Nasihat Bagi Pasangan Pranikah

 

Sebelum hidup berumah tangga, seharusnya pasangan yang mau menikah dilengkapi dengan pemahaman mengenai hidup bersama secara memadai. Ini adalah modal yang lebih penting dari segala modal yang bisa dimiliki sebuah pasangan. Kalau hanya cinta yang bergelora antara dua sejoli tersebut, belumlah cukup. Bahkan sekalipun berlimpah harta kekayaan yang dapat dibekali bagi keduanya, juga tidak cukup. Tulisan ini kiranya menjadi hikmah yang sangat berarti bagi pasangan yang hendak memasuki mahligai perkawinan.

UNTAIAN NASIHAT BAGI PASANGAN

YANG MAU MENIKAH

Sebelum hidup berumah tangga, seharusnya pasangan yang mau menikah dilengkapi dengan pemahaman mengenai hidup bersama secara memadai. Ini adalah modal yang lebih penting dari segala modal yang bisa dimiliki sebuah pasangan. Kalau hanya cinta yang bergelora antara dua sejoli tersebut, belumlah cukup. Bahkan sekalipun berlimpah harta kekayaan yang dapat dibekali bagi keduanya, juga tidak cukup. Tulisan ini kiranya menjadi hikmah yang sangat berarti bagi pasangan yang hendak memasuki mahligai perkawinan.

Untuk menggambarkan sebuah pasangan yang bahagia dan ideal, sering orang menyebutkan dengan sebutan pasangan yang harmonis. Tidak jarang orang berasumsi bahwa kebahagiaan pasangan ditentukan keharmonisan hubungan antar pasangan tersebut. Namun masalah yang harus dipersoalkan adalah apa sebenarnya yang dimaksud dengan keharmonisan itu?

Keharmonisan berasal dari  kata  dasar  “harmoni”.  Kata harmoni sejajar artinya dengan selaras, serasi atau sesuai. Keharmonisan berarti keselarasan, keserasian dan kesesuaian. Keharmonian hendak menunjuk keselarasan, keserasian atau kesesuaian sebuah kumpulan dari bermacam-macam warna, bentuk atau suara. Keharmonisan untuk warna, misalnya sebuah lukisan yang terlukis dari bermacam-macam warna yang dipadu di atas kanvas, sehingga menciptakan sebuah keindahan lukisan tersebut. Kalau di atas kanvas tersebut hanya satu warna, maka tidak ada keindahan. Berbagai warna dalam lukisan tersebutlah yang menciptakan suatu lukisan yang enak dipandang dan disebut sebagai harmonis.

Dalam satu ruangan tamu, kalau hanya terdapat kursi maka ruangan tersebut tidak indah. Tetapi kalau diisi meja tamu di tengahnya, meja sudut, lemari pajangan dengan bentuk-bentuk atau model-model khusus dan warna-warna khusus pula, maka ruangan tersebut nampak indah. Inilah yang disebut harmonis. Jadi harmoni tidak berarti sama.

Harmonis, kata ini juga sering digunakan dalam dunia musik. Harmonis menunjuk kepada bunyi atau suara beberapa nada (berbicara mengenai fluktuasi nada atau naik turunnya

nada) dan beberapa suara (berbagai jenis alat musik misalnya piano, gitar melodi, gitar bas, flute dan lain-lain) yang dibunyikan dalam suatu lagu sehingga terdengar indah. Jadi disebut harmoni bukan karena hanya ada satu nada dan satu suara, tetapi berbagai suara dan nada yang dimainkan bersama menciptakan sebuah musik yang indah, lebih dari kalau hanya ada satu dan dua nada dan satu jenis suara alat musik saja.

Pasangan disebut harmonis apabila mereka memiliki keadaan yang berbeda tetapi saling melengkapi. Perbedaan itu menyangkut watak atau kepribadian, hobi, selera serta segala kelemahan dan kelebihannya. Pasangan yang mau menjadi pasangan yang harmonis harus dapat saling menerima dan melengkapi guna menciptakan kebahagiaan demi mencapai tujuan hidup. Dalam hal ini perbedaan harus dipahami sebagai kekayaan.

Untuk mencapai  suatu  keharmonisan  yang  ideal,  yang paling penting adalah filosofi  hidup  masing-masing  harus sama. Watak atau kepribadian bisa berbeda, tetapi kalau filosofi hidupnya sama, tidak menjadi masalah. Filosofi ini bisa menyangkut berbagai aspek; cara memandang hidup, memahami nilai kekayaan atau harta, sikap terhadap orang tua dan mertua, tujuan hidup dan lain sebagainya. Jika perbedaan di antara pasangan tersebut hanya menyangkut selera makan, model  baju, jenis film kesukaan atau hal-hal yang masih termasuk “minor issue” (isu yang tidak utama atau tidak penting), maka tidak akan membuat masalah besar (walau kadang menjadi masalah besar bagi pasangan yang tidak dewasa). Tetapi kalau sudah menyangkut masalah-masalah besar (major issue) –yaitu mengenai filosofi hidup- maka akan sangat berpengaruh atas relasi keduanya.

Jika masing-masing memiliki filosofi hidup yang sama, maka apa pun dan bagaimanapun perbedaan yang ada pada mereka (minor issue), tidak akan menghancurkan keutuhannya. Tetapi sebaliknya, sekompak apa pun sebuah pasangan pada waktu memulai sebuah perkawinan, tetapi kalau masing- masing memiliki filosofi hidup yang berbeda tajam, maka  hanya menunggu waktu keruntuhannya. Kalaupun keluarga tersebut tidak runtuh, maka ada pihak yang pasti dikorbankan. Ada pihak yang didominasi oleh pasangannya, bahkan sering terjadi eksploitasi dan pelanggaran serta perampasan hak-hak pasangannya.

Memang pada waktu berpacaran atau masih menikmati bulan madu di tahun-tahun awal, masing-masing memiliki kecenderungan untuk bisa mengerti dan menerima filosofi hidup mereka yang berbeda. Tetapi setelah melewati masa-masa bulan madu, maka perbedaan filsofi hidup tersebut akan makin terasa. Di sinilah mulai terjadi friksi-friksi atau benturan-benturan pendapat. Friksi-friksi tersebut membuat hidup terasa tidak nyaman. Kalau tidak segera diatasi dengan serius akan memuncak menjadi konflik-konflik. Semakin tajam konflik tersebut akan makin mengantar perkawinan kepada keruntuhan.

Bagi pasangan yang telah menikah, untuk menyamakan filosofi hidup ini, keduanya harus saling belajar. Belajar memahami filosofi hidup pasangannya. Masing-masing merelakan melepaskan filosofi hidup yang tidak baik dan mengenakan

filosofi hidup yang baik. Kalaupun belum bisa menyesuaikan cara pandang hidup atau filosofi pasangannya, dibutuhkan kebesaran jiwa dan kedewasaan untuk mengertinya. Hati harus rela “legowo” menerima keberadaan pasangannya. Di sini dibutuhkan kedewasaan dan cinta yang harus terus dikobarkan. Filosofi bisa memisahkan, tetapi cinta memeluk. Artinya sekalipun filosofi hidup berbeda, tetapi kalau ditopang oleh cinta, maka kelestarian pasangan tersebut bisa dipertahankan. Sementara masing- masing bertumbuh dewasa dan menyatukan filosofi, cinta harus tetap menopang. Langkah yang paling efektif untuk menyamakan filosofi hidup adalah tekun dalam agama yang sama.

Dalam konseling pranikah, sering didapati alasan pasangan muda yang mau menikah pada umumnya karena merasa cocok. Biasanya pengertian cocok bagi pasangan muda adalah kesamaan dalam banyak hal yang hanya menyangkut masalah yang tidak prinsip (minor issue). Sejatinya, mereka belum benar-benar saling mengenal filosofi hidup di antara keduanya, khususnya mereka yang tidak mengalami masa berpacaran yang memadai. Dalam hal ini betapa pentingnya mengenal dengan baik calon pasangan hidupnya. Berpacaran bukan sekadar menikmati kebersamaan, tetapi saling mengenal filosofi hidup masing-masing. Sayang sekali, banyak anak-anak muda hari ini yang berpacaran hanya untuk menikmati kebersamaan. Lebih rusak lagi kalau berpacaran hanya untuk memuaskan hasrat erotismenya.

Pada waktu berpacaran harus “buka mata lebar-lebar”, tetapi kalau sudah menikah harus “tutup mata rapat-rapat”. Kenali dengan baik calon teman hidupmu, jika sudah yakin bisa hidup bersama, silakan menikah. Tetapi kalau sudah menikah, jangan lagi mempersoalkan keberadaan pasangannya alias harus menutup mata rapat-rapat. Maka bagi para calon pasangan, masalah major issue (filosofi hidup) harus menjadi hal utama yang diperhatikan.

Dalam beberapa wawancara di berbagai media terhadap para selebritis yang mau menikah, alasan mereka menikah adalah karena merasa memiliki banyak kesamaan. Namun beberapa tahun kemudian mereka “ngotot” mau cerai. Kata cocok sering diinterpreasikan (ditafsirkan) sebagai serasi, selaras atau sesuai; kata lain dari harmonis. Perhatikan fenomena “merasa cocok”. Merasa cocok belum tentu cocok benar. Merasa serasi, selaras, sesuai atau harmonis untuk hal-hal yang bersifat minor issue, padahal belum tentu benar-benar serasi, selaras dan sesuai atau harmoni, sebab filosofi hidup mereka berbeda.

Kalau sudah menikah, ternyata terdapat banyak perbedaan, maka perbedaan harus diterima sebagai kekayaan dalam rumah tangga untuk melengkapi satu dengan  lain  sebagai “team work” yang kuat menantang kehidupan dan  tugas kehidupan itu sendiri. Perbedaan harus disyukuri demi kelengkapan dan kekokohan pasangan tersebut.

Dalam perjalanan hidup bersama pasangan suami istri, ternyata mereka menemukan ketidaksamaan dalam banyak hal; dalam selera makan, mendidik anak-anak (berhubung berasal dari latar belakang keluarga yang berbeda) dan lain sebagainya. Maka mulailah terjadi konflik. Kemudian mereka merasa bukan pasangan yang harmonis. Konflik-konflik yang berkepanjangan membuahkan kepahitan hati yang menjadi pemicu perceraian. Pasangan yang memahami kecocokan sama dengan kesamaan, akan mengalami kesulitan dalam kehidupan.

Pasangan-pasangan seperti tersebut di atas harus mengerti bahwa yang disebut harmonis tidak selalu berarti  sama dalam selera, hasrat, kemampuan dan berbagai aspek lain. Justru indahnya pasangan kalau keduanya memiliki perbedaan- perbedaan yang karenanya dapat saling melengkapi untuk mencapai tujuan hidup. Di sini yang penting adalah tujuan hidup. Tujuan hidup dibangun dari filosofinya.

Kesamaan tujuan hidup yang dibangun dari filosofi yang sama adalah pilar utama bangunan  rumah  tangga  atau tali pengikat rumah tangga. Jadi kalau hanya merasa cocok dengan seseorang, hendaknya seseorang tidak ceroboh menikah. Keberanian menerima perbedaan demi kelengkapan untuk mencapai tujuan hidup yang Sang Pencipta kehendaki adalah modal awal berkeluarga, tentu selain cinta.

Berbagai perbedaan dapat ditolerir, tetapi perbedaan way of life (pandangan hidup) yang dibangun dari filosofinya mengenai tujuan kehidupan tidak dapat ditolerir. Dalam hal ini perkawinan beda agama tidak mudah dapat membangun keluarga sesuai dengan format keluarga yang ideal. Perbedaan-perbedaan yang bersifat prinsip harus diperhitungkan dengan sangat serius bagi yang mau menikah. Jangan membangun rumah tangga  yang akan menjadi kubangan neraka di bumi. Lebih baik tidak menikah daripada menikah dengan pasangan yang memiliki filosofi hidup yang berbeda terlalu jauh. Tetapi biasanya kalau sedang mabuk cinta, orang menjadi buta (love is blind).

Untuk mengokohkan pasangan hidup yang sudah menikah, apa pun keadaannya, dibutuhkan kedewasaan untuk menerima pasangan hidup sebagaimana adanya. Pertama, harus disadari bahwa pasangan hidupnya bukan malaikat, atau manusia yang sudah sempurna. Ini berarti teman hidup atau pasangan pasti ada kekurangan dan kelemahannya; bahkan kekurangan- kekurangan yang paling mengganggu jiwa. Tetapi itulah resiko dan konsekuensi atau “harga yang harus dibayar”, yaitu bersedia menikah dengan pasangan yang memiliki keberadaan seperti itu. Bila menyadari hal ini (harga yang harus dibayar), maka tidak akan menuntut pasangan menjadi seperti yang diingini. Ingat! Jangan mengenakan ukuran sepatu sendiri ke kaki orang lain.

Kedua, harus menyadari bahwa masing-masing tidak akan dapat mengubah orang lain seperti yang diingini, kecuali melakukan pemaksaan (pemerkosaan hak), sehingga seseorang menjadi sosok seperti yang diingini dengan terpaksa. Kalau terjadi perubahan atas pasangan yang didominasi, maka perubahan seperti ini adalah perubahan terpaksa yang melahirkan benih dendam, kebencian dan merasa diperlakukan tidak adil. Biasanya ini terjadi pada pasangan yang salah satunya berkepribadian otoriter. Kondisi ini menciptakan “bom waktu” yang setiap saat akan meledak.

Ketiga, harus menyadari bahwa masing-masing masih dalam proses pendewasaan. Harus diingat bahwa siapa pun dapat secara otomatis menjadi tua, tetapi menjadi dewasa  adalah pilihan dan perjuangan. Semakin masing-masing pasangan dewasa, maka pasangan itu akan lebih bisa saling membahagiakan. Sampai satu level kedewasaan tertentu seseorang menyadari bahwa menikah itu bukan untuk mencari kebahagiaan, tetapi memberi kebahagiaan. Sementara saling bertumbuh dan menunggu masing-masing menjadi dewasa, maka masing-masing pasangan harus berusaha membahagiakan pasangannya tanpa pamrih. Berhasil membahagiakan pasangan berarti berhasil membahagiakan diri sendiri. Bila mengatakan kepada pasangan “I love you”, jangan hanya karena melihat wajah atau alasan-alasan lahiriah lainnya, tetapi terimalah seluruh keberadaannya; termasuk kekurangan, kelemahan dan cacatnya.

Pasangan disebut harmonis apabila mereka memiliki keadaan yang berbeda tetapi saling melengkapi; dalam hal ini perbedaan harus dipahami sebagai kekayaan.

Berhasil membahagiakan pasangan berarti berhasil membahagiakan diri sendiri.

Jaminsen

Welcome, TO BE LIKE JESUS

Post a Comment

Previous Post Next Post