Ketika Tuhan menebus manusia di atas kayu salib, Ia melepaskan nyawa-Nya
sebagai alat atau sarana pembayaran atas dosa dan kesalahan kita. Meneguhkan
hal ini, di dalam bahasa Aram, kata “utang” adalah howb (חוֹב֙) yang berarti debtors. Kata “utang” berasal dari
kata mashshaah (Ibr. מַשָּׁאָה). Kata “dosa” dalam bahasa Aram itu juga berarti “utang”
atau “barang gadaian.” Sebagai ilustrasi, jika sebuah barang diambil, maka
seseorang harus membayar sejumlah uang untuk menebus barang tersebut. Perlu
diketahui bahwa barang gadaian pada zaman itu bukan hanya benda, namun juga
manusia yakni budak. Untuk menebus seorang budak, kita harus membayar sejumlah
uang. Itulah sebabnya, dalam 1 Korintus 6:19-20 firman Tuhan mengatakan “kamu
telah dibeli dengan harga lunas dibayar,” yang sama dengan 1 Petrus
1:18-19, “kamu ditebus bukan dengan barang yang fana melainkan dengan darah
yang mahal.” Yesus harus menumpahkan darah-Nya, sampai ketika
lambung-Nya ditikam, mengalirlah darah dan air. Kalau Tuhan Yesus tidak membeli
kita dengan pengorbanan-Nya, kita tidak pernah menjadi milik Allah.
Kebenaran seperti ini melandasi kita untuk melakukan tindakan-tindakan yang
sesuai atau sepadan dengan Injil, artinya sesuai dengan kehidupan kita sebagai
orang yang ditebus. Menjadi milik Allah berarti bersedia menggerakkan pikiran,
perasaan, dan kehendak Allah dalam penurutan penuh. Ketika seseorang lebih
memilih untuk melakukan kehendaknya, maka ia menjadi tidak tepat atau meleset.
Kemelesetan inilah yang akhirnya didefinisikan sebagai dosa; yakni dimana
pikiran dan perasaan seseorang tidak seturut dengan Allah. Keberadaan manusia
yang meleset ini ditebus oleh Tuhan Yesus dengan darah-Nya untuk dapat diperbaiki.
Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, seperti Iblis dan para
malaikat yang jatuh.
Mereka yang masih bisa ditebus adalah mereka yang masih bisa diperbaiki. Manusia yang ditebus harus mengalami perbaikan atau bisa diubah.
Perubahan yang dikehendaki Allah adalah perubahan sesuai standar-Nya. Jadi,
setiap orang Kristen hendaknya memiliki perasaan krisis dengan keadaannya,
apakah ia telah menjadi tebusan seperti yang diharapkan Tuhan? Dengan penebusan
itu, kita harus hidup sesuai dengan kehendak Allah, bukan sesuai selera dan
gaya hidup kita. Sama seperti budak yang dibeli, dia ada di dalam pemilikan
atau ownership dari seorang majikan. Kita tidak berhak atas
diri kita lagi, melainkan di bawah kepemilikan majikan atau tuan yang telah
membeli kita. Inilah konsekuensi dari manusia yang ditebus. Hubungannya
dengan pengampunan adalah bahwa kalau kita ditebus oleh Tuhan Yesus, kita tidak
boleh menyimpan kesalahan orang lain dalam hati kita sebagai dendam.
Orang percaya harus bisa mengampuni dan tidak boleh memiliki dendam kebencian
sekecil apa pun. Tuhan mengatakan bahwa membenci sama dengan membunuh (1Yoh.
3:15). Untuk dapat mengenali dendam yang tersimpan dalam hati kita,
dibutuhkan kejujuran. Pikiran kita yang cerdik sering kali membangun
berbagai macam pembenaran diri yang pada intinya hendak melestarikan perasaan
dendam terhadap seseorang. Kita tidak rela mengampuni orang yang begitu
menyakiti, merusak, merugikan, melecehkan, atau menghina kita. Kita bersikap
permisif terhadap perasaan tersebut, bahkan kita cenderung masochistis atau menikmati
kebencian tersebut dengan mengasihani diri sendiri dengan salah,
sementara dengan mengasihi orang lain kasih dari Allah akan senantiasa mengalir
di dalam diri kita tanpa batas.
Sesungguhnya, setiap kesalahan orang lain dapat kita perhitungkan sebagai
utang yang harus mereka bayar. Kita sering kali tergoda memaksa mereka untuk membayar
utang tersebut dengan berbagai cara. Misalnya, dengan mempermalukan mereka atau
mendoakan agar orang tersebut memperoleh celaka sehingga terbukti siapa yang
benar. Paling tidak, terkadang kita ingin menceritakan kesalahan atau
mengungkap kejahatan mereka kepada orang lain agar nyata siapa yang bersalah.
Sebenarnya, ini adalah kepuasan jiwa yang meracuni kejernihan batin
kita. Sejak kecil, kita sudah terbiasa untuk menikmati kepuasan ini dari
lingkungan kita. Itulah sebabnya, sulit bagi seseorang untuk mengampuni orang
yang berutang kepadanya.
Namun, tidak ada pilihan lain selain mengalahkan diri sendiri. Setiap kita
harus mengalahkan diri sendiri untuk menghapuskan utang orang lain. Sebagaimana
utang kita dihapus oleh Tuhan, begitu pula kita menghapus utang orang lain.
Sebagaimana Tuhan tidak mempermalukan dan menerima kita apa adanya, begitu pula
kita menjaga nama baik orang lain dan menerima segala kekurangannya. Ini adalah
sebuah perjuangan berat yang sangat bertentangan dengan semangat dunia. Ketika
dunia menuntut balas bagi setiap kesalahan, anak-anak Allah diajar untuk
mengampuni orang yang bersalah kepadanya. Inilah standar setiap orang yang
hendak menjadi anak Allah. Dalam proses ini, kita didampingi oleh Roh Kudus
yang mengingatkan, menegur dengan lembut, dan memampukan kita untuk menerima
orang lain. Memang sekilas terlihat mustahil, namun jika kita sungguh bertekad
ingin sempurna, niscaya kita akan bisa melakukan hal ini.
Kita bisa mengampuni sesama manusia bahkan musuh kita sekalipun, karena kita sebagai anak
Allah telah mengalami kasih tanpa syarat dari Tuhan yang begitu besar, sehingga buah dari kasih yang kita terima dari Allah mengakibatkan kita
bisa mengampuni dengan kasih bahkan
berdoa bagi mereka yang berbuat jahat kepada kita agar mereka mengalami
pertobatan dan memperoleh keselamatan.