“Harga Iman”
Iman yang sejati harganya sangat mahal.
Abraham menunjukkannya dengan mempertaruhkan seluruh kehidupannya. Meninggalkan
Ur-kasdim dan mempersembahkan anaknya Ishak sebagai korban bakaran adalah
tindakan sangat ekstrem yang tidak akan mudah dimengerti orang pada zamannya. Tetapi
itulah harga yang harus dibayar oleh Abraham sebagai respon positifnya terhadap
Tuhan. Apa yang harus diresponi dari Tuhan? Jawabnya adalah kehendak-Nya. Bukan
berkat jasmani-Nya. Jika seseorang melakukan kehendak-Nya, maka segala berkat
yang dibutuhkan pasti diberikan.
Namun kuasa kegelapan menipu umat Tuhan
dengan membuat mereka merasa sudah memiliki iman dengan hanya menjadi Kristen
dan pergi ke gereja. Di sini, iman dihargai sangat murah. Padahal iman yang
benar harganya adalah seluruh kehidupan yang dipertaruhkan, bukan sebagian
saja, apalagi sebagian kecil. Kalau hanya ke gereja, itu bukanlah nilai seluruh
kehidupan, barulah sebagian kecil. Dalam hal ini kita dapat mengerti mengapa
Tuhan Yesus berkata, “Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang
tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku.”
(Luk. 14:33). Dengan meninggalkan segala sesuatu—artinya sungguh-sungguh
mengutamakan Tuhan—barulah seseorang dapat melakukan kehendak Bapa.
Ini sama sekali tidak berarti untuk meraih
keselamatan harus dengan berbuat baik. Keselamatan diberikan kepada kita oleh
anugerah yang kita terima dengan iman. Tuhan mengasihi kita dengan menyediakan
anugerah keselamatan dalam Yesus Kristus. Alkitab mengajarkan bahwa karena
kasih karunia kita diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usaha kita, tetapi
pemberian Allah (Ef. 2:8). Diawali kurban Yesus di kayu salib, Keselamatan yang
memulihkan hubungan dengan Tuhan dan harapan Kerajaan Surga yang abadi
diberikan kepada kita. Respons terhadap Dia yang menyediakan kurban tersebut
adalah iman dengan harga yang harus dibayar.
Persoalannya, respons bagaimanakah yang harus
dilakukan untuk menunjukkan bahwa kita beriman kepada-Nya secara benar? Kalau
Abraham menunjukkannya dengan kesediaannya meninggalkan Ur-kasdim dan
kerelaannya menyembelih anaknya sendiri. Bagaimana dengan kita? Tidak cukup
hanya dengan pergi ke gereja atau melakukan kegiatan beragama. Untuk ini Firman
Tuhan menunjukkan kepada kita respons yang seharusnya dilakukan, yakni tidak
hanya melakukan suatu kegiatan rohani, tetapi melakukan kehendak Bapa.