Prinsip Yang Salah Memilih Jodoh

 

Terkait dengan hal memilih jodoh dan pernikahan, ada beberapa prinsip salah yang dipahami banyak orang. Kesalahan ini sudah berjangkit di banyak tempat dan dalam kehidupan banyak orang di masyarakat. Pertama, mereka memandang menikah adalah kewajiban. Banyak orang menganggap  menikah adalah kewajiban, jadi kalau sudah mulai remaja harus berpacaran, setelah dewasa harus menikah. Budaya yang salah ini memaksa seseorang yang merasa sudah dewasa berusaha menemukan pacar dan kemudian harus menikah. Hal ini juga dipicu oleh filsafat manusia bahwa wanita dan pria dewasa harus menikah, seakan-akan menikah adalah keharusan yang mutlak. Kemutlakkan semacam ini pasti tidak menghormati Tuhan, sebab tidak ada sesuatu yang boleh dianggap mutlak, kecuali Tuhan.

BEBERAPA PRINSIP YANG SALAH

Terkait dengan hal memilih jodoh dan pernikahan, ada beberapa prinsip salah yang dipahami banyak orang. Kesalahan ini sudah berjangkit di banyak tempat dan dalam kehidupan banyak orang di masyarakat. Pertama, mereka memandang menikah adalah kewajiban. Banyak orang menganggap  menikah adalah kewajiban, jadi kalau sudah mulai remaja harus berpacaran, setelah dewasa harus menikah. Budaya yang salah ini memaksa seseorang yang merasa sudah dewasa berusaha menemukan pacar dan kemudian harus menikah. Hal ini juga dipicu oleh filsafat manusia bahwa wanita dan pria dewasa harus menikah, seakan-akan menikah adalah keharusan yang mutlak. Kemutlakkan semacam ini pasti tidak menghormati Tuhan, sebab tidak ada sesuatu yang boleh dianggap mutlak, kecuali Tuhan.

Kesalahan ini juga sering dipicu oleh filosofi yang diwarisi dari orang tua. Banyak orang tua yang mendorong bahkan memaksa- anaknya menikah. Pertanyaan yang sering dikemukakan kepada anaknya adalah: Kapan kamu kawin? Kalau memiliki jodoh dipandang sebagai kewajiban, maka besar kecenderungan seseorang menikah dengan terpaksa. Hal ini juga didorong oleh filosofi bahwa anak harus meneruskan generasi orang tua, artinya harus memiliki keturunan. Perkawinan seperti ini -walaupun tidak mutlak- dapat berkualitas rendah, tetapi cenderung berkualitas rendah. Dalam hal ini, seharusnya orang tua tidak boleh memaksa anak-anak mereka harus menikah. Kita semua harus mencari kehendak Tuhan untuk menemukan rencana-Nya. Cara berpikir yang salah ini dapat memicu seseorang menjadi sembarangan dalam memilih teman hidup. Biasanya orang tua akan menjodoh-jodohkan anaknya. Tetapi hal ini hendaknya tidak disikapi salah. Orang tua biasanya selalu mengupayakan apa yang baik untuk anak-anaknya.

Kedua, menikah menentukan nilai diri dan kebanggaan. Banyak orang menganggap bahwa menikah merupakan nilai diri. Filosofi yang salah ini membuat banyak orang menjadi rendah diri kalau tidak menikah. Itulah sebabnya pertanyaan: apakah anda sudah menikah? dianggap tidak sopan. Selain memuat seribu satu alasan mengapa dianggap tidak sopan, pertanyaan tersebut juga memuat filosofi atau berangkat dari filosofi, bahwa orang yang tidak menikah itu dianggap kurang lengkap. Seakan- akan orang yang menikah itu lebih lengkap atau sempurna dalam kehidupan. Di dunia yang sudah rusak ini, seharusnya menikah sudah tidak lagi menjadi keharusan, sebab semakin sulit untuk menemukan teman hidup yang baik.

Tidak sedikit orang yang merasa tidak enak kalau tidak menikah, sebab dapat dijuluki atau dikatakan sebagai perawan tua bagi wanita dan bagi pria perjaka lapuk. Harus diakui, pada umumnya semakin berumur seseorang akan semakin merasa malu kalau tidak menikah, akhirnya menjadi kurang selektif dalam memilih teman hidup. Harga dirinya mulai dikurangi atau tidak menghargai dirinya. Kalau waktu masih muda, masih bisa jual mahal, tetapi semakin berumur semakin jual murah. Sikap ini adalah sikap yang tidak terhormat, di mana seseorang tidak menghargai dirinya sendiri. Dengan demikian juga berarti tidak menghargai Tuhan yang memberi kehormatan kepadanya.

Terkait dengan hal ini di atas, perlu ditegaskan bahwa nilai diri manusia bukan pada jodoh. Ada dua hal yang harus dicatat bagi mereka yang belum menikah atau tidak menikah. Pertama, kita harus yakin dan merasa bahwa kita berharga di mata Allah (Yes. 43:4; Mat. 10:29-32). Keberhargaan kita bukan karena kita memiliki teman hidup. Kedua, Allah mempunyai rencana yang baik bagi kita yang tidak menikah (Yer. 29:11-13). Paulus dan juga hamba-hamba Tuhan lain memilih tidak menikah demi Kerajaan Allah. Mereka adalah orang-orang terhormat, baik di bumi maupun di Kerajaan Tuhan Yesus nanti.

Dewasa ini, hal tidak menikah sudah tidak dipandang sebagai aib. Terutama di Barat, banyak orang tidak menikah. Kalaupun memiliki pasangan, mereka hanya hidup bersama seperti suami istri tanpa ikatan pernikahan. Mereka tidak diberkati di gereja dan tidak disahkan secara legal sebagai suami istri. Istilah dalam bahasa Belanda “samenleven”; dalam istilah umum di masyarakat adalah kumpul kebo.

Ketiga, menikah adalah mengisi kesepian, memperoleh kesenangan dan pemuasan libido. Mengapa orang kesepian kalau tidak memiliki pacar atau teman hidup? Sebab ia belum menikmati Tuhan. Tentu juga belum menikmati damai sejahtera-Nya. Kalau seseorang menikah hanya demi kesenangan -terutama pemuasan libido- maka kualitas pernikahannya menjadi rendah dan rentan. Seks memang perlu dan harus ada, tetapi tidak boleh menjadi “segalanya”. Memang tidak dapat dibantah adanya kebutuhan biologis bagi manusia yang sudah akil balik, tetapi hendaknya hal ini tidak menjadi faktor utama dan dominan ketika seseorang menikah. Memang berpacaran itu menyenangkan, sebab emosi dan perasaannya mendapat “mainan” yang mengasyikkan. Kalau seseorang memilih teman hidup dan menikah hanya karena dorongan biologis, maka kesetiaannya cenderung rapuh. Kalau jujur, banyak orang muda pacaran karena dorongan ini. Ini berarti melepaskan “kuda” dari kandang sebelum waktunya. Mereka belum bisa mengendalikannya. Itulah sebabnya banyak praktik yang melanggar kesucian hidup pada waktu berpacaran. Dalam hal ini pihak wanita yang lebih dirugikan. Rumah tangga yang dominan hanya dibangun dari dasar ini (mengisi kesepian, memperoleh kesenangan dan pemuasan libido), tidak akan menjadi kokoh.

Kalau memiliki jodoh dipandang sebagai kewajiban, maka besar kecenderungan seseorang menikah dengan terpaksa.

Jaminsen

Welcome, TO BE LIKE JESUS

Post a Comment

Previous Post Next Post