DUNIA YANG TIDAK IDEAL
Alkitab menunjukkan kepada kita mekanaisme
manusia menemukan teman hidup dalam Kejadian 2:21-25. Lalu TUHAN Allah membuat
manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu
rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang
diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu
dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang
dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia
diambil dari laki-laki.” Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya
dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.
Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak
merasa malu.
Kita harus sangat berhati-hati melandaskan
suatu pengertian dari perikop yang terdapat dalam Alkitab. Untuk itu kita harus
menghubungkan suatu perikop dengan latar belakang penulisan Alkitab dan konteks
zaman. Harus diingat bahwa Alkitab ditulis 1500 tahun sebelum Masehi, jadi 3500
tahun sebelum zaman kita. Keadaan zaman pada waktu itu sangat berbeda dengan
zaman kita hari ini.
Dalam perikop di atas dikisahkan mengenai
manusia pertama yang memang belum memiliki pilihan siapa yang dapat menjadi
jodohnya. Tetapi ada satu hal yang luar biasa yang dapat kita petik dari kisah
tersebut, bahwa Tuhan merangkai bukan saja tubuh, tetapi jiwa (keadaan
batiniah) seseorang untuk menjadi pribadi khusus bagi sesamanya; dalam hal ini
Hawa diciptakan Tuhan dengan keberadaan khusus untuk Adam.
Dengan hal ini bisa besar kemungkinan -bahkan bisa dikatakan sebagai
kepastian- bahwa Tuhan menetapkan seseorang bagi orang lain sebagai jodohnya.
Oleh karena hal tersebut Tuhan Yesus
mengatakan: “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula
menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman- Nya: Sebab itu laki-laki
akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga
keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan
satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan
manusia.” (Mat. 19:4-6). Ini adalah ketetapan Allah yanbg tidak boleh diubah.
Sangat besar kemungkinan -bahkan bisa
dipastikan- bahwa seandainya manusia tidak jatuh dalam dosa, maka Allah yang
memilihkan jodoh untuk masing-masing individu melalui orang tuanya. Dalam hal
ini Adam sebagai wakil Allah, dengan hikmat dan kebijaksanaan Ilahi dapat
mengerti siapakah jodoh untuk anak-anaknya. Selanjutnya anak-anaknya memilih
jodoh untuk anak-anak mereka sendiri dan seterusnya.
Ketika dunia belum rusak seperti separah
hari ini, walaupun manusia sudah jatuh dalam dosa, banyak orang tua memilihkan
jodoh untuk anak-anak mereka, dan anak-anak mereka dapat berbahagia. Kalau ada
kisah mengenai penolakkan anak terhadap jodoh yang dipilihkan orang tua,
prosentasenya sangat rendah. Faktanya memang orang tua yang terlebih dulu hidup
dengan pengalaman hidup yang lebih banyak, lebih cerdas, berhikmat dan
bijaksana dapat memilihkan jodoh yang baik untuk anak-anaknya.
Masalahnya kemudian adalah manusia telah
jatuh dalam dosa dan manusia semakin rusak. Selain banyak orang tua yang tidak
cerdas, tidak berhikmat dan tidak bijaksana memilihkan salah jodoh untuk
anak-anaknya, di lain pihak oleh karena perkembangan zaman, anak-anak merasa
berhak memilih jodoh bagi dirinya sendiri. Padahal banyak anak-anak yang sama
sekali belum bisa membedakan manusia yang baik dan buruk. Apalagi kalau sudah
terbakar nafsu dengan filosofi hidup yang salah, maka pastilah salah memilih
jodoh, artinya menikah dengan orang yang tidak dewasa.
Dengan kondisi manusia yang telah jatuh
dalam dosa, keadaan manusia sebagai orang tua tidak memiliki kecerdasan Ilahi,
maka sulit sekali -bahkan mustahil- menemukan jodoh yang sesuai dengan kehendak
Allah. Lagi pula kondisi dunia sudah berubah, banyak anak-anak merasa memiliki
hak penuh memilih pasangan hidupnya sendiri.
Sejak manusia jatuh dalam dosa dan
mengalami kerusakan moral, maka sesungguhnya segala hal menjadi tidak ideal.
Karena tidak ada manusia yang baik menurut ukuran Tuhan (karena semua manusia
tekah kehilangan kemuliaan Allah), maka manusia tidak pernah menemukan jodoh
yang ideal pula (sebab memang tidak ada manusia yang ideal).
Jadi, secocok-cocoknya jodoh yang
diperoleh atau sebaik-baiknya jodoh yang ditemukan, tetap tidak ideal. Faktor
lain yang harus dipahami adalah bahwa dunia bukanlah tempat yang ideal untuk
dihuni. Seandainya manusia memperoleh jodoh paling ideal, tetapi tinggal di
bumi yang sudah tidak ideal, juga tidak bisa membangun kehidupan rumah tangga
yang ideal.
Pertanyaan penting yang harus dipersoalkan
adalah: Apakah jodoh yang di samping kita hari ini pilihan Tuhan atau pilihan
manusia? Manusia di sini bisa orang lain (orang tua, pendeta, mentor, teman dan
lain sebagainya) atau kita diri kita sendiri waktu berkenalan di suatu tempat
dan di suatu keadaan. Sejujurnya, jodoh yang banyak dipilih ternyata bukan
pilihan Tuhan, tetapi pilihan manusia itu sendiri.
Pilihan Tuhan bukan berarti seseorang yang dapat membahagiakan kita, tetapi membahagiakan Tuhan. Jodoh bukan untuk kebahagiaan kita, tetapi teman seperjuangan untuk pekerjaan Tuhan. Hal ini bisa terjadi kalau seseorang sudah menemukan Tuhan dengan benar dan bertumbuh dalam kedewasaan rohani serta hidup hanya untuk pelayanana pekerjaan Tuhan. Orang seperti ini akan memilih jodoh bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Tuhan. Bila tidak menemukan jodoh yang dapat diajak sepenanggungan memikul salib, maka ia akan memilih untuk tidak menikah.
Bagaimana kalau kita sudah terlanjur
memiliki jodoh?
Kita tidak lagi mempersoalkan salah atau
tidak. Mengapa?
Pertama, sebab dunia sudah tidak
ideal. Sejatinya, kita tidak pernah dapat menemukan jodoh yang
dapat membahagiakan kita. Justru ketika menemukan jodoh yang dapat
membahagiakan kita dan mengurangi keterikatan dengan Tuhan, hal itu
membahayakan kehidupan rohani kita.
Kedua, yang terpenting jodoh kita adalah
orang yang dapat bersama kita sepenanggungan dalam melayani pekerjaan Tuhan.
Ketiga, jodoh yang kita pilih atau kita
terima dari orang tua sudah menjadi pilihan kita. Kita harus bertanggung jawab
atas pilihan tersebut.
Orang Kristen yang dewasa tidak lagi
mempersoalkan salah atau tidak. Mempersoalkan jodoh kita salah atau tidak yang
bisa membuahkan penyesalan adalah sikap egois. Hal ini bisa menjadi kejahatan
sebab dapat memicu beberapa hal antara lain:
Pertama, tidak pernah merasa bahagia.
Penyesalan itu akan membangun dukacita permanen. Dukaciata seperti ini tidak
membangun kebahagiaan rumah tangga. Dalam hal ini anak-anak adalah korbannya.
Kedua, memicu tindakan melukai pasangan,
dari perkataan sampai tindakan fisik. Merasa salah pilih jodoh dapat membangun
perasaan dendam. Sama seperti seorang salah memilih barang, ia bisa membanting
barang itu. Perasaan salah pilih bisa dilampiaskan dengan melukai pasangannya.
Ketiga, memicu ketidaksetiaan, mencoba
melirik pasangan lain. Hal ini bisa mengakibatkan perselingkuhan. Merasa salah
pilih, ditambah lagi dengan suasana disharmonis keluarga, memicu seseorang
mencoba mencari pasangan lain dan menikmati kehidupan kebersamaan dengan orang
lain, juga dalam kehidupan seksnya.
Keempat, tidak menemukan penggarapan Tuhan
melalui keadaan tersebut. Harus diingat bahwa besi menajamkan besi. Orang yang
merasa salah pilih jodoh dan tidak bahagia dengan keadaan itu, tidak belajar
menerima keadaan dan menerima orang lain sebagaimana adanya. Betapa jahatnya
orang yang dulu sebelum menikah atau masih pacaran mengatakan bahwa dirinya
cocok dengan pasangan itu, tetapi setelah menikah mengatakan ia tidak bahagia
dan tidak cocok lagi.
Kelima, tidak memberi warisan yang baik kepada anak- anak. Suasana keluarga yang disharmonis disebabkan merasa salah pilih jodoh- tidak dapat menciptakan firdaus dalam keluarga.
Hal ini akan menjadi penyebab seseorang
anak mengalami luka batin. Selain itu, ia tidak dapat memiliki gambaran rumah
tangga yang bahagia.
Hidup di dunia hanya sementara. Kesempatan
satu- satunya untuk mempersiapkan diri memasuki kehidupan yang sesungguhnya
nanti. Mengucap syukur dalam segala hal, sebab Allah bisa mengubah keadaan yang
tidak baik menjadi sarana mendewasakan kita. Harus diingat bahwa hidup di dunia
adalah sekolah kehidupan. Kita harus bertanggung jawab atas pilihan dan keadaan
yang sudah terjadi.
Seandainya manusia memperoleh jodoh paling
ideal, tetapi tinggal di bumi yang sudah tidak ideal, juga tidak bisa membangun
kehidupan rumah tangga yang ideal.
Mempersoalkan jodoh kita salah atau tidak
yang bisa membuahkan penyesalan adalah sikap egois.