Dalam Injil Yohanes 14:6, Yesus menunjukkan bahwa Dialah satu-satunya jalan
sampai kepada Bapa. Yesus sebagai jalan bukan hanya untuk dipercayai dan diakui
sebagai benar, tetapi harus dijalani, karena percaya adalah tindakan, bukan
sekadar aktivitas pikiran; berupa keyakinan dan persetujuan dalam pikiran.
Banyak orang Kristen merasa sudah memercayai Yesus sebagai jalan, dan merasa
sudah memperoleh keselamatan karena meyakini-Nya. Kita tidak boleh
membedakan diri kita sebagai orang percaya dengan mereka yang bukan Kristen,
hanya dari sudut kepercayaan. Orang di luar Kristen tidak percaya dan tidak
mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat. Kalau perbedaaan hanya di
keyakinan di dalam pikiran, kehidupan kita tidak berbeda dengan mereka. Yang
membedakan adalah kesediaan menjalani jalan hidup itu, yaitu Yesus sebagai
jalan hidup kita. Perbedaan tersebut juga dikalimatkan oleh Yesus di
dalam Matius 5:20, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup
keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan
masuk ke dalam Kerajaan Surga.” Bila hal ini belum terwujud, berarti
percayanya atau imannya belum benar.
Yakobus berkata kalau hanya percaya bahwa Allah itu esa, apa bedanya
dengan daimonian; roh-roh jahat (Yak. 2:19)? Iman bukan hanya
keyakinan dalam pikiran, melainkan relasi antara subjek yang percaya dan objek
yang dipercayai. Allah bukan hanya diyakini, melainkan juga dialami dalam arti memiliki
perjumpaan riil dengan Dia sehingga benar-benar mengalami Dia. Kalau Yesus
memberi mandat kepada orang percaya untuk menjadikan semua bangsa murid-Nya,
berarti harus ada proses dimana orang percaya mengalami mekanisme belajar
kepada Yesus sehingga memiliki kehidupan seperti kehidupan yang dijalani oleh
Yesus. Itulah sebabnya, kalau kekristenan hanya menjadi agama, maka
orang Kristen tidak pernah menjadi anak-anak Allah. Menjadi anak-anak Allah
bukan hanya status yang diakui, melainkan keberadaan kodrat yang dialami.
Ini adalah kesalahan yang sangat fatal, sebab dengan pemikiran tersebut,
banyak orang Kristen yang sebenarnya belum memiliki keselamatan tetapi merasa
sudah memilikinya. Keselamatan adalah suatu proses perubahan di bumi ini, yaitu
dikembalikannya seseorang ke rancangan Allah semula. Harus benar-benar dipahami
dan dialami, bahwa keselamatan dimulai sekarang, di bumi ini, bukan hanya nanti
setelah meninggal dunia. Kalau di bumi ini tidak mengalami keselamatan,
maka di kekekalan pun ia tidak pernah memilikinya. Pengalaman keselamatan
bukanlah dialami dalam atau dari keyakinan semata-mata, melainkan dari
pengalaman riil perjumpaan dengan Allah yang membuat seseorang mengalami
perubahan kodrat. Perjumpaann itu tidak akan dialami, kalau seseorang tidak
hidup dalam penurutan total atau mutlak kepada Allah.
Banyak orang bertahun-tahun beragama Kristen dengan pergi ke gereja,
menjadi majelis, bahkan menjadi pejabat sinode seperti pendeta, tetapi ternyata
tidak bertumbuh mengalami perubahan kodrat, yaitu dari manusia yang berkodrat
dosa menjadi manusia yang berkodrat ilahi. Mereka terkubur dalam hidup
keberagamaan yang tidak pernah mengenakan kehidupan Yesus secara konsekuen dan
konsisten. Itulah sebabnya, gaya hidup mereka tidak berbeda dengan orang-orang
yang bukan umat pilihan. Bagi rohaniwannya, tidak berbeda dengan rohaniwan
agama lain.
Dengan pengertian yang salah tersebut, mereka tidak sungguh-sungguh
berusaha untuk menjadi serupa dengan Yesus. Mereka tidak sungguh-sungguh
berusaha untuk hidup tidak bercacat dan tidak bercela. Itulah sebabnya, mereka
tidak pernah bertumbuh dalam iman sampai pada tingkat di mana pengharapan
keselamatan menjadi milik yang pasti (Ibr. 6:11) atau memiliki hak penuh masuk
Kerajaan Kekal, Kerajaan Tuhan Yesus Kristus (1Ptr. 1:11). Hal ini dibuktikan
dengan kehidupan wajar di bumi, dan tidak adanya gairah yang kuat dengan
sukacita menantikan kedatangan Tuhan, memasuki Kerajaan Tuhan Yesus Kristus.
Itulah sebabnya, Paulus mengatakan: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan
dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat
membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah
dan yang sempurna” (Rm. 12:2).
Mengapa bisa terjadi demikian? Satu hal yang menjadi penyebabnya adalah
kesalahan memahami mengenai kata “percaya,” lengkapnya mengenai pengertian
“dibenarkan oleh iman” (Rm. 3:28; 4:2). Iman bukan hanya keyakinan di dalam
pikiran. Iman adalah tindakan, kalau orang percaya kepada Yesus, berarti bukan
saja mengakui dan setuju bahwa Yesus adalah jalan untuk sampai kepada Bapa,
melainkan juga menjalani jalan tersebut. Menjalani jalan itu yaitu Yesus dengan
mengikuti jejak-Nya, yaitu menjalani hidup seperti ketika Yesus mengenakan
tubuh daging seperti kita, dua ribu tahun yang lalu di Palestina. Ini berarti
harus memiliki pikiran dan perasaan yang juga ada pada Yesus, memiliki gaya
hidup-Nya, sehingga kita seperti Kristus, dan pantas disebut Kristen. Kita
disebut Kristen seharusnya bukan karena beragama Kristen, melainkan karena
seperti Kristus. Orang yang tidak semakin seperti Yesus, berarti tidak
mengalami keselamatan dan tidak memilikinya.