KETIGA, mengelola alam yang diciptakan Tuhan dengan baik. Manusia yang mengenal dirinya sebagai makhluk ciptaan yang agung yang diciptakan untuk melayani Tuhan, akan mengelola alam ciptaan Tuhan sebagai tanggung jawabnya. Adapun kalau alam kita hari ini menjadi rusak karena perbuatan manusia, hal itu disebabkan manusia tidak mengenal dirinya yang harus bertanggung jawab mengelola alam dan melestarikannya secara bertanggung jawab dan bijak. Pada umumnya, manusia tidak memahami atau tidak mau mengerti bahwa tanggung jawab untuk menyelamatkan alam ini ada dalam tanggung jawabnya. Keserakahan manusia dan egoismenya telah merusak eko sistem bumi ini dalam skala yang makin besar. Hari ini, banyak bencana alam yang disebabkan oleh kelakuan manusia itu sendiri. Jadi, pengertian mengenal siapa manusia dengan benar dapat menjadi landasan hubungan antara Allah dan umat, hubungan antar sesama, dan antara manusia dengan lingkungan alam. Tanpa landasan hubungan ini, maka kehidupan akan menjadi rusak. Landasan hubungan ini merupakan petunjuk pelaksanaan/ penyelenggaraan kehidupan bagi manusia di bumi ini. Pemahaman seseorang mengenai siapa sebenarnya manusia itu menurut Alkitab juga menjadi dasar pertimbangan etis yaitu pengertian mengenai apa yang baik dan yang buruk menurut Tuhan. Seseorang yang tidak mengenal dirinya tidak akan pernah menjadi manusia yang memiliki moral sesuai dengan moral yang Tuhan kehendaki. Hewan tidak memiliki landasan etika atau pertimbangan etis sebab hewan tidak mengenal siapa dirinya. Dalam hal ini orang percaya harus sungguh-sungguh belajar mengenal siapa dirinya menurut kebenaran Alkitab. Kejatuhan manusia ke dalam dosa bukan saja membuat manusia tidak lagi memiliki standar kebenaran dan kesucian yang Tuhan kehendaki (Rom 3:23), tetapi manusia juga telah kehilangan pengetahuan mengenai dirinya atau kehilangan pengetahuan mengenai rencana Allah, hendak menjadi manusia macam apakah yang Tuhan kehendaki. Keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus merupakan proses agar ditemukannya kembali pengetahuan mengenai manusia yang dikehendaki Allah. Itulah sebabnya orang percaya harus belajar untuk mengenal dengan benar siapa manusia menurut Alkitab. Selain itu harus berusaha untuk bertumbuh menjadi manusia seperti yang dikehendaki oleh Allah. Oleh sebab itu, selama tiga setengah tahun Tuhan Yesus mengajarkan kebenaran yang membuka mata pengertian manusia untuk memahami manusia macam apakah yang dikehendaki oleh Bapa di Sorga. Dan Tuhan Yesus sendiri sebagai teladan untuk semua orang yang bersedia gambar dirinya dipulihkan melalui proses pemuridan.
Manusia adalah Gambar Allah.
Pandangan yang benar mengenai siapa manusia tertulis dalam kitab Kejadian 1:26-27. Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Bila dipertanyakan: Dalam hal mana manusia segambar dengan Allah? Pertanyaan ini sebenarnya sukar untuk dijawab. Tetapi segambar disini pasti lebih menunjuk kepada unsur rohaniah atau batiniahnya, sebab Allah adalah Roh (Yoh 4:24). Tetapi bila dipersoalkan bentuk apakah yang sering ditampilkan Tuhan di Kerajaan Sorga atau dimanapun, maka jawaban yang paling logis adalah bentuk Anak manusia seperti kita ini. Itulah sebabnya Tuhan memilih bentuk fisik seperti ini sebagai bentuk yang paling sempurna (Kej 1:31).
Kata-kata yang digunakan untuk gambar dan rupa didalam teks asli Alkitab yaitu dalam bahasa Ibrani adalah tselem dan demuth.
Tselem hendak menunjuk gambar dalam arti unsur-unsur dasar yang dimiliki Allah juga dimiliki manusia yaitu pikiran, perasaan, kehendak, kekekalan dan hakekat kerja. Adapun Demuth adalah keserupaan yang menunjuk kepada kualitas atas unsur-unsur tersebut. Keserupaan dengan Allah yang dimiliki manusia bukan sesuatu yang statis tetapi bisa progresif.
Banyak penjelasan para theolog mengenai dua kata tersebut. Tetapi pada umumnya kata tselem dan demuth diartikan tunggal (bersinonim), bahwa manusia diciptakan segambar dengan Allah (Ing, In His own image. Latin, Imago Dei similitudo). Segambar dengan Allah diartikan sederhana sebagai “mirip seperti Tuhan sendiri”. Gambar Allah atas manusia inilah yang memberi nilai agung pada manusia (The image of God is what makes man). Gambar Allah merupakan sesuatu yang interen didalam diri manusia, sesuatu yang tidak dapat dilepaskan dari diri manusia. Itulah sebabnya walaupun manusia sudah jatuh dalam dosa, tidak dinyatakan bahwa gambar Allah itu hilang sama sekali (Kej 9:6; Yak 3:9). Pengertian ini penting, sebab dalam proses keselamatan, gambar Allah yang rusak ini akan dipulihkan kembali (restituio imagins Dei-Pemulihan gambar Allah).
Di dalam diri manusia terdapat unsur-unsur yang juga ada di dalam diri Allah, tetapi tentunya tidak akan sama persis dengan hakikat Allah sendiri, dalam diri Allah sendiri skalanya Maha Sempurna. Manusia memiliki kecerdasan (rasio) atau intelektual. Hal ini memampukan manusia rasionalisasi, berpikir, berlogika, menganalisa dan lain sebagainya. Oleh karena keberadaan (eksistensi) inilah maka para penganut teori evolusi menyatakan bahwa manusia adalah binatang menyusui yang cerdas, dalam hal ini mereka hanya memandang dari satu sisi saja sehingga akan menimbulkan penyimpangan. Pikiran harus digunakan semaksimal mungkin untuk mengenal Tuhan dan mengelola hasil karya-Nya.
Manusia memiliki perasaan dan emosi. Hal inilah yang membuat manusia dapat memiliki rasa sayang, benci, cemburu, cinta, marah, dan lain-lain. Perasaan inilah yang membuat manusia dapat berinteraksi atau hubungan timbal balik dengan Tuhan dan sesama dalam satu suasana hubungan yang saling mempengaruhi.
Manusia memiliki kehendak (will) yang memampukan untuk berniat bersekutu dengan Allah, melayani dan mengabdi kepada-Nya. Kehendak manusia ini adalah kehendak bebas (liberum arbitrium), maksudnya bahwa manusia dengan kehendaknya dapat memilih mematuhi Tuhan atau memberontak kepada-Nya. Kejadian pasal 3 yang mengisahkan kejatuhan manusia memberi bukti jelas bahwa manusia adalah makhluk yang bebas. Kenyataan ini menyeret manusia kepada resiko kehidupan yang sangat tinggi, sebab manusia diperhadapkan kepada pilihan antara terang atau gelap, hidup yang kekal atau binasa kekal, Tuhan atau setan (penjelasan lebih lengkap mengenai hal ini ada pada bahasan khusus yang mengambil judul Kehendak Bebas). Segambar dengan Allah juga ditunjukkan dengan kenyataan bahwa manusia memiliki unsur kekekalan dan memiliki hakekat kerja (dijelaskan pada bahasan khusus).
SUMBER - RHEMA CHURCH OF GOD
B. Manusia adalah Makhluk Ciptaan.
Dalam kitab Kejadian terdapat prinsip yang harus diperhatikan, berkaitan dengan hakekat manusia. Manusia adalah hasil ciptaan Allah (Kej 1:26-27; 2:7). Manusia adalah hasil karya dari tangan agung Sang Pencipta. Untuk ini harus dicamkan bahwa bagaimanapun manusia berbeda dengan Allah. Allah adalah Pencipta dan manusia adalah makhluk ciptaan hasil karya-Nya. Manusia diciptakan dari apa yang tidak ada menjadi ada, baik bahan maupun idenya. Dalam bahasa Ibrani salah satu kata untuk diciptakan, yang digunakan dalam kitab Kejadian adalah”bara”. Kata ini artinya menciptakan tanpa bahan. Manusia diciptakan dari apa yang tidak ada (Latin, Creatio ex nihilo).
Kesadaran terhadap fakta creatio ex nihilo akan membuat seseorang bersikap rendah hati dihadapan Tuhan semesta alam. Siapakah manusia? Manusia ada karena tangan yang merancangnya. Manusia adalah umat yang menyembah dan memuja, adapun Pencipta adalah Allah yang menjadi obyek pemujaan dan penyembahan. Allah tidak pernah berubah menjadi manusia secara permanen atau sebaliknya. Kalau Allah Anak yaitu Tuhan Yesus turun ke bumi, Ia hanya sementara waktu menjadi manusia, kemudian Ia kembali ke Sorga. Dalam hal ini nyata bahwa manusia bukanlah eksistensi yang berdiri sendiri (indipenden). Manusia ada karena Allah yang menghendaki manusia itu ada. Manusia diciptakan dengan cara yang sangat unik, tidak seperti ciptaan-Nya yang lain. Manusia diciptakan dengan tangan Tuhan sendiri (Kej 2:7). Kata menciptakan atau membentuk dalam Kejadian 2:7 adalah “yatser “(Ibr), yang mengandung pengertian aktivitas yang kreatif. Allah membentuk yang juga berarti mengukir (to carve). Didalam kata yatser mengandung unsur seni. Allah menghembuskan nafas ke lubang hidung manusia, sehingga manusia menjadi makhluk hidup.
Manusia bukanlah hasil proses evolusi dari binatang tingkat rendah kepada bentuk binatang tingkat tinggi. Tetapi manusia adalah hasil karya tangan Tuhan yang ajaib. Pengakuan ini penting, agar orang percaya tidak terhanyut oleh filsafat dunia yang menolak keberadaan Allah (nihilistic) dan tidak mengakui bahwa Allah lah yang menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Dengan demikian teori Evolusi ilmiah (Naturalis evolution) adalah teori yang menyesatkan, dan memicu orang menjadi atheis (tidak percaya eksistensi Allah). Manusia adalah makhluk ciptaan berarti bahwa manusia ada di bumi ini bukan kecelakaan atau kebetulan. Manusia mengandung atau memuat maksud tujuan ilahi. Manusia dirancang untuk suatu maksud tertentu atau untuk suatu alasan tertentu. Maksud atau alasan itu harus ditemukan setiap orang. Menemukan maksud atau alasan manusia diciptakan barulah manusia menemukan tujuan hidup ini. Tanpa menemukan maksud dan alasan tersebut, maka seseorang tidak menjadi manusia yang dimaksud Allah. Coba renungkan, mengapa tidak menjadi kucing? Untuk ini setiap individu harus mulai serius bertanya dan mempersoalkan, what is the reason we live? (Apa tujuan aku hidup). What on earth am I here for? (Untuk apa aku ada di bumi ini).
Bila seseorang sadar bahwa ia adalah hasil karya Tuhan maka ia akan cenderung mengabdi kepada Tuhan. Sama seperti seorang anak yang sadar bahwa ia menjadi besar dan berprestasi karena orang tua, maka ia akan cenderung mengabdi kepada orang tua. Manusia akhir jaman tidak mau tahu bahwa langit dan bumi diciptakan oleh Tuhan termasuk manusia didalamnya (2 Pet 3:5). Kelompok manusia seperti itu pasti hidup dalam pemberontakan kepada Tuhan. Kesadaran bahwa manusia adalah makhluk ciptaan mendorong seseorang membangun terus menerus hubungan yang proporsional atau yang benar dengan Tuhan sebagai Pencipta. Hal ini dapat menghindarkan praktek memutarbalikkan hirarki (urut-urutan prioritas hidup). Urutan pertama dalam hidup adalah Tuhan, bukan materi atau sesuatu yang lain. Memang seharusnya segala sesuatu yang dilakukan harus bagi Tuhan, sebab segala sesuatu dari Dia, oleh Dia dan bagi Dia (Roma 11:36; 1 Kor 10:31)
Manusia tidak berhak hidup untuk dirinya sendiri, manusia harus hidup hanya bagi Dia yang menciptakannya. Bila tidak demikian berarti suatu pemberontakan terhadap Penciptanya. Pendewasaan rohani harus menggiring umat kepada kesadaran ini. Pada tingkat kedewasaan tertentu kita akan memiliki pengakuan demikian: Allah ada bukan untukku, tetapi aku ada untuk Tuhan (God doesn’t exist for me, I exist for the Lord). Sampai pada pengakuan ini manusia mengenal dirinya dengan benar. Bila belum, manusia masih berkatagori sebagai “tidak tahu diri”. Ternyata lebih banyak orang Kristen yang kekanak-kanakan sehingga dalam hubungannya dengan Tuhan bersikap seperti anak-anak kecil terhadap orang tuanya. Ia memandang orang tua ada untuk anak. Karenanya kita temukan banyak anak-anak yang tahunya hanya menuntut orang tua untuk melakukan apa saja yang anak itu inginkan.
Prinsip ini harus kita pahami dan kita belajar untuk mengenakannya: God doesn’t exist for me, I exist for The Lord. Pada saat kita sampai pada pengakuan ini kita berhasil menempatkan diri sebagai hamba bagi Tuhan dimiliki-Nya. Selanjutnya Tuhan Yesus menjadi Tuan dan majikan kita. Inilah sebenarnya tujuan Kekristenan itu. Manusia adalah makhluk ciptaan. Bukan ada tanpa sebab. Ada Pencipta yang menciptakannya (Kej 1 dan 2). Ini adalah harga mati yang harus diakui dan diterima setiap orang. Sampai kapanpun dan dimanapun seseorang berada, ia harus mengakui bahwa dirinya adalah mahluk ciptaan.
Berkenaan dengan hal ini ada beberapa rumusan: Sebagai makhluk ciptaan harus menemukan tujuan hidupnya. Sebagai makhluk ciptaan adalah hamba sebagai mahluk ciptaan ia harus mencari hubungan yang baik dengan penciptanya. Sebagai makhluk ciptaan ia harus mempersoalkan: Untuk apa dirinya diciptakan. Tuhan sebagai Sang Arsitek Agung tidak mungkin menciptakan sesuatu tanpa tujuan. Tujuan hidup manusia tidak ditemukan di dalam apapun juga, tetapi ditemukan di dalam Tuhan sebagai Penciptanya. Untuk ini harus meneliti Alkitab untuk menemukan tujuan hidup manusia. Meneliti Alkitab sama dengan belajar theologi. Kegiatan ini tidak mengharuskan seseorang masuk sekolah tinggi theologi.
Sebagai makhluk ciptaan, bagaimanapun ia adalah hamba. Bagaimanapun manusia tidak pernah menjadi majikan. Penciptanya yang menjadi tuan atas dirinya. Ia tidak pernah menjadi hamba merdeka, tetapi selalu terbelenggu oleh Tuhan sebagai penciptanya. Bila seseorang mau bebas dari Tuhan ia akan terbelenggu oleh majikan yang lain. Satu-satunya tuan di luar Tuhan adalah Lusifer, penguasa kegelapan yang sangat jahat.
Banyak orang berharap dapat merdeka atau hidup sesuka sendiri tanpa dikuasai atau didominasi oleh Tuhan, tetapi juga tidak dikuasai setan. Hal ini tidak mungkin bisa terjadi. Bagaimanapun seseorang harus memilih menjadi hamba Tuhan atau hamba setan. Jadi, sampai kapanpun manusia adalah hamba, hamba Tuhan atau hamba setan.
Ketidakjelasan posisi seseorang bisa dipastikan sudah menjadi hamba setan. Sekilas kebenaran ini nampak sangat sederhana tetapi sebenarnya tidak sederhana. Hal ini akan menggiring kita melayani Tuhan. Pengakuan bahwa kita adalah makhluk ciptaan. Dengan pengakuan ini maka kita harus kehilangan hak dan kehilangan kebebasan. Penolakan terhadap realitas ini berarti pemberontakan. Sebagai makhluk ciptaan ia harus hidup sebagai makhluk ciptaan. Pada kenyataannya kita menemukan kenyataan orang yang menolak keberadaan Tuhan yang pada hakekatnya juga menolak realitas bahwa manusia adalah makhluk ciptaan. Bagaimanapun manusia adalah makhluk yang terbelenggu, terbelenggu oleh Tuhan atau terbelenggu oleh setan.
Dalam kesibukan kehidupan, banyak orang sudah lupa tidak menyadari bahwa dirinya adalah makhluk ciptaan dan banyak orang tidak peduli terhadap kenyataan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan. Hal ini akan memicu seseorang tenggelam dengan berbagai kesenangan dan cita-cita yang membuat Tuhan tersingkir. Bahkan bila merasa membutuhkan Tuhan, itupun hanya karena hendak memakai Tuhan sebagai alat guna meraih sesuatu (Yak 4:1-4). Akhirnya, manusia tidak berbakti kepada Tuhan, memenuhi rencana-Nya tetapi menjadikan hal lain sebagai tujuan. Sebagai makhluk ciptaan ia harus mencari hubungan yang baik dengan Penciptanya. Mengapa demikian? Sebab manusia tidak bisa hidup dengan benar tanpa persekutuan dengan Penciptanya. Sejak semula Tuhan menciptakan manusia memang hanya untuk menjadi sekutu-Nya. Pengakuan yang jujur dan benar bahwa kita adalah makhluk ciptaan yang dimiliki Tuhan secara penuh membuahkan hal-hal ini:
Memiliki kerendahan hati yang benar. Sebab bila kita mengakui bahwa kita adalah ciptaan maka apa yang kita bisa banggakan? Bahwa segala sesuatu dari Dia (Maz 139:13-16). Dengan demikian kita dapat menghormati Tuhan. Kesombongan manusia hari ini berakar pada ketidak-sediaannya mengakui bawa dirinya adalah makhluk ciptaan. Tanpa Pencipta kita adalah debu (Maz 103:14). Mengapa kita sukar bersikap rendah hati dihadapan Tuhan. Sebab kita tidak tahu hokum realitas ini (Yes 40:15).
Kita merasa tidak memiliki.
Pengakuan ini akan membuahkan: Pertama, kita rela mempersembahkan segenap hidup untuk kesukaan-Nya atau kepentingan-Nya. Dan kalau kita berbuat sesuatu bagi Tuhan kita tidak merasa memberi tetapi kita mengembalikan (Mat 22:21). Kedua, kalau kita kehilangan segala sesuatu kita tidak merasa sakit. Kita dapat tabah seperti Ayub (Ayub 1:21). Dalam kesadaran terus menerus bahwa kita akan kembali kepada Sang pemilik kehidupan ini(Pengkh 12:7). Inilah yang membuat kita lebih berhati-hati dalam menjalani hidup ini. Kesadaran inilah yang membuat seseorang dapat beribadah dengan benar kepada Tuhan.
C. Manusia adalah Makhluk Kekal.
Pengantar.
Selain Tuhan tidak ada hal lain yang lebih dahsyat dari kekekalan. Diantara kedahsyatan Tuhan juga karena faktor, bahwa Tuhan adalah Kekal/ The Lord is the everlasting God (Maz 93:1-5; Yes 40:28). Kekekalan menunjuk sebuah masa yang berdurasi atau negeri tidak memiliki jaman. Satu hal yang menarik ternyata suku-suku bangsa di dunia memiliki keyakinan bahwa dibalik kehidupan di dunia ini masih ada kesadaran atau kehidupan. Ini sebuah konsep universal, walau konsep-konsep mereka agak kacau bahkan kacau sekali, namun demikian dari tradisi-tradisi mereka nampak keyakinan adanya kehidupan di balik kematian. Para penganut skeptisisme menolak realitas kekekalan ini karena menganggap ini adalah mitos yang lahir dari agama-agama dan kepercayaan kuno. Kelompok agnotisisme menolak realitas kekekalan karena menurut mereka hal ini tidak dapat dibuktikan. Dan segala sesuatu yang tidak bisa dibuktikan adalah nonsen.
Sebagian ilmuwan menolak realitas kekekalan ini sebab menurut mereka kematian mengakibatkan rusaknya fungsi otak. Ini berarti tidak lagi ada kemampuan berpikir dan kesadaran, tetapi persepsi manusia sebenarnya tidak selalu dapat dipercayai. Hidup ini penuh dengan misteri, bukan hanya yang tidak kelihatan, yang kelihatan pun penuh rahasia yang mengagumkan. Misalnya ketika kita berdiri diatas tanah. Kita merasa sedang berdiri di bumi yang tenang tak bergerak tetapi para astronomi menyatakan bahwa bumi berputar di garis lintang utara pada kisaran 900 mil perjam dan mengitari matahari dalam kecepatan 22.000 mil perjam. Sementara itu bumi kita, seluruh sistim tata surya dan galaksi bima sakti yang sangat besar memiliki 200 milyard planet dengan ukuran yang tak terhingga bergerak dengan kecepatan yang tidak terukur ke arah utara yang tak terhingga menuju wilayah bintang jauh yang disebut Vega. Adalah sukar mengukur kecepatan bumi ini bersama dengan planet-planetnya yang bergerak ini. Ini sebuah rahasia kehidupan bukan?
Resiko Tinggi.
Hal ini yang seharusnya membuat kita menjadi gentar menghadapi realita hidup ini. Kegentaran yang mendorong kita berlindung kepada Tuhan. Takut ini berangkat dari pertaruhan yang sangat mahal. Kalau orang main judi dengan taruhan kecil maka permainan itu tidak beresiko, tetapi kalau taruhannya tinggi maka sebuah permainan sangat beresiko tinggi. Ini menakutkan. Tuhan mengajar kita untuk memiliki kegentaran terhadap kenyataan ini (Mat 10:28). Membinasakan dalam Matius 10:28 disini adalah apollumi yang artinya to destroy fully.
Kata neraka di ayat ini adalah gehena yang artinya the place of everlasting punishment: Dalam Alkitab King James diterjemahkan hell. Kata gehena berasal dari kata bahasa Ibrani “ge hinom”. Disinyalir oleh beberapa ahli bahwa kata ini berarti “meratap”. Lebak Ben-Hinom adalah sebuah lembah atau jurang bagian selatan Yerusalem, pusat penyembahan berhala pada jaman raja-raja (2 Raja 23:10). Di tempat inilah diselenggarakan persembahan korban anak-anak kepada Dewa Molokh yang menjijikkan dihadapan Tuhan (2 Taw 28:3; 33:6).
Karena upacara-upacara yang pernah diadakan ditempat tersebut, maka tempat dan nama itu menjadi lambang api neraka. Api yang digunakan membakar anak-anak yang dikorbankan bagi dewa Molokh memberi inspirasi neraka. Tempat tersebut juga dikenal sebagai “lembah pembunuhan atau pembinasaan” (Yer 7:31-32) the valley of Slaughter. Bagi orang Yahudi kata “gehenna” biasanya hampir selalu menunjuk tempat penyiksaan. Tempat yang disediakan bagi orang-orang jahat. Dalam Alkitab bahasa Indonesia “gehenna” yang diterjemahkan “neraka”, ditulis 12 kali, 11 diantaranya diucapkan Tuhan Yesus sendiri (Mat 5:22 – Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala; Mat 5:29,30 – Maka jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkil dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa, dari pada tubuhmu dengan utuh dicampakkan ke dalam neraka. Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari anggota tubuhmu binasa dari pada tubuhmu dengan utuh masuk neraka.
Matius 10:28 – Dan janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka). Ayat-ayat lain dalam Alkitab Perjanjian Baru yang menyebut neraka antara lain: Mat 18:9; 23:15,33; Mark 9:43,45,47; Luk 12:5; Yak 3:6.
Kata gehenna sering disertai keterangan tambahan dengan kalimat “api yang menyala-nyala” atau kata “api”. Hal ini menunjukkan bahwa tempat ini adalah tempat hukuman kekal (Ing. Everlasting Punishment). Gehenna ini bisa menunjuk tempat terakhir penghukuman setelah penghakiman. Kata gehenna dalam bahasa Inggris diterjemahkan “hell”. Konsep tentang tempat penghukuman yang diilustrasikan secara dramatis mengerikan, ini baru muncul dalam Perjanjian Baru. Dalam Perjanjian Lama “syeol” tidak selalu dianggap menjadi tempat penyiksaan atau tempat penghukuman. Kalaupun syeol juga diartikan sebagai tempat penghukuman tetapi tidak diilustrasikan secara dramatis mengerikan seperti gehenna. Gehenna inilah tempat pembuangan permanen bagi mereka yang tidak diperkenan tinggal dalam kerajaan Bapa.
Sebaliknya kerajaan sorga adalah kekekalan yang indah selama-lamanya (Wahyu 22:5; 7:17; 21:4). Itulah sebabnya Paulus berkata bahwa penderitaan jaman sekarang tidak ada artinya dibanding dengan kemuliaan yang akan kita terima (Roma 8:18). Manusia memiliki unsur kekekalan yang dari Allah (Kej 2:7). Karena Tuhan adalah kekal, maka manusia yang diciptakan menurut gambar diri-Nya untuk juga keberadaan yang sama. Ketika manusia diciptakan, padanya Tuhan menghembuskan nafas hidup kedalam hidungnya. Nafas yang dihembuskan Allah kepada manusia adalah unsur kekekalan dalam diri manusia sehingga manusia berkeadaan sebagai makhluk yang kekal. Tidak ada sesuatu yang lebih dahsyat dalam kehidupan ini lebih dari fakta kekalan tersebut.
Karena fakta ini maka Tuhan Yesus berkata dalam Matius 16:26: “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya”. Nyawa dalam teks aslinya adalah “psuke” (jiwa). Dalam jiwa ada pikiran, perasaan dan kehendak. Kebinasaan dalam teks ini maksudnya adalah bahwa keterpisahan dari Tuhan juga mengakibatkan manusia tidak dapat menikmati dan mengembangkan pikiran, perasaan dan kehendaknya baik di bumi maupun di kekekalan (langit baru dan bumi yang baru). Jiwanya dibelenggu oleh iblis dalam penderitaan abadi. Mati bukanlah seperti orang tidur. Setelah mengalami kematian secara jasmani, manusia mengalami kesadaran kekal yaitu sengsara kekal atau bahagia kekal (Dan 10:2; Why 20:13-15). Oleh karena itu harus dimengerti bila satu jiwa bertobat maka malaikat di sorga bersukacita (Luk 15:7).
Dengan keberadaannya sebagai makhluk kekal, manusia harus bertanggung jawab atas pilihan dan keputusan-keputusannya. Kehidupan ini benar-benar sebuah keadaan yang beresiko tinggi, sebab manusia diperhadapkan kepada Sorga kekal atau Neraka kekal. Dengan kesadaran terhadap fakta ini, maka seseorang akan lebih berhati-hati dalam mengarungi lautan kehidupan ini.
Kehidupan harus diterima bukan sebagai “gambling”, seperti judi yang sifatnya spekulatif atau untung-untungan. Masuk sorga abadi bukanlah keberuntungan dan masuk neraka kekal bukanlah kecelakaan. Nasib kekal manusia adalah pilihan dan tanggung jawab. Setiap orang harus menetapkan apakah ia akan bersama dengan Tuhan dalam kekekalan atau terbuang dari hadirat-Nya selama-lamanya, di kegelapan abadi. Orang yang mengabaikan fakta ini adalah orang-orang bodoh yang tidak berakal. Sesungguhnya sejak hidup di dunia ini sudah nampak gejala-gejala seseorang akan beroleh kemuliaan kekal atau kehinaan kekal. Dari keputusan, pilihan dan tindakan hidup seseorang nampak apakah ia menuju kerajaan Terang atau kerajaan Kegelapan yang kekal.
Kata hidup tidak bertepi sama artinya dengan life is unlimited. Ini adalah rahasia kehidupan yang penting untuk dimengerti dan direnungkan. Mengapa penting, sebab berangkat dari pemahaman kita tentang hidup yang tidak bertepi ini kita menyelenggarakan hidup kita. Banyak orang tidak mengerti atau tidak mau mengerti rahasia kehidupan ini. Tidak mengerti rahasia hidup ini berarti berjalan dalam kegelapan. Mengapa hidup ini adalah tidak terbatas, apa artinya? Pemahaman ini berangkat dari kenyataan bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dalam keadaan yang sangat dahsyat. Kedahsyatan manusia adalah bahwa manusia diciptakan menurut gambar-Nya. Pertama, manusia adalah makhluk kekal. Dalam Kejadian 2:7, Allah menghembuskan nafas (nismat khayim) sehingga manusia menjadi makhluk yang kekal. Kedua, manusia adalah makhluk yang diberi Tuhan kehendak bebas. Dengan kehendak bebas tersebut manusia menentukan nasibnya atau keadaan hidupnya. Keberadaan ini mengandung resiko yang luar biasa dahsyatnya.
Manusia diperhadapkan kepada sorga kekal atau neraka kekal. Sorga kekal atau neraka kekal berarti dalam hal ini manusia dibawa kepada kemungkinan tinggal dalam persekutuan dengan Tuhan di kekekalan-Nya atau tinggal bersama dengan musuh Allah yaitu iblis di kekekalannya. Manusia diperhadapkan kepada kemungkinan kebahagiaan yang tidak terbatas tak terbayangkan atau siksaan yang tidak terbatas dan tidak terbayangkan. Tuhan Yesus mengidentifikasikan tempat itu sebagai tempat berapi dimana ulat tidak mati (Mark 9:44, 46, 48). Dalam hidup manusia hari ini, manusia berdosa diberi kesempatan bertobat dan berbalik kepada Tuhan kemudian mengalami perbaikan dan penyempurnaan yang tidak terbatas, atau kalau manusia menolak bertobat akan menjadi rusak tidak terbatas. Bagi yang mau bertobat dan dimuridkan diproses kepada kebaikan atau kesempurnaan tidak terbatas sebagai mana Kristus kesempurnaan-Nya tidak terbatas. Sebaliknya kalau seseorang menolak bertobat maka ia dirusak oleh iblis kerusakan yang tidak terbatas sebagaimana iblis kejahatannya tidak terbatas.
Oleh karena dalam hidup ini kita berhadapan dengan Tuhan yang tidak terbatas maka kita diperhadapkan pula kepada hal-hal yang tidak terbatas pula. Manusia diperhadapkan kepada hidup yang dihujani anugerah yang tidak terbatas atau laknat yang tak terbatas. Hidup ini bisa menjadi manis atau pahit. Manis tak terbatas atau pahit tidak terbatas. Seseorang bisa dipakai Tuhan tidak terbatas sesuai dengan anugerah yang Tuhan percayakan kepada seseorang atau dipakai iblis tidak terbatas pula. Menyadari hal ini maka kita bisa mengerti betapa luar biasa hidup ini. Hidup tidak bisa atau tidak boleh diperlakukan secara sembrono atau ceroboh. Oleh karena itu Paulus berkata dalam Efesus 5:15-17: “Karena itu perhatikan dengan seksama bagaimana kamu hidup, janganlah seperti orang bebal tetapi seperti orang arif atau bijaksana…..sebab itu janganlah kamu bodoh tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan”. “Perhatikan dengan seksama bagaimana kamu hidup” dalam teks aslinya berbunyi: blepete oun akribos pos peripatiete. Pos peripatiete – bagaimana kebiasaan sikapmu – How ye walk. Tuhan menghendaki agar kita menghargai hidup ini dengan cara hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dan berjalan dengan Tuhan. Alkitab menuntun kita kepada jalan ini.
Pertimbangan Manusia.
Hanya manusia makhluk hidup yang memiliki kemampuan tinggi mempertimbangkan sesuatu dalam keputusan dan tindakan-tindakannya. Jadi apa yang dimiliki dan dialami seseorang hari ini hampir seluruhnya adalah buah dari pertimbangan hidup masing-masing individu. Keadaan Lucifer (latin: Lousifur), malaikat yang jatuh adalah hasil dari pertimbangannya. Ternyata malaikat yang diciptakan Tuhan adalah pribadi yang memiliki kehendak bebas. Malaikat memiliki kebebasan dalam mengambil keputusan. Malaikat bukanlah seperti benda yang dapat diremote kontrol guna mengatur dan menguasainya. Hal ini terbukti dengan adanya malaikat yang jatuh. Jatuh artinya tidak dengar kepada Allah, diantara mereka memberontak kepada Allah, Penciptanya. Demikian pula dengan keadaan Adam dan Hawa keluar dari Taman Eden juga hasil pertimbangannya. Dengan demikian kita harus sadari betapa besar peran pertimbangan seseorang dalam menentukan nasib atau takdirnya. Betapa sering kita mengalami keruwetan dan kesukaan-kesukaan hidup karena pertimbangan kita yang salah.
Kalau akibat pertimbangan yang salah hanya kita alami dalam hidup di dunia ini hal itu bukanlah masalah besar. Tetapi kalau akibat pertimbangan yang salah harus ditelan dalam kekekalan, maka hal ini menjadi masalah yang benar-benar dahsyat. Kalau manusia tidak dibangkitkan bukan masalah tetapi kalau ada realitas kebangkitan maka hal itu menjadi masalah yang sangat besar (jika orang mati tidak dibangkitkan, maka “marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati” 1Kor 15:32; Dan 12:2: some will enjoy eternal life, and some will sufer eternal disgrace). Bandingkan Wahyu 21:13-15. Oleh karena pertimbangan hidup seseorang menentukan nasib kekalnya maka betapa harus benar dan tepat atau teliti pertimbangan kita. Pertimbangan hidup manusia sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan segala sesuatu yang mempengaruhinya. Itulah sebab kesempatan yang ada harus digunakan untuk memenuhi pikiran dengan kebenaran agar pertimbangan kita tidak berdasarkan cara berpikir manusia disekitar kita yang tidak mengerti nilai kekekalan.
Didalam waktu hidup ini terdapat kesempatan, kesempatan ini bisa dapat diibaratkan sebagai kendaraan yang membawa kita kepada kebenaran Allah atau tidak. Ke dalam kehidupan atau kebinasaan. Dalam Efesus 5:16, pergunakan waktu yang ada. Disini waktu ibarat kendaraan yang dimanfaatkan. Dimanfaatkan disini lebih tepat digunakan kata diarahkan ke tujuan yang benar. Sebab waktu tetap berjalan, tidak ada yang dapat menghentikannya. Setiap orang terseret oleh waktu itu. Karenanya sementara kita terseret oleh waktu, hidup didalam waktu ini diarahkan ke tujuan yang benar (1Kor 9:26). Waktu ini sangat singkat artinya kendaraan yang membawa kita kepada kebenaran ini terbatas waktu penggunaannya (Yak 4:4; 1Pet 1:24). Menyadari hal ini kita akan memiliki hati yang bijaksana (Maz 90:10). Oleh sebab itu waktu yang sisa ini jangan kita gunakan untuk hal-hal yang Tuhan tidak kehendaki, tetapi kita gunakan secara bijaksana (1Pet 4:2-3). Oleh sebab itu seseorang harus mengerti kebenaran dan mengakuinya serta berkomitmen dengan teguh. Supaya waktu yang ada digunakan untuk membawa diri kita ini kepada kebenaran Tuhan. Kenyataan yang kita lihat adalah waktu yang ada digunakan untuk membawa manusia kepada berbagai hal yang tidak membawa kita kepada kebenaran Allah. Banyak waktu yang digunakan sekedar mengumpulkan harta, meraih cita-cita duniawi seperti pangkat, prestasi, gelar, dll, waktu digunakan untuk memuaskan hasrat daging dan berbagai kesenangan seolah-olah hidup ini adalah kesempatan sekali-kalinya manusia memiliki kesadaran, ia lupa bahwa hidup ini sekarang baru permulaan dari sebuah kesadaran abadi (1Kor 15:32; banding Luk 16:19-31). Dibalik kehidupan hari ini masih ada kehidupan yang panjang yang Allah sediakan yaitu kehidupan di keabadian. Inilah yang dinanti-nantikan oleh tokoh-tokoh iman (Fil 3:10-11). Gereja Tuhan harus menggiring jemaat kepada kehidupan yang penuh harapan disini (1Pet 1:3-4). Harapan disini menyangkut hidup kekal.
ANTROPOLOGI ALKITAB (Pelajaran 4)
D. Struktur Permanen Manusia
Trikhotomi dan Dikhotomi.
Dalam sejarah gereja terjadi pergumulan mengenai struktur permanen manusia. Ini merupakan rahasia kehidupan yang tidak mudah diuraikan dan ditemukan formulasinya dengan sempurna. Dalam hal ini telah ditemukan dua pandangan yang diakui oleh gereja-gereja, yaitu teori dikhotomi dan trikhotomi. Gereja-gereja Barat pada umumnya menerima teori dikhotomi, bahwa manusia terdiri dari 2 unsur yaitu manusia batiniah dan manusia lahiriah atau unsur materi dan non materi. Tetapi gereja-gereja di timur menganut pandangan teori trikhotomi, bahwa manusia terdiri dari 3 unsur yaitu roh (unsur religius), jiwa (unsur psikhologis) dan tubuh (unsur fisik). Tentu masing-masing pandangan memiliki argumentasi yang menggunakan landasan Alkitab. Sangat besar kemungkinan pandangan gereja di Barat dipengaruhi filsafat Yunani yang ikut memberi warna theologinya. Filsafat Yunani lebih sering membagi manusia dalam 2 realitas, yaitu realitas yang kelihatan atau materi dan realitas yang tidak kelihatan, yaitu dunia ide yang dianggap lebih mulia.
Pandangan lain yang cukup populer adalah pandangan monisme. Monisme berpandangan bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang tidak terbagi-bagi. Menurut pandangan ini manusia tidak dapat dibagi atas beberapa unsur. Menurut faham ini, sebutan tubuh, jiwa dan roh hanya sebagai sinonim. Monisme menolak dualisme atau trialisme atas diri manusia. Oleh sebab itu Monisme juga tidak percaya adanya kenyataan keadaan sementara (intermediate state), yaitu terpisahnya jiwa dan roh dari tubuh pada saat kematian sampai Tuhan Yesus datang kembali. Disini manusia dipandang sebagai kesatuan secara psiko-fisik.
Sebenarnya memang sukar untuk mengatakan bahwa manusia ini terdiri dari 2 atau 3 unsur. Sebab kalau mencoba untuk membagi manusia secara mutlak dalam beberapa unsur atau unit maka bisa jatuh dalam kebingungan, sebab manusia sebuah personalitas totalitas yang tidak terpisahkan, tetapi juga bukan satu dalam arti hanya berunsur satu komponen saja seperti pandangan monisme. Berdasarkan berita Alkitab ternyata memang ada unsur-unsur yang tergabung dalam diri makhluk yang disebut manusia ini. Unsur-unsur ini adalah roh, jiwa dan tubuh (1Tes 5:23), ini disebut trikhotomi yang oleh para penganut teori dikhotomi cukup dibagi 2 saja yaitu manusia batiniah dan manusia lahiriah (2Kor 4:16). Dalam teori dikhotomi roh dan jiwa disatukan.
Terbentuknya Jiwa Manusia.
Sebagai kerangka untuk memahami struktur permanen manusia ini, maka perlu dijelaskan bagaimana Tuhan menciptakan manusia. Tuhan menghembuskan nafas hidup ke sosok tubuh manusia yang terbuat dari tanah liat, kemudian manusia menjadi makhluk yang hidup. Roh dari Allah kontak dengan tubuh, maka manusia menjadi makhluk yang hidup (Kej 2:7). Jiwa eksis atau tercipta akibat pertemuan antara roh dan tubuh. Jadi persenyawaan antara tubuh dan roh inilah terbentuk jiwa. Untuk meneguhkan pandangan ini, perlulah kita amati proses terjadinya manusia melalui proses kelahiran.
Dalam proses pembuahan, sperma (benih pria) bertemu dengan ovum atau sel telur(benih wanita). Pertemuan ini menghasilkan zygot yang akan menjadi janin. Zygot inilah bakal tubuh manusia yang tidak kelihatan kalau tidak menggunakan kaca pembesar. Dalam zygot terdapat roh, itulah sebabnya bisa dikatakan bahwa kehidupan sudah dimulai sejak pada janin. Pada waktu bayi baru lahir, ia sudah memiliki tubuh dan roh, tetapi jiwanya belum lengkap atau belum sadar sepenuhnya. Seiring dengan perjalanan waktu, jiwa menjadi lengkap atau memiliki kesadaran. Kalau dianalogikan, pada lampu terdapat beberapa komponen yaitu komponen fisik yang kelihatan, arus listrik dan terang atau cahaya. Pertemuan antara arus listrik dan komponen fisik menghasilkan terang. Terang atau cahaya lampu itu ada karena pertemuan antara arus listrik dan komponen yang kelihatan. Terang itu adalah Jiwa. Jiwa adalah kesadaran (self consciousness). Jiwa inilah tempat pikiran, perasaan dan kehendak manusia mengendalikan seluruh tubuh atau kehidupan seseorang. Pada waktu bayi lahir jiwa atau kesadarannya belum lengkap, tetapi seiring dengan perjalanan waktu kesadarannya menjadi lengkap. Hal ini menunjukkan bahwa jiwa bukan sesuatu yang statis tetapi progresif sejajar dengan pertumbuhan fisik.
Roh Manusia adalah Roh dari Allah.
Dalam Kejadian 2:7 diungkapkan cara Tuhan menciptakan manusia. Setelah Tuhan membentuk fisik atau tubuh manusia, lalu Tuhan menghembuskan nafas hidup kedalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup. Kata “nafas hidup”(breath of life) dalam teks aslinya adalah nishmat chayiym. Kata chayiym adalah bentuk jamak dari chay yang artinya hidup.
Mengapa dikatakan chayiym bukan chay saja? Jawabannya ada 2 kemungkinan:
1. Menunjukkan bahwa didalam diri manusia ada 2 komponen kehidupan, yaitu roh dari Allah dan nyawa yang disebut insan manusia yang bertalian dengan panca indra dan keinginan daging. Dengan penjelasan ini dapat dimengerti mengapa Paulus berbicara mengenai keinginan daging dan keinginan roh (Gal 5:1-26).
2. Bahwa Tuhan menempatkan roh yang bersifat jamak dalam diri manusia. Inilah yang membuat manusia mampu menggandakan rohnya melalui proses perkawinan sehingga dapat dilahirkan manusi lain dengan jenis roh manusia yang sama.
Seandainya manusia tidak menerima hembusan nafas Allah, apakah manusia bisa menjadi makhluk yang bernyawa? Mengapa tidak bisa? Bukankah hewan diciptakan Tuhan tanpa hembusan nafas juga menjadi makhluk hidup yang bernyawa (Kej 1:21-24). Seandainya manusia tidak menerima hembusan nafas Allah, manusia menjadi binatang yang cantik dan ganteng. Fisiknya manusia tetapi karakternya tidak berbeda jauh dengan hewan. Dalam hal ini dapat dilihat perbedaan yang sangat menyolok antara manusia dengan hewan, manusia menerima hembusan nafas Allah sedangkan binatang tidak. Hanya manusia yang memiliki roh dari Allah, tetapi binatang tidak memiliki roh dari Allah. Oleh sebab itu kualitas hidup manusia harus lebih tinggi dari kualitas hidup binatang. Manusia adalah mahkota dari ciptaan Allah. Kenyataan ini sangat luar biasa.
Apa arti hembusan (Ibr. Wayipach) dari Allah dalam Kejadian 2:7? Kalau manusia menghembuskan udara, ia perlu menarik oksigen terlebih dahulu, tetapi kalau Allah tentu tidak. Kalau Allah menghembuskan sesuatu, maka ada sesuatu yang keluar dari diri-Nya. Inilah “roh” dari Allah itu. Itulah sebabnya dikatakan bahwa debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang memberi karunia (Pkh 12:7). Kata kembali dalam teks aslinya ” shuwb” yang berarti juga kembali kepada asalnya. Oleh penjelasan ini maka dapat dimengerti yang dimaksud oleh kitab Ibrani bahwa Allah disebut sebagai Bapa segala roh. Dari Allah mengalir atau keluar roh yang menjadi roh manusia (Ibr 12:9). Roh dari Allah yang menjadi roh manusia inilah yang membuat keberadaan manusia seturut dengan gambar dengan Allah dan memiliki kemampuan untuk mengerti kehendak Tuhan, apa yang baik, yang berkenan dan yang sempurna.
Roh manusia yang berasal dari Allah bukan hanya kekuatan yang menghidupkan tetapi juga memuat pikiran, perasaan dan kehendak yang sesuai dengan Allah. Di dalam roh manusia ini terdapat nurani yang terdalam yang menyuarakan suara Tuhan. Itulah sebabnya Amsal mengatakan bahwa roh manusia adalah terang TUHAN, yang menyelidiki seluruh lubuk hatinya (Amsal 20:27). Kata roh manusia dalam teks aslinya adalah nashamah sama dengan kata dalam Kejadian 2:7. Karena roh manusia adalah dari Tuhan maka Tuhan begitu perhatian terhadap keselamatan manusia. Begitu besar perhatiannya kepada manusia sehingga Ia memberikan diri-Nya sendiri untuk keselamatan manusia itu. Apa yang membuat-Nya begitu gelisah terhadap keadaan manusia? Mengapa binatang tidak mendapat perlakuan seperti ini? Berkenaan dengan hal ini, haruslah diperhatikan apa yang dikatakan Yakobus 4:5, Firman Tuhan berkata: Janganlah kamu menyangka, bahwa Kitab Suci tanpa alasan berkata: “Roh yang ditempatkan Allah di dalam diri kita, diingini-Nya dengan cemburu!” Roh yang dimaksud dalam teks ini adalah roh manusia bukan Roh Allah.
Tuhan memperhatikan manusia sedemikian rupa karena Tuhan mengingini roh yang ditempatkan-Nya di dalam diri manusia tidak terseret jiwanya menuju kegelapan abadi. Sangat mengerikan kalau roh diseret oleh jiwa yang rusak menuju api kekal, sebab setelah tubuh manusia tidak berfungsi, maka roh yang telah menyatu dengan jiwa akan terseret pula. Iblis berusaha merusak jiwa dengan mengisi segala keinginan yang bertentangan dengan kehendak Allah (Yak 4:1-4). Jadi kalau Tuhan mengingini roh yang ditempatkan dalam diri manusia dengan cemburu bukan tanpa alasan, Ia bertindak demikian sebab roh dalam diri manusia adalah berasal dari pada-Nya (Pkh 12:7). Tuhan tidak menghendaki roh manusia yang tidak bisa mati itu dikuasai oleh pihak lain. Itulah sebabnya dikatakan diingini-Nya dengan cemburu. Jiwa inilah yang menjadi kontrol atau yang mengendalikan kehidupan. Jadi, bagaimana keadaan hidup seseorang tergantung dari kualitas jiwanya. Kualitas jiwa tergantung dari inputnya atau apa yang mempengaruhi atau menguasainya, apakah kehendak daging atau kehendak roh. Kalau jiwa menjadi rusak karena masukan dunia sekitar dan dorongan kedagingan maka kalau manusia mati maka roh akan menyatu dalam jiwa masuk neraka. Harus dicatat, bahwa jiwa akan menyatu dengan roh dalam keabadian.
ANTROPOLOGI ALKITAB (Pelajaran 5)
E. Hakekat manusia sama dengan Allah dalam bekerja.
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang diciptakan oleh Allah yang memiliki keberadaan seperti Allah sendiri, yaitu seturut gambar dengan Allah (Imago Dei). Salah satu hakekat yang dimiliki Allah adalah bahwa Allah adalah Allah yang bekerja. Allah bukanlah Allah yang tidak berkehendak, bukan Allah yang diam tanpa karya. Ia adalah Allah yang aktif berkarya, penuh inisiatif dan bekerja. Demikianlah, sebagaimana Allah adalah Allah yang bekerja maka manusia juga adalah manusia yang bekerja. Kerja merupakan unsur hakekat manusia yang dijadikan menurut gambar Allah (The nature of man is a worker).
Oleh karena kerja adalah suatu unsur hakekat manusia, maka kerja itu juga merupakan perintah Allah. Allah dapat memerintahkan manusia untuk bekerja sebab manusia memiliki potensi dan natur atau kodrat demikian. Oleh karena manusia adalah seorang pekerja maka bumi ini diciptakan Tuhan dalam keadaan yang “harus masih diteruskan”. Manusia menerima mandat dari Tuhan untuk mengelola bumi ini (Kej 2:15). Ini bukan berarti Allah tidak mampu menyelesaikan atau meneruskan pekerjaan-Nya. Disini Allah melibatkan manusia sebagai pekerja untuk bekerja mengelola hasil karya-Nya. Bila tidak demikian yaitu diadakannya peluang untuk bekerja, maka berarti Allah membunuh hakekat manusia itu sendiri. Perintah kerja dari Tuhan untuk manusia merupakan petunjuk bahwa Tuhan konsekuen dengan maksudnya menjadikan manusia kawan sekerja-Nya dalam mengelola alam semesta ini.
Manusia bekerja mengembangkan diri bertalian dengan fasilitas alam semesta yang Tuhan telah ciptakan. Inilah yang disebut sebagai mandat untuk berbudaya. Oleh karena manusia yang diciptakan Allah adalah seorang pekerja, maka bekerja mempunyai tempat didalam rencana Allah yang Agung. Dunia ini diciptakan dalam keadaan yang belum dikerjakan, memerlukan tangan manusia yang harus mengelolanya (Kej 1:27-28; 2:5). Oleh sebab itu hendaknya tidak berpikir bahwa ketika Adam dan Hawa di Eden hanya makan minum tanpa kerja. Ketika manusia memberi nama binatang, yaitu tatkala Allah membawa semua binatang untuk dinamai oleh manusia, Alkitab membuktikan bahwa di Eden pun manusia sudah mulai bekerja (Kej 2:19-20). Perintah kepada manusia didalam Kejadian 2:15 untuk mengelola bumi merupakan bukti nyata bahwa manusia sudah berkarya (berbudaya) sejak didalam Eden. Kalimat “mengusahakan dan memelihara” di Kejadian 2:15 dalam teks aslinya “laabdaah uwishaamaraah” (Ing. To dress it and to keep it), mendandani dan memelihara atau menjaganya. Manusia menjadi manager (pengelola) atas bumi ini. Hal tersebut itulah yang membedakan manusia dari hewan atau makhluk lain. Hewan atau makhluk lain bergerak hidup hanya sekedar memenuhi siklus kehidupan sesuai dengan habitatnya. Manusia bekerja dengan kerelaan, kesadaran dan kesengajaan sebagai pengabdian kepada Tuhan, yaitu sebagai kawan sekerja Allah dengan hakekat yang sama dalam bekerja.
Hakekat bekerja bernilai kekal. Sekalipun manusia sudah jatuh didalam dosa tetapi perintah untuk kerja ini tidak pernah dibatalkan Tuhan. Hal ini nyata dari hukum yang ke delapan yang berbunyi: “Jangan mencuri” salah satu signal petunjuk yang jelas bahwa manusia bukan saja dipanggil untuk menghargai milik orang lain tetapi juga harus bekerja mencari “milik” dan nafkah dari keringat dan tenaganya sendiri. Oleh sebab itu barang siapa tidak mau bekerja, padahal ia mampu bekerja maka ia telah melanggar perintah-Nya dan berbuat dosa kepada Tuhan serta menyangkal hakekatnya sendiri.
Seorang yang menolak bekerja berarti tidak menerima dirinya sebagai manusia dengan kebesarannya sebagai oknum yang berhakekat seperti Tuhan yaitu “oknum yang bekerja”. Perlu dijelaskan disini bahwa Kerajaan Sorga nanti bukanlah alam roh, seperti alam hantu. Tuhan Yesus memperagakan tubuh kebangkitan-Nya, bukan tubuh maya yang tidak berdaging. Hantu tidak berdaging, tetapi tubuh kebangkitan yang dimiliki Yesus dan dimiliki semua orang yang dibangkitkan benar-benar berdaging. Alkitab tegas mengatakan bahwa Dia, Allah semesta alam bukanlah Allah orang mati tetapi Allah orang hidup.
Kerajaan Sorga adalah alam fisik yang dapat berinteraksi dengan “indra” tubuh kebangkitan. Pada akhirnya nanti, realitas hidup adalah realitas fisik, bukan alam roh, sebab semua manusia akan dibangkitkan dan Tuhan Yesus sendiri akan tampil dengan tubuh kebangkitan-Nya. Sorga, dalam bahasa Ibraninya samayim dan dalam bahasa Yunaninya ouranos menunjuk “langit” (alam semesta yang tidak terbatas). Langit disini bukanlah “sky” (langit yang melingkupi bumi kita), tetapi “heaven” yaitu alam semesta dengan gugusan planet-planet yang tidak terbatas jumlahnya.
Didalam kerajaan sorga nanti, alam semesta yang tidak terbatas tersebut menjadi sarana kreatifitas kerja tanpa batas bagi manusia yang telah disempurnakan. Dalam hal ini manusia di dunia yang akan datang nanti akan tetap bekerja mengelola alam semesta yang tak bertepi. Dengan demikian nyatalah bahwa Tuhan merancang hakekat kerja dalam diri manusia bukan hanya untuk digunakan di bumi kecil ini dan yang sementara tetapi juga untuk dunia yang akan datang yang luas tak terbatas di kekekalan. Manusia yang tidak mau bekerja hari ini dengan motif kerja yang benar, tidak akan dipekerjakan Tuhan di kekekalan.
Kerja sebagai sukacita kekekalan.
Kerja mempunyai arti dan nilai lengkap bukan hanya ditempatkan dalam rencana penciptaan alam semesta tetapi juga dalam rencana Allah untuk menyelamatkan dunia ini melalui karya salib Kristus. Manusia bukan saja dipercayai untuk mengelola alam semesta, tetapi di jaman penggenapan (jaman Injil diberitakan) umat pilihan juga dipercayai untuk terlibat dalam penerusan karya keselamatan dalam Yesus Kristus. Dalam hal yang kedua ini manusia dilibatkan untuk mengambil bagian dalam rencana penyelamatan Allah atas dunia ini. Manusia menjadi kawan sekerja Allah bukan saja dalam meneruskan karya penciptaan, tetapi juga dalam karya penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus atas orang berdosa. Itulah sebabnya karya penyelamatan Allah melalui korban Kristus dalam keadaan “belum selesai”, atau dalam keadaan “harus diteruskan”. Karya keselamatan tidak boleh berhenti hanya di bukit Kalvari tetapi harus sampai ke ujung bumi. Dalam hal ini jelaslah bahwa setiap orang percaya dipanggil untuk turut serta dalam pelebaran kerajaan Allah, penginjilan yaitu memperkenalkan Yesus kepada orang yang belum mengenal Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat dan pendewasaan rohani umat Tuhan yaitu mereka yang sudah percaya melalui proses pemuridan.
Untuk penyelenggaraan pelebaran Kerajaan Allah ini atau pelayanan pekerjaan Tuhan dibutuhkan berbagai sarana, dari manusia sebagai pelakunya sampai fasilitas pelayanan (uang, transportasi, gedung, alat musik untuk ibadah dan lain sebagainya). Anak-anak Tuhan dipanggil untuk bekerja mencari nafkah guna kehidupannya sendiri dan menyediakan fasilitas pelayanan tersebut.
Sesuai dengan kasih karunia, kerja manusia telah disucikan menjadi kerja yang kekal, maksudnya bahwa kerja manusia bagi Allah adalah kerja yang berdampak dalam kekekalan (Yoh 15:16). Berdampak kekal disini maksudnya adalah bahwa hasil kerja anak-anak Tuhan untuk memenuhi kebutuhan pelayanan diperhitungkan Tuhan di Kerajaan-Nya yang kekal nanti. Dalam hal ini manusia diperkenankan menjadi kawan sekerja Allah. Inilah maksud dan tujuan kekal Allah menciptakan manusia. Ditempat masing-masing sesuai dengan panggilan khusus yang diemban anak-anak-Nya sebagai pedagang, arsitek, dokter, guru, petani dan lain sebagainya, semuanya memberi diri bagi kepentingan penerusan karya salib Tuhan bagi dunia ini. Ditempat masing-masing mereka memerankan panggilan secara sinergi (menggabungkan kekuatan) untuk kepentingan Kerajaan Allah.
Bila terjadi demikian, yaitu seluruh kerja kita diperuntukkan bagi Tuhan maka kerja tidak lagi menjadi beban dan susah payah, kerja merupakan sukacita pengabdian bagi Tuhan. Kerja seperti ini adalah kerja yang sangat menggembirakan sebab Tuhan pasti memberkati dan hasil jerih payah dalam kerja tersebut diperhitungkan oleh Tuhan di kekekalan. Dengan demikian kita dapati bahwa ukuran sukses kerja dan kehidupan seseorang terletak pada:
"Apakah dengan melakukan pekerjaan tersebut dan hasil pekerjaan tersebut nama Tuhan dipermuliakan, pekerjaan Tuhan dalam penerusan karya salib Tuhan diatas muka bumi ini benar-benar didukung". Oleh sebab itu, kerja harus dibersihkan dari motif-motif yang salah, yang dapat merusak arti, nilai dan tujuan kerja. Seperti yang kita tahu bahwa akibat dosa maka motif kerja manusia telah dirusak.
Hidup adalah ibadah kepada Tuhan.
Hari ini pada umumnya orang masih memisahkan antara ibadah kepada Tuhan dan kehidupan setiap hari. Mereka beranggapan bahwa ibadah kepada Tuhan adalah bagian dari hidup ini. Itulah sebabnya mereka membedakan antara kegiatan yang bersangkut-paut dengan Tuhan seperti doa, menyanyi lagu rohani, ke gereja dengan kegiatan yang tidak bersangkut-paut dengan Tuhan seperti bekerja di kantor, rekreasi dengan keluarga, olah raga, makan, minum dan lain-lain. Pemisahan atau perbedaan ini biasa disebut juga antara yang rohani dan duniawi. Bila kita masih memiliki anggapan atau sikap berpikir seperti ini, berarti kita belum mengerti kebenaran. Kita tidak boleh lupa bahwa dunia ini diciptakan oleh Tuhan. Bukan oleh iblis. Dunia ini tidak najis atau berdosa. Sebab yang berdosa adalah manusia dan yang disebut najis adalah perbuatan dan produknya yang bertentangan dengan prinsip kebenaran Tuhan. Hendaknya kita tidak sesat seperti aliran agama-agama tertentu yang memandang dunia ini jahat, harus dijauhi. Karena orang yang mau hidup suci menjauhi dunia dengan segala kegiatannya. Termasuk tidak menikah (catatan: menikah itu kudus sebab Tuhan yang menciptakan seks. Bila ada orang/hamba Tuhan yang tidak menikah, itu bukan karena menikah itu najis lalu kita menganggap mereka lebih suci tetapi karena demi kepentingan kerajaan sorga ia tidak menikah).
Yang menjadi masalah terbesar dalam hidup kita sekarang ini adalah menterjemahkan iman dalam kehidupan. Bukan dalam pengakuan atau ritual. Itulah yang dilakukan dalam pola keberagamaan pada umumnya. Seluruh gerak hidup kita adalah kebaktian dan penyembahan kepada Tuhan. Dalam Roma 12:1-2, sebenarnya sudah jelas bagaimana seharusnya kita menterjemahkan iman kita. Banyak orang ibadahnya masih dalam wujud ritual atau upacara. Upacara kita adalah seluruh hidup ini. Ini berarti: Seluruh hidup kita telah dimiliki Tuhan. Pengakuan ini ditandai dengan kesediaannya tidak mencari penghormatan apapun dari dunia ini. Segala sesuatu dari Dia oleh Dia dan bagi Dia (Rom 11:36). Kalau hidup kita dimiliki Tuhan maka tidak ada pujian atau sanjungan yang kita layak terima. Semuanya harus dikembalikan kepada Tuhan. Hal ini adalah sikap hati. Yang penting bagaimana hati kita memberi penghormatan kepada Tuhan. Seluruh gerak kita adalah pengabdian kepada Tuhan. Kesediaan menggunakan hidup ini untuk melayani Tuhan. Untuk kesenangan hati-Nya. Inilah yang dikatakan Paulus bahwa apapun yang kita lakukan kita memuliakan Tuhan (1Kor 10:31). Inilah sebenarnya irama yang benar, seluruh hidup kita adalah irama menyembah Tuhan (Luk 4:8).
ANTROPOLOGI ALKITAB (Pelajaran 6)
F. Implikasi Segambar dengan Allah.
Ternyata manusia segambar dengan Allah memiliki implikasi yang harus ditelaah dengan seksama, sebab implikasi ini menunjuk pula kepada kualitas manusia sebagai makhluk istimewa-Nya. Didalamnya nampak jelas tanggung jawab manusia dihadapan Tuhan sebagai makhluk ciptaan dan anak tebusan. Tanpa mengerti hal ini percuma seseorang menjadi orang percaya atau lebih baik kalau ia tidak pernah menjadi manusia.
1. Sebagai makhluk yang segambar dengan Allah, manusia dituntut untuk memilikitindakan-tindakan yang mulia seperti Allah sendiri. Oleh sebab itu mutlak manusia mengenali Allahnya dan menjadikan-Nya sebagai teladan satu-satunya. Tuhan Yesus, Allah Anak yang menjadi manusia sebagai prototypenya. Pemulihan gambar Allah yang rusak merupakan upaya mengembalikan manusia sebagai manusia. Dan pemulihan harus dipandang sebagai pemulihan yang bertolak pada pemulihan karakter. Standar yang harus dicapai adalah kesempurnaan standar Allah sendiri (Mat 5:48). Manusia yang diselamatkan melalui anugerah dalam Yesus Kristus adalah manusia dikembalikan kepada kualitas manusia pertama, bahkan lebih dari itu. Ini adalah keharusan. Hukumnya adalah mutlak. Tuhan Yesus berkata: Kamu harus sempurna. Harus. Kemungkinan untuk ini telah diadakan oleh Tuhan dengan membatalkan hukum dosa atau hukum maut dan menggantikan dengan hukum Roh yang memerdekakan melalui Tuhan Yesus Kristus (Rom 12:2). Kejatuhan manusia dalam dosa membawa manusia kepada keadaan tidak mungkin mampu melakukan kehendak Allah dengan sempurna, tetapi keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus membuka peluang seseorang tidak terikat oleh hukum dosa, berarti kemampuan untuk melakukan kehendak Allah dengan sempurna dimungkinkan.
2. Sebagai makhluk yang segambar dengan Allah manusia patut memberikan seluruh kehidupan-Nya bagi Sang Pencipta, sebab Dia adalah Pemiliknya (Yoh 1:10-11; 1Kor 6:19-20).
Oleh sebab itu manusia wajib mengarahkan seluruh miliknya bagi Tuhan untuk digunakan bagi kepentingan Tuhan. Manusia diciptakan untuk mengabdi bagi Dia, sebab justru penciptaan manusia yang segambar dengan Allah dimaksudkan agar manusia mampu mengabdi kepada Tuhan dengan ibadah dan bakti yang benar. Kemampuan hebat yang manusia miliki bukan untuk dirinya sendiri tetapi bagi Dia yang memberikannya. Tidak hidup bagi Tuhan berarti meneladani Lucifer.3. Sebagai makhluk yang segambar dengan Allah manusia harus hidup dalam persekutuan dengan Tuhan. Sebab inilah yang menjadi tujuan (telos) utama Allah menciptakan manusia, yaitu agar manusia hidup dalam persekutuan dengan diri-Nya. Diciptakannya manusia segambar dan serupa dengan diri-Nya dimaksudkan agar manusia dapat mengimbangi Tuhan dan dapat menjadi teman interaksi-Nya. Kalau manusia sekualitas dengan monyet, manusia tidak berkapasitas sebagai teman interaksi-Nya. Jadi, kalau manusia tidak hidup dalam persekutuan dengan Tuhan, maka ia mengkhianati Tuhan. Untuk itu manusia harus mematuhi perintah-perintah-Nya, hidup dalam ketaatan terus menerus sehingga dapat mengerti kehendak Tuhan untuk dilakukannya dan hidup dalam persekutuan yang benar dengan Dia.
Diantara perintah-Nya adalah agar manusia mengelola bumi ini sebagai mandataris Allah supaya tercipta keharmonisan antara alam ciptaan Allah dengan makhluk yang hidup di bumi ini. Selanjutnya dalam jaman anugerah, manusia tebusan dipanggil untuk meneruskan karya keselamatan Kristus bagi umat manusia lain yang belum menerima Injil. Hidup dalam persekutuan dengan Tuhan adalah hidup dalam persekutuan dalam penyelenggaraan karya-Nya. Bagi orang percaya, harus mengambil bagian dalam pelebaran Kerajaan Allah di muka bumi. Mengusahakan bagaimana orang mengenal keselamatan dalam Yesus Kristus dan didewasakan. Seorang yang tidak turut terlibat dalam pekerjaan-Nya tidak akan bisa hidup dalam persekutuan dengan Tuhan.Persekutuan itu juga harus persekutuan dalam penderitaan-Nya (Fil 3:9-11).ANTROPOLOGI ALKITAB (Pelajaran 7)
G. Takdir dan Kehendak Bebas.
Pengertian Takdir
Kata “takdir” ini tidak asing bagi telinga kita, bahkan akrab dimulut banyak orang disekitar kita. Untuk mengomentari suatu realita yang dialami seseorang, mereka biasa menggunakan kata ini. Kata takdir dalam pemahaman umum biasanya mendapat isi atau dimengerti sebagai penentuan ilahi. Kata takdir biasanya disejajarkan maknanya dengan kata nasib, dalam bahasa Inggris diterjemahkan fate atau destiny. Kata takdir sangat populer dilingkungan orang-orang beragama, karena kata ini bertalian dengan “oknum” yang diakui sebagai berkuasa menentukan apa yang terjadi atas hidup masing-masing individu manusia secara mikro dan atas alam kosmos (alam semesta) ini secara makro. Baik yang terjadi atas seseorang maupun yang melibatkan alam semesta dan mempengaruhi banyak orang seperti misalnya bencana alam. Oknum yang menentukan segala peristiwa dalam kehidupan tersebut adalah Tuhan, obyek iman agama. Dibalik kata takdir diisyaratkan jelas adanya penentuan ilahi dalam segala kejadian atau peristiwa, sebuah “devine decree”.
Jadi takdir dimengerti sebagai penentuan suatu peristiwa atau kejadian yang berlangsung dalam hidup manusia berdasarkan kedaulatan kebebasan kehendak dan kebijaksanaan Tuhan yang mutlak atau absolut. Dalam bahasa Inggris kata takdir bisa diterjemahkan "predestination" yang artinya penentuan sebelumnya atau ditentukan lebih dahulu. Sebelum suatu peristiwa terjadi, segala sesuatunya sudah ditentukan oleh Tuhan untuk berlangsung.
Oleh karena segala sesuatu sudah ditentukan sebelumnya, maka dengan demikian nampak gambar dalam bingkai bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidup ini adalah skenario dari Sutradara Agung yaitu Tuhan. Dalam hal ini sekaligus Tuhan berperan sebagai penulis cerita dan “ki dalang” yang mengatur setiap peran kehidupan dalam pentas panggung sandiwara. Lebih tegas lagi bila kita obyektif memandang hidup dengan kacamata ini, maka berarti Tuhan berlaku sebagai pengatur remote kontrol dan manusia menjadi robot yang bisa dikendalikan oleh remote tersebut tanpa kebebasan kesempatan memilih suatu pilihan.
Pemahaman diatas ini pada akhirnya bisa membangun pandangan bahwa pengertian dan pertimbangan ratio manusia untuk mengambil keputusan menjadi sia-sia. Semua sudah diatur dalam fragmen yang tidak akan keluar atau terlepas dari alur cerita yang ditentukan atau ditetapkan. Akhirnya anjuran untuk menemukan peran dan tempat dihadapan Tuhan, menjadi panggilan untuk percaya dan terima saja setiap peran yang akan ditemukan secara otomatis. Semua sudah diatur oleh The Invisible Hand, tangan yang tidak kelihatan, yaitu tangan Tuhan yang mengerjakannya sendiri tanpa bantuan dan peran manusia sama sekali.
Dalam memahami pengertian takdir, pada umumnya orang berasumsi bahwa manusia tidak memiliki kedaulatan sama sekali dalam menentukan keadaan hidupnya, sebab Tuhan telah mempersiapkan segala kejadian yang akan dialami atau dilaluinya dalam hidup. Manusia hanya menerima apa yang disediakan baginya.
Demikianlah kita dapati bila seorang mengalami musibah misalnya suatu kecelakaan, kematian orang yang dikasihinya, jatuh miskin, sakit yang tidak tersembuhkan sampai kematian dan lain lain, maka mereka menerimanya sebagai takdir. Didalamnya Tuhan dianggap sebagai kausalitas prima (penyebab utama), kasarnya “biang masalah”. Menjadi berkembang lagi dalam kasus lain disimpulkan bahwa jodoh ada di tangan Tuhan, sehat sakit, kaya miskin, gemuk kurus, sorga dan neraka atas seseorang hanya Tuhan yang menentukan.
Biasanya pengakuan terhadap realitas takdir ini dianggap sebagai kesadaran akan kebesaran Tuhan, mengakui supremasi atau keunggulan Tuhan, menyadari bahwa manusia hanya hamba, manusia tidak boleh melawan apa yang Tuhan sudah tentukan. Penerimaan realitas takdir dianggap sebagai tanda pengabdian. Pada prinsipnya umat hanya menerima saja dengan pasrah tanpa memberontak apa yang dialaminya, sebab Tuhan yang menentukan. Umat dikehendaki untuk diam saja. Pasrah. Diam, titik. Konsep ini tidak benar..!
Manusia adalah Makhluk yang Bertanggung Jawab.
Bila kita berbicara mengenai takdir maka mau tidak mau kita harus belajar mengenai hakekat manusia sekaligus menyinggung mengenai hakekat Allah. Berangkat dari pemahaman tentang hakekat manusia maka kita dapat memiliki pijakan pandangan terhadap masalah takdir. Salah satu persoalan yang harus dibedah menyangkut hakekat manusia adalah: "Apakah kemutlakan “kedaulatan Allah” (Sovereignty of God) mengakibatkan manusia tidak memiliki kehendak bebas sama sekali ? Sekaligus dipertanyakan apakah kedaulatan Allah menenggelamkan manusia secara fatalistis didalam “penentuan” segala sesuatu yang harus hanya diterima saja oleh manusia tanpa dapat menolak atau menghindarinya? Tetapi sebaliknya kalau manusia memiliki kehendak bebas, sejauh mana kebebasannya tersebut atau apa batas kehendak bebasnya?"
Banyak orang berpendirian bahwa oleh karena Allah adalah Allah yang Maha Kuasa, Allah yang tidak perlu diatur atau dinasehati oleh siapapun, maka Ia tidak akan membuat keliru dalam rencana-Nya, sehingga manusia sepatutnya hanya menerima apa saja yang Allah perlakukan tanpa memiliki pilihan. Pilihan Allah adalah pilihan yang terbaik dan pasti terlaksana. Karena Allah adalah Allah yang tidak terbatas, bahwa Ia adalah Allah yang berdaulat maka kehendak dan rencana-Nya tidak dapat dibatalkan oleh siapapun dan dengan kuasa apapun, jadi apapun yang dialami manusia adalah rancangan-Nya. Dengan kewewenangan-Nya yang tidak terbatas Allah bertindak “sesuka-suka-Nya” tanpa ada yang dapat mencegah.
Berpijak pada anggapan diatas ini berarti manusia akan selalu diperhadapkan dengan keadaan yang tidak dapat ditolaknya. Konsep ini sekilas sangat luhur dan agung, akurat dan Alkitabiah tetapi konsep ini menghilangkan unsur kebebasan yang Allah telah taruh dalam diri manusia. Dengan demikian menghilangkan tanggung jawab yang masing-masing individu harus pikul. Masalah yang bisa muncul kemudian adalah, apakah manusia masih dianggap sebagai manusia yang berkualitas bila dengan keadaan tanpa kehendak bebas untuk memilih dan bertanggungjawab atas segala tindakannya.
Dalam sejarah pergumulan theologia gereja, hal “kehendak bebas” (latin: liberum arbitrium) merupakan masalah yang penting. Masalah ini juga diperbincangkan hebat di dalam sejarah filsafat dan agama. Menyikapi fakta sejarah gereja yaitu terjadinya perselisihan mengenai hal tersebut maka kita tidak harus berpijak pada pandangan salah satu tokoh yang merumuskan secara definitive mengenai pokok tersebut. Pandangan tokoh-tokoh theolog dan perumus etika bisa menjadi bahan acuan, tetapi tidak harus menjadi alas penalaran kita. Kita harus menggunakan koridor Alkitab sebagai tuntunan kebenaran satu-satunya. Berpijak kepada eksplorasi Alkitab yang teliti kita membangun pandangan etis theologis mengenai kehendak bebas manusia ini. Pendahulu-pendahulu kita telah berusaha merumuskan pokok pikiran ini. Ternyata terdapat polarisasi pandangan yang akhirnya terjadi perdebatan dan benturan-benturan ide. Dalam hal ini penulis tidak mau terjebak berjalan dalam koridor seorang tokoh theolog dan membuat perbantahan yang tidak habis-habisnya. Penulis hendak mencoba berjalan dalam koridor Alkitab dan membatasi diri dalam pembahasan yang harus dibatasi dengan sekitar orientasi takdir (walau tentu sebagai akibatnya terkesan berat sebelah dan tidak lengkap).
Mistik Pantheistis menyangkal adanya kebebasan kehendak karena tidak adanya perbedaan Kehendak Allah dan kehendak manusia. Salah satu aliran pemikiran dunia modern yang senada dengan pandangan diatas adalah filsafat determinisme (behaviorisme – ilmu sosial). Aliran ini berpendapat bahwa sikap dan tingkah laku manusia, malah pemikiran dan cita-citanya pun seluruhnya ditentukan. Lazimnya, dengan tidak disadari, oleh warisan genetika, oleh struktur sistem urat saraf, proses-proses kimia dalam otak dan sebagainya. Pandangan ini secara tidak langsung hendak menggiring manusia untuk tidak bertanggungjawab atas keadaan dirinya. Paham determinisme-keturunan menerangkan bahwa manusia itu ditakdirkan oleh bakat dan keturunannya, jadi tidak ada kebebasan sama sekali. Dalam Kekristenan juga ada pandangan theologia yang melihat kebebasan manusia dari segi negatif. Kebebasan manusia bila ditampilkan dianggap oleh kelompok tertentu sebagai mengurangi supremasi Tuhan atau dianggap berunsur kekurang-ajaran terhadap integritas kedaulatan Allah yang absolut dan mutlak. Determinisme theologis ini sangat timpang dan tidak sesuai dengan apa yang dapat diamati mengenai kelakuan manusia. Theologia semacam ini menggiring gagasan takdir yang salah dalam wilayah theologia Alkitab.
Gagasan takdir menyakinkan adanya campur tangan langsung dari Allah yang mengendalikan nasib manusia di luar kesadarannya, segala sesuatu ditentukan sejak semula. Ini adalah konsep agama non Kristen yang tidak banyak membicarakan tentang kebebasan, sebab mereka hanya mengakui perbuatan-perbuatan yang disiapkan Allah di dalamnya. Konsep takdir ini mengingkari adanya kebebasan yang sungguh-sungguh, selanjutnya peranan etika disia-siakan. Adalah satu hal yang sulit diterima kalau kita menerima konsep takdir sementara kita juga menyerukan pertobatan, dan berbagai panggilan serta seruan lainnya kepada orang lain untuk hidup di jalan Tuhan. Apakah dalam hal ini kita mulai berpikir bahwa Tuhan perlu dibantu untuk menggenapi rencana-Nya? Kontradiksi seperti ini harus dianalisa secara obyektif dan jujur.
Adam dan Hawa diciptakan Allah sebagai makhluk-makhluk yang bebas. Apakah kita bisa menutup mata terhadap realitas adanya “pilihan”. Ketika Tuhan melarang manusia pertama untuk tidak menjamah pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat, tetapi tidak menyembunyikan pohon tersebut merupakan signal yang jelas adanya kebebasan memilih. Didalamnya Tuhan menghargai keputusan yang diambil oleh manusia tersebut, baik benar maupun salah, baik penurutan maupun pemberontakan. Jelas bahwa kebebasan kehendak ini ditunjukkan Tuhan melalui keberadaan pohon “pengetahuan tentang yang baik dan jahat” yang ada di dalam Eden dan manusia bebas memetiknya (Kej 2). Dosa yang dimulai datang dari godaan “ular” yang ditanggapi Hawa merupakan tindakan yang menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan memilih atau mengambil keputusan. Mentaati Tuhan atau memberontak kepada-Nya (Kej 3). Tentu Tuhan berkuasa menghindarkan manusia dari kejatuhan, namun Tuhan tidak melakukannya. Ini juga merupakan wujud konsistensi, keadilan dan “fair”nya Tuhan terhadap apa yang ditetapkannya.
Dalam kedaulatan-Nya yang tidak terbatas Tuhan masih memberi peluang manusia untuk bertindak berdasarkan pertimbangannya sendiri. Tindakan manusia inilah “taburan” yang satu kali harus dituainya. Dalam hal ini jelas bahwa manusia bukanlah makhluk yang netral. Tetapi manusia adalah makhluk yang harus mengambil keputusan. Peristiwa di taman Eden jelas menunjukkan bahwa Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk menentukan kehidupannya. Dari peristiwa di Eden itulah nampak jelas Allah memberi tanggungjawab kepada manusia. Dalam tanggungjawab terkandung pengertian penyebab dari apa yang dialami manusia. Orang bertanggungjawab atas sesuatu yang disebabkan oleh keputusan dari tindakannya. Orang yang tidak menjadi penyebab dari suatu akibat tidak bertanggungjawab atas sesuatu. Jadi bagaimana harus bertanggungjawab kepada Tuhan sementara keadaan hidupnya adalah keadaan yang tidak dapat ditolaknya, semua ditentukan dan ditetapkan untuk diselami.
Dalam Kekristenan hal “kebebasan” manusia mempunyai tempat yang penting, yang harus dipahami. Ajaran takdir adalah pengajaran yang mengesampingkan “nilai” manusia. Kebebasan sangat memberi nilai atas manusia. Dalam hal ini kita mengerti mengapa penghakiman dan upah merupakan realitas ilahi. Ada sorga dan neraka. Dengan memahami kebenaran ini kita akan menjadi hati-hati dalam hidup, tidak ceroboh dan tanpa perhitungan. Hukum “tabur tuai” merupakan realitas ilahi yang tidak dapat dihindari oleh siapapun (Gal 6:7-9). Dalam Gal 6:7 ini dimulai dengan kalimat: Jangan sesat. Dalam teks bahasa Yunaninya: me planasthe - be not deceive. Dalam salah satu terjemahan bahasa Inggris: do not deceive your selves. Pemikiran yang salah merupakan potensi penyesatan yang harus diwaspadai. Kalau Tuhan sendiri yang memperingatkan kita, itu berarti hal akibat penyesatan tersebut adalah suatu bahaya besar. Oleh sebab itu betapa pentingnya kita mengerti kebenaran Firman Tuhan (2 Pet 1:3) dan pembaharuan pikiran setiap hari untuk memahami kebenaran-Nya (Rom 12:2). Terdapatnya banyak orang Kristen yang mempercayai konsep takdir disebabkan kemiskinannya memahami kebenaran Allah dalam Alkitab.
Sungguh sangat menyedihkan kalau ada orang Kristen yang ketika terjebak dalam suatu masalah sulit menyalahkan Tuhan dengan perkataan: semua ini takdir dari Tuhan. Sudah digariskan dari Yang Maha Kuasa. Hukum tabur tuai ini mirip dengan konsep “karma” dalam suatu agama. Hanya bedanya “karma” sangat fatalistik, maksudnya setiap tindakan ada akibatnya tanpa bisa diperbaiki, tetapi dalam Kekristenan anak-anak Tuhan sudah lepas dari hukuman dan setiap kesalahan ada pengampunan bila kita menyelesaikannya, tentu walau akibat dari kesalahan tersebut harus ditelannya bukan sebagai hukuman tetapi disiplin. Daud berdosa kepada Tuhan dengan mengambil istri bawahannya, ia bertobat dan Tuhan mengampuni Daud. Tetapi akibat kesalahan itu Daud harus menanggungnya. Dan itu sangat menyakitkan.
Hukum tabur tuai adalah bahwa segala sesuatu yang kita lakukan mempunyai akibat. Kenyataan ini berangkat dari 2 hal:
1. Allah adalah Allah yang telah memberi kehendak bebas kepada manusia. Dan Ia sendiri konsekuen dengan kebebasan yang telah diberikan itu. Sebagai buktinya, Allah meletakkan pohon ujian di taman Eden. Oleh sebab itu nasib manusia ditangan manusia itu sendiri.
2. Allah adalah Allah yang adil yang menuntut pertanggungjawaban atas setiap tindakan seseorang. Keadilan Allah tidak bertentangan dengan kasih-Nya. Oleh sebab itu manusia adalah makhluk yang hidup dibawah bayang-bayang keadilan Allah. Penyaliban Tuhan Yesus adalah bukti penggenapan tuntutan keadilan Allah yang harus ditegakkan dan hal ini memuaskan hati Allah Bapa.Dengan penjelasan ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk yang harus bertanggungjawab (Roma 14:12). Konsep takdir yang sering kita dengar dalam pergaulan bukanlah konsep Alkitab, bahkan itu bertentangan dengan kebenaran Firman Tuhan. Manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Keadaan manusia bukanlah hasil dari penentuan nasib atau takdir. Oleh karenanya dunia ini bukan panggung sandiwara, tetapi medan pergumulan antara memilih yang jahat atau yang baik. Keberuntungan atau kemalangan. Kehidupan atau kebinasaan. Tuaian dari apa yang kita tabur itu bisa kita tuai baik selama hidup dalam dunia maupun sesudah mati (2 Kor 5:10).
Oleh sebab itu kita tidak boleh hidup ceroboh, perhatikan kalimat dalam Gal 6:7, Allah tidak dapat dipermainkan, no one makes a fool God, God is not mocked. Manusia berurusan dengan Allah dan tidak dapat menghindarinya. Semua yang kita lakukan dalam hidup ini menimbulkan reaksi dan tindakan Allah atas diri kita. Sebab kita adalah hasil karya-Nya. Ia sebagai hakim yang adil untuk memberkati orang yang hidup dalam kebenaran dan menghukum orang yang tidak hidup dalam kebenaran. Orang-orang bebal yang tidak peduli Allah dan penghakiman-Nya suatu hari kelak akan berhadapan kepada kenyataan yang tidak pernah ia duga. Pada waktu itu penyesalan baru datang tetapi semua sudah terlambat. Oleh sebab itu Tuhan menganjurkan kita untuk menabur didalam Roh, maksudnya mengikuti kehendak Allah. Tentu hal ini akan menghasilkan buah Roh (Gal 5:22). Tetapi sebaliknya kalau menabur dalam daging, tentu menghasilkan buah-buah daging maka ia tidak akan memperoleh bagian dalam kerajaan Allah (Gal 5:19-21). Kebenaran Firman Tuhan dan hukum-hukum-Nya sebenarnya membawa manusia kepada kehidupan yang berkelimpahan. Secara tidak langsung hukum “tabur tuai” ini juga dipaparkan oleh pemazmur dalam Mazmur 73, bahwa pada akhirnya orang fasik akan jatuh dan hancur. Bila manusia tidak memiliki kehendak bebas dan hidupnya ditentukan oleh takdir, Tuhan Yesus tidak akan berkata “bertobatlah kamu”, kumpulkan harta di sorga dan lain sebagainya.
Salah satu pra-anggapan bagi penelitian etika adalah keyakinan bahwa manusia ialah makhluk yang bebas dan bertanggungjawab. Dua kata ini memiliki hubungan timbal balik. Manusia disebut sebagai makhluk yang bertanggungjawab apabila manusia bereksistensi sebagai makhluk yang bebas. Manusia sebagai makhluk yang bebas, oleh karena itu ia harus bertanggungjawab. Seandainya tidak demikian maka mustahillah menilai manusia secara etis. Oleh sebab manusia adalah makhluk yang bertanggungjawab (responsible) maka manusia juga adalah makhluk yang memikul gugatan (imputabilitas). Dengan realitas ini manusia tidak boleh ceroboh atau sembrono atas setiap perilakunya, sebab apa yang ditabur orang itu juga akan dituainya (Gal 6:7).
Jadi kalau ada seorang ibu yang menyesali perkawinannya dengan seorang pria yang ternyata tidak setia, lalu ia berkata bahwa keadaan tersebut adalah nasibnya, sudah ditakdirkan dari yang maha kuasa. Ibu ini sesat. Ibu ini sesungguhnya sedang menuai apa yang ia tabur. Mengapa ia memilih menikah dengan pria tersebut? Mengapa tidak dengan pria lain? Bukankah di dunia ini ada banyak pria? Jadi keadaan ibu yang sulit tersebut haruslah diterima sebagai konsekuensi pilihannya. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, makanlah bubur itu! Dalam hal ini kita harus belajar bertanggung jawab atas pilihan dan keputusan kita sendiri.
Hendaknya kita tidak membela kebodohan kita dalam mengambil keputusan dengan alasan takdir. Dengan demikian kita mencoba hendak melemparkan atau memindahkan kesalahan yang kita lakukan kepada Tuhan. Dalam hal ini Tuhan yang dipersalahkan. Kita menuduh Tuhan sebagai sumber kesulitan dan kesusahan kita. Pada hal apa yang kita alami adalah buah dari keputusan kita sendiri secara pribadi. Kesalahan memilih jodoh jangan ditimpakan kepada Tuhan. Terimalah sebagai kesalahan kita sendiri, tetapi juga jangan lari dari kenyataan. Tetap pertahankan rumah tangga semaksimal mungkin. Kenyataan yang kita lihat banyak perceraian yang timbul dari penyesalan atau salah pilih jodohnya. Bila kita menyadari arti tanggungjawab maka kita akan berusaha mempertahankan rumah tangga. Itulah konsekuensi kehidupan. Jika kita tidak berani memikul tanggungjawab dengan segala konsekuensi-konsekuensinya, jangan menjadi manusia.
Bagaimana kalau suatu hari ada seorang siswa sekolah tidak naik kelas, lalu berkata: “Ini adalah cobaan dari Tuhan. Tuhan sudah mentakdirkan”. Sikap ini sungguh merupakan kebodohan. Ia harus bertanya mengapa ia tidak naik kelas. Sudah belajar rajinkah selama ini atau belum. Sama dengan kasus seorang yang jatuh sakit, misalnya sakit jantung. Jangan menyalahkan Tuhan dengan alasan takdir. Perhatikan pola makan orang tersebut. Kalau seseorang tidak memiliki pola makan yang baik, menimbun kolestrol, lemak dalam darah-tryglicerid, maka saluran darahnya tersumbat maka berbagai penyakit berat mengancamnya, diantaranya sakit jantung, stroke, dan lain lain. Sama dengan kasus ketika seseorang mengalami musibah kecelakaan. Ia tidak mudah berkata: bahwa semua ini takdir. Kalau ia mengendarai mobil tidak siap, yaitu dalam kondisi tubuh letih, mata mengantuk, dengan kecepatan tinggi, dan lain lain tentu lebih dekat bahaya, atau karena malas memeriksa tekanan angin ban mobil sehingga pecah di jalan tol. Dengan memahami kebenaran ini maka kita harus mulai tidak mudah menyalahkan keadaan atau Tuhan karena takdir-Nya, tetapi memeriksa diri dengan seksama, bukan tidak mungkin keadaan buruk yang kita alami karena kesalahan kita sendiri. Konsep salah mengenai takdir ini bisa menyebabkan kurang bahkan mungkin tidak adanya dorongan yang memacu manusia untuk mengembangkan diri sesuai dengan rencana Tuhan. Oleh karena tanggung jawab individu tidak jelas maka hal ini menyebabkan manusia puas dengan kualitas rohaninya. Ia tidak terpacu bertumbuh secara luar biasa. Tidak terpacu memeriksa diri dengan seksama.
Dari sudut pandangan etika kebebasan perlu ada. Sebab bila menolak kenyataan manusia sebagai makhluk yang memiliki unsur kebebasan, maka etika tidak dapat tampil sewajarnya. Dalam hidup setiap orang, kebebasan adalah suatu unsur hakiki yang tidak dapat disangkal. Semua manusia mengalami kebebasan justru karena kita manusia dan kebebasan merupakan suatu realitas yang sangat kompleks. Tidak sedikit penganguran bukan karena dosa struktural masyarakat atau kelalaian pemerintah mengatur rakyatnya, tetapi juga karena kemalasan atau tidak profesionalnya seseorang mengembangkan bidang-bidang tertentu di masyarakat. Banyak kemiskinan menyergap seseorang karena kemalasan dan tidak tekun atau cacat mental lain. Kalau seseorang tidak bersedia berinteraksi dengan masyarakat secara santun dan dengan baik, suka marah, gampang tersinggung, tidak jujur atau tidak dapat dipercayai maka dimanapun dia berada cenderung ditolak oleh lingkungannya, ini awal dari kehancuran dan kemiskinan. Tentu dalam hal ini jangan membela keadaan yang sukar tersebut dengan alasan takdir.
Kehidupan, bukan nasib yang harus diterima begitu saja, melainkan merupakan tantangan yang menuntut keberanian dan tanggung jawab. Tanggung jawab berarti bahwa orang tidak boleh mengelak bila diminta penjelasan tentang perbuatannya. Alkitab dengan jelas menunjukkan bahwa setiap orang harus memberi pertanggunganjawab kepada Allah (Mat 12:36; Rom 14:12; Ibr 4:13; 1 Pet 4:5; Why 20:12). Dalam ayat-ayat ini manusia ditampilkan sebagai makhluk yang tergugat. Dalam hal ini kita disadarkan bahwa hidup ini bukan sebuah “game” murahan, tetapi sebuah medan laga yang beresiko tinggi, high risk. Manusia juga sangat berperan dalam menentukan keadaannya, jodoh lebih banyak ditangan manusia dari pada dalam pimpinan Tuhan atau ditangan Tuhan, juga kematian dini bukan karena takdir tetapi karena kesalahannya yaitu tidak menjaga kesehatannya, sembrono mengendarai kendaraan dll.
Jadi kalau tidak salah pilih jodoh, mengertilah bagaimana memilih jodoh yang baik. Pemilihan jodoh adalah hal yang sangat penting dalam hidup. Kalau mau menjadi kaya perlu bekerja rajin, sekolah giat, jujur dan makin profesional dan ahli dibidangnya. Kalau mau tidak sakit perlu memperhatikan pola makan, olah raga yang teratur istirahat yang cukup, dan lain lain. Kalau mau berhasil tentu perlu membayar harganya. Harga keberhasilan dalam Alkitab dikemukakan: Carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenaran-Nya.
ANTROPOLOGI ALKITAB (Pelajaran 8) By Dr. Erastus Sabdono
H. Progresifitas Manusia.
Ketika Tuhan menciptakan manusia, tidak dikatakan bahwa manusia adalah manusia yang sempurna. Mengapa? Kalau keadaan manusia sempurna berarti manusia tidak bisa berbuat dosa dan tidak perlu pertumbuhan atau perubahan lagi. Dikatakan segambar dengan Allah berarti manusia memiliki kemampuan seperti Allah tetapi tidak dikatakan manusia sama dengan Allah (Kej 1:26-27). Ketidaksamaannya dengan Allah adalah bahwa Allah tidak mungkin berbuat sesuatu yang salah atau jahat. Allah sudah sempurna sehingga tidak perlu ada perubahan dan perkembangan. Sedangkan manusia bisa melakukan sesuatu yang salah sebab manusia diberi kehendak bebas. Ini sama seperti malaikat. Malaikat pun diberi kehendak bebas. Selain itu manusia juga memiliki potensi untuk berubah dan mengalami perkembangan.
Dalam Alkitab tidak dijelaskan sampai seberapa jauh segambar dengan Allah yang dimaksud Alkitab tersebut. Juga tidak ditulis sampai sejauh mana manusia dapat mengembangkan diri. Ini bisa berarti, selain potensi moralnya yang luar biasa, manusia juga memiliki kemampuan yang luar biasa seperti kemampuan Allah sendiri untuk mengelola ciptaan-Nya. Tentu kemampuan manusia tidak akan sama dengan Allah, sebab manusia adalah ciptaan yang permanen hidup dalam kekuasaan Allah. Manusia adalah hamba dan Allah adalah Majikan. Manusia diciptakan untuk mengabdi kepada-Nya.
Dari kenyataan bahwa keadaan bumi harus dikembangkan (Kej 1:28-29) dan dalam proses penciptaan Tuhan menciptakan dengan tahapan-tahapan yang ketat, maka bukan tidak tertutup kemungkinan manusia secara individu juga harus mengembangkan diri sedemikian rupa. Sehingga manusia menjadi dewasa atau mengembangkan semua potensi yang telah ditaruh Tuhan di dalam dirinya untuk dapat menemukan dan mengembangkan alam ciptaan Tuhan, yaitu potensi moralnya dan potensi yang lain.
Potensi moral artinya bahwa manusia dapat mengembangkan diri dapat memiliki moral yang makin sempurna seperti Bapa di Sorga. Bagaimana seandainya manusia tidak jatuh dalam dosa, apakah manusia tidak mengerti apa yang baik dan apa yang jahat? Apakah manusia dapat memahami apa yang baik dan jahat baru setelah berbuat dosa? Kemungkinan yang paling bisa diterima adalah bahwa melalui perjalanan waktu manusia dapat menjadi dewasa dan lebih bijaksana. Jadi, manusia juga bisa mengalami proses untuk menjadi dewasa atau lebih sempurna. Seandainya manusia dapat melampaui cobaan di taman Eden, bisa jadi manusia dapat mengungguli Iblis. Manusia menjadi lebih cerdas dan lebih sempurna dalam moralnya. Barangkali ada pergumulan lain menghadapi pencobaan selain apa yang dikisahkan dalam Kejadian 3. Melalui segala pergumulan dan berjalannya waktu, manusia dapat menjadi sempurna. Penjelasan ini sulit diterima sebab selama ini pengertian kita, bahwa manusia yang diciptakan Tuhan adalah manusia yang sempurna yang tidak perlu ada perkembangan lagi. Bukan tidak mungkin, akhirnya manusia dapat mengetahui apa yang baik dan jahat seperti Tuhan tetapi tidak berbuat jahat. Mari kita renungkan. Mengapa manusia jatuh dalam dosa menghadapi pencobaan iblis? Apakah manusia diciptakan hanya dengan kemampuan seperti itu? Logikanya, manusia diperlengkapi kemampuan untuk menang atau mengungguli musuh. Tetapi kemampuan itu harus dipertahankan dengan cara yang tidak melanggar apa yang diperintahkan Tuhan dan ditingkatkan sehingga tidak bisa jatuh dalam dosa.
Dalam ketulusan hati Tuhan dan kesucian-Nya, pasti Tuhan tidak merancang manusia untuk jatuh dalam dosa. Lebih kita yakin bahwa Tuhan menghendaki manusia menjadi teman atau sahabat sekutu-Nya di keabadian, tanpa harus berbuat dosa. Lebih besar kemungkinan bagi manusia bahwa manusia harus mengalami proses pendewasaan atau penyempurnaan sehingga bisa tidak akan berbuat dosa melanggar kehendak-Nya, dari pada pemikiran bahwa manusia diciptakan dalam kondisi tidak bisa berubah lagi. Statis dan ternyata diciptakan kalah unggul dengan iblis. Pemahaman ini penting, agar orang percaya yang sekarang ini terpilih mengembangkan diri untuk menjadi sempurna seperti Bapa.
Pengembangan ini bisa saja terus berlanjut dalam dunia yang akan datang. Hal ini didasarkan pada pernyataan Paulus bahwa baik diam di dalam tubuh ini maupun di luarnya ia berusaha untuk berkenan kepada-Nya (2 Kor 5:10). Penjelasan yang terakhir ini tidak terlalu penting. Boleh diyakini boleh tidak, tetapi yang penting orang percaya harus bersedia diubahkan terus oleh Tuhan selama hidup di bumi ini. Orang yang bersedia diubahkan Tuhan adalah orang yang layak menerima kemuliaan. Walaupun manusia sudah jatuh dalam dosa tetapi manusia masih bisa berkarya sangat menakjubkan. Hari ini kita dapat menyaksikan ilmu pengetahuan dan tehnologi yang ditemukan manusia sangat menakjubkan. Inilah makhluk cerdas yang Tuhan ciptakan. Tidak bisa dibayangkan betapa dahsyatnya, seandainya manusia tidak jatuh dalam dosa. Betapa luar biasa prestasi yang akan dicapai manusia untuk mengelola bumi ini dan atas semua ciptaan Tuhan yang lain, yaitu kalau manusia tidak jatuh dalam dosa. Dalam hal ini Tuhan tidak membuat pembatasan. Kalau manusia dijadikan kawan sekerja Allah, tentu manusia dilengkapi dengan segala kemampuan yang luar biasa.
Ternyata alam yang diciptakan Tuhan ini menyimpan berjuta misteri kekayaan yang bisa tiada batas. Sebab Allah yang menciptakan alam ini adalah Allah yang Maha cerdas maka hasil karya-Nya pun pasti luar biasa. Karena alam adalah karya dari pribadi yang Maha cerdas, maka manusia juga harus cerdas. Kecerdasan manusia harus dapat mengimbangi kecerdasan Tuhan yang menciptakan alam semesta ini. Tentu mengimbangi disini bukan melampaui. Itulah sebabnya manusia harus menandatangani “kontrak kerja” dengan Tuhan (Kej 2:15). Manusia harus bekerja dan menghasilkan karya-karya yang luar biasa. Dan dalam kerja tersebut manusia mengembangkan diri, yaitu potensi di dalam diri selain potensi moralnya.
Hal ini sejajar dengan kenyataan bahwa cara Tuhan menciptakan alam semesta ini juga dalam tahapan-tahapan proses yang ketat dari hari pertama sampai hari ke enam. Hal kedua, bahwa bumi diciptakan dalam keadaan yang masih harus digarap. Tidak statis tetapi berpotensi progresif. Tentu progresif sesuai dengan jadwal Tuhan dan untuk kemuliaan-Nya. Dalam kitab Kejadian dikisahkan keturunan Kain orang berdosa lebih berprestasi dari pada keturunan Set yang benar (Kej 4:20-22). Apakah dalam hal ini keturunan Set lebih bodoh? Tentu tidak. Keturunan Set dalam jalur kehendak Tuhan sehingga progresifitas mereka juga progresifitas yang baik, sesuai dengan irama Tuhan. Hari ini kita melihat progresifitas manusia yang tidak terkendali. Satu sisi tehnologi berkembang, tetapi tidak membuat manusia benar-benar nyaman dan aman. Hal ini tidak akan terjadi di dunia yang akan datang.
Sekarang ini kita dapat membuktikan bahwa dibalik apa yang kelihatan mudah oleh mata manusia, Tuhan menaruh kekayaan alam yang tiada terbatas. Ini adalah tehnologi Tuhan atau kecerdasan Tuhan yang harus ditemukan oleh manusia dan manusia harus menemukan dan mengelolanya secara bijaksana. Seandainya manusia tidak jatuh dalam dosa, manusia beranak-pinak akan memenuhi bumi. Tentu saja manusia yang tidak bisa mati akan membuat bumi tidak mampu menampung populasi manusia. Bagaimana penyelesaiannya? Tentu mudah sekali, sebab manusia yang tidak berdosa dengan kecerdasan seperti Allah mampu menanggulanginya.
Pengertian jatuh dalam dosa harus dipahami dengan benar dan lengkap. Kalau kejatuhan itu membuat manusia kehilangan kemuliaan Allah (Rom 3:23), itu berarti dalam segala aspeknya manusia telah gagal mencapai standar yang Tuhan rancang. Manusianya sendiri telah rusak, tidak memiliki keadaan segambar dengan Allah dan bumi dalam keadaan terhukum (Kej 3). Ini adalah kondisi yang tidak dikehendaki oleh Tuhan. Keadaan manusia dan bumi ini telah jatuh, jauh dari standar kesempurnaan Tuhan. Keselamatan dalam Yesus Kristus memiliki proyeksi ini, bahwa manusia akan dibawa kepada rancangan semula Allah di langit baru dan bumi yang baru. Hal ini dikemukakan untuk membawa kita kepada keyakinan bahwa di balik dunia hari ini yaitu di langit baru dan bumi baru nanti, standar kesempurnaan kehidupan yang dirancang semula, sebelum manusia jatuh dalam dosa akan diwujudkan oleh Tuhan. Tuhan tidak pernah gagal atas apa yang direncanakan (Ayub 42:2)
Dunia yang kita huni hari ini adalah dunia yang jauh dari standar kemakmuran dan keindahan yang Tuhan maksudkan. Kalau kita mengingininya berarti kita menganggap Tuhan “bodoh”, sebab kita menganggap bahwa hanya kualitas rendah yang dapat diciptakan-Nya dan disediakannya bagi kita. Apa yang dapat dimiliki manusia hari ini tidak ada artinya dengan apa yang Tuhan sediakan nanti di belakang langit biru. Jadi, Alkitab berkata: Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan diri sendiri? (Luk 9:25). Keindahan apapun dan dalam jumlah sebanyak apapun tidak ada artinya dengan kesempatan melewati hari kekal di langit baru dan bumi yang baru nanti bersama dengan Tuhan.
Itulah sebabnya Tuhan Yesus datang ke dunia untuk menggoncangkan dunia dengan segala goncangan agar manusia tidak merasa betah di bumi dan merindukan dunia lain yang lebih baik (Mat 10:34; Luk 12:49). Tuhan Yesus lah yang mampu membuka meterai yang membuat kuda-kuda dapat keluar dan membawa perubahan di bumi, perang, kelaparan, pembunuhan dan lain sebagainya (Why 5-8). Segala sesuatu ini harus terjadi sebelum datangnya jaman baru, jaman penuh dengan kesengsaraan (Mat 24:8).
Dapat dimengerti kalau manusia yang diselamatkan adalah manusia yang berani melepaskan diri dari segala milik agar dapat dimuridkan atau didewasakan atau dirubah. Manusia yang tidak bisa dirubah seperti yang Tuhan kehendaki adalah manusia yang tidak akan selamat (Mat 18:3). Hal ini memberi kesan bahwa di langit baru dan bumi baru nanti ada kehidupan yang berlangsung seperti yang dirancang semula oleh Tuhan, dimana ada juga pertumbuhan dan perubahan. Sebuah kreasi yang luar biasa dari kecerdasan manusia yang diciptakan Tuhan. Pola yang telah digariskan atau ditetapkan Tuhan di awal penciptaan agar dilangsungkan di langit baru dan bumi yang baru. Menatap hal ini maka kita barulah menghayati apa yang dimaksud Petrus dalam suratnya mengenai hidup penuh pengharapan (1Pet 1:3-4). Menimbang kemuliaan yang akan diterima orang percaya, maka pantaslah kalau orang percaya dituntut untuk melepaskan beban dan dosa (Ibr 12:1). Orang percaya harus fokus kepada perkara-perkara yang diatas bukan yang dibumi (Mat 6:19-22; Kol 3:1-4). Pantaslah Tuhan menyatakan bahwa kalau seseorang masih terikat dengan harta dunia ia tidak akan mengerti Firman Tuhan (Luk 16:11). Pantaslah pula kalau Tuhan menyatakan bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah. Orang percaya tidak boleh mengingini dunia ini. Kalau kita bekerja mencari nafkah sebab kita akan mewujudkan rencana Allah dalam hidup kita pribadi dan orang lain yang memberi diri diselamatkan oleh Tuhan Yesus Kristus.
ANTROPOLOGI ALKITAB (Pelajaran 9)
I. Pemulihan Gambar Diri (Bagian 1)
Manusia sedang mengalami krisis gambar diri. Gambar diri adalah pengertian seseorang mengenai siapa dirinya dan harus menjadi apa atau bagaimana dirinya sendiri tersebut. Krisis gambar diri adalah kegagalan seseorang mengenal siapa dan bagaimana dirinya di hadapan Tuhan. Apabila pandangan seseorang mengenai manusia salah, maka salahlah semua gerak hidupnya. Krisis ini akan melahirkan berbagai krisis kehidupan lainnya.
Dua Aspek Gambar diri
Dewasa ini banyak orang sedang berbicara mengenai gambar diri, baik di dalam maupun di luar lingkungan gereja. Tampillah penceramah-penceramah, pembicara-pembicara dan pengkotbah-pengkotbah yang mengambil tema ini sebagai isi percakapannya. Dalam pelatihan-pelatihan para pemimpin dan pejabat gereja, tema ini juga diangkat ke permukaan sebagai bahan ajarannya. Rupanya banyak orang sudah menganggap pokok ini penting. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan gambar diri itu (self image)? Gambar diri adalah pemahaman seseorang mengenai siapa dirinya? (Who he is) dan harus menjadi apa atau bagaimana dirinya tersebut (self esteem). Jadi, gambar diri dimiliki dua aspek:
• Aspek present atau kekinian (who I am now).
• Aspek future atau yang akan datang (who I will be).
Aspek present atau kekinian yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya saat ini. Setiap orang memiliki penilaian atau harga terhadap dirinya sendiri. Dalam hal ini ada orang yang menilai dirinya terlalu tinggi, tetapi ada juga yang memandang dirinya terlalu rendah. Orang yang memandang dirinya tinggi cenderung percaya diri dan merasa yakin pasti diterima siapapun dan dimanapun. Hal-hal ini biasanya dianggap positif, pada hal belum tentu. Orang yang percaya diri bukan berarti telah memiliki gambar diri yang benar.
Sebaliknya kalau seseorang memandang dirinya rendah, maka akan cenderung rendah diri atau minder. Orang yang minder sebenarnya adalah orang sombong dari sudut yang berbeda. Orang yang rendah diri adalah orang yang menetapkan suatu standar. Karena tidak mencapai standar tersebut maka ia menjadi minder. Orang minder tidak menerima diri sebagai mana adanya. Itulah letak kesombongannya. Kalau ia menerima keberadaannya, maka ia tidak minder. Orang yang memandang diri terlalu rendah bukan saja cenderung minder tetapi juga mudah memiliki perasaan tertolak dan perasaaan tertolak dan perasaan negative lainnya. Perbaikan atas hal ini bukan saja mengembalikan penilaian atas dirinya secara proporsional, sehingga tidak minder, tidak merasa tertolak dan lain sebagainya, tetapi mengenakan pikiran dan perasaan Kristus.
Ceramah mengenai gambar diri yang diajarkan sering tidak memiliki ukuran yang jelas. Percaya diri dianggap sebagai tanda seorang yang sudah menemukan gambar diri. Bila demikian ukurannya, maka ini bukanlah kebenaran Alkitab. Ini hanyalah pengembangan kepribadian yang juga diajarkan oleh para motivator umum. Pengembangan kepribadian bila diajarkan tanpa kebenaran Injil akan membangun sikap humanisme (berpusat kepada diri sendiri) dan tidak mengembangkan pola hidup seperti yang disaksikan Paulus yaitu “hidupku bukan aku lagi” (Gal 2:19-20). Tuhan menghendaki agar orang percaya memiliki kembali gambar Allah yang rusak dalam dirinya. Tuhan Yesuslah teladannya. Itulah sebabnya orang percaya harus mengenakan pikiran dan perasaan Kristus Yesus.
Gambar diri juga memiliki aspek future atau akan datang, yaitu bagaimana seseorang akan membawa dirinya (self esteem). Gambaran dalam diri seseorang dapat menjadi apa atau bagaimana dirinya di kemudian hari. Aspek ini sangat diperankan oleh filosofi orang tersebut. Kalau ia memandang kekayaan adalah nilai tertinggi maka bayangan dirinya adalah menjadi orang kaya. Kalau ia memandang gelar adalah nilai tertinggi, maka ia berusaha mencapai jenjang pendidikan tertentu untuk dapat meraih gelar. Kalau ia memandang kedudukan adalah nilai tertinggi kehidupan, ia berusaha menjadi orang terhormat, baik di gelanggang politik maupun di bidang lain. Dan manusia terus bergerak untuk menjadi seseorang seperti yang diidolakan.
Apa yang dilakukan oleh manusia pada hakekatnya adalah proses meniru. Dari generasi ke generasi proses ini berlangsung secara otomatis. Pola pikir dan gaya hidup seseorang pada umumnya meniru apa yang sudah dilakukan orang sebelumnya dan apa yang dilihat dari lingkungannya. Ini yang disebut oleh Petrus sebagai cara hidup yang diwariskan oleh nenek moyang (1 Pet 1:18-19). Inilah proses membangun gambar diri yang salah.
Semua orang berjuang untuk menjadi seseorang seperti yang diidolakan. Idola manusia pada umumnya adalah menjadi orang yang berlimpah harta, berpendidikan tinggi, berpangkat, berpenampilan menarik, cantik atau ganteng dan lain sebagainya. Pada umumnya orang tua juga mendorong anak-anaknya mengidolakan apa yang diidamkan oleh mereka. Kalau orang tua mengidolakan profesi dokter maka anaknya diusahakan untuk menjadi dokter. Kalau orang tua mengidolakan ilmu, maka ia mendisain anaknya untuk menjadi ilmuwan. Dari kecil setiap anak manusia sudah dijejali obsesi-obsesi dan segala cita-cita yang berpusat kepada diri sendiri atau berpusat kepada ausia (anthroposentris). Gambar diri yang dibangun oleh seseorang untuk dapat diwujudkan secara konkret dalam kehidupan ini pada umumnya adalah menjadi sosok yang dikagumi, dipuja dan dihormati manusia lain.Gambar Diri yang benar secara umum dan khusus
Ada dua macam gambar diri yang benar. Gambar diri secara umum dan gambar diri secara khusus. Secara umum artinya gambar diri yang mengacu atau menunjuk kepada manusia yang dikehendaki Allah, dalam hal ini Tuhan Yesus sebagai teladan-Nya (Fil 2:4-7). Untuk ini Injil harus dibedah dan digali untuk menemukan gambaran yang jelas, manusia macam apakah yang dikehendaki oleh Bapa itu. Gambaran mengenai manusia yang dikehendaki oleh Bapa adalah standar umum. Dalam hal ini semua orang percaya memiliki peta gambar diri yang sama yaitu mengacu kepada pribadi Tuhan Yesus Kristus sebagai model atau prototipenya. Gambar diri ini bisa disebut sebagai landasan utama dan umum dari gambar diri untuk semua orang percaya.
Gambar diri secara khusus artinya kehendak Tuhan kepada masing-masing individu untuk menjadi sosok pribadi macam apakah masing-masing individu itu. Dalam hal ini setiap orang memiliki gambar diri yang berbeda-beda. Tidak ada yang sama. Setiap orang memuat atau memikul rencana Allah secara khusus dan istimewa. Oleh sebab itu, hendaknya kita tidak membandingkan keadaan diri kita dengan orang lain. Setiap orang dirancang Tuhan dengan keadaannya yang khas, unik dan luar biasa. Sesuai dengan keberadaannya tersebut Tuhan memiliki rencana untuk dapat digenapi pada masing-masing individu. Dalam hal ini masing-masing orang memiliki peta diri yang berbeda. Disini nyata kebijaksanaan Tuhan sekaligus kreativitasnya menciptakan manusia dengan keberadaannya yang bermacam-macam modelnya. Tidak ada 2 orang yang sama di dunia ini sekalipun mereka anak kembar. Mari renungkan, betapa dahsyat, bahwa di kenyataan jagad raya ini hanya ada seorang, yaitu anda. Dalam hal ini tidak seorangpun dapat dan boleh menghakimi sesamanya, sebab Tuhan yang Maha Tahu, satu-satunya yang berhak menggelar penghakiman-Nya.
Peran Waktu
Sering kita mendengar orang berkata dan bermotto, bahwa bukan awal perjalanan yang menentukan tetapi akhir perjalanan. Karena hampir semua orang setuju dengan pernyataan tersebut, maka banyak orang Kristen pun ikut-ikutan setuju. Apakah pernyataan ini benar? Apakah akhir perjalanan hidup seseorang menentukan segalanya. Pernyataan tersebut mengesankan bahwa hanya saat-saat terakhir kehidupan seseorang yang menentukan nasib kekalnya. Bila konsep ini dibenarkan, maka ada kecenderungan untuk tidak mulai berjaga-jaga mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelum mendekati hari kematian atau menghadap tahta pengadilan Tuhan. Ini adalah sebuah kecerobohan, sebab seseorang tidak pernah tahu kapan saat terakhir hidupnya. Itulah sebabnya Tuhan jarang sekali memberitahu kapan seseorang dipanggil-Nya pulang. Hal ini paralel dengan hari kedatangan Tuhan. Tidak seorangpun tahu kapan kedatangan-Nya yang kedua kali untuk menyudahi sejarah dunia ini (Mat 24:36; Kis 1:7). Kalau manusia tahu hari kedatangan-Nya, maka sikap berjaga-jaga yang benar tidak dimiliki secara benar. Pertobatannya juga tidak benar. Sebenarnya yang menentukan “nasib kekal seseorang” bukan hanya akhir perjalanan hidup seseorang, tetapi juga awal, pertengahan dan seluruh perjalanan hidupnya. Hendaknya kita tidak berpikir bahwa awal dan pertengahan perjalanan hidup tidak terlalu penting. Seluruh waktu yang tersedia adalah kesempatan untuk bersiap-siap bertemu dengan Hakim Agung. Ini berarti setiap saat seseorang harus siap menghadap Tuhan untuk mempertanggung jawabkan seluruh kehidupannya selama di dunia (2Kor 5:9-10). Bagi orang percaya pertanggungan jawabnya adalah apakah telah menemukan gambar diri yang Allah kehendaki. Disinilah letak perkenanan di hadapan Bapa. Untuk meraih hal ini orang percaya harus memanfaatkan setiap detiknya guna pengembangan diri untuk sempurna seperti Bapa.
Dalam bahasa Yunani ada beberapa kata yang dapat diterjemahkan “waktu” dalam bahasa Indonesia. Pertama"Hora". Kata ini menunjuk kepada waktu dalam pengertian durasinya (panjang pendeknya, lama singkatnya). Kita harus memperhatikan bahwa durasi waktu hidup kita sangat singkat. Durasi waktu itu merupakan kesempatan untuk merubah diri menjadi pribadi yang Tuhan kehendaki. Dalam 70 tahun umur hidup ini, seseorang harus menemukan gambar dirinya sesuai dengan kehendak Tuhan.
Kata kedua adalah "Kronos" artinya waktu dalam pengertian urut-urutannya. Kata ini menjadi kronologi dalam bahasa Indonesia. Dalam kebijaksanaan Tuhan, Tuhan telah merancang segala sesuatu indah. Rancangan Tuhan tesebut seperti kurikulum mahasiswa yang dirancang agar mahasiswa dapat menjadi lulusan yang berkualitas. Melalui urut-urutan peristiwa dalam kehidupan ini seorang anak Tuhan dibentuk agar menemukan gambar dirinya yang benar menurut Pencipta-Nya.
Sedangkan kata yang ketiga adalah "Kairos". Kairos berarti momentum. Ada saat-saat yang berharga dan sangat berarti dalam kehidupan ini dimana Tuhan menggarap seseorang. Momentum-momentum tersebut merupakan vitamin jiwa yang merubah warna jiwa seseorang menjadi seperti yang Tuhan mau. Warna jiwa inilah yang menentukan kualitas gambar diri seseorang.
Tiga kata untuk waktu ini (hora, kronos dan kairos) mengisyaratkan bahwa seluruh perjalanan waktu hidup ini penting. Bukan hanya awal perjalanan yang penting tetapi juga seluruh hora (durasi), kronos (urut-urutan kejadian) dan kairos (momentum atau kesempatan) yang Tuhan sediakan bagi orang percaya guna proses pendewasaannya. Dalam hal ini kita memahami betapa berharganya setiap detik waktu kita. Setiap detik kita berharga untuk mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar (Fil 2:12). Mengerjakan keselamatan adalah usaha untuk memiliki pikiran dan perasaan Kristus (Fil 2:5-7). Inilah keselamatan itu, yaitu menemukan gambar diri (memiliki pikiran dan perasaan Kristus) dan mengenakannya secara konkret.
Durasi hidup manusia sekarang hanya sekitar 70 tahun. 70 tahun tersebut menentukan nasib kekal atau keberadaan bagi seseorang (2Kor 5:9-10). Paulus menulis bahwa penderitaan ringan yang sekarang ini (70 tahun), mengerjakan bagi orang percaya kemuliaan kekal yang melebihi segala-segalanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan itu. Kalau 70 tahun dibanding 7 juta tahun, satu detiknya mengerjakan kemuliaan yang sangat berarti. Kalau 70 tahun dibanding 7 milyar tahun, satu detiknya mengerjakan kemuliaan yang sangat besar. Kalau 70 tahun dibanding 7 trilyun tahun, satu detiknya mengerjakan kemuliaan sangat-sangat besar. Dan kalau 70 tahun dibanding dengan kekekalan, maka satu detiknya mengerjakan kemuliaan yang tiada tara. Mata perhatian kita tidak boleh hanya memandang detik terakhir hidup ini dan menilainya lebih berarti, seolah-olah hanya detik terakhir yang menentukan nasib kekal. Yang menentukan nasib kekal manusia bukan hanya akhir perjalanan hidupnya tetapi sepanjang perjalanan hidupnya. Kalau awalnya sudah salah, sulit pada pertengahan menjadi benar. Awalnya benar saja belum tentu pertengahannya benar. Apalagi kalau awalnya sudah salah, maka kesalahan akan terjadi terus sampai akhir. Harus diingat bahwa tidak seorangpun tahu kapan detik terakhirnya. Setiap detik adalah momentum (Kairos) yang berharga yang memuat pelajaran rohani yang berharga, sesuai dengan jadwal pembentukan yang Tuhan susun seperti kurikulum (kronos). Itulah sebabnya Firman Tuhan menyatakan bahwa kita harus menggunakan waktu yang ada sebab hari-hari ini adalah jahat (Ef 5:16). Satu detik kita memiliki arti yang sangat berharga, karena itu bagian dari durasi (hora), urut-urutan (kronos) dan kesempatan (kairos) yang Tuhan berikan. Bila menggunakan waktu itu dengan baik maka waktu itu membawa manusia kepada kemuliaan. Harus kita ingat bahwa waktu (hora) kita makin berkurang, kesempatan-kesempatan (kairos) dapat berlalu tanpa hasil dan urut-urutan pembentukan Tuhan atas kita menjadi sia-sia. Betapa berharganya waktu kita. Detik demi detik berlalu, Tuhan menunggu anak-anak-Nya untuk menggunakan kesempatan hidup ini untuk meraih berkat kesulungan yang dimiliki orang percaya yaitu kesempatan untuk sempurna agar bisa dipermuliakan bersama-sama dengan Yesus. Tetapi kenyataan yang ada orang Kristen yang menukar hak kesulungannya dengan semangkuk makanan. Ini adalah percabulan rohani. Hal ini tindakan mengkhianati Tuhan. Suatu hari nanti orang-orang seperti tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri (Ibr 12:16-17). Jadi bukan hanya detik terakhir yang menentukan tetapi juga semua detik hidup yang diberikan Tuhan kepadanya.
Perjuangan Membangun Gambar Diri
Mengapa dikalangan orang Kristen terdapat pemahaman bahwa yang penting adalah akhir perjalanan. Harus diakui ada suatu pengertian yang salah mengenai keselamatan yang ada dalam pikiran banyak orang Kristen. Keselamatan dianggap begitu murahan dan gampangan (Luk 13:22-29). Inilah yang menyebabkan banyak orang Kristen memiliki hidup kerohanian yang tidak bermutu. Dari pernyataan-pernyataan Tuhan di perikop ini jelaslah dapat disimpulkan bahwa “keselamatan bukan sesuatu yang gampangan dan murahan.” Perhatikan ucapan Tuhan Yesus: Berjuanglah. Kata ini dalam teks aslinya adalah “agonizeste” artinya struggle atau strive (berjuang atau berusaha dengan keras). Pengertiannya yang lain adalah labor fervently (bekerja dengan bersemangat atau bernyala-nyala). Pemahaman keselamatan yang salah disebabkan pula intepretasi yang salah terhadap fragmen di kayu salib, yaitu keselamatan yang diterima oleh salah satu penjahat disamping Tuhan Yesus (Luk 23:39-43). Hanya mengucapkan: “Ingatlah aku kalau Engkau datang sebagai Raja”, ia sudah selamat. Banyak orang tidak memahami bahwa penjahat tersebut memiliki ” sikap hati yang luar biasa”, yang karenanya ia layak menerima keselamatan. Beberapa hal yang menunjukkan sikap hatinya nampak dalam beberapa pernyataan yang diucapkan di kayu salib tersebut: Ia mengakui bahwa Tuhan Yesus adalah Mesias, Sang Juru Selamat dan Yesus berkuasa menyelamatkan dirinya di kekekalan. Ia percaya bahwa Yesuslah Raja. Pada saat orang-orang meninggalkan Tuhan Yesus, bahkan murid-murid Yesus menyangsikan Dia adalah Mesias, justru ia satu-satunya yang masih percaya pada waktu itu. Apakah kita masih bisa mempertahankan iman Kristen dalam keadaan terjepit, atau bisa-bisa menyangkal Yesus seperti Petrus. Kesetiaan sampai akhir yang menentukan keselamatan seseorang, tetapi ini tidak hanya ditentukan oleh menit-menit. Kemenangan petinju bukan hanya pada menit-menit terakhir ketika ada di ring tinju tetapi hari-hari panjang pada waktu ia mempersiapkan diri bertinju di ring tinjunya.
Penjahat ini menerima dengan rela hukuman salib terhadap dirinya. Ia merasa bahwa ia pantas menerimanya. Ini menunjuk pengakuan dosanya yang tulus dan jujur. Sukar mengatakan bahwa penjahat ini tidak bertobat. Inilah pertobatan yang sesungguhnya, bukan pertobatan yang semu. Tidak mungkin sikap hati seperti ini dapat dimilikinya secara mendadak. Tentu ia telah membangunnya melalui detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun-tahun yang panjang. Apa yang dilakukan penjahat ini adalah peta perjalanan yang telah dilaluinya. Ia bukan penjahat kriminal tetapi penjahat politik di mata penjajah, yaitu kekaisaran Roma. Oleh sebab itu detik terakhir penjahat ini bukan merupakan penentu satu-satunya keselamatannya. Dari sikap penjahat yang baik ini kita menemukan suatu gambar diri yang melayakkan ia dibawa ke Firdaus, sedangkan penjahat yang tidak baik memiliki gambar diri yang tidak layak di bawa ke Firdaus.
Pelajaran berharga lain yang kita peroleh dari penjahat di samping salib Tuhan itu adalah dari pernyataan-pernyataan penjahat tersebut di kayu salibnya menunjukkan hormatnya kepada Tuhan Yesus (Luk 23:39-43). Rupanya penjahat ini sudah mengenal Tuhan Yesus sebelum penyaliban mereka. Itulah sebabnya ia dapat membela Tuhan Yesus dan mengatakan bahwa Yesus tidak bersalah. Hal ini bukan diperolehnya dalam sehari tetapi tahun-tahun yang panjang dalam perjuangan yang benar-benar serius. Penjahat yang baik ini tidak mempersoalkan masalah dunia fana tetapi ia mempersoalkan perkara-perkara sorgawi, yaitu Firdaus. Sukar mengatakan ia tidak rohani. Sebagai perbandingan adalah teman penjahatnya yang mempersoalkan bagaimana ia bisa turun dari salib itu, ia masih mempersoalkan bagaimana menikmati hidup di dunia ini. Sedangkan penjahat yang baik ini tidak. Dari pernyataannya nampak kualitas sikap hati yang melayakkan ia masuk Firdaus. Inilah yang dimaksud dengan: Mendahulukan kerajaan Allah (Mat 6:33), dan mencari perkara-perkara yang diatas (Kol 3:1-4). Dalam kondisi yang terjepit seperti penjahat ini, ia masih memandang Kerajaan Tuhan Yesus Kristus. Ia tidak hanyut dalam keduniawian. Ia memiliki kepribadian sorgawi.
Ia tidak menghujat Tuhan Yesus, di tengah situasi frustasi yang dialaminya. Ia tidak mempersalahkan Tuhan dan memaksa Tuhan menolongnya. Ia tidak egois. Ia mengakui bahwa Tuhan Yesus tidak bersalah, lebih lanjut. Ia mengadakan pembelaan untuk Tuhan Yesus.
Ia tidak memikirkan nasibnya tetapi kepentingan Tuhan Yesus. Ini adalah hal yang paling istimewa dalam diri penjahat saleh ini. Pembelaannya kepada Tuhan adalah motif dasar hidup dan pelayanan kita kepada Tuhan. Coba kita periksa apakah diri kita telah memiliki pembelaan yang sedemikian ini kepada Tuhan. Dalam keadaan yang terjepit seperti penjahat tersebut, Ia masih memikirkan kepentingan Tuhan walau ia sendiri memiliki kepentingan. Inilah sebenarnya landasan pelayanan yang benar kepada Tuhan. Orang-orang seperti ini pantas mendapat mahkota. Jadi kalau kita melayani pekerjaan Tuhan, motivasi inilah yang harus bertahta di hati kita.
Tuhan tentu tidak sembrono mempersilahkan penjahat disampingnya masuk Firdaus tanpa memenuhi kriteria penghuni Firdaus. Kalau penjahat tersebut masih bermental penjahat masakan disamakan dengan orang-orang saleh di sorga. Penjahat adalah status lahiriahnya tetapi mentalnya penduduk Firdaus. Dengan melihat sikap hati penjahat disamping Tuhan, penjahat saleh ini kita belajar sikap hati yang hati yang benar yang harus kita miliki dihadapan Tuhan. Kualitas rohani penjahat ini pasti bukan dibangun dalam beberapa jam. Ia bukan penjahat kriminal karena kejahatan yang dilakukan tetapi penjahat politik. Ia ditangkap karena membela Yahwe Allah Israel.
J. ANTROPOLOGI ALKITAB (Pelajaran 10) By Dr. Erastus Sabdono
Pemulihan Gambar Diri (Bagian 2)
Mampu Merubah Diri dan Lingkungannya. Hanya mahkluk manusia yang memiliki kemampuan untuk mengenal dirinya sendiri dan kemampuan menentukan keadaannya. Mahkluk lain tidak memiliki kemampuan ini. Belajar mengenal diri dan memahami bagaimana seharusnya menjadi manusia yang sesuai rancangan Penciptanya, sebenarnya sama dengan usaha untuk memanusiakan manusia, sebab kejatuhan manusia ke dalam dosa membuat manusia telah tidak menjadi manusia seperti yang dikehendaki Penciptanya. Manusia yang dikehendaki Allah adalah manusia yang memiliki gambar diri seperti yang Tuhan kehendaki. Jadi, kalau manusia belum menjadi manusia seperti yang dikehendaki Tuhan berarti ia belum menjadi manusia yang ideal menurut Tuhan. Sebelum Tuhan menciptakan manusia, Tuhan telah membuat rancangan mengenai “model” manusia yang diinginkan-Nya. Tidak mungkin Tuhan menciptakan tanpa rancangan. Seperti yang diinformasikan Alkitab bahwa dalam penciptaan manusia, Tuhan menciptakan dengan musyawarah (Kej 1:26).
Selain mengenal dirinya sendiri, manusia juga mampu merubah diri dan mengubah keadaan sekelilingnya. Itulah sebabnya kalau kita belajar mengenai gambar diri, hal ini dimaksudkan agar kita bukan saja mampu mengenal diri kita sendiri tetapi juga mengusahakan diri agar menjadi manusia seperti yang dikehendaki oleh Tuhan Sang Pencipta sehingga mampu mengubah keadaan. Keadaan diri kita dan keadaan lingkungan kita, baik manusia maupun alamnya. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah mengenal diri dengan jujur, memahami bagaimana manusia yang dikehendaki Tuhan.Seorang yang belajar mengenal siapa dirinya (siapa manusia), berarti ia bersedia menerima panggilan untuk bertobat dan diperbaharui agar menjadi manusia sesuai dengan rancangan-Nya. Semua orang pasti memiliki konsep gambar diri di dalam hidupnya dan harapan atau cita-cita bakal menjadi apa dirinya nanti.
Dari seluruh sikap hidup seseorang, apa yang menjadi hasrat dan cita-citanya nampak konsep gambar dirinya. Sulitlah seseorang menyembunyikan konsep gambar dirinya di mata manusia lain. Disini sebenarnya gambar diri seseorang akan sangat mudah terbaca oleh sesamanya. Berkenaan dengan hal ini, Tuhan Yesus berkata bahwa dari buahnya kita mengenal seseorang (Mat 7:16). Dari seluruh tindakan hidup seseorang nampak peta kehidupan seseorang. Gambar diri seseorang juga tidak bisa dipisahkan dari pemahamannya mengenai kehidupan. Justru konsepnya mengenai kehidupan ini sangat mempengaruhi dan menentukan gambar dirinya. Ide-ide yang diserap seseorang akan menjadi pemikiran, pemikiran akan menjadi konsep. Konsep yang dimiliki merupakan substansi dari jiwa yang membangun gambar diri. Misalnya, kalau seseorang menganggap bahwa nilai tertinggi kehidupan adalah harta, maka ketika memiliki banyak harta maka ia merasa dirinya sukses atau terhormat. Kalau ia miskin, maka ia merasa diri gagal, tidak berarti dan menjadi rendah diri. Selanjutnya ia akan memburu kekayaan agar ia menjadi “sosok orang kaya”, sebab baginya menjadi orang kaya adalah bentuk keberhasilan kehidupan. Jadi, ketika Tuhan Yesus mengajarkan kebenaran, maka kebenaran itu akan membangun konsep gambar diri yang benar menurut Tuhan dan apa yang Tuhan kehendaki; bisa menjadi apa setiap individu menurut Dia atau sesuai dengan rencana-Nya. Tanpa mengerti apa yang Tuhan Yesus ajarkan, maka seseorang tidak akan menemukan gambar diri yang benar.
Keadaan Tidak Berpotensi.
Sebenarnya pada dasarnya manusia yang telah jatuh dalam dosa dan kehilangan kemuliaan Allah (Rom 3:23), terlahir dalam keadaan yang tidak berpotensi sama sekali untuk memilih dan mengenal gambar diri yang benar. Ini bagian dari dosa warisan yang diterima setiap anak-anak Adam (Maz 51:7). Jadi adalah keliru, kalau orang berpendirian bahwa ada manusia yang dapat mengenal gambar dirinya tanpa mengenal kebenaran Injil. Adam sendiri telah kehilangan kesempatan untuk menemukan gambar dirinya dengan benar dan bertumbuh menuju keserupaan dengan Allah lebih baik. Oleh karena kejatuhan manusia pertama tersebut maka semua keturunannya telah kehilangan kesempatan untuk memiliki pengetahuan mengenai gambar dirinya, sampai Tuhan Yesus menyelamatkannya.
Kejatuhan manusia dalam dosa karena bujukan iblis untuk menjadi seperti Allah (Kej 3:1-6), menunjukkan manusia belum mengenal gambar diri dengan benar. Kalau manusia memahami gambar diri dengan benar, maka ia tidak akan makan buah yang terlarang untuk dimakan tersebut. Siapakah sebenarnya manusia itu? Manusia adalah mahkota ciptaan Allah (ciptaan Allah dengan kualitas tertinggi). Raja di bumi atas kuasa yang Tuhan berikan. Manusia diberikan kemampuan untuk menaklukkan bumi (Kej 1:28). Pasti didalamnya termasuk semua rintangan yang merintangi penyelenggaraan pemerintahannya. Kemungkinan potensi terbesar yang akan mengganggu pemerintahan manusia adalah malaikat-malaikat pemberontak yang dibuang ke bumi (Why 12:4).
Dengan mandat menaklukkan bumi berarti manusia diberi kesanggupan untuk mengalahkan iblis. Apakah manusia bisa menaklukkan iblis? Mengapa tidak? Tentu bisa, sebab tidak mungkin Bapa merancang kejatuhan manusia ke dalam dosa, kemudian mengutus Tuhan Yesus Kristus untuk mengalahkan iblis. Manusialah yang seharusnya dapat mengalahkan iblis. Banyak orang menganggap bahwa inkarnasi Allah Anak menjadi manusia adalah skenario Allah yang pasti harus dilakukan. Ini juga berarti bahwa kejatuhan manusia ke dalam dosa adalah rancangan Tuhan. Tuhan dianggap sebagai sumber bencana. Sesungguhnya manusia dirancang untuk bersekutu dalam kurun waktu yang tidak terbatas. Tuhan menciptakan manusia hanya untuk hidup dalam persekutuan dengan Dia dan pengabdian kepada-Nya selamanya. Betapa dahsyat mahkluk ini. Gambar diri ini rupanya belum ditemukan Adam dengan sempurna atau dengan baik sehingga ia masih bisa terkecoh oleh iblis, yaitu tergoda untuk menjadi sama seperti Tuhan, akhirnya jatuh. Dengan menemukan gambar diri secara utuh dan benar manusia tidak akan jatuh dalam dosa. Manusia dirancang seperti Bapa-Nya, yaitu Allah sendiri.
Tidak Statis
Seandainya Adam tidak berbuat dosa, maka melalui perjalanan waktu yang tidak terbatas manusia akan mengenal dirinya dengan benar. Manusia bisa mencapai keserupaan dengan Bapa lebih baik dan memahami apa yang baik dan buruk tanpa harus berbuat dosa terlebih dahulu. Tetapi rancangan ini tertunda karena kejatuhannya. Sekarang, di dalam dan melalui kehidupan anak-anak Allah, Tuhan hendak kembali menggenapkan rancangan-Nya, yaitu menciptakan manusia menurut gambar-Nya dan terus bertumbuh sampai menemukan gambar dirinya dengan benar dan sempurna. Dan begitu banyak pandangan mengenai gambar dan rupa Allah (tselem dan demuth) yang diungkapkan Kejadian 1:26-27, terdapat kemungkinan bahwa pengertian gambar adalah keserupaan yang diperoleh sejak penciptaan atau sejak lahir sedangkan rupamenunjuk keserupaan yang diperoleh belakangan. Kata-kata yang digunakan untuk gambar dan rupa di dalam teks asli Alkitab yaitu dalam bahasa Ibrani adalah tselem dan demuth. Tselem hendak menunjuk gambar dalam arti unsur-unsur dasar yang dimiliki Allah juga dimiliki manusia yaitu pikiran, perasaan, kehendak, kekekalan dan hakekat kerja. Adapun Demuth adalah keserupaan yang menunjuk kepada kualitas atas unsur-unsur tersebut. Keserupaan dengan Allah yang dimiliki manusia bukan sesuatu yang statis tetapi bisa progresif. Walaupun pandangan ini tidak mudah untuk menjadi pijakan, tetapi faktanya jelas, yaitu bahwa manusia pertama yang diciptakan “memiliki peluang untuk berkembang atau progresif”. Pemahaman ini sulit diterima karena konsep orang selama ini adalah bahwa keberadaan manusia yang diciptakan sudah selesai. Satu entitas yang tidak bisa berkembang lagi secara intelektual maupun aspek lainnya, termasuk moralnya. Bila demikian, berarti tidak akan ada perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Bila intelektual bisa berkembang maka bukan tidak mungkin hal ini sebangun atau parallel dengan perkembangan moral manusia yang sama artinya dengan makin ditemukan gambar dirinya.
Landasan yang lain terhadap pandangan ini adalah bahwa manusia tidak mungkin diciptakan dengan kondisi statis dan tidak mampu mengungguli iblis. Kalau manusia sampai jatuh dalam dosa atau kalah terhadap iblis, itu juga karena pilihannya bukan karena kemampuannya. Kalau manusia memilih taat, maka proses penyempurnaan akan terus berlangsung sampai tingkat dimana iblis tidak akan bisa mengunggulinya atau menjatuhkan. Dalam hal ini jelas sekali, bahwa manusia seharusnya dapat mengalahkan iblis. Manusia harus mengembangkan diri, menemukan gambar diri yang luar biasa yaitu segambar dan serupa dengan Allah, sampai tidak bisa jatuh dalam dosa.
Keselamatan dalam Yesus Kristus membuka peluang manusia dapat belajar mengenal dirinya dengan benar dan mengembangkannya sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki (Mat 5:48). Pernyataan Tuhan Yesus bahwa orang percaya harus sempurna seperti Bapa di Sorga sebenarnya sama dengan panggilan untuk menemukan gambar diri yang Allah Bapa kehendaki. Dan gambar diri yang ditemukan adalah “kesempurnaan Bapa di Sorga”.
Pergumulan untuk menemukan gambar diri ini belum tuntas diselesaikan oleh Adam. Sekiranya Adam bertumbuh dalam pengembangan gambar diri, yaitu kesempurnaan seperti Bapa di Sorga, pastilah ia tidak jatuh dalam dosa. Kalau manusia bisa sempurna seperti Bapa berarti iblis tidak akan mampu mengungguli-Nya. Rancangan Tuhan adalah bahwa manusia dapat mengungguli musuh dengan keberadaan segambar dan serupa dengan Allah. Dengan demikian istilah “krisis gambar diri” harus dikoreksi dan dipahami dengan pemahaman yang baru. Sebab kalau dikatakan krisis, seolah-olah pernah terjadi atau ada suatu masa dimana manusia pernah memiliki gambar diri yang sempurna, padahal dari fakta sejarah sebelum Anak Allah datang, manusia belum sempat sampai kepada tingkat mengungguli iblis. Kalaupun harus digunakan kata “krisis”, ini harus dalam pengertian bahwa manusia memang belum mencapai gambar diri yang dikehendaki oleh Allah, sementara waktu atau kesempatan untuk menerima restorasi atau pemulihan gambar diri (deadline) semakin dekat.
Jadi pengertian yang benar mengenai kata krisis gambar diri bukan mengembalikan gambar diri yang rusak, seolah-olah manusia pernah mencapai gambar diri yang ideal atau sempurna dan telah menetap permanen dalam dirinya, tetapi mengembalikan proses penyempurnaan untuk menemukan gambar diri yang telah gagal oleh manusia pertama. Adam pertama gagal, Adam terakhir yaitu Tuhan Yesus Kristus berhasil (Luk 2:52). Dengan keberhasilan Adam terakhir menemukan gambar diri seperti yang Bapa kehendaki (Mat 3:17), maka orang percaya dan mengikut Dia diberi kemungkinan untuk berhasil juga, sama seperti Dia (Rom 8:29). Dengan demikian panggilan untuk sempurna seperti Bapa adalah meneruskan proses penyempurnaan manusia yang tertunda oleh Adam. Kedatangan Tuhan Yesus sebagai Adam terakhir dari dimulainya kembali proses pencarian gambar diri oleh manusia yang diciptakan segambar dengan Allah agar sempurna seperti Bapa di Sorga. Melalui dan di dalam Dia, Bapa menciptakan manusia-manusia baru yang akan dapat menjadi kesukaan Bapa. Dengan demikian bukan hanya kepada Tuhan Yesus. Bapa menyatakan bahwa Bapa berkenan, tetapi juga kepada orang percaya yang menemukan gambar dirinya seperti Yesus.
ANTROPOLOGI ALKITAB (Pelajaran 11)
Pemulihan Gambar Diri (Bagian 3)
Menyangkal Diri.
Manusia sedang mengalami krisis gambar diri. Konsep gambar diri setiap orang dibangun dari apa yang dilihat, didengar dan dialami sejak masa kanak-kanak. Padahal apa yang dilihat, didengar dan dialami seseorang belum tentu membawanya kepada gambar diri yang dikehendaki Tuhan. Ternyata bukan hanya pengalaman yang menyakitkan atau yang dianggap negatif yang dapat merusak gambar diri, tetapi pengalaman hidup yang serba nikmat dan nyaman (yang dianggap positif) dapat menjadi pemicu rusaknya gambar diri seseorang. Justru kadangkala keadaan nyaman, terhormat dan kaya mengkondisi seseorang lebih sukar masuk Kerajaan Sorga. Ini sama dengan kondisi dimana seseorang tidak mudah untuk diubahkan. Ceramah mengenai gambar diri sering menyalahkan keadaan negatif sebagai kausalitas prima (penyebab utama) rusaknya gambar diri. Padahal bukan hanya keadaan buruk saja yang dapat merusak gambar diri, keadaan baik pun berpotensi sangat besar bisa merusak gambar diri.
Kesalahan beberapa gereja selama ini adalah tidak membongkar konsep-konsep salah mengenai kehidupan yang telah dipahami oleh jemaat, yaitu mengenai gambar diri yang salah. Malah sebaliknya gereja berusaha untuk membantu mewujudkan apa yang dipahami sebagai keberhasilan, kemenangan, hidup yang berkelimpahan dan diberkati dan lain sebagainya. Jemaat dilatih untuk mengembangkan self esteem yang bertentangan dengan rencana pemulihan gambar diri. Jemaat bukan semakin menemukan gambar dirinya tetapi semakin sesat jauh dari peta gambar diri yang Tuhan kehendaki.
Kegagalan mengenal dirinya bersumber kepada satu hal saja yaitu tidak mengenal kebenaran Tuhan. Sehingga mereka tidak mengerti bagaimana gambar diri yang dikehendaki oleh Allah itu. Pengalaman hidup dlsb tidak menjadi pemicu yang berarti untuk itu (walaupun memiliki pengaruh juga). Banyak pembicara mengenai gambar diri sering menyalahkan pengalaman masa lalu sebagai kausalitas rusaknya gambar diri, tetapi sebenarnya pengalaman apapun dapat merusak gambar diri seseorang. Bukan hanya pengalaman yang menyakitkan (yang dianggap negatif) yang bisa merusak kepribadian sehingga tidak memiliki gambar diri yang benar, tetapi pengalaman yang baik (yang dianggap positif) juga bisa mengakibatkan seseorang membangun gambar diri yang salah. Dunia yang fasik tanpa disadari telah membangun gambar diri yang salah dalam kehidupan setiap individu. Hanya kebenaran yang dapat mengantisipasinya. Untuk mengembalikan gambar diri, seseorang harus bersedia menyangkal diri (Mat 16:24). Menyangkal diri adalah kesediaan untuk membuang konsep dan segala asumsi-nya mengenai kehidupan ini; asumsi mengenai keberhasilan, kebahagiaan dan lain sebagainya. Seperti yang telah dijelaskan bahwa konsep mengenai kehidupan sangat mempengaruhi seseorang membangun gambar dirinya. Hanya dengan penyangkalan diri maka gambar diri yang salah bisa diganti. Menyangkal diri artinya bersedia menanggalkan gambar diri yang salah yang tertanam dalam benaknya. Gambar diri ini diperoleh dari apa yang didengar dan dilihat pada orang tua dan lingkungannya. Semua ini membangun konsep gambar diri seseorang. Selama ini yang dipahami sebagai penyangkalan diri adalah sikap yang menolak perbuatan salah yang dikategorikan melanggar moral dan kesediaan melakukan hukum yang dianggap sebagai standar moral. Ini sebenarnya belum bisa dikatakan penyangkalan diri tetapi pertarakan.
Penyangkalan diri adalah sikap yang menolak semua filosofi hidup yang dipahami oleh orang tua dan lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Filosofi hidup yang diwariskan kepada kita pada umumnya adalah perjuangan untuk meraih keberhasilan melalui sekolah, kuliah, berkarir, berdagang, mencari nafkah dengan berbagai profesi, menikah, mempunyai anak, membesarkan anak, mencari menantu, ikut membesarkan cucu dan lain sebagainya.
Semua itu dilakukan untuk meraih apa yang disebut sebagai keberhasilan atau paling tidak sebuah kelayakan atau kewajaran hidup. Anak-anak Tuhan dipanggil untuk mengabdi kepada Tuhan. Baik makan atau minum, atau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah (1Kor 10:31). Anak Tuhan memang harus sekolah, kuliah, berkarir, dagang, menikah dan lain sebagainya, tetapi semua itu harus dilakukan bagi Tuhan yang telah menebus kita dan membeli kita dengan darah-Nya.
Ke Tingkat yang Lebih Tinggi
Sebenarnya jiwa manusia penuh dengan perbendaharaan yang busuk yang tidak membangun diri menjadi manusia yang tidak dikehendaki oleh Allah. Perbendaharaan itu antara lain: keserakahan, kesombongan atau mau dihormati, kebencian, ambisi memerintah orang lain atau mau berkuasa, tidak mau menerima orang lain sebagaimana adanya dlsb. Inilah yang membuat gambar diri manusia semakin jauh dari gambar diri ideal yang harus dicapai oleh setiap individu. Perbendaharaan jiwa yang busuk tersebut juga merupakan penyakit jiwa yang tidak mudah disembuhkan. Banyak orang merasa sudah sembuh dari hal-hal itu, tetapi sebenarnya belum. Karena kecerdasan dan kelicikan hati seseorang, maka manifestasi dari kebusukan jiwanya tidak mudah dikenali, bahkan oleh dirinya sendiri. Pendidikan budi pekerti, pengembangan kepribadian dan berbagai ajaran etika sering hanya memoles bagian luarnya tetapi tidak memperbaharui sampai kedalaman. Pada dasarnya orang-orang seperti itu belum hidup baru dalam Tuhan seperi yang dikemukakan dalam 2Kor 5:17. Kepada orang-orang seperti itu Tuhan menyatakan bahwa mereka tidak dikenal atau tidak dapat dinikmati oleh Tuhan (Mat 7:21-23). Keadaan mereka jauh dari standar kesucian atau kebenaran Tuhan. Bagaimana seseorang bisa mengenal, bahwa dirinya masih jauh dari standar kesucian atau kebenaran Tuhan? Ia harus memiliki kesungguhan untuk mencapai standar hidup yang luar biasa. Ia tidak boleh merasa puas dengan kebaikan yang telah ia capai. Ia harus selalu bertanya: Apakah ada yang lebih baik dari apa yang sudah kucapai hari ini, seperti pertanyaan orang muda yang kaya dalam Matius 19:20: “Semuanya itu telah saya lakukan, apa lagi yang masih kurang”? Hanya orang yang haus dan lapar akan kebenaran yang akan dipuaskan (Mat 5:6). Orang yang selalu ingin mencapai tingkat yang lebih tinggi dalam kesucian Tuhan yang akan memperoleh jawaban.
Bagaimana seseorang dapat dinaikkan ke tingkat yang lebih tinggi kalau ia sendiri tidak memiliki keinginan untuk mencapainya. Banyak orang yang tidak memiliki kerinduan untuk mencapai tingkat kesucian atau kebenaran yang lebih tinggi disebabkan karena menganggap hal itu tidak terlalu penting. Bagi mereka segala kesenangan hidup lebih berarti dan membahagiakan. Tanpa disadari, mereka merendahkan nilai-nilai kesucian dan kebenaran Tuhan serta mencampakkannya seperti sampah. Pada dasarnya mereka menghina Tuhan. Tetapi mereka tidak merasa demikian, sebab mereka masih melakukan kegiatan gereja dan dihargai oleh sesamanya sebagai orang baik. Inilah orang-orang yang tidak mendahulukan Kerajaan Sorga, walaupun kadang-kadang mereka mendahulukan gereja. Kerinduan untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi harus berangkat dari diri sendiri. Hal ini tidak bisa dipaksakan. Ini adalah pilihan. Bila seseorang menunda memilih hari ini, maka ia tidak akan memiliki kerinduan tersebut untuk selamanya. Sia-sia hidup ini.
Semakin menjadi pribadi yang dikehendaki oleh Tuhan atau menemukan gambar diri yang benar sama artinya dengan semakin meningkatnya kesucian dan kebenaran Tuhan dalam hidup seseorang. Hal ini rentang atau jaraknya bisa tidak terbatas. Seandainya seseorang memiliki waktu umur hidupnya 1000 tahun, waktu itupun tidak akan cukup untuk menjangkau kesucian dan kebenaran Tuhan yang tersedia bagi manusia. Sangat mungkin, perkembangan kesucian dan kebenaran Tuhan dalam hidup seseorang akan berlanjut nanti di langit baru dan bumi yang baru. Tetapi ini hanya dialami oleh orang-orang yang selama hidup di dunia ini menghargainya. Menghargai kesucian dan kebenaran Tuhan berarti berusaha untuk melakukan kehendak Tuhan apa yang baik, yang berkenan dan yang sempurna (Rom 12:2). Orang-orang seperti ini tidak curiga terhadap Tuhan Yesus dan kehendak-Nya bahwa kita harus sempurna seperti Bapa (Mat 5:48).
Sayang sekali banyak orang mau memiliki rumah, mobil, kehormatan, pangkat dan fasilitas lain yang serba terbaik, tetapi tidak merindukan kehidupan rohani yang terbaik. Inilah yang Alkitab katakan sebagai orang-orang bodoh (Luk 12:15-21). Inilah orang-orang yang menukar hak kesulungannya dengan semangkuk makanan (Ibr 12:16-17). Kebodohan itu barulah disadari ketika seseorang menutup mata, ternyata ia miskin dalam keabadian. Penyesalan atas hal ini hanya bisa digambarkan dengan ratap tangis dan kertak gigi. Jadi, kalau Tuhan berfirman: kumpulkan harta di Sorga, itu dimaksud agar kita membenahi jiwa kita untuk diisi kebenaran Tuhan, menggantikan segala yang busuk yang ada di dalamnya. Nasihat Tuhan untuk mengumpulkan harta di Sorga berkenaan dengan kotbah Tuhan Yesus di Bukit (Mat 5-7), yaitu ketika Tuhan meletakan dasar moral untuk umat Perjanjian Baru. Bila jiwa seseorang diisi kebenaran Tuhan, maka ekspresi dari jiwa yang bersih tersebut akan pasti dirasakan manusia di sekitarnya.
Kesempatan ini hanya diberikan kepada umat Perjanjian Baru. Umat Perjanjian Lama tidak memiliki kesempatan ini dan mereka tidak sanggup untuk melakukannya, karena mereka tidak memiliki kuasa untuk hidup sebagai anak-anak Tuhan (Yoh 1:2-13).
Kuasa untuk hidup sebagai anak-anak Tuhan adalah kemampuan untuk hidup dalam pimpinan roh (Rom 8:14). Dan Tuhan hanya menyediakan paket ini untuk orang yang percaya. Jadi kalau seseorang mau hidup baik-baik saja, maka ia tidak perlu menjadi orang Kristen. Orang Kristen adalah manusia yang dipanggil untuk mencapai standar kesucian dan kebenaran Tuhan. Oleh sebab itu Tuhan menghendaki kita mempersoalkan hal ini lebih dari mempersoalkan hal lain.
Mengutamakan Kerajaan Sorga tidak akan mengganggu kegiatan hidup kita setiap hari, bahkan sebaliknya Tuhan akan membuat masalah pemenuhan kebutuhan jasmani kita tidak mengganggu pergumulan untuk mencapai standar kesucian dan kebenaran Tuhan.
ANTROPOLOGI ALKITAB (Pelajaran 12)
Pemulihan Gambar Diri (Bagian 4)
Proses keselamatan dalam Yesus Kristus pada dasarnya adalah proses menjadikan manusia unggul bagi Tuhan. Manusia unggul adalah manusia seperti rancangan semula. Inilah “cita-cita Tuhan”. Keunggulan ini bukan diukur oleh nilai-nilai benda atau materi. Ukuran keunggulan disini adalah ukuran Tuhan. Jadi tidak seorangpun berhak menghakimi sesamanya dan menilai dari ukurannya sendiri. Untuk menemukan nilai keunggulan ini seseorang harus belajar kebenaran Firman Tuhan. Dengan belajar kebenaran Firman Tuhan maka seseorang mengenal pribadi Tuhan Yesus yang merupakan prototype manusia yang dikehendaki oleh Allah. Dalam hal ini ayat-ayat Perjanjian Lama tidak bisa menjadi tolok ukur kehidupan iman Kristen. Kalaupun kita mengambil ayat Perjanjian Lama, maka kita harus melihat konteksnya dengan seksama. Ayat-ayat Perjanjian Baru memuat kebenaran yang pantas dikenakan dalam kehidupan orang percaya. Dari pemahamannya terhadap kebenaran Alkitab seseorang menemukan gambar diri secara umum. Selanjutnya seseorang harus bergumul dengan Tuhan setiap hari untuk menemukan gambar diri secara khusus. Semua orang percaya memperoleh panggilan untuk ini. Untuk masuk dalam proyek menjadi manusia unggul bagi Tuhan, seseorang harus mempertaruhkan segenap hidupnya bagi Tuhan. Tanpa pertaruhan segenap hidup ini seseorang tidak akan menjadi manusia seperti yang dikehendaki oleh Allah. Pertaruhan segenap hidup artinya harus sungguh-sungguh serius. Bukan kegiatan sambilan. Disini berlaku Firman Tuhan yang mengatakan: Kasihilah Tuhan Allah-mu dengan segenap hidupmu (Mat 22:37-40; Mark 12:28-34; Luk 10:25-28). Kasih seseorang kepada Tuhan ditunjukkan dengan kesediaan menjadi pribadi seperti yang Tuhan kehendaki. Langkah penyempurnaan sebagai orang yang menerima keselamatan, dimulai dari manusia harus jadi manusia yang secara umum terlebih dahulu, barulah dapat menjadi manusia unggul warga Kerajaan.
Di dunia ini kita dapat menemukan orang-orang yang memiliki nilai kebaikan secara umum. Kebaikan secara umum ini antara lain: memiliki kejujuran, santun dan etika, sehat jasmani, cerdas berpikir, tidak ceroboh dalam mengambil keputusan, rajin dan giat bekerja, hemat, bertanggung jawab dalam tugas, sopan dalam tutur kata, bisa mengatur keuangan pribadinya dengan baik, produktif dan berguna di tempat kerja, memiliki prestasi dalam study, karir maupun dalam bidang lainnya, dibutuhkan masyarakat, bersosialisasi atau bermasyarakat dengan baik, tidak membuat onar tetapi membawa kesejahteraan dan ketentraman, memiliki toleransi yang tinggi terhadap orang lain dan berbagai aspek, menggunakan lidahnya dengan baik, menguasai diri dan mampu mengontrol perasaan dengan seksama, tidak mengingini milik orang lain dlsb. Orang-orang yang memiliki kebaikan secara umum ini biasanya tidak atau kurang memiliki kesulitan dalam hidup berumah tangga, ekonomi dan kesehatan jasmaninya. Jadi kalau seseorang harus terus menerus mengalami problem rumah tangga, kesulitan ekonomi dan kesehatan, patut memeriksa diri dengan seksama.
Kebaikan secara umum adalah kebaikan yang telah dimiliki orang kaya yang mengingini hidup kekal dalam Matius 19:16-26. Ia seorang yang telah melakukan hukum Taurat. Orang seperti ini hidupnya berkualitas secara umum, tetapi masih kurang satu lagi untuk memiliki hidup yang kekal atau hidup yang berkualitas menurut Tuhan. Satu lagi itu adalah mengikuti perkataan Tuhan Yesus (Mar 10:21). Tuhan menghendaki kita bukan saja menjadi baik tetapi sempurna. Inilah manusia unggul menurut Tuhan itu (Mat 5:48).
Mengapa harus memiliki kebaikan secara umum terlebih dahulu? Hal ini terjadi sebab manusia harus menjadi manusia yang cukup memadai, yaitu sehat dalam berbagai aspek hidupnya atau manusia yang utuh barulah dapat dibangun menjadi manusia yang sempurna. Manusia yang utuh maksudnya adalah manusia yang pikirannya atau mentalnya sehat, jasmaninya sehat dan lingkungan juga mendukung. Lingkungan yang mendukung bukan berarti harus keadaan yang berlimpah materi, tanpa masalah dan menyenangkan. Tetapi kondisi yang kondusif menurut Tuhan untuk pemulihan gambar diri.
Dalam pertimbangan Tuhan ada kondisi-kondisi tertentu yang efektif mengubah dan membentuk seseorang menjadi pribadi seperti yang dikehendaki-Nya. Dalam hal ini Tuhan mengajar kita untuk mengucap syukur dalam segala keadaan sebab situasi yang Tuhan ijinkan terjadi dalam hidup kita mendatangkan kebaikan bagi kita (Rom 8:28).
Pikiran atau mental yang sehat dibangun melalui pendidikan yang baik, baik formal (pendidikan umum, akademis) maupun informal yaitu lingkungan dan keluarga. Pikiran yang tidak sehat tidak akan membuat seseorang mampu mengerti pikiran Tuhan atau kebenaran-kebenaran Firman Tuhan. Tuhan adalah pribadi yang cerdas, hasil karya dan kebesaran-Nya juga lahir dari kecerdasan-Nya. Oleh sebab itu untuk memahami kecerdasan Tuhan seseorang harus mengimbangi Tuhan dengan memiliki kecerdasan semaksimal mungkin. Ingat, hanya orang yang mengasihi Tuhan dengan segenap akal budi yang dapat mengerti kebenaran-kebenaran-Nya.
Untuk menggali kebenaran Firman Tuhan dibutuhkan perangkat-perangkat antara lain: logika yang diasah, kemampuan memahami bahasa, terutama bahasa sendiri yang dipakai untuk menulis Alkitab. Lebih lengkap lagi kalau mampu memahami bahasa asli Alkitab (bahasa Ibrani dan Yunani). Logika yaitu kemampuan berpikir atau pemahaman tentang penalaran yang berdasarkan logika deduktif maupun induktif. Lebih lengkap lagi kalau seseorang dilengkapi dengan statistiknya yaitu sarana berpikir yang membantu seseorang menemukan kesimpulan-kesimpulan dari kebenaran Alkitab secara induktif dan fakta-fakta empirisnya.
Seseorang yang menggunakan logika dengan baik akan terhindar dari manipulasi-manipulasi dalam emosinya yang dapat menciptakan pemalsuan-pemalsuan. Kenyataan inilah yang banyak terdapat dalam kegiatan keagamaan. Kalau di kalangan orang Kristen lebih banyak pada gereja aliran Pentakosta, kharismatik dan sejenisnya. Dalam hal ini dibutuhkan pendidikan yang baik yang membiasakan seseorang memiliki nalar yang baik untuk menganalisa Alkitab. Tentu dalam hal ini nalar bukan segalanya, tetapi suatu bagian yang sangat penting. Fakta dalam kehidupan ini, negara atau bangsa yang tidak menggunakan logikanya atau rationya dengan baik, selain miskin karena tidak menjadi negara yang maju tetapi juga negara yang penuh konflik, kejahatan moral dalam gelanggang politik, diskriminasi, ketidak-adilan dan kebejatan lainnya. Hal ini sangat diperankan atau dipengaruhi oleh filosofi hidupnya, dan filosofi hidup sangat ditentukan oleh kepercayaan yang dianutnya. Keadaan suatu masyarakat dapat menjadi tolak ukur kebenaran kepercayaannya.
Di lapangan, sering kita jumpai orang-orang yang kualitas hidupnya secara umum saja sudah rendah, tetapi mereka dengan alasan dipimpin ROH KUDUS atau menerima karunia ROH KUDUS mengajar dan membimbing orang lain yang kualitas umumnya bisa lebih baik. Disini terjadi proses pembodohan. Mengapa hal ini terjadi? Sebab banyak orang berpikir bahwa kebaikannya secara umum yang dimiliki dalam kehidupan ini karena tidak berkaitan dengan kegiatan gereja atau agama dianggap sebagai tidak bermutu. Padahal kebaikan secara umum juga bagian dari proses penyempurnaan untuk menjadi manusia unggul menurut Tuhan. Kalau secara umum seseorang sudah tidak baik atau tidak berkualitas, maka seseorang tidak akan mencapai keunggulan di hadapan Tuhan.
Kehancuran kehidupan umat Tuhan dewasa ini disebabkan oleh karena umat dimentor oleh orang-orang yang sebenarnya belum memiliki kebaikan secara umum yang memadai. Mereka adalah orang-orang gagal dalam “market place”, kemudian melarikan diri dalam pelayanan gereja untuk memiliki kemudahan-kemudahan hidup. Biasanya orang-orang seperti ini akan menjadi “dukun-dukun dalam gereja”. Mereka tidak mengajarkan kebenaran kepada umat tetapi “menjual jasa”. Hal ini mirip dengan praktek perdukunan dalam masyarakat. Banyak orang-orang berpendidikan tinggi yang memiliki kualitas yang baik datang kepada dukun-dukun yang pendidikan SMP saja tidak lulus. Kelebihan mereka adalah “sakti” dan memiliki kedekatan dengan “sumber kuasa” yang dapat memberi solusi bagi masyrakat.
Manusia unggul menurut Tuhan adalah orang-orang yang mengembangkan semua potensi yang ada padanya. Itulah ibadah yang sejati. Pada umumnya orang masih memisahkan antara ibadah kepada Tuhan dan kehidupan setiap hari. Mereka beranggapan bahwa ibadah kepada Tuhan adalah bagian dari hidup ini. Itulah sebabnya mereka membedakan antara kegiatan yang bersangkut paut dengan Tuhan seperti berdoa, menyanyi lagu rohani, ke gereja dengan kegiatan yang tidak bersangkut paut dengan Tuhan seperti bekerja di kantor, rekreasi dengan keluarga, olah raga, makan, minum dlsb. Pemisahan atau pembedaan ini biasa disebut juga antara yang rohani dan duniawi. Bila kita masih memiliki anggapan atau sikap berpikir seperti ini, berarti kita belum mengerti kebenaran. Kita tidak boleh lupa bahwa dunia ini diciptakan oleh Tuhan. Bukan oleh iblis. Dunia ini tidak najis atau berdosa. Sebab yang berdosa adalah manusia dan yang disebut najis adalah segala perbuatan dan produknya yang bertentangan dengan prinsip kebenaran Tuhan. Hendaknya kita tidak sesat seperti aliran agama-agama tertentu yang memandang dunia ini jahat, harus dijauhi. Karenanya orang yang mau hidup suci menjauhi dunia dengan segala kegiatannya. Termasuk tidak menikah padahal menikah itu kudus sebab Tuhan yang menciptakan seks. Dalam hal ini berumah tangga juga panggilan dari Tuhan (mandate prokreasi), karenanya kita harus membangun rumah tangga sesuai dengan pola Tuhan. Orang yang gagal berumah tangga karena kesalahan atau kebodohannya sulit untuk menjadi pelayan Tuhan yan baik. Perlu pertobatan dan pemulihan yang signifikan.
Dalam Kejadian 1:28-29, Tuhan berfirman agar kita mengelola dunia ini. Perintah untuk mengelola dunia ini sebagai penyelenggara kehidupan di bumi ini merupakan perintah kudus yang rohani yang tidak boleh kita identifikasi sebagai duniawi. Itulah sebabnya kita tidak boleh membedakan profesi duniawi dan rohani diukur dari jenis pekerjaan itu semata-mata. Karenanya pula kita tidak boleh merasa kurang kudus hanya karena kita memiliki profesi bukan pendeta atau tidak memiliki kegiatan di gereja. Dalam Roma 12:1-2, Paulus menjelaskan arti ibadah yaitu mempersembahkan tubuh sebagai korban yang hidup, kudus dan yang berkenan. Ini artinya membudidayakan tubuh untuk kepentingan kehidupan sesuai dengan maksud Tuhan dan tidak menggunakan tubuh dalam bentuk perbuatan yang melanggar Firman Tuhan. Untuk ini merupakan kewajiban agar anak-anak Tuhan meningkatkan kualitas kemampuan kerja dalam membudidayakan semua potensi yang ada di dalam dirinya dan belajar kebenaran Alkitab untuk mengerti bagaimana menggunakan tubuh sesuai dengan Firman Tuhan.
Seorang aktivis gereja jangan merasa lebih kudus hanya karena memiliki tugas dalam gereja sebagai penerima tamu, mengedarkan kantong persembahan, sebagai majelis dll. Hidup seseorang rohani atau tidak, bukan ditentukan oleh aktivitasnya didalam gereja. Tetapi motivasi kehidupan orang itu. Yang penting disini adalah bahwa seseorang harus mengerti kebenaran Firman Tuhan sehingga sampai kepada motivasi hidup yang benar yaitu hidup bagi Tuhan (Fil 1:21).
Orang tidak akan memiliki motivasi hidup bagi Tuhan, kalau ia tidak bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan dari kebenaran Firman-Nya yang ditulis dalam Alkitab. Sekalipun ia seorang pejabat gereja kalau tidak bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan ia belum mampu hidup bagi Tuhan. Oleh sebab itu kita harus bertumbuh sehingga kita hidup hanya bagi Tuhan saja (Fil 1:21).
ANTROPOLOGI ALKITAB (Pelajaran 13)
Pemulihan Gambar Diri (Bagian 5)
Setiap manusia memiliki perasaan. Inilah bagian dari keunggulan yang dimiliki manusia, yang membedakan manusia dari binatang. Perasaan memberi warna hidup kepada manusia artinya bahwa perasaan inilah yang membuat manusia menikmati dunianya. Sebab dengan perasaan manusia dapat merasakan suasana dalam jiwanya antara lain: susah atau sedih, senang, cinta, sayang, benci, dendam, tersinggung, tersanjung dan lainnya. Perasaan memainkan sikap rendah diri, rendah hati atau kesombongan. Harga diri seseorang selain diperankan oleh pemahamannya mengenai hidup, juga sangat dipengaruhi oleh perasaan.
Perasaan merupakan institusi dalam jiwa yang memberi potensi seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungan khususnya dengan Tuhan dan sesama. Dalam hal ini kita temukan bila perasaan seseorang sehat maka sehatlah hubungannya dengan sesama. Bila perasaan seseorang sakit maka hubungan dengan sesama juga tidak harmonis.Perasaan memiliki peran yang sangat besar dalam hidup ini, sebab pilihan, keputusan, tindakan dan perilaku seseorang sangat dipengaruhi bahkan kadang ditentukan oleh perasaannya. Memang terdapat orang-orang tertentu yang lebih menggunakan logikanya dari pada perasaan, namun demikian tidak dapat disangkal bahwa peran perasaan tidak dapat diabaikan. Banyak keputusan-keputusan besar yang menentukan hidup seseorang terpengaruhi oleh perasaan bahkan ditentukan olehnya.
Perkembangan dan Tercemarnya Perasaan Dikarenakan oleh Dosa.
Seperti yang disinggung diatas bahwa perasaan terdapat dalam jiwa manusia. Dalam jiwa selain ada perasaan, juga ada pikiran atau ratio dan kehendak. Elemen-elemen ini saling mempengaruhi dalam jiwa manusia. Pada pembahasan ini kita memfokuskan pada “perasaan”. Untuk menjelaskan bagaimana proses perkembangan perasaan dalam hidup seseorang maka perlulah menjelaskan proses perkembangan jiwa. Lahirnya atau terciptanya jiwa dalam kehidupan manusia. Dalam sejarah gereja terjadi pergumulan mengenai struktur permanen manusia. Ini merupakan rahasia kehidupan yang tidak mudah diuraikan dan ditemukan formulasinya. Terdapat 2 pandangan yang diakui oleh gereja-gereja, yaitu teori dikhotomi dan trikhotomi. Gereja-gereja Barat pada umumnya menerima dikhotomi, bahwa manusia terdiri dari 2 unsur yaitu manusia batiniah dan manusia lahiriah atau unsur materi dan non materi. Tetapi gereja-gereja di Timur menganut pandangan teori trikhotomi, bahwa manusia terdiri dari 3 unsur yaitu roh (unsur religius), jiwa (unsur psikologis) dan tubuh (unsur fisik). Tentu masing-masing pandangan memiliki argumentasi yang menggunakan landasan Alkitab.
Sebenarnya sukar untuk mengatakan bahwa manusia ini terdiri dari 2 atau 3 unsur. Sebab kalau kita mencoba untuk membagi secara mutlak manusia dalam beberapa unsur atau unit maka kita bisa jatuh dalam kebingungan, sebab manusia sebuah personalitas yang tidak terpisahkan. Namun demikian manusia juga bukan 1 dalam arti hanya berunsur 1 komponen saja. Berdasarkan berita Alkitab ternyata memang ada unsur-unsur yang tergabung dalam diri mahkluk yang disebut manusia ini. Unsur-unsur ini adalah roh, jiwa dan tubuh (teori trikhotomi), yang oleh para penganut teori dikhotomi cukup dibagi 2 saja, yaitu manusia batiniah dan manusia lahiriah. Dalam teori dikhotomi roh dan jiwa disatukan.
Bila kita mengamati Alkitab manusia yang diciptakan segambar dengan Allah, keberadaan yang lahiriah (daging, tubuh jasmaniah) bukanlah satu-satunya yang membuat manusia dapat dinyatakan sebagai mahkluk manusia. Manusia juga memiliki roh dan jiwa. Oleh karena manusia harus mengelola bumi ini sebagai “manager” maka manusia diberi baju atau kemah (2Kor 5:1-2), dengan demikian manusia dapat bersentuhan dengan “alam lahiriah” ini dan mengelolanya. Tubuh yang diciptakan oleh Allah dari debu dengan 5 indera merupakan bagian hidup manusia yang memampukan manusia berhubungan dengan dunia materi (world conciousness).
Persenyawaan antara tubuh dan roh inilah ada jiwa. Jiwa inilah unsur batiniah manusia dimana pikiran, tubuh dan roh beraksi. Jadi Allah menjadikan manusia sebagai mahkluk hidup (living soul) dari kesatuan tubuh dan nafas hidup. Jiwa inilah tempat perasaan, kehendak dan pikiran atau akal budi. Disini manusia mampu memiliki kesadaran diri (self consciousness). Didalam kesadaran diri inilah perasaan “berdetak” atau bereaksi dan beraksi. Jiwa manusia bertumbuh seiring dengan perkembangan fisik manusia. Dalam jiwa inilah ada kesadaran. Ketika manusia lahir ia sudah memiliki jiwa, tetapi jiwanya belum “sadar”, si “aku” nya belum sadar. Seiring dengan waktu maka kesadaran jiwa atau si “aku” bertumbuh, didalamnya termasuk kesadaran tentang diri sehingga seseorang memiliki “harga diri”.
Kualitas perasaan Manusia.
Warna jiwa seseorang menentukan kualitas “perasaan” seseorang. Masalahnya sekarang adalah banyak jiwa yang sakit, itulah yang disebut tidak berkualitas. Bila jiwa sakit maka perasaannya juga sakit, cacat, luka atau tidak dewasa. Akar dari kerusakan hidup manusia adalah karena dosa (Rom 3:23).
Adapun yang mempengaruhi kualitas atau warna perasaan seseorang dapat dijelaskan sebagai berikut:
*Faktor keturunan. Bagaimanapun karakter orang tua terwariskan kepada anak. Anak-anak “merekam” karakter orang tua didalam dirinya.
*Lingkungan. Antara lain pendidikan, keluarga, pergaulan dan lainnya.
*Pengalaman masa lalu. Pengalaman ini sangat memberi pengaruh terhadap pembentukan jiwa didalamnya termasuk perasaan.
Dalam hal ini ilmu jiwa juga mengakui, bahwa pengalaman masa lalu seseorang membentuk kepribadian seseorang termasuk perasaannya. Karena faktor-faktor diatas ini perasaan seseorang terbentuk. Ada orang yang gampang tersinggung, gila hormat, rendah diri, merasa tertolak, gampang marah dan lainnya. Bila perasaan yang sakit ini belum disembuhkan maka kehadiran orang tersebut akan melukai orang lain pula. Dalam gereja mereka menjadi sumber persoalan atau sumber kesulitan yang banyak org dalam pelayanan.
Sebagaimana tubuh dan roh dapat sakit, jiwa juga dapat sakit. Sakitnya tubuh karena virus dan bakteri. Roh sakit atau mati karena dosa (Ef 2:1). Jiwa sakit dapat dikarenakan oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup seseorang. Pengalaman-pengalaman masa lalu tersebut adalah pengalaman-pengalaman yang menyakitkan dan seseorang tidak mampu mengantisipasinya, misalnya: penolakkan dari orang tua dan lingkungan, kekecewaan akibat penghianatan, melihat kejadian-kejadian yang menakutkan, pelecehan seksual, kemiskinan, penderitaan yang berkepanjangan dan lain sebagaini.
Inilah yang dimaksud dengan luka batin (Yes 61:1,3 kata remuk disini adalah “bruises”, sama dengan pengertiannya dengan luka. Sejajar dengan Mazmur 147:3). Pengalaman-pengalaman tersebut dapat membentuk kepribadian seseorang, termasuk mempengaruhi perasaannya. Selain beberapa faktor yang membentuk perasaan maka ada beberapa faktor yang mempengaruhi perasaan seseorang antara lain: fisik dan suasana jiwa pada waktu tertentu. Oleh sebab itu pada waktu fisik terganggu dan suasana jiwa tidak baik hendaknya kita tidak mengambil keputusan.
Pemulihan Jiwa.
Berbicara mengenai keselamatan jiwa, maka kita tidak bisa memisahkan dengan pemulihan jiwa itu sendiri. Ini juga disebut sebagai pemulihan gambar diri. Pemulihan jiwa berorientasi mengenai pemulihan atau perbaikan karakter, kepribadian maupun moral seseorang. Dalam pemulihan jiwa juga ada perbaikan karakter (feeling atau sense).
Pemulihan ini bisa terjadi melalui pertobatan yang sungguh-sungguh dengan menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Selanjutnya Firman Tuhan dan pelayanan pembinaan pribadi intensif dan terpadu mendewasakan perasaan seseorang. Seseorang dapat dikatakan rohani bila perasaannya matang dan dewasa. Supaya rumah tangga utuh, pelayanan maju, hubungan dengan sesama harmonis. Oleh sebab itu gereja harus membina jemaat melalui pemberitaan Firman Tuhan dan berbagai saluran untuk mendewasakan perasaan.
Allah sangat memperhatikan luka jiwa seseorang. Tuhan hendak tampil sebagai penyembuh (Yer 30:17; Maz 147:3), sebab menjadi kehendak Allah agar kita hidup tidak bercacat, termasuk juga jiwa kita (1 Tes 5:23-24; Yak 1:4). Kita berharga dimata Tuhan (Yes 43:1-4a). Allah akan menyediakan fasilitas kesembuhannya, tetapi dari pihak kita Allah menuntut langkah-langkah guna menyambut kesembuhan tersebut.
• Menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi. Dalam hal ini roh manusia dihidupkan dahulu melalui kelahiran baru. Kelahiran baru inilah potensi seseorang beroleh kemungkinan untuk memperoleh pemulihan jiwa dan rohnya (Yoh 1:12; Ef 1:13; 2Pet 1:3-4).
• Firman Tuhan mampu menghapus masa lalu kita dengan segala akibatnya terhadap jiwa kita (Mat 4:3,4; Rom 12:1-2; Yak 1:21). Firman berkuasa menyucikan kita dari segala sampah akibat masa lalu dalam jiwa.
• Doa, Pujian dan Penyembahan Persekutuan dengan Allah dalam doa, pujian dan penyembahan memberikan sukacita ilahi. Kegembiraan inilah merupakan kebutuhan utama setiap jiwa kita. Inilah damai sejahtera yang dijanjikan oleh Yesus (Yoh 14:27). Damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal (Fil 4:7). Dalam doa, pujian dan penyembahan inilah seseorang dapat bertemu dengan Tuhan dan menerima lawatan-Nya (Yoh 21:15-19).
• Dipenuhi ROH KUDUS. Dalam pengalaman rasul Petrus kita menemukan bahwa setelah ia dipenuhi ROH KUDUS, ia menjadi kuat (Kis 12:7). Ia tidak menjadi trauma dengan apa yang sudah terjadi. Jiwanya begitu teduh, bahkan diujung ancaman hukuman mati.
• Persekutuan dengan orang percaya (Ibr 10:25). Persekutuan dengan orang percaya merupakan obat mujarab memulihkan hati yang luka, sebab dalam persekutuan tersebut terjalin hubungan kasih (Yoh 13:34,35; 15:11,12; Fil 2:1-5). Dalam hal ini gereja, keluarga dan persekutuan kita antara satu dengan yang lain haruslah merupakan persekutuan dimana setiap anggotanya menikmati belai kasih Kristus. Ini merupakan kebutuhan jiwa manusia. Oleh sebab itu setiap kita harus menyadari bahwa semua kita berharga dimata Allah.
Harga sebuah Perasaan
Kita harus sadar bahwa tatkala kita bertobat maka Tuhan telah menebus kita sepenuhnya termasuk perasaan kita. Oleh sebab itu kita tidak boleh menghargai diri kita secara berlebihan sehingga kita lupa bahwa kita bukan milik kita sendiri. Dalam keluarga, pergaulan dan pelayanan harga sebuah perasaan pada prinsipnya adalah “kesombongan”. Oleh sebab kita tidak mau dianggap rendah, miskin, bodoh maka kita bersikap menolak atau menentang secara “frontal”. Dalam kehidupan sering hal ini menjadi awal sebuah bencana.
Banyak orang yang memanjakan perasaannya sehingga ia mengorbankan kepentingan yang besar. Hal ini terjadi sebab pribadi orang tersebut tidak matang, perasaannya masih sakit belum sehat. Dalam hal ini kita harus mengerti bahwa penyaliban diri, bukan hanya menyangkut keinginan-keinginan yang bertentangan dengan Firman Tuhan, tetapi juga perasaan-perasaan negatif. Kita tidak boleh memanjakan perasaan demi kepuasan diri. Perasaan tidak boleh dihargai demi kepuasan diri. Bila Tuhan Yesus menjadi Tuhan, maka Ia juga majikan atau penguasa atas perasaan kita maka demi kepentingan Tuhan kita rela berbuat apa saja.
Berapakah harga perasaan kita sebenarnya? Seharga salib Tuhan Yesus, sebab kita telah disalibkan bersama Kristus. Kita telah dikuburkan bersama dengan Dia dan dibangkitkan dalam hidup yang baru (Rom 6:4). Bila kita menyadari hal ini maka kita tidak akan memanjakan perasaan dan memberi harga mahal yang akhirnya menyebabkan kita gagal menjadi berkat bagi orang lain. Proses pendewasaan perasaan.
Untuk mendewasakan perasaan kita, Tuhan menggunakan pengalaman-pengalaman hidup kita. Dalam hal ini berlaku Firman Tuhan besi menajamkan besi. Dalam Amsal 27:17 terdapat kalimat “besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya. (Niv. As iron sharpens iron so one man sharpens another). Apa artinya ini. Harus dimengerti dan diterima kebenaran ini: bahwa dalam pembentukan kita menuju kesempurnaan yang dikerjakan Tuhan melalui Roh-Nya, Allah menggunakan manusia disekitar kita untuk proses tersebut. Besi menajamkan besi, manusia ditajamkan oleh sesamanya. Ditajamkan disini maksudnya adalah dibuat makin dewasa, sempurna, matang dan berkenan kepada Allah. Allah memakai manusia lain untuk itu. Allah tidak memakai monyet atau hewan lain.
Anggapan yang keliru bahwa cukup melalui nasihat pembacaan Alkitab, buku-buku rohani, kotbah pendeta kita secara otomatis menjadi sempurna. Ini baru sebagian. Kebenaran Firman yang kita dengar dan pelajari harus dimatangkan dan dikenakan dalam kehidupan melalui berbagai benturan yang terjadi dalam hidup ini. Perhatikan bagaimana tokoh-tokoh iman dalam Perjanjian Lama disempurnakan Tuhan.
Yusuf harus ditajamkan oleh saudara-saudaranya. Kalau ia hanya tinggal dirumah Yakub ayahnya, mimpi yang ia terima yang merupakan janji besar dari Tuhan tidak akan terealisir. Ia ditajamkan oleh Ruben dan abang-abangnya yang lain. Ia ditajamkan oleh Nyonya Potifar. Ia ditajamkan oleh pejabat minuman raja yang melupakan budi baiknya.
Demikian pula Daud ditajamkan oleh sesamanya. Kalau ia tinggal dipandang rumput menggembalakan domba ia tidak akan pernah menjadi raja. Daud ditajamkan oleh Goliat, Saul, penduduk Zig yang mengkhianatinya dan segudang pengalaman lain yang menyakitkan. Semua itu merupakan cara Allah mempersiapkan Daud menjadi orang besar.
Demikian pula dengan perasaan kita didewasakan melalui berbagai peristiwa hidup yang kita alami. Perhatikan bagaimana Allah memproses kita melalui berbagai sarana seperti tersebut dibawah ini:
• Melalui teman kantor. Perhatikan ada saja orang yang menjengkelkan kita dan merugikan kita. Jangan harap ada tempat dimana saudara nyaman tidak bertemu dengan orang yang tidak berkenaan di hati saudara.
• Melalui pasangan hidup. Jangan harap saudara menemukan jodoh yang sempurna dan tidak memiliki kesalahan. Kita tidak menikah dengan malaikat. Kita menikah dengan manusia yang memiliki kelemahan kekurangan. Semua jodoh terdapat kekurangannya. Terimalah kekurangan, kelemahan dan kesalahan pasangan hidup saudara sebagai sarana penajaman itu.
• Mertua, anak, ipar, orang tua, tetangga, teman bisnis, pendeta, majelis, teman sepelayanan, dan lain-lain.
Penajaman ini memang menyakitkan, bisa menimbulkan luka. Sebagai besi yang bergesekan, panas, bisa menciptakan pijaran api, melelahkan, menjengkelkan dan lain-lain. Tetapi inilah sarana indah Allah berikan.
Menyadari hal ini maka kita perlu memiliki langkah-langkah sebagai berikut:
• Mengucap syukur untuk setiap kejadian termasuk manusia yang dipakai Tuhan untuk itu (Roma 8:28)
• Tidak menyalahkan manusia lain yang dianggap sebagai biang persoalan atau penyebab kesusahan. Perhatikan bagaimana Yusuf tidak menyalahkan abang-abangnya walau mereka telah menyakitinya.
ANTROPOLOGI ALKITAB (Pelajaran 14)
Gambar Diri. (Bagian 6)
Harga Diri dan Kerendahan Hati.
Harga diri artinya kesadaran akan berapa nilai atau penghargaan yang diberikan kepada diri sendiri. Nilai harga diri seseorang bisa ditentukan oleh bermacam-macam ukuran sesuai dengan filosofi hidup seseorang. Ada yang menilai diri dengan materi atau kekayaan. Ada yang menilai diri dengan pendidikan. Ada yang menilai diri dengan pangkat. Ada yang menilai diri dengan “keakuan” (aku adalah aku. Aku terhormat, aku harus dihargai). Orang-orang seperti ini akan mudah terluka kalau direndahkan oleh siapapun. Mereka biasanya menuntut untuk dihargai orang lain.
Harga diri bertalian dengan perasaan, sebab ketika nilai yang diberikan orang kepada dirinya tidak seperti yang diharapkan maka ia tersinggung atau terluka karena merasa direndahkan. Harga diri inilah yang membuat seseorang menuntut orang memperlakukan dirinya sedemikian rupa sesuai dengan keinginannya. Kita harus sadar bahwa tatkala kita bertobat maka Tuhan telah menebus kita semuanya. Oleh sebab itu kita tidak boleh menghargai diri kita secara berlebihan sehingga kita lupa bahwa kita bukan milik kita sendiri.
Dalam keluarga, pergaulan dan pelayanan memasang tarif harga diri pada prinsipnya adalah “kesombongan”. Oleh sebab tidak mau dianggap rendah, miskin, bodoh maka bersikap menolak atau menentang secara “frontal” bila diperlakukan seperti itu. Dalam kehidupan sering hal ini menjadi awal sebuah bencana. Banyak orang yang memanjakan perasaannya sehingga ia mengorbankan kepentingan yang besar. Hal ini terjadi sebab pribadi orang tersebut tidak matang, perasaannya masih sakit, belum sehat. Dalam hal ini kita harus mengerti bahwa penyaliban diri, bukan hanya menyangkut keinginan-keinginan yang bertentangan dengan Firman Tuhan, tetapi juga perasaan dalam menilai diri. Kita tidak boleh memanjakan perasaan demi kepuasan diri. Bila Tuhan Yesus menjadi Tuhan juga atas kita maka demi kepentingan Tuhan kita rela tidak memiliki harga diri.
Dalam Filipi 2:5 tertulis. Dalam teks bahasa Indonesia diterjemahkan "Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus". Kata "touto "(tauto)dapat diterjemahkan this (ini). Kata touto (tauto) memiliki kasus atau keterangan “demonstrative accusative neuter singular”, kata yang memberi impresi tekanan pada kalimat yang mengikutinya. Ternyata kalimat yang mendahului kata touto (tauto) adalah nasihat Paulus kepada jemaat Filipi bertalian dengan hidup bersama dalam jemaat Tuhan. Nasihat tersebut tertulis: Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan, karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga (Fil 2:1-4).
Dengan demikian dapat dimengerti, bahwa panggilan untuk meneladani Kristus bertalian dengan hidup bersama-sama dengan orang lain. Hal ini dimaksudkan bahwa meneladani gaya hidup Kristus bertujuan agar seseorang menjadi berkat bagi orang lain, dimanapun berada mendatangkan keuntungan bagi orang lain dalam bingkai pelayanan pekerjaan Tuhan.
Serupa Dengan Dia Dalam Kematian-Nya (Fil 3:10)
Dalam suratnya Paulus menulis: Persekutuan dalam penderitaan-Nya supaya aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya. Serupa dengan Dia dalam kematian-Nya pada dasarnya adalah kehidupan yang ditujukan untuk kepentingan kerajaan Allah sepenuhnya. Kata mati dalam teks aslinya disini adalah thanaton kata yang sama digunakan dalam Kolose 3:3; kamu telah mati. Dalam bahasa Yunani ada beberapa kata yang dapat diterjemahkan mati; thanatos, anairsis dan teleute. Dalam Kolose 3:3, Alkitab berkata: “Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah”. Kata thanatos hendak menunjukkan bahwa kehidupan yang lama telah digantikan sama sekali, fokus hidup harus berubah sama sekali.
Berapakah harga perasaan kita sebenarnya? Seharga salib Tuhan Yesus, sebab kita telah disalibkan bersama Kristus. Kita telah dikuburkan bersama dengan Dia dan dibangkitkan dalam hidup yang baru (Roma 6:4). Bila kita menyadari hal ini maka kita tidak akan memanjakan perasaan dan memberi harga mahal yang akhirnya menyebabkan kita gagal menjadi berkat bagi orang lain.
Salah satu kebutuhan jiwa manusia selain rasa aman, dikasihi dll, juga rasa dihargai, “berharga”. Merupakan persoalan kalau seseorang sudah merasa tidak dihargai oleh lingkungannya, maka ia cenderung berbuat semaunya, sesuka hatinya dan tidak memperdulikan lingkungan. Orang seperti ini cenderung rusak moralnya. Tetapi jauh lebih berbahaya dan menyedihkan kalau seseorang merasa tidak berharga di mata Tuhan. Di dalam Mat 10:28-31 kita temukan akibat seseorang yang merasa tidak berharga di mata Tuhan.
Ada satu keistimewaan yang dimiliki Yesus yang juga menunjukkan kedewasaan dan kematangannya. Tuhan Yesus juga mengalami proses pertumbuhan yaitu melepaskan hak demi kepentingan orang lain (Luk 2:52). Ini merupakan salah satu ciri dari kedewasaan seorang anak Tuhan pula. Sikap seperti ini harus pula kita teladani. Pelepasan hak yang dilakukan Yesus dijelaskan dalam Filipi 2:5-8. Dalam fragmen kongkrit yang dicatat Alkitab kita menemukan antara lain: Ia mencuci kaki murid-murid (Yoh 13). Ia berkata bahwa Ia datang sebagai pelayan (Mat 20:28; Luk 22:27).
Memperhatikan kebenaran ini, bagaimanakah kita mengenakannya secara kongkrit dalam hidup kita. Orang percaya yang dewasa adalah orang percaya yang juga rela melepaskan hak-haknya dan memberi pengabdiannya bagi Tuhan dan sesama. Kita harus rela memberi tanpa menerima bahkan rela memberi lebih dari apa yang dikehendaki orang lain. Bukankah Tuhan juga memberi lebih dari apa yang kita doakan (Mat 5:40-42). Kita rela menghargai tetapi tidak dihargai. Kerendahan hati berpangkal pada kesadaran bahwa tidak ada sesuatu yang baik dari dalam hidup kita. Mengakui diri sebagai manusia berdosa. Inilah jalan kepada pertobatan yang benar (Luk 18:9-14), Mat 5:3). Dalam hal ini Kata "agama" yang dipahami oleh orang Yahudi pada waktu itu sebuah bentuk kesombongan yang membawa manusia justru menyalibkan Kristus. Kita diselamatkan bukan karena perbuatan baik (Ef 2:8-9; Fil 3:8-9).
Kerendahan hati berpangkal pada pengakuan bahwa segala sesuatu yang baik berasal dari Allah (Mat 23:8-12). Dalam persekutuan umat Perjanjian Baru, harus terjalin suatu ikatan persaudaraan dimana Kristus ditinggikan. Panggilan guru, pemimpin, penyelamat haruslah huruf kecil. Kita semua hanya alat. Sesungguhnya Allah yang mengerjakan.
Kerendahan hati berpangkal pada sikap tidak meninggikan diri sendiri (Luk 14:7-11). Menjadi kebiasaan manusia pada umumnya mencari hormat bagi dirinya sendiri dengan segala rekayasa yang dibuatnya. Yesus adalah Allah sendiri yang tentu saja memiliki segala kemuliaan, kekuasaan dan kehormatan sebagai Allah Yang Maha Tinggi. Kesediaan meninggalkan tahta kemuliaan-Nya adalah kerelaan kehilangan hak-hak-Nya. Dalam sejarah kehidupan Tuhan Yesus selama dalam dunia ini dengan memakai tubuh daging (sarkos), menampilkan kehidupan yang diwarnai dengan penderitaan baik secara fisik maupun psikis, yang semua itu merupakan ekspresi dari kerelaan kehilangan hak-hak-Nya.
Yesus terhina diantara manusia, hal ini menunjukkan kerelaan-Nya kehilangan kehormatan. Ketika Maria mulai mengandung, Yusuf tunangan Maria sudah berprasangka bahwa kehamilan Maria adalah aib. Itulah sebabnya Yusuf dengan diam-diam hendak meninggalkan Maria (Mat 1:18-19). Ini berarti tuduhan yang ditujukan kepada bayi Yesus adalah “anak haram”. Dari hal ini, Anak Allah yang akan lahir, bagian dari proses inkarnasi-Nya sudah tidak memiliki kehormatan, pada hal Ia adalah pribadi yang paling terhormat. Tentu proses ini sudah ada dalam pengetahuan Tuhan sebelum berinkarnasi, tetapi Ia bersedia.
Dalam perjalanan hidup-Nya selama 3,5 tahun, Ia juga telah kehilangan kehormatan-Nya dimata sebagian besar orang-orang Yahudi. Dalam suatu kesempatan Ia dituduh sebagai orang gila (Mar 3:21), juga dituduh menggunakan kuasa Beelzebul dalam mengusir setan (Luk 11:15). Dengan tuduhan tersebut, maka Yesus telah didakwa sebagai kerasukan setan. Kehormatan-Nya dimata manusia menjadi hancur sama sekali ketika Ia harus menghadapi panggilan Pilatus, imam besar dan Herodes (Mat 26:48-75). Penduduk Yerusalem meneriakkan seruan yang sangat menyakitkan, agar Yesus disalibkan. Akhirnya Ia disalib dengan tuduhan sebagai penghujat Allah dan penyesat rakyat agar melawan Kaisar. Ia disalib dengan penilaian publik sebagai penjahat besar dan dipandang sebagai terkutuk (Gal 3:13). Dalam hal ini jelas bahwa Ia merelakan kemuliaan hilang untuk sementara waktu. Yesus benar-benar rela kehilangan reputasi, harga diri dan prestise.
Dalam suatu percakapan Yesus berkata: “Sebab siapakah yang lebih besar: yang duduk makan, atau yang melayani? Bukankah dia yang duduk makan? Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan. Dari pernyataan Yesus ini jelas sekali menunjukkan bahwa Ia rela kehilangan hak kehormatan yang dimiliki-Nya sebagai Tuhan yang datang dari tempat Yang Maha Tinggi. Ekspresi kerelaan kehilangan hak dihormati manusia juga ditunjukkan dengan tindakan-Nya mencuci kaki murid-murid-Nya dalam suatu perjamuan terakhir sebelum Yesus menghadapi penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya (Yoh 13). Narasi pembasuhan kaki sungguh mengejutkan. Narasi ini berlatar belakang pra-paskah. Robert Kysar menyatakan bahwa peristiwa pembebasan yang Allah kerjakan bagi umat-Nya dalam beberapa hal merupakan sebuah pra-tanda bagi makna tindakan Allah dalam Kristus. Sikap Tuhan Yesus yang merendahkan diri sedemikian rupa itu, dinyatakan oleh Donald S. Whitney sebagai Hamba yang sempurna.
Paulus sebagai model seorang pelayan Tuhan yang telah menunjukkan kepiawaiannya sebagai pemimpin yang melayani, mengemukakan kesaksian hidupnya bahwa ia rela menjadi hamba bagi semua orang karena Kristus (1Kor 9:19). Menjadi hamba berarti rela direndahkan, kehilangan kehormatan. Sikap hati seperti Yesus yang telah dijelaskan diatas adalah sikap hati yang harus diteladani oleh setiap pengikut-Nya yang melayani Dia. Mereka harus rela kehilangan kehormatan dimata manusia demi tugas yang harus diemban. Tidak ada sesuatu yang boleh dapat menjadi nilai lebih dalam kehidupan seorang pemimpin yang melayani yang oleh karenanya ia merasa memiliki hak untuk menjadi terhormat. Perlu dikaji lebih jauh mengenai sikap rendah hati yang benar menurut ajaran Alkitab. Tidak semua sikap rendah hati yang ditampilkan orang memiliki kebenaran yang sesuai dengan iman Kristen. Oleh sebab itu ada beberapa hal yang mendasar untuk memiliki sikap rendah hati yang benar antara lain:
1. Sikap kerendahan hati yang benar harus digerakkan oleh kesadaran bahwa ada Allah yang hidup yang sumber segala sesuatu. Ini berarti semua orang terus dalam kesadaran bahwa ia ada sebagaimana ada hanya oleh karena pemberian-Nya. Semua dari Dia oleh Dia dan bagi Dia. Dengan demikian manusia tidak dapat memegahkan diri dan menjadi sombong. Kesombongan adalah sikap hati yang tidak mengakui keunggulan pihak lain di luar dirinya sendiri. Paulus dalam suratnya berkata 1Kor 4:7; pada umumnya orang tidak mengakui bahwa apa yang dimilikinya diterimanya dari Tuhan. Sebagai bukti bahwa seseorang tidak menerima kenyataan bahwa Tuhan adalah sumber berkat. Ia tidak rela memuliakan Tuhan dengan apa yang dimilikinya. Ia takut kehilangan apa yang telah dimilikinya dan merasa rugi bila menyerahkan apa yang dimilikinya bagi Tuhan. Padahal Tuhan sanggup menambahkan apa yang telah orang percaya berikan bagi kepentingan kerajaan-Nya. Melalui teks yang tersembunyi, “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia” (Rom 11:36), memberi isyarat bahwa karena kekuatan-Nyalah ia dapat mencapai segala prestasi yang dimilikinya hari ini, kekayaan, pangkat, gelar, kekuasaan dll. Oleh sebab itu seharusnya sebuah prestasi atau keberhasilan tidak perlu ditonjolkan dan mengharapkan orang lain mengetahui serta menghargainya. Hal inilah yang mendorong seseorang tidak merasa perlu menerima penghargaan atas jasa-jasanya. Dimanapun para pemimpin tergoda untuk berpesta dalam pujian orang-orang yang dipimpinnya. Hal ini bukanlah karakter kepemimpinan hamba yang Yesus tunjukkan. Dalam lingkungan gereja, seseorang yang membanggakan apa yang dimilikinya kepada sesama berarti merendahkan orang lain, seolah-olah orang lain tidak dihargai Tuhan. Hal ini bukan saja menyakitkan hati sesama kita tetapi juga menyakitkan hati Tuhan. Sikap ini merupakan fitnah kepada Tuhan. Tuhan ditunjuk sebagai tidak mengasihi manusia lain, selain dirinya. Oleh sebab itu kalau kita memiliki karunia khusus dari Tuhan, kita tetap bersikap rendah hati.
2. Sikap kerendahan hati yang benar harus digerakkan oleh kesadaran bahwa Allah yang hidup menentukan segala perkara. Ini berarti bahwa Tuhanlah yang menaungi segala sesuatu. Kesadaran ini akan nyata dalam sikap hidup orang percaya yang selalu merendahkan diri dihadapan Tuhan untuk bergantung dan berharap sepenuh dalam segala sesuatu. Orang-orang yang bersikap seperti ini akan mencari Tuhan dengan sungguh-sungguh. Baginya kehidupan ini tidak lengkap tanpa Tuhan. Segala kesanggupan, kemampuan dan kecakapan tidak ada artinya tanpa Tuhan yang menaunginya. Tuhan yang menentukan miskin dan kaya. Tuhan yang mengangkat penguasa dan menurunkannya. Dari pada-Nya manusia beroleh jawaban dari segala kebutuhan dan pertanyaannya. Untuk hal ini manusia dituntut untuk tidak menaruh pengharapan dari sumber lain. Menaruh pengharapan pada sumber lain merupakan bentuk penghianatan yang mendatangkan kutuk. Dari uraian ini dapat dimengerti mengapa Allah menentang kehendak bangsa Israel yang meminta seorang raja, sebab Allah merekalah sebenarnya Raja mereka. Pribadi yang menjadi tumpuan semua rakyat Israel. Pengakuan aku percaya kepada Allah Bapa khalik langit dan bumi harus merupakan pengakuan hidup setiap hari yang dapat dilihat setiap orang. Demikianlah umat harus hidup dengan menjadikan Tuhan sebagai pusat kehidupan.
3. Kerendahan hati yang benar harus digerakkan oleh kesadaran bahwa ada Allah yang hidup yang mengatur kehidupan setiap individu. Bila seseorang sadar akan hal ini maka ia akan belajar taurat Tuhan, hukum Tuhan untuk tunduk di bawah pengaturannya. Ia sadar bahwa ia tidak ada di daerah tak bertuan, tetapi ada di daerah yang bertuan kepada Tuhan Yesus Kristus, Tuhan semesta alam, Allah Israel. Setiap orang percaya harus mengakui bahwa Allah adalah Tuhan diatas segala Tuhan, Penguasa alam semesta dan tidak ada sesuatu atau seseorang yang dapat disamakan dengan Dia. Allah harus diakui sebagai Penguasa Satu-satunya yang harus dipatuhi. Bapa segala roh yang harus ditaati (Ib 12:9). Maksud ketaatan adalah agar manusia hidup sesuai dengan moral-Nya. Allah adalah Allah yang bermoral dan Ia menghendaki umat-Nya hidup sesuai dengan moral-Nya (1 Pet 1:13-16). Dalam hal ini harus disadari, kalau Tuhan memberikan hukum-hukum-Nya bukan semata-mata supaya hati Tuhan disenangkan dengan hukum-hukum yang dibuat-Nya untuk ditaati manusia. Tetapi landasan pertama adalah agar manusia hidup dalam moral-Nya, karena manusia tidak akan memiliki kehidupan yang berkualitas tanpa hidup didalam moral-Nya. Kalau manusia itu mengakui Allah adalah Penguasanya dan Tuannya yang dijunjung tinggi dengan segala kehormatan, maka ia dengan rela dan sukacita melakukan segala kehendak-Nya. Menuruti hukum-Nya dengan setia secara berkesinambungan adalah ibadah yang sejati dan yang dikehendaki Allah (Ams 5:24; Rom 12:1-2). Ketidaktaatan kepada Tuhanlah yang menyebabkan tercemar dan kecemaran ini akan memisahkan dirinya dengan Tuhan. Disini hubungan manusia dengan Tuhan menjadi tidak harmonis (Yes 59:1-3). Oleh sebab itu hal melakukan hukum Tuhan hendaknya tidak diterima bukan sekedar sebagi kewajiban tetapi sebagai kebutuhan.
4. Sikap kerendahan hati yang benar harus digerakkan oleh kesadaran bahwa ada Allah yang hidup menjadi obyek pemujaan dan penyembahan. Untuk dapat memiliki sikap hati yang benar memuji dan menyembah Tuhan, seseorang harus sadar batas antara Allah dan umat tidak terhalangi. Dia adalah Allah yang Maha Tinggi dan manusia adalah ciptaan-Nya. Allah di dalam Alkitab menyatakan dengan tegas bahwa diri-Nyalah yang harus menjadi obyek penyembahan manusia ciptaan-Nya. Dalam Perjanjian Lama telah nampak embrio jelas bahwa Tuhan adalah sumber pengharapan yang menjadi pusat pujian, bukan alam, sekalipun bangsa Israel sangat bergantung pada alam. Hal ini seharusnya menjadi pijakan kuat umat Perjanjian Baru bersikap terhadap Allah semesta alam. Bila seseorang beranggapan demikian, niscaya dalam memuji, memuja dan menyembah Allah dilakukannya dengan terpaksa dan tidak ada sukacita yang sejati. Dengan demikian pujian, pemujaan dan penyembahannya kepada Tuhan tidak berkenan kepada Tuhan. Pujian dan penyembahan demikian ini terdapat dalam banyak agama-agama kafir, dimana umat memuji, memuja dan menyembah ilah dengan terpaksa dan dengan takut-takut terhadap hukuman sang dewa atau allahnya. Kalau seseorang sadar dan memahami bahwa Allah adalah pribadi yang Maha Mulia maka dalam memuji, memuja dan menyembah Allah dilakukannya dengan cinta kasih, kerelaan dan sukacita. Untuk dapat menaikkan pujian dan penyembahan serta sanjungan, seseorang harus memiliki kerendahan hati yang dalam. Kerendahan hati disini berangkat dari kesadaran bahwa kita adalah “hamba”, dan Dia adalah Tuan diatas segala tuan. Setiap orang percaya harus merendahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Ini bukan semata-mata mengenai kesanggupan menyanyikan lagu rohani, atau mengucapkan kalimat penyembahan yang diberi nada. Kerendahan hati ini adalah sikap hati, sesuatu yang bersifat batiniah. Bertalian dengan hal ini hambatan atau halangan seseorang memuji, menyanjung dan menyembah Allah adalah penilaian yang tidak tepat atas diri, pengagungan diri dan ketidak-sediaan menundukkan diri dihadapan Allah. Kesadaran ini akan membuat seseorang dengan tegas menolak segala bentuk pengkultusan atas dirinya. Pengkultusan diri baik secara terang-terangan maupun terselubung adalah sikap penolakan terhadap Tuhan sebagai satu-satunya yang layak disembah. Keberhasilan, sukses dan segala prestasi pelayanan hendaknya tidak menjadi alasan untuk meninggikan diri.