KOGNITIF, AFEKTIF DAN,
KONATIF
Sering terjadi, seseorang memakai atau
menggunakan barang palsu, tetapi ia tidak mengetahui pemalsuan tersebut. Hal
ini terjadi sebab ia tidak pernah menggunakan barang yang asli. Hal ini juga
bisa terjadi pada orang Kristen yang selama hidupnya hanya mengenal Yesus
fantasi. Keindahan Tuhan yang dipahami dan dirasakan hanyalah fantasi. Hal ini
juga terjadi atas semua mereka yang tidak mengenal Allah yang benar. Mereka
bisa mengatakan bahwa kepercayaan yang mereka anut dan allah yang mereka sembah
adalah allah yang benar. Padahal semua yang mereka yakini dan mereka rasakan
serta mereka nikmati adalah palsu semata-mata. Fenomena ini bisa berlangsung
ratusan, bahkan ribuan tahun. Dan Tuhan seperti membiarkannya, sebab mereka
tidak mau membuka hati untuk diajar.
Hal ini juga terjadi atas orang-orang Kristen
yang tidak mengikut Tuhan Yesus dengan benar, mereka merasa telah memiliki
Yesus dan menikmati keindahan-Nya, padahal semua yang mereka alami hanyalah
fantasi belaka. Tuhan seperti membiarkannya. Oleh sebab itu, kita perlu
memeriksa hidup Kekristenan kita, apakah kita telah menemukan Yesus dengan
benar atau hanya sebuah fantasi. Dalam hal ini kita harus mulai mencari Tuhan
dengan sungguh-sungguh dalam usaha untuk bertemu dengan Tuhan. Kita tidak boleh
hanya mempercakapkan Tuhan, di mana semua hanya sebatas nalar, pikiran,
doktrin, kajian teologi, pengajaran yang didefinisikan, dan semua serba
kognitif.
Memang kognitif adalah langkah awal. Kognitif
adalah perilaku di mana individu mencapai tataran mengenal objek yang
diperkenalkan atau dipelajari. Kognitifnya harus benar, tetapi verifikasi
terhadap kognitif harus dilakukan, sebab objek yang dipahami adalah Pribadi
yang hidup, di mana dengan-Nya kita harus berinteraksi. Pribadi tersebut adalah
Pemimpin pemerintahan yang sekaligus menjadi hukum di mana kita harus
menundukkan diri secara konsekuen dan konsisten di mana pun kita berada.
Selanjutnya orang percaya harus meningkat
pada taraf sikap afektif, artinya perilaku di mana individu mempunyai
kecenderungan untuk menyukai atau tidak menyukai objek yang dikenalnya. Ini
sudah menyentuh aspek emosional. Dalam hal ini perasaan kita harus jelas
terhadap Tuhan, apakah kita mencintai Tuhan dengan sungguh-sungguh atau tidak.
Setelah kebangkitan-Nya, Tuhan Yesus memperkarakan hal ini dengan Petrus:
Apakah engkau mengasihi Aku? (Yoh. 21). Tuhan menanyakan hal ini kepada Petrus
sampai tiga kali.
Setelah Petrus menjawab bahwa dirinya
mengasihi Tuhan, maka Tuhan menyatakan suatu pernyataan: “Aku berkata kepadamu:
Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan
engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi
tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan
membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.” Dan hal ini dikatakan-Nya
untuk menyatakan bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah. Sesudah
mengatakan demikian Ia berkata kepada Petrus: “Ikutlah Aku.” (Yoh. 21:18-19).
Dalam pernyataannya tersebut Tuhan Yesus menunjukkan kepada kita, kalau
seseorang benar-benar mengasihi Tuhan, maka tidak ada lagi yang menjadi
berharga dalam hidup ini, bahkan nyawanya sekalipun, selain Tuhan.
Setelah memiliki sikap afektif, maka sampai
pada taraf sikap konatif, artinya kecenderungan berperilaku dalam situasi
tertentu terhadap objek yang diyakini dan dirasakan. Konatif adalah perilaku
yang sudah sampai tahap hingga individu melakukan sesuatu tindakan terhadap
objek, dalam hal ini Tuhan Yesus. Jadi, konatif adalah perwujudan dari kognitif
dan afektif. Dalam kehidupan orang percaya, hal ini terjadi atau berlangsung
kalau mereka dengan sepenuh hati mengiring Yesus. Kita bisa mengerti mengapa
Tuhan Yesus menunjukkan bahwa kalau kita mau mengalami perubahan seperti yang
diinginkan oleh Tuhan dalam mengiring Dia, kita harus melepaskan segala sesuatu
(Luk. 14:33).