PEPRAMENOS
Keadaan
manusia yang telah kehilangan kemuliaan Allah adalah keadaan manusia yang
terjual di bawah kuasa dosa (Rm. 7:14). Kata “terjual” dalam teks aslinya
adalah pepramenos (πεπραμένος),
dari akar kata piprasko (πιπράσκω).
Kata ini digunakan untuk proses jual beli budak, dimana seorang tuan yang
membeli budak tersebut, berkuasa mengontrol kehidupan budak tersebut. Ini
berarti ada subyek yang membeli dan ada manusia sebagai obyek transaksinya.
Kata piprasko adalah sebuah metafora (bukan dalam arti harafiah), bahwa oleh
perbuatan salah Adam, menyebabkan semua keturunannya tidak bisa memiliki
kemampuan untuk bertindak tepat seperti yang Allah kehendaki. Manusia dikontrol
oleh kekuatan yang membuat manusia tidak dapat melakukan apa yang tepat seperti
yang dikehendaki oleh Allah.
Dengan
keadaan manusia terjual dibawah kuasa dosa berarti manusia hidup dalam kodrat
dosa. Dalam keadaan ini manusia pasti selalu “meleset” (hamartia) dari apa yang
dikehendaki oleh Allah. Bangsa Israel tidak pernah tidak meleset dalam
melakukan hukum Taurat, itulah sebabnya harus ada darah domba sebagai alat
penghapus dosa. Bagi umat Perjanjian Baru, dimana kehendak Allah sebagai
hukumnya, maka umat pilihan Perjanjian Baru harus berjuang melawan kemelesetan
(dosa; hamartia). Kemelesetan di sini adalah kemelesetan dari pikiran dan
perasaan Allah.
Seandainya
Adam tidak jatuh dalam dosa, maka Adam dan semua manusia tidak terjual di bawah
kuasa dosa. Ini berarti semua manusia dapat terbeli untuk bisa hidup dalam
kodrat Ilahi, yaitu hidup dalam kehendak Allah sesuai dengan rancangan Allah
semula. Tetapi kenyataannya, manusia pertama telah jatuh dalam dosa. Adamlah
yang menyebabkan manusia terjual, sehingga semua yang dilahirkan di bumi ini
ada di bawah kuasa dosa.
Keadaan
manusia yang terjual di bawah kuasa dosa adalah keadaan diri
manusia yang -tidak dapat tidak- pasti meleset dari kehendak Allah yang sempurna.
Inilah
yang disebut Martin Luther sebagai nonposse nonpeccare.
Dalam
sejarah kehidupan umat pilihan, telah terbukti bahwa manusia tidak dapat
melakukan kehendak Allah dengan sempurna (bagi bangsa Israel, melakukan
Taurat). Hal ini terjadi karena manusia telah berkodrat dosa. Melakukan hukum
Taurat saja tidak bisa terpenuhi dengan sempurna, apalagi melakukan kehendak
Allah, yaitu selalu bertindak sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Paulus
menjelaskan hal ini dengan pernyataan: Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak
tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku
benci, itulah yang aku perbuat (Rm. 7:15).
Pengalaman
Paulus seperti ini adalah pengalamannya setelah mengenal kebenaran Injil, sebab
sebelum mengenal kebenaran Injil, Paulus menyatakan bahwa dirinya tidak
bercacat (Flp. 3:6). Ini berarti sebelum menjadi orang percaya Paulus tidak
mengalami atau menyadari ketegangan (konflik) dalam dirinya dalam melakukan
hukum. Lagi pula, pemimpin-pemimpin agama seperti Paulus, pada umumnya adalah
orang-orang beragama yang sombong. Mereka tidak akan merasa sebagai orang
berdosa, tetapi merasa sebagai orang yang sudah benar. Itulah sebabnya Tuhan Yesus
menyindir mereka dengan pernyataan, bahwa bukan orang sehat yang membutuhkan
dokter, tetapi orang sakit (Mat. 9:12).
Paulus
mengatakan: Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang
aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku
perbuat. Kata “perbuat” dalam teks aslinya di ayat Roma 7:15 ini adalah
katergazomai (κατεργάζομαι),
yang artinya to perform, accomplish, achieve, to work out, to fashion, to
produce (melakukan, mencapai, menyelesaikan suatu tugas, berpenampilan,
menghasilkan). Kata “perbuat” dalam ayat ini lebih menunjuk suatu penampilan
atau keadaan hidup seseorang, bukan hanya satu atau dua tindakan. Tidak mungkin
seseorang melakukan suatu tindakan di luar kesadaran atau sepengetahuannya.
Tetapi ketika seseorang menyadari keadaannya, akibat dari akumulasi
perbuatannya setiap hari, maka ia bisa berkata: “Mengapa aku berkeadaan
demikian? Kalimat berikut Paulus menyatakan bahwa keadaan yang dimilikinya
bukanlah apa yang diingininya, tetapi justru yang bukan diingininya atau yang
dia benci malahan terjadi atau ada dalam dirinya.
Apa
yang dikemukakan Paulus adalah sebuah perenungan diri. Ketika Paulus
merenungkan apa yang dihasilkan dari perbuatan-perbuatannya setiap hari, ia
sadar bahwa ia tidak melakukan apa yang dia ingini. Paulus mengatakan “tetapi
apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat”. Hal ini terjadi karena Paulus
mengenal kebenaran. Dan dari mengenal kebenaran, ia memahami kesucian Allah.
Tetapi ternyata apa yang telah dicapai atau dihasilkan dalam hidupnya terkait
dengan moral, belum mencapai apa yang sesuai dengan standar kesucian Allah.
Pergumulan ini dialami oleh mereka, yang bukan saja memahami standar kesucian
Allah, tetapi juga yang memiliki kehausan akan kebenaran.
Kehausan
akan kebenaran, mendorong seseorang selalu memeriksa diri
apakah keadaannya telah sesuai dengan kehendak Allah atau belum.