“Doa dan Tanggung Jawab”
Sering kita dengar orang berkata, “Karena doa semua ini dapat terjadi” ketika suatu keberhasilan diraih. Amin, kita setuju segala sesuatu terjadi dalam topangan Tuhan yang sempurna. Tetapi kita tidak boleh mena$ kan atau menutup mata terhadap peran manusia dalam mencapai suatu keberhasilan. Ini sama sekali tidak bermaksud hendak mengurangi pengakuan dan penghargaan terhadap anugerah Tuhan di atas segalanya dalam kehidupan kita. Kita ada sebagaimana ada karena anugerah Tuhan semata-mata (1Kor. 15:10).
Beberapa tahun lampau, ketika bintang-bintang bulu tangkis kita masih merajai berbagai turnamen pertandingan bulutangkis, tampilah seorang “hamba Tuhan” yang mengklaim bahwa keberhasilan tim Indonesia adalah karena doanya; sebab sementara pertandingan berlangsung, ia mengangkat tangan seperti Musa di atas bukit ketika bangsa Israel berperang melawan bangsa Amalek (Kel. 17:8-16). Setelah Indonesia mendapat piala, tahun berikutnya prestasi bulu tangkis Indonesia makin merosot. Sejak itu tidak ada lagi yang mengklaim bahwa doanya berkuasa mengantar tim Indonesia. Dalam hal ini, bukan berarti doa tidak berkuasa, tetapi tanggung jawab manusia tidak bisa digantikan dengan doa. Doa itu percakapan, bukan sekadar permintaan, apalagi sarana mengatur Tuhan. Juga, dahulu ada seorang petinju Kristen di Indonesia yang berhasil meraih juara dunia sedang bertanding mempertahankan gelar. Pada waktu itu anak-anak Tuhan diminta untuk berdoa dan berpuasa demi kemenangannya. Tim doa suatu persekutuan doa mati-matian mendoakan sang juara. Hasilnya adalah sang juara kalah, KO. Mengapa? Sebab doa tidak dapat menggantikan tanggung jawab. Bagaimana kalau pihak lawan juga orang Kristen? Mereka juga berdoa mohon pertolongan Tuhan Yesus. Wah, kalau Tuhan seperti kita, pasti Ia bingung; siapa yang dimenangkan dan yang dikalahkan?
Praktik seperti ini selain membuat seseorang
melupakan tanggung jawab, juga melahirkan “dukun-dukun” di dalam gereja, yang
mengangkat tangan seperti Musa demi berkat Tuhan yang dapat diturunkan—padahal
peristiwa Musa berbeda sekali konteksnya. Akhirnya terjadi kultus individu yang
merusak kemurnian iman Kristen. Di sini, terjadi pelecehan spiritual terhadap
jemaat, yang dipermainkan dengan pengajaran palsu yang merusak kinerja hidup
mereka. Terjadi pula praktik dominasi seseorang—yang dianggap tokoh yang
memiliki “kesaktian”—terhadap jemaat yang dengan tulus berharap pertolongan
Tuhan. Sang tokoh menjadi sumber pertolongan Ini sangat keliru; Tuhanlah yang
harus menjadi pusat kehidupan kita.