AGENDA ALLAH DI BALIK PERJALANAN WAKTU
HAL DAHSYAT yang
tidak pernah diperhatikan oleh banyak orang adalah Allah menciptakan waktu.
Benda-benda penerang
yang Allah ciptakan bukan hanya berfungsi sebagai penerang, tetapi juga
berfungsi “menjadi tanda yang menunjukkan masa-masa yang tetap, hari-hari dan
tahun-tahun”. Hal ini menunjukkan adanya realitas perjalanan waktu.
Dalam kejadia 1:14 Berfirmanlah Allah:
“ Jadilah benda-benda penerang. I ada
cakrawala untuk memisahkan siang dan malam. Biarlah benda-benda penerang itu
menjadi tanda yang menujukkan masa-masa yang tetap dan hari-hari dan tahun-tahun. Jelas sekali dari
teks ini bahwa penciptaan benda-benda terang selain menjadi sarana Penerangan
bagi bumi ini tetapi yang terutama untuk membawa dunia pada perjalanan waktu.
Faktanya dari catatan tersebut benda-benda terang berfungsi sebagai pemisah.
Dalam teks Ibraninya lehavdil (571.333?) dari akar kata bada! (5121). Kata ini
memiliki pengertian selain memisahkan juga (Ing. separate) juga berarti
membedakan (Ing diferent, distinguish).
Jadi seandainya
tidak ada matahari apakah bumi tidak ada terang, tentu tetap ada terang sebab
Tuhan bisa menciptakan terang dari sumber lain selain matahari. Harus diingat
bahwa sebelum Tuhan menciptakan matahari dan sarana penerang lainnya, Tuhan
sudah menciptakan “fakta terang” itu (Kej. 1:3). Kalau Tuhan menaruh matahari
ternyata mempunyai fungsi penting lain, yaitu menunjukkan masa-masa yang tetap,
hari-hari dan tahun-tahun. Tuhan menciptakan benda-benda penerang untuk
realitas adanya perjalanan waktu. Dalam hal ini jelas ada sesuatu yang Tuhan
hendak kerjakan melalui penetapan masa atau adanya realitas perjalanan waktu
tersebut.
Perjalanan waktu
diadakan seiring dengan diciptakannya manusia, yaitu makhluk-makhluk yang
memiliki keadaan kekal, tetapi juga fana. Kekal rohnya, tetapi fisiknya bisa
fana yaitu bila tidak hidup dalam ketaatan kepada Bapa. Fakta ini membawa
manusia kepada sebuah “pergulatan hebat”. Dunia
ternyata menjadi tempat seleksi siapakah makhluk-makhluk yang akan menjadi sekutu Tuhan dalam kemuliaan abadi atau sekutu Iblis
dalam kengerian abadi. Manusia diperhadapkan kepada pilihan untuk taat kepada
Bapa atau memberontak seperti Lusifer. Bila manusia taat kepada Bapa, maka
manusia menjadi anak-anak Bapa di keabadian. Dengan ketaatan tersebut manusia
juga bisa membuktikan bahwa Iblis bersalah, sebab sebelum ada pribadi yang bisa
taat, maka kesalahan Iblis belum terbukti. Adamlah yang menerima mandat ini;
mengalahkan Iblis.
Dari “keadaan tidak berwaktu”, Iblis dimasukkan ke dalam
“keadaan yang berwaktu”. Cara inilah yang dipakai Allah Bapa untuk membinasakan
dan menghukum Iblis.
Dari surga yang
tidak terikat waktu dibawa ke dalam dunia yang ada dalam perjalanan waktu.
Tentu perjalanan waktu ini akan berakhir. Dan akhir perjalanan waktu ini
merupakan akhir dari perjalanan petualangan Lusifer dan para malaikatnya. Dengan demikian dapat disimpulkan lagi
lebih tegas bahwa diciptakannya perjalanan
waktu adalah untuk membinasakan Iblis dan mem persiakan pengganti Lusifer yang
jatuh, yaitu pejabat-pejabaat yang akan memerintah di Kerajaan Bapa.
Kalau Tuhan
menciptakan perjalanan waktu hal ini bisa mengisyaratkan bahwa Tuhan memberi
waktu kepada manusia untuk melakukan tugas dari Allah dan menyelesaikannya.
Tidak mungkin Peralanan waktu tidak memiliki makna penting pada zaman sebelum manusia jatuh dalam dosa.
Perjalanan waktu juga memiliki arti atau makna yang penting bagi Tuhan maupun
bagi manusia sebelum manusia jatuh dalam dosa. Logisnya, bisa terjadi ada
jangka waktu yang ditentukan Allah bagi manusia untuk membuktikan bahwa Iblis bersalah.
Perjalanan waktu
juga bisa mengisyaratkan adanya batas waktu yang disediakan untuk suatu tugas
tertentu. Harus diingat bahwa Sabat telah diciptakan Tuhan sebelum manusia
jatuh dalam dosa. Ini berarti Adam dan Hawa harus tertib dan ketat memerhatikan
perjalanan hari, sebab pada hari ketujuh mereka harus berhenti bekerja atau
beristirahat. Jadi Allah juga
dengan tertib bergaul dengan manusia dalam perjalanan waktu yang bergulir. Hal
ini dikemukakan oleh Pengkhotbah dengan kalimat “segala sesuatu ada masanya” (Ing. There is a timefor
everything, and a season for every activity under heaven).
Dengan adanya perjalanan waktu ini, maka mau tidak mau Allah juga masuk
ke dalamnya. Walau sebenarnya Ia ada di luar waktu dan bisa tetap
ada di luar waktu saja, tetapi Ia berkenan masuk dalam pergumulan manusia. Hal
itu semata-mata untuk membinasakan pekerjaan Iblis (lYoh. 3:8). Jadi sejak zaman
Adam, Allah sudah menentukan waktu yang disediakan bagi manusia untuk belajar
mengenal kebenaran-Nya dan berjuang untuk mengalahkan Iblis. Jadi, Adam bukan
tidak hidup dalam perjalanan waktu. Adam ada dalam perjalanan waktu, hanya
tidak ada catatan mengenai hal ini, tentu Allah yang menghitungnya. Bukan tidak
mungkin bahwa Allah mematok waktu untuk Adam dalam menyelesaikan tugasnya untuk
mengalahkan Lusifer.
Sampai titik
tertentu ternyata Adam tidak bisa mencapai kesucian dan kebenaran yang Allah
kehendaki, terpaksa harus diusir dari Eden. Adam telah meleset (Rm. 3:23).
Seharusnya Adam yang harus membuktikan bahwa Iblis bersalah, tetapi Adam gagal.
Tidak pernah kita tahu berapa lama jarak antara penciptaan manusia dan
pemberian peringatan untuk tidak makan buah yang dilarang Allah dengan saat
Adam dan Hawa makan buah yang dilarang tersebut. Buah pengetahuan yang baik dan
jahat bukanlah buah yang dikonsumsi secara fisik, tetapi jiwa atau pikiran.
Buah ini figuratif atau menunjuk pengaruh jahat Lusifer. Manusia diperhadapkan
pada pilihan, apakah berpikir seperti Allah berpikir sehingga menjadi seperti
Bapa, atau memiliki pengertian (understanding) yang sama dengan Lusifer.
Mengenai waktu
yang dijelaskan diatas, memang tidak
tersurat secara tegas dan eksplisit, tetapi bila dianalisa secara teliti hal ini sangat logis untuk
dimengerti dan diterima. Implikasi dari penjelasan ini adalah bahwa
sekarang ini manusia juga menghadapi realitas limitasi Waktu yang diberikan
oleh Tuhan kepada masing-masing individu. Kalau dalam kurun waktu yang tersedia,
apabila manusia tidak mencapai apa yang dikehendaki oleh Allah, masing-masing
harus memikul resikonya. Adam telah
bertindak di luar jadwal Allah, ia ingin segera seperti Allah sesuai dengan
jadwalnya sendiri. Padahal, tentu Tuhan menghendaki agar manusia
menerima pengertian mengenai kebenaran dari sumber yang benar, yaitu dari Allah
sesuai dengan jadwal-Nya.
Harus ditegaskan
pandangan di atas ini
hendaknya tidak menjadi suatu pandangan yang dianggap final, yang lebih final adalah bahwa
kejatuhan manusia ke dalam dosa sehingga kehilangan
kemuliaan Allah adalah perjalanan waktu yang membawa manusia kepada
keadaan yang tidak bisa diperbaiki. Jika kemungkinan kedua ini terjadi, maka waktu bukanlah
masalah dan tidak menentukan. Jadi, yang menjadi masalah adalah keadaan (state)
di mana manusia pada suatu level yang tidak dapat berbalik menjadi baik atau
diperbaiki lagi. Pada prinsipnya kejatuhan manusia ke dalam dosa adalah karena
Adam lebih mengisi pikirannya dengan suara yang bukan berasal dari Allah.
Inilah yang membawa diri manusia kepada dosa atau kemelesetan, sampai manusia
tidak mampu mencapai standar kesucian yang Allah kehendaki.