″Yang Paling Kita Harapkan”
Sebab itu juga kami berusaha, baik kami diam
di dalam tubuh ini, maupun kami diam di luarnya, supaya kami berkenan
kepada-Nya. (2Kor. 5:9)
Kalau kita ditanya dan harus langsung
menjawab dalam tempo dua detik, “Apakah yang paling Saudara harapkan terjadi
dalam hidup Saudara,” apa jawaban kita? Barangkali sebagian besar dari kita
bingung, bagaimana menjawab pertanyaan ini. Bila demikian, ini berarti hidup
kita belum mempunyai tujuan yang jelas. Kehidupan kita dari hari ke hari tanpa
makna. Kalau kita menjawab dengan cepat, jawaban tersebut kemungkinan besar
atau hampir pasti adalah jawaban yang jujur, sebab waktu yang singkat tidak
memungkinkan kita mengarang jawabannya. Itu adalah arti atau tujuan hidup kita,
atau sesuatu yang selama ini memengaruhi atau menguasai kehidupan kita; sesuatu
yang mencengkeram hati kita.
Ini sama dengan kalau seseorang
mempertaruhkan uangnya dalam jumlah besar untuk suatu bisnis, dan ternyata
belum ada tanda-tanda usahanya menghasilkan sesuatu yang menggembirakan. Siang
malam ia memikirkan hal tersebut, masalah tersebut telah menyita seluruh
potensi dan perhatian hidupnya. Bila ia ditanya dengan pertanyaan di atas, maka
jawabnya adalah supaya uangnya kembali atau bisnisnya berhasil.
Seseorang yang menantikan jawaban keputusan
Mahkamah Agung untuk suatu perkara yang menentukan hidup atau matinya, siang
malam pikirannya tertuju kepada hal tersebut. Bila ia ditanya dengan pertanyaan
di atas, maka jawabnya adalah agar segera keluar keputusan Mahkamah Agung yang
menggembirakan.
Kalau pertanyaan ini ditujukan kepada Abraham
dan ia harus menjawab dalam tempo dua detik, maka jawabannya akan cepat muncul
yaitu menemukan negeri yang dijanjikan Tuhan, yang oleh karenanya ia
meninggalkan Ur-kasdim (Kej. 12:1–3). Mengapa? Sebab hidupnya telah dirampas
habis oleh tujuan hidup itu. Seluruh potensi dan perhatian hidupnya ditujukan
kepada hal ini semata-mata. Pikiran Abraham pasti tertuju kepada hal tersebut
sepenuhnya, karena ia telah mempertaruhkan seluruh hidupnya untuk hal tersebut,
yaitu menemukan negeri yang Tuhan tunjukkan. Selama itu pasti banyak orang
menganggap Abraham bodoh, ngawur dan sulit dipahami. Tetapi Abraham berkeras
menemukan negeri itu, dan hidupnya berubah. Bagaimana dengan kita? Apakah kita
memiliki obsesi yang jelas dan tegas untuk berkenan kepada Tuhan Yesus dalam
pengiringan kepada-Nya?