“Perubahan ke Level yang Lebih Tinggi”
Rasul Paulus telah mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk panggilan
yang diterimanya dari Tuhan. Ia tidak menikah, dan bukan tidak mungkin sesekali
rasa kesepian menyengat hatinya. Ia harus meninggalkan kampung halamannya,
mempertaruhkan nyawanya demi pemberitaan Injil yang harus disampaikan, sering
teraniaya karena imannya, dan sebagainya. Bila ditanya dengan pertanyaan “Apa
yang paling diharapkan ia peroleh,” maka jawabnya adalah “… berlari-lari kepada
tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan surgawi dari Allah dalam
Kristus Yesus” (Flp. 3:13–14). Pernyataan yang senada dengan ini, kita temukan
di berbagai tulisannya yang merupakan kesaksian hidupnya (Flp. 1:21–24; 2Kor.
5:1–9, dan lain-lain).
Kalau pertanyaan serupa ditanyakan kepada teroris yang telah menghabiskan
waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun dalam perjuangan yang sulit dan
berat menghadapi perburuan aparat, maka jawabannya adalah segera dapat
meledakkan bom dan berhasil membunuh orang-orang yang dianggap musuh, kemudian
ia akan memperoleh pahala. Di sini kita menemukan bahwa keyakinan seseorang
sampai level tertentu akan terekspresi dalam tindakan konkret dan bisa ekstrem.
Bagaimana dengan kita yang selama ini telah bertahun-tahun mengiring Tuhan
Yesus? Sudahkah kita pada level dapat mengekspesikan iman kita secara konkret
bahkan bisa ekstrem? Kalau ditanya dengan pertanyaan yang sama, jawaban kita
seharusnya seperti jawaban Paulus yang merupakan model pengikut Tuhan Yesus
yang benar. Itulah sebabnya Paulus berkata, “Ikutilah teladanku” (Flp. 3:17)
dan sebagai umat pilihan, seperti Paulus kita juga harus berpikir dan bersikap
yang sama (Flp. 3:15).
Dalam tulisannya ini, Paulus juga memahami bahwa tidak semua orang sudah
mampu bersikap seperti Dia. Karenanya ia berkata, “Tetapi baiklah tingkat
pengertian yang telah kita capai kita lanjutkan menurut jalan yang telah kita
tempuh.” (Flp. 3:16) Masalahnya, setelah sekian lama mengikut Tuhan Yesus
apakah ada perubahan kita ke level yang lebih tinggi? Kalau tidak, berarti
tidak ada pertumbuhan atau memang tidak ada kehidupan. Bila ternyata demikian,
seharusnya ada perasan krisis dalam hidup kita. Kita harus mempunyai perasaan krisis
yang positif, belajar untuk takut tidak kepada apa yang dapat membunuh tubuh,
tetapi takut kepada apa yang dapat membunuh kehidupan di api kekal (Mat.
10:28).