TUHAN YESUS SEBAGAI PEMBANDING
DALAM KISAH Ayub ada satu kebenaran yang lolos dari pengamatan banyak orang. Padahal kebenaran itu justru inti kitab Ayub. Ternyata dalam kisah Ayub, Allah hendak menunjukkan bahwa Ia mencari pembanding untuk menunjukkan keberadaan Iblis. Satu hal yang harus diperhatikan adalah pertanyaan Allah kepada Iblis ketika ia ada di tengah-tengah anak Allah: “Apakah engkau memperhatikan hamba-Ku Ayub? Sebab tiada seorang pun di bumi seperti dia, yang demikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan.” (Ayb. 1:8; 2:7). Tentu yang dilakukan Allah ini bukan sekadar hendak memuji Ayub. Di balik pujian tersebut pasti ada makna yang sangat penting yang kita harus pahami.
Ternyata Tuhan membanggakan Ayub, sebab Tuhan menjadikan Ayub sebagai “jago" untuk bertarung melawan Iblis. Sejak “pujian” itu diberikan Tuhan kepada Ayub, maka terjadilah ujian hebat atas Ayub. Hal ini juga dialami oleh Tuhan Yesus. Setelah Allah Bapa membanggakan Tuhan Yesus dengan pernyataan: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” (Mat. 3: 17), maka Tuhan Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai (Mat. 4:1-11). Roh di sini tentu Roh Allah. Dibawa dari teks aslinya anaga, yang juga berarti dituntun. Pertanyaan yang kita harus munculkan adalah mengapa Allah sengaja menuntun Tuhan Yesus untuk dicobai? Ini sama dengan Ayub yang didorong masuk ke dalam ajang pertempuran atau percobaan dan sama dengan Adam dan Hawa yang harus menghadapi kenyataan adanya pohon pengetahuan yang baik dan jahat di tengah taman.
Alkitab menyatakan bahwa walaupun Ayub kehilangan segala sesuatu di bumi ini, yaitu kekayaan, anak dan istri bahkan kesehatannya, tetapi ia tetap setia kepada Allah. Ujian atas Ayub atau pencobaan yang dialami hanya sampai di fisik, tetapi nyawanya terpelihara (Ayb. 2:6). Penderitaan yang dialami Ayub sebagai alat pertaruhan, apakah ia tetap setia kepada Allah atau tidak. Sampai ujian yang terberat dalam hidupnya Ayub tetap menunjukkan kesetiaannya. Setelah Ayub bisa melewati semua itu, maka Ayub bisa tampil sebagai juru syafaat bagi teman-temannya (Elifas, Bildad, dan Zofar; Ayb. 42:9). Hal ini sejajar dengan Tuhan Yesus yang setelah menyelesaikan tugas penyelamatan-Nya, Ia menjadi juru Syafaat bagi kita.
Apa yang dikemukakan dalam kitab Ayub hendak membuka mata pengertian kita terhadap kebutuhan pembanding. Pembanding juga menggiring pada fakta bahwa Iblis bersalah. Pembanding itu juga berfungsi sebagai pembuktian kesalahan iblis, itulah sebabnya harus ada mahkluk ciptaan yang taat kepada Bapa di surga, mengasihi Bapa, hidup dalam persekutuan dan pengabdian kepada Allah Bapa. Sosok seperti inilah yang kemudian hari ditampilkan oleh Tuhan Yesus Kristus sebagai Adam kedua atau Adam terakhir. Ia dapat menampilkan kehidupan yang taat kepada Bapa bahkan sampai mati di kayu salib (lKor. 15:45). Tuhan Yesus menghadapi ujian dan pencobaan bukan hanya sampai di kesehatan fisik-Nya seperti Ayub, tetapi sampai pada nyawa-Nya (Flp. 2:5-8). Tuhan Yesus menang atas segala pencobaan tersebut sehingga keselamatan manusia dapat tersedia. Keselamatan adalah usaha Tuhan mengembalikan manusia kepada rancangan-Nya semula atau tujuan awal.
HARUS SAMPAI MATI
Dalam Alkitab kita menemukan usaha Iblis
untuk menghindarkan dan mencegah Tuhan Yesus dari kematian di kayu salib.
Tetapi Tuhan Yesus dalam integritas-Nya yang tinggi tetap taat sampai mati di
kayu salib untuk menyelesaikan tugas penyelamatan. Pertama, Iblis berusaha
mencegah Tuhan Yesus memikul salib dengan cara menawarkan keindahan dan
kemuliaan dunia (Luk. 4:5-8). Kedua, Iblis memalui nama Allah melalui Petrus
untuk mencegah Tuhan Yesus ke Yerusalem (Mat. 16:21-23). Selanjumya, beberapa
kali Tuhan Yesus hendak diangkat jadi raja oleh orang-orang Yahudi (Yoh. 6:15;
12:113). Iblis menjanjikan hidup tanpa penderitaan di bumi. Di taman Getsemani
Tuhan Yesus menghadapi pergumulan antara melakukan kehendak Bapa atau
kehendak-Nya sendiri (Mat. 26:38-44). Tuhan Yesus juga menghadapi situasi di
mana Ia bisa memanggil malaikatmalaikat-Nya untuk menyelamatkan diri-Nya dari
pasukan Roma yang menangkap-Nya (Mat. 26:53). Tetapi Ia tetap pada
pendirian-Nya, yaitu minum cawan (penderitaan) yang harus dialami-Nya. Akhirnya
di kayu salib, Ia bukan tidak bisa turun dari salib (kalau Ia mau, Ia bisa),
ketika Ia ditantang untuk turun dari salib (Mat. 27:40-42). Tetapi sekali lagi
Ia tetap teguh dengan pendirian-Nya, mati di kayu salib.
Kematian Tuhan Yesus di kayu salib dalam ketaatan kepada Bapa adalah kematian yang sangat mengerikan bagi Iblis. Karena dengan hal itu ia terbukti bersalah dan hukumannya sudah ditentukan. Ada semacam rule of the game dalam pergulatan antara Kerajaan Terang dan kerajaan kegelapan. Kalau ada yang bisa melakukan kehendak Bapa dengan sempurna, berarti Lusifer kalah dan harus dihukum, tetapi kalau tidak ada, maka Lusifer beroleh kemenangan. Ia akan menguasai jagad raya, manusia dan Tuhan Yesus Kristus sendiri.
Manusia yang juga disebut sebagai Adam terakhir yang menjadi “jagonya” Allah Bapa adalah Tuhan Yesus. Kalau Tuhan Yesus gagal, maka tidak bisa dibayangkan betapa rusaknya jagad raya ini. Surga dan bumi dalam kekuasaan Lusifer. Ia akan menjadi “Bintang Timur yang gilang gemilang”, artinya akan menerima kekuasaan baik di surga maupun di bumi (Why. 22:16). Tetapi dengan kemenangan Tuhan Yesus memproklamirkan kekuasaan-Nya bahwa segala kuasa di surga dan di bumi ada dalam tangan-Nya dan Ia adalah Bintang Timur yang gilang gemilang itu.
Kalau Tuhan Yesus bisa dicegah atau dihindarkan dari kematian salib, gagal dalam ketaatan kepada Bapa di surga, maka berarti itu kemenangan bagi Lusifer, sehingga apa yang diidam-idamkannya yaitu takhta Bapa dapat dicapainya. Dalam hal ini kita dapat menyaksikan dua putera Allah yang sedang berjuang untuk merebut kemenangan. Lusifer adalah putera Allah yang memberontak dan Tuhan Yesus Kristus Putra Tunggal yang berdiri di pihak Bapa untuk melakukan kehendak-Nya.
Kehidupan Tuhan Yesus seperti sebuah gelanggang pertandingan untuk menemukan siapa yang akan menjadi pemenang. Tuhan Yesus adalah pertaruhan Allah Bapa. Kalau Ia kalah berarti tidak ada keselamatan atas umat ciptaan-Nya. Kalah di sini maksudnya bahwa Tuhan Yesus gagal hidup dalam ketaatan yang sempurna kepada Bapa di surga (Ibr. 2:9). Kalau Tuhan Yesus tidak taat kepada Bapa atau berarti kalah atau gagal, maka cita-cita Lusifer untuk berkuasa menyamai Allah bisa tercapai.
Inilah yang memang diingini dan terus diupayakan oleh oknum jahat tersebut. Dalam hal ini betapa berat beban yang dipikul oleh Tuhan Yesus. Ia harus menang untuk menjadi Tuhan “bagi kemuliaan Allah Bapa” (Flp. 2:11), tetapi kalau Tuhan Yesus kalah, maka Iblis menjadi “tuhan” untuk kemuliaan dirinya sendiri. Untuk ini Tuhan Yesus harus menang untuk merebut “Bintang Timur” (Why. 22:16).
MENGAPA TUHAN YESUS BANGKIT?
Mengapa Tuhan Yesus bangkit? Apakah karena kuasa Allah yang luar biasa yang membangkitkan-Nya? Kalau karena kuasa Allah yang membangkitkan tanpa mempertimbangkan kelakuan dalam kehidupan Tuhan Yesus, maka berarti Allah tidak adil dan nepotisme. Sejatinya Tuhan Yesus bangkit karena Tuhan Yesus “saleh”. Dalam Ibrani 5:7 tersurat: Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan. Perhatikan kalimat “karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan”.
Kalau Tuhan Yesus tidak saleh Ia akan tetap ada dalam kubur. Iadi kebangkitan Tuhan Yesus adalah prestasi-Nya sendiri yang menyediakan diri untuk hidup dalam kesalehan. Kebangkitan-Nya bukti bahwa ia “lulus”, taat kepada Bapa, taat sampai mati bahkan mati di kayu salib. Itu adalah prestasinya sendiri, maksudnya adalah bahwa Bapa tidak memberikan kemudahan-kemudahan agar Ia dapat menang atau bisa hidup saleh dengan mudah. Alkitab menegaskan bahwa dalam segala hal Ia disamakan dengan saudarasaudara-Nya, maksudnya adalah disamakan dengan manusia (Ibr. 2:17). Ia yang walaupun Anak (Anak Tunggal Allah), Ia belajar taat dari apa yang dideritanya (Ibr. 5:8). Dalam hal ini kita bisa mengerti mengapa Ia sampai menaikkan doa dengan ratap tangis dan keluhan.
Kata saleh dalam teks aslinya adalah prosenegkas (npoaevéyxaq), dari akar kata prosphero (npompépw), yang lebih bisa berarti menyerahkan diri atau mengarahkan diri (to bear towards; bring ( to, unto), deal with, do, offer ( unto, up), present unto, put to). Tentu maksud mengarahkan diri atau menyerahkan diri di sini adalah mengarahkan diri atau menyerahkan diri kepada kehendak Allah Bapa. Hal ini sebenarnya menunjuk pada pengakuan Tuhan Yesus di taman Getsemani bahwa Ia menyerah kepada kehendak Bapa, bukan kehendak-Nya sendiri.
Bicara mengenai kuasa kebangkitan Tuhan (Flp. 3:9-10), hendaknya kita tidak menghubungkannya dengan kuasa spektakuler Allah yang bersifat mistik atau adikodrati. Kebangkitan Tuhan Yesus bukan karena Allah yang spektakuler adikodrati yang mampu membangkitkan tubuh dari kematian, tetapi karena ketaatan-Nya kepada Bapa (Ibr. 5:7). Iadi, kuasa kebangkitan Tuhan Yesus terletak kepada ketaatan-Nya kepada Bapa. Ketaatan ini bukan sekadar ketaatan melakukan hukum, tetapi ketaatan kepada apa yang diingini oleh Bapa. Ada semacam “rule” yang harus ditegakkan. Kalau Tuhan Yesus tidak taat kepada Bapa, maka Bapa tidak akan membangkitkan-Nya. Kalau Bapa membangkitkan Tuhan Yesus karena Ia adalah Anak Allah bukan karena ketaatan-Nya, berarti Allah bersikap nepotisme dan curang.
Allah adalah Allah yang berintegritas sempurna. Allah konsekuen dengan hukum keadilan yang ada pada diri-Nya yang juga merupakan hakikat-Nya. Ingatkah saudara dengan pengusiran Adam dan Hawa dari Eden (Kej 3:23)? Ini adalah bentuk atau bukti keagungan integritas Allah yang sangat sempurna. Ia harus “tega” mengusir Adam dan Hawa, anak-anak yang sangat dikasihi-Nya, demi keadilan yang harus digelar. Allah tidak akan “menjilat ludahNya sendiri”. Ia tegas berkata bahwa pada hari manusia makan buah itu pasti akan mati, maka Allah konsekuen dengan ketetapan-Nya tersebut. Karena kesalahannya manusia “harus mati”. Hal ini juga diberlakukan Allah dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia, bahkan pada diri Tuhan Yesus sendiri Anak Tunggal-Nya. Ketika Tuhan Yesus harus menebus dosa manusia, menggantikan tempat kita karena kesalahan kita, maka Bapa benar-benar meninggalkan Anak-Nya Sehingga Ia harus berseru, ”Eloi, Eloi lama sabakhtani” (Mrk. 15:34). Sebenarnya kitalah yang seharusnya ditinggalkan oleh Bapa, karena kejahatan dan pemberontakan kita, tetapi Anak Allah mengambil dan menggantikan tempat kita.
Demikian pula dengan hal kebangkitan Tuhan Yesus. Pasti dengan tegasnya Allah menetapkan kalau seandainya Tuhan Yesus tidak taat sampai mati, maka Ia tidak akan pernah dibangkitkan. Apakah Bapa bisa tega? Tentu. Sebagaimana Bapa tidak menyayangkan Lusifer, pangeran-Nya dengan membuangnya ke bumi dan nantinya akan terbuang ke dalam kegelapan abadi, demikian pula Bapa pasti bertindak tegas pula kepada Anak Tunggal-Nya kalau Ia tidak taat. Haleluyah, Anak Domba Allah telah menang. Kemenangan-Nya adalah kemenangan bagi Bapa dan semua manusia.
Kebangkitan Tuhan Yesus adalah bukti bahwa akan adanya kebangkitan bagi semua manusia untuk menjadi “orang hidup”. Kalau Tuhan Yesus gagal mengemban tugas keMesiasan-Nya, sehingga tidak ada kebangkitan, maka tidak akan ada “orang yang hidup”. Tidak terbayangkan apa jadinya jagad raya ini kalau tidak ada orang yanghidup, sebab Allah adalah Allah orang hidup bukan Allah orang mati ”(Mat. 22:32; Mrk. 12:27; Luk. 20:38). Dalam hal ini kita mengerti mengapa Tuhan Yesus mengatakan bahwa Dia datang untuk memberi hidup dan Ia menyatakan bahwa Iblis adalah pembunuh. Dengan kebangkitan-Nya, Ia memberi pengharapan kepada semua orang yang percaya.
Untuk memiliki kebangkitan seperti kebangkitan Tuhan Yesus dengan kualitas kebangkitan-Nya (dan mungkin juga dengan kualitas tubuh kemuliaan seperti Tuhan Yesus), seseorang harus memiliki ketaatan seperti ketaatan-Nya. Itulah sebabnya dikatakan bahwa kita harus menang seperti Dia menang (Why. 2:7,ll,17,26; 3:S,12,21). Kebangkitan Tuhan Yesus bisa terjadi bukan karena kedahsyatan kuasa Allah dan kuasa Tuhan Yesus sendiri (soal kedahsyatan kuasa Allah tidak perlu diragukan), tetapi sesungguhnya kebangkitan Tuhan Yesus adalah karena ketaatan-Nya. Ketaatan sampai mati, sebuah ketaatan mutlak dan tak bersyarat kepada Bapa (artinya apa pun yang terjadi, Ia tetap taat, yang merupakan kunci kemenangan atau syarat kemenangan-Nya). '
Inilah yang dimaksud dengan perlombaan yang diwajibkan bagi kita. Perlombaan itu adalah mengambil bagian dalam kekudusanNya atau mengenakan kodrat ilahi. Inilah yang dimaksud Paulus dengan memikirkan dan mencari perkara-perkara yang di atas (Kol… 3:1-4). Inilah inti Kekristenan, yaitu mengikut Tuhan Yesus Kristus… Mengikut Tuhan Yesus Kristus berarti mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya, persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana seseorang menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya. Persekutuan dalam penderitaan berarti berjuang untuk kepentingan Injil, yaitu penyelamatan jiwa-jiwa. Tentu bagi jiwa kita sendiri, kemudian jiwa orang lain. Keselamatan ini berarti usaha Tuhan mengembalikan manusia kepada rancangan semula atau tujuan awal. Hal ini sama dengan mengenakan kodrat Ilahi atau mengambil bagian dalam kekudusan Allah.
Untuk meraih kualitas hidup seperti yang dijelaskan di atas dibutuhkan perjuangan yang sangat berat. Tentu saja tidak ada barang mulia dengan harga murah. Dituntut keberanian untuk melakukan barter. Paulus menyatakan bahwa ia melepaskan semuanya supaya memperoleh Kristus (Flp. 3:8). Berada dalam Tuhan artinya dalam persekutuan dengan Allah sebagai sekutu-Nya, bukan karena kebenaran sendiri yaitu melakukan hukum, tetapi karena penyerahan diri kepada kehendak-Nya yaitu iman kepada Kristus (Flp. 3:9). Iman adalah penyerahan diri sepenuh kepada pihak yang dipercayai. Hendaknya Filipi 3:9 tidak dipahami seakan-akan seseorang boleh mengabaikan hukum, justru sebaliknya, orang percaya bukan hanya hidup dalam kebenaran moral hukum, tetapi hidup dalam kebenaran moral Allah, yaitu mengambil bagian dalam kekudusan Allah; memiliki pola berpikir-Nya. Dengan kualitas hidup seperti ini semua tindakannya selalu sesuai dengan keinginan Tuhan.