BELUM TENTU YANG TERAKHIR
Jodoh atau teman hidup juga disebut
“pasangan” hidup, artinya bahwa seseorang harus menemukan seseorang yang “tepat
menjadi pasangannya”. Pasangan biasanya sepasang, bukan rombongan. Pasangan juga
mengisyaratkan adanya satu sosok yang paling pas untuk diajak hidup bersama.
Pasangan juga menunjuk adanya sosok yang tidak dapat digantikan. Itulah
sebabnya dalam kamus hidup orang percaya yang benar, menikah adalah sekali
untuk selamanya, yang pertama dan yang terakhir. Harus dipastikan bahwa sekali
menemukan seseorang sebagai teman hidup berarti ia menjadi pasangan abadi.
Dalam hal ini, menggumuli untuk menemukan jodoh tidak boleh coba-coba atau
berspekulasi. Menemukan jodoh bukan seperti membeli kucing dalam karung.
Jangan-jangan yang ada di dalam karung bukan kucing jinak, tetapi kucing liar
yang bisa menggigit dan menyakitkan, atau ternyata yang ada di dalam karung
adalah ular berbisa.
Banyak orang muda tersesat dalam kehidupan
ini sehingga membawa diri mereka kepada kehancuran, yaitu pada
waktu berpacaran. Pada waktu berpacaran segala sesuatu menjadi indah,
menyenangkan, membahagiakan dan sangat menggairahkan. Dibumbui kenikmatan
gairah seks, banyak orang muda yang mata hatinya menjadi buta dan gelap. Tidak
salah kalau ada istilah “love is blind”. Cinta memang bisa membuatkan mata
sehingga tidak mengenali dengan baik siapa orang yang menjadi pacarnya
tersebut. Apalagi kalau itu cinta pertama, artinya belum pernah jatuh cinta dan
belum pernah dicintai. Biasanya orang muda yang sedang mengalami cinta pertama
terhanyut oleh perasaan cintanya, seperti seorang yang sedang mabuk oleh
minuman keras.
Cinta dan kenikmatan berpacaran seperti
“narkoba” yang membuat dirinya terlena. Demikian pula kalau seseorang sudah
beberapa waktu kesepian, tidak memiliki pacar. Begitu mendapat pacar maka ia
menjadi begitu bersemangat hidup dan menikmati masa pacarannya.
Karena takutnya kehilangan suasana berpacaran tersebut, dan juga takut
kehilangan pacar, maka segala sesuatu diabaikan. Apa pun dilakukan demi
kenikmatan berpacaran tersebut. Biasanya orang muda seperti ini, tidak lagi
memiliki pikiran yang sehat dalam mengambil keputusan. Ini adalah saat-saat
rawan yang bisa membawa seseorang kepada keputusan yang berakibat fatal di
kehidupan hari esoknya. Untuk ini, hendaknya orang muda sadar, berpikir ulang:
apakah pacar atau calon teman hidupnya ini adalah orang yang pantas menjadi
teman hidup yang ideal sesuai dengan kehendak Tuhan atau tidak.
Ada kecenderungan ketika orang muda sedang
jatuh cinta dan berpacaran, siapa pun tidak didengarnya. Bahkan orang tuanya
sendiri tidak didengar nasihatnya. Dalam hal ini betapa berbahayanya kalau
seseorang memiliki obyek cinta yang salah. Oleh sebab itu, sebelum berpacaran
atau semakin dekat dengan seseorang, harus dipertimbangan dengan matang dalam
pimpinan Roh Kudus dan saran atau nasihat dari orang-orang yang patut dimintai
pendapat, terutama orang tua. Idealnya, sebelum jatuh cinta seseorang harus
tahu dengan benar dan pasti bahwa orang tersebut pantas atau layak dicintai.
Jangan jatuh cinta dulu baru meminta pertimbangan. Orang yang sedang jatuh
cinta sulit berpikir obyektif.
Mereka berpikir bahwa keindahan masa
berpacaran tidak akan berlalu. Mereka berpikir itulah kebahagiaan permanen yang
mereka dapat miliki dan nikmati dalam waktu panjang. Tidak heran, kalau mereka
bermimpi akan hidup dengan orang yang akan memberi kebahagiaan dan diberi
kebahagiaan. Ia bermimpi bahwa dunia menjadi indah bersama dengan orang
tersebut. Harus disadari bahwa kenyataan hidup setelah hidup bersama jauh
berbeda dengan keadaan waktu pacaran. Biasanya orang muda yang sedang tenggelam
dengan percintaan pada masa berpacaran selalu berpikir bahwa pacarnya adalah
“orang terakhir” yang ditemuinya sebagai teman hidup. Dengan demikian ia
menutup pintu terhadap siapapun dan menganggapnya bahwa tidak ada orang yang
lebih membahagiakan hidupnya selain orang ini. Ia tidak sadar kalau kemungkinan dan sangat besar kemungkinannya ada orang yang jauh lebih baik.
Harus disadari bahwa kebahagiaan hidup di bumi ini sangat ditentukan dan diperankan oleh kualitas teman hidupnya. Kualitas ini menyangkut kehidupan iman, moral dan etikanya, pendidikan, dan berbagai latar belakang (agama, bangsa, suku, keluarga, pendidikan, lingkungan pergaulan sangat menentukan keadaan pasangan tersebut). Dalam hal ini suasana pacaran bukanlah landasan atau peta hidup di kemudian hari kehidupan seseorang. Hendaknya seseorang tidak menikah dengan orang yang selagi pacaran sudah sering ribut, konflik dan cekcok. Memang hal ini tidak mutlak, tetapi hampir mutlak. Pacaran yang menyenangkan saja belum tentu dapat membangun peta kebahagiaan seseorang, apalagi suasana pacaran yang “gaduh”, hampir dipastikan sulit membangun rumah tangga yang bahagia.
Hendaknya orang muda sadar, berpikir
ulang: apakah pacar atau calon teman hidupnya ini adalah orang yang pantas
menjadi teman hidup yang ideal sesuai dengan kehendak Tuhan atau tidak.