MENEMUKAN TEMAN HIDUP
Salah satu karya Allah yang luar biasa dan
yang sulit dimengerti adalah realitas hubungan. Pertama, hubungan antara Tuhan
dan manusia; kedua, hubungan suami istri; hubungan dua lawan jenis dalam
persekutuan sebagai teman hidup atau jodoh. Di dalamnya mengandung misteri yang
luar biasa (Ef. 5:31-32). Amsal mengatakan bahwa hubungan itu tidak bisa
dimengerti, tetapi bisa dirasakan dan dinikmati (Ams. 30:19; King James: ; and
the way of a man with a maid). Kata “jalan” dalam teks aslinya adalah derek,
yang artinya selain journey, road (perjalanan atau jalan) juga berarti distance
(jarak) dan manner (cara atau sikap). Hubungan dua lawan jenis ini luar biasa,
bisa tidak berjarak. Dalam Efesus 5:31-32, Paulus menunjukkan bahwa hubungan
suami istri menjadi petunjuk hubungan Kristus atau Tuhan dengan jemaat.
Hubungan antara pria dan wanita yang
terikat dalam perkawinan merupakan hubungan yang analog atau sejajar dengan
hubungan antara Tuhan dan jemaat. Karena begitu eksklusifnya hubungan ini, maka
pasangan ini harus menjadi satu-satunya pasangan yang seimbang, maksudnya
sebagaimana seperti hubungan antara Tuhan dan jemaat adalah satu-satunya
hubungan yang seimbang dan sangat eksklusif. Tanpa Tuhan, manusia tidak
menemukan hubungan yang seimbang. Jadi, kalau seseorang tidak menemukan
hubungan dengan pasangan yang dikehendaki oleh Allah, maka tidak seimbang.
Kalau seseorang tidak memiliki hubungan
dengan Tuhan, berarti binasa; demikian juga kalau seseorang tidak menemukan
teman hidup yang sesuai dengan kehendak Allah, berarti bencana. Itulah sebabnya
pilihan terpenting dalam hidup -setelah masalah keselamatan kekal- adalah
mengenai jodoh. Kalau seseorang selamat, berarti memiliki persekutuan dengan
Tuhan secara benar, ia menemukan “surga besar” (big heaven); kalau seseorang
menemukan jodoh yang sesuai dengan kehendak Tuhan, ia menemukan “surga kecil”
(small heaven).
Dalam 2 Korintus 6:14, tertulis: Janganlah
kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak
percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau
bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? Kata pasangan yang tidak
seimbang dalam teks aslinya adalah heterosugeo (ἑτεροζυγέω). Kata heterosugeo
memiliki kata dasar dan hubungan dengan kata zugos (ζυγός), yang artinya beban
atau kuk (Mat. 11:28). Maksud teks tersebut kalau diterjemahkan dengan kalimat
lain yang maknanya lebih tajam adalah “jadilah orang yang memiliki beban atau
belenggu yang berbeda dengan orang yang tidak percaya”.
Sebenarnya 2 Korintus 6:14 tidak hanya
berhubungan dengan soal teman hidup, tetapi juga menyangkut persekutuan dan
persahabatan dengan orang yang tidak seiman. Namun demikian teks ini menjadi
lebih kuat lagi maknanya bila dikaitkan dengan hubungan dalam pasangan hidup.
Dari teks ini terdapat kemutlakkan untuk tidak menikah dengan orang yang tidak
memiliki beban yang sama. Biarpun ia seorang Kristen -bahkan seorang aktivis
gereja dan pendeta- belum tentu memiliki beban yang benar. Hal ini sangat
ditentukan oleh kedewasaan rohaninya. Oleh sebab itu hendaknya dalam menemukan
teman hidup, seorang anak Tuhan tidak dikelabuhi oleh penampilan seseorang yang
kelihatan rohani atau dewasa. Untuk ini seorang anak Tuhan harus bertumbuh
dewasa, sehingga memiliki kepekaan untuk mengerti kehendak Tuhan dan memahami
standar kedewasaan rohani yang benar itu. Seorang yang tidak dewasa rohani
sulit membedakan apakah seseorang yang ditemuinya adalah seorang yang dewasa
rohani atau tidak.
Teman hidup haruslah seseorang yang memiliki beban yang sama. Beban di sini menunjuk tanggung jawab yang Tuhan berikan kepada manusia. Seperti pada kisah penciptaan manusia, ketika Adam seorang diri Tuhan berfirman bahwa tidak baik manusia seorang diri (Kej. 2:18). Banyak orang berpikir bahwa letak tidak baiknya manusia adalah tidak baik bagi manusia itu sendirian. Manusia dipandang kesepian dan perlu teman, maka tidak baik seorang diri. Pandangan ini masih dangkal, memang di satu aspek manusia adalah makhluk sosial (social beings), manusia juga manusia yang membutuhkan teman hidup untuk menikmati kehidupan seksnya (homosexuality), tetapi aspek lain yang lebih penting adalah manusia kawan sekerja Allah untuk melakukan kehendak dan rencana Allah. Manusia eksis bukan tanpa alasan. Sang Pencipta merancang manusia untuk tujuan tertentu yang sangat agung.
Bagaimanapun, Adam tidak bisa dipisahkan
dari rencana dirinya atau manusia itu diciptakan. Kata “tidak baik” manusia
seorang diri harus direlasikan dengan “devine porpose” (God’s purpose).
Melakukan kehendak Tuhan dan memenuhi rencana- Nya, inilah letak
makna dan isi hidup. Inilah value
hidup itu sebenarnya. Jika tidak, maka semua menjadi tidak pada
tempatnya, meleset yang tidak bernilai (improper). Perkawinan pun menjadi
hambar dan tidak bernilai jika dipisahkan dari rencana Tuhan semula.
Hidup di dunia yang sudah jatuh ini,
perkawinan harus ditempatkan juga pada rencana Allah. Kebersamaan Adam dan Hawa
adalah kebersamaan dalam memenuhi rencana Tuhan. Rencana-Nya adalah menciptakan
manusia segambar dengan Allah (God’s image). Hal ini berlatar belakang
kejatuhan Lusifer ke dalam pemberontakan melawan Allah. Manusia diciptakan
untuk dapat membuktikan bahwa Lusifer bersalah, sebab tanpa bukti (corpus
delicti), Iblis tidak dapat dibinasakan. Firman Tuhan mengatakan di mana tidak
ada torat, maka tidak ada pelanggaran (Rm. 4:15).
Mandat untuk menaklukkan bumi yang
dipercayakan Tuhan kepada Adam adalah mandat untuk menaklukkan bukan saja alam
fisik, tetapi juga yang tidak kelihatan atau metafisika. Inilah beban atau
tanggung jawab itu. Bukan hanya mandat budaya, tetapi juga mandat sempurna,
artinya manusia harus sempurna seperti Bapanya, yaitu berkarakter Tuhan
sendiri; Penciptanya.
Kalau seseorang tidak menemukan teman
hidup yang sesuai dengan kehendak Allah berarti bencana. Teman hidup haruslah
seseorang yang memiliki beban yang sama.