Allah menciptakan segala jenis tumbuhan dan semua tumbuh-tumbuhan yang berbiji. Tumbuh-tumbuhan diciptakan sebelum matahari, yang sangat tidak kompatibel dengan evolusi.
Pada hari yang keempat Allah menciptakan matahari, bulan dan bintang-bintang.hari kelima penciptaan binatang yang hidup diair dan di udara. Hari kelima adalah penciptaan binatang yang hidup didarat srta manusia. Dan pada akhirnya setelah Allah melihat apa yang telah diciptakanNya Allah mengatakan sungguh amat baik.
Fakta ilmiah apa yang bisa menunjukkan kebenaran penciptaan ?.
Banyak sekali tapi sayang tidak dapat diungkapkan satu persatu disini beberapa contoh misalnya,tentang kanopi air yang dilukiskan pada hari kedua, dimana kanopi membuat seluruh iklim di bumi sama yaitu sub tropis, termasuk di kutub. Alkitab juga mengatakan masa itu belum ada hujan. Keadaan itulah yang membawa kehidupan lebih baik, usia manusia lebih panjang, pohon dan tumbuhan tumbuh lebih subur. Bagaimana faktanya ?. Misalnya Coral yang memerlukan air 200 C suatu kali tumbuh di kutub, faktanya adalah fosil Coral didapatkan di kutub. Usia Manusia yang lebih panjang juga menunjukkan kehidupan masa lalu yang lebih baik.
Contoh lain fakta kebenaran penciptaan tentang penciptaan manusia menurut Gambar dan rupa Allah. Manusia adalah suatu intelligent design,karena memiliki keberadaan :
• Paling terorganisir & paling kompleks
• Keruwetan struktur struktur fisik kimiawi
• Kapasitas-kapasitas hidup dan reproduksi yang menakjubkan
Selain itu manusia juga memiliki sifat yang menyangkut keberadaan abstrak dari keindahan,kasih dan ibadah,yang mana mampu menfilsafatkan tentang maknanya sendiri. Hanya manusia yang mempertanyakan keberadaan Allah, sekalipun dia seorang ateis. Dan hanya manusia yang bisa berbicara tentang cinta kasih. Evolusi tidak bisa menjawab bagaimana manusia memiliki keberadaan abstrak, namun penjelasan yang menyatakan bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan peta Allah menjawab teka-teki ini. Karena manusia diciptakan serupa dengan gambarNya maka dia memiliki keberadaan abstrak . Dan hal ini adalah match dengan kenyataan apa yang ada dibumi, ini adalah pengamatan ilmiah yang dapat diamati dalam realita.
Fakta- fakta yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa apa yang ada dialam sangat kompatibel dengan apa yang dikatakan Alkitab, namun sangat tidak kompatibel dengan evolusi dan Big Bang. Masalahnya sekarang apa yang mau kita percayai ? #
*) Prof. Dr. Ir. Indarto DEA
Daftar Pustaka:
Hawking , Stephen W., “Teori Segala Sesuatu : Asal-usul dan Kepunahan Alam Semesta “, Penerbit Pustaka Pelajar 2004.
Indarto, “Allah Sang Ilmuwan Agung “, Kolom President Jurnal Sains Penciptaan, No 23, Desember 2007,pp 3-5.
Jason, Lisle “Does Distant Starlight Prove the Universe Is Old” AIG – US,2009
Jason, Lisle “Feedback: Stellar Evolution and Millions of Years, AIG-US,2009
Morris , John D. “Is the Big Bang Biblical”, Master Books Publisher, March 2003, pp137-139.
Morris , John D. “Tackling The Big Problem –Dr, Russ Humphreys Joins ICR” http//www.icr.org,2009