Takdir dan Kehendak Bebas
Pengertian Takdir
Kata “takdir” ini tidak asing bagi telinga kita,
bahkan akrab dimulut banyak orang disekitar kita. Untuk mengomentari suatu
realita yang dialami seseorang, mereka biasa menggunakan kata ini. Kata takdir
dalam pemahaman umum biasanya mendapat isi atau dimengerti sebagai penentuan
ilahi. Kata takdir biasanya disejajarkan maknanya dengan kata nasib, dalam
bahasa Inggris diterjemahkan fate atau destiny. Kata takdir sangat populer
dilingkungan orang-orang beragama, karena kata ini bertalian dengan “oknum”
yang diakui sebagai berkuasa menentukan apa yang terjadi atas hidup
masing-masing individu manusia secara mikro dan atas alam kosmos (alam semesta)
ini secara makro. Baik yang terjadi atas seseorang maupun yang melibatkan alam
semesta dan mempengaruhi banyak orang seperti misalnya bencana alam. Oknum yang
menentukan segala peristiwa dalam kehidupan tersebut adalah Tuhan, obyek iman
agama. Dibalik kata takdir diisyaratkan jelas adanya penentuan ilahi dalam
segala kejadian atau peristiwa, sebuah “devine decree”.
Jadi takdir dimengerti sebagai penentuan suatu
peristiwa atau kejadian yang berlangsung dalam hidup manusia berdasarkan
kedaulatan kebebasan kehendak dan kebijaksanaan Tuhan yang mutlak atau absolut.
Dalam bahasa Inggris kata takdir bisa diterjemahkan "predestination"
yang artinya penentuan sebelumnya atau ditentukan lebih dahulu. Sebelum suatu
peristiwa terjadi, segala sesuatunya sudah ditentukan oleh Tuhan untuk
berlangsung.
Oleh karena segala sesuatu sudah ditentukan
sebelumnya, maka dengan demikian nampak gambar dalam bingkai bahwa segala
sesuatu yang terjadi dalam hidup ini adalah skenario dari Sutradara Agung yaitu
Tuhan. Dalam hal ini sekaligus Tuhan berperan sebagai penulis cerita dan “ki
dalang” yang mengatur setiap peran kehidupan dalam pentas panggung sandiwara.
Lebih tegas lagi bila kita obyektif memandang hidup dengan kacamata ini, maka
berarti Tuhan berlaku sebagai pengatur remote kontrol dan manusia menjadi robot
yang bisa dikendalikan oleh remote tersebut tanpa kebebasan kesempatan memilih
suatu pilihan.
Pemahaman diatas ini pada akhirnya bisa membangun
pandangan bahwa pengertian dan pertimbangan ratio manusia untuk mengambil
keputusan menjadi sia-sia. Semua sudah diatur dalam fragmen yang tidak akan
keluar atau terlepas dari alur cerita yang ditentukan atau ditetapkan. Akhirnya
anjuran untuk menemukan peran dan tempat dihadapan Tuhan, menjadi panggilan
untuk percaya dan terima saja setiap peran yang akan ditemukan secara otomatis.
Semua sudah diatur oleh The Invisible Hand, tangan yang tidak kelihatan, yaitu
tangan Tuhan yang mengerjakannya sendiri tanpa bantuan dan peran manusia sama
sekali.
Dalam memahami pengertian takdir, pada umumnya orang
berasumsi bahwa manusia tidak memiliki kedaulatan sama sekali dalam menentukan
keadaan hidupnya, sebab Tuhan telah mempersiapkan segala kejadian yang akan
dialami atau dilaluinya dalam hidup. Manusia hanya menerima apa yang disediakan
baginya.
Demikianlah kita dapati bila seorang mengalami
musibah misalnya suatu kecelakaan, kematian orang yang dikasihinya, jatuh
miskin, sakit yang tidak tersembuhkan sampai kematian dan lain lain, maka
mereka menerimanya sebagai takdir. Didalamnya Tuhan dianggap sebagai kausalitas
prima (penyebab utama), kasarnya “biang masalah”. Menjadi berkembang lagi dalam
kasus lain disimpulkan bahwa jodoh ada di tangan Tuhan, sehat sakit, kaya
miskin, gemuk kurus, sorga dan neraka atas seseorang hanya Tuhan yang
menentukan.
Biasanya pengakuan terhadap realitas takdir ini
dianggap sebagai kesadaran akan kebesaran Tuhan, mengakui supremasi atau
keunggulan Tuhan, menyadari bahwa manusia hanya hamba, manusia tidak boleh
melawan apa yang Tuhan sudah tentukan. Penerimaan realitas takdir dianggap
sebagai tanda pengabdian. Pada prinsipnya umat hanya menerima saja dengan
pasrah tanpa memberontak apa yang dialaminya, sebab Tuhan yang menentukan. Umat
dikehendaki untuk diam saja. Pasrah. Diam, titik. Konsep ini tidak benar..!
Manusia adalah Makhluk yang Bertanggung Jawab.
Bila kita berbicara mengenai takdir maka mau tidak
mau kita harus belajar mengenai hakekat manusia sekaligus menyinggung mengenai
hakekat Allah. Berangkat dari pemahaman tentang hakekat manusia maka kita dapat
memiliki pijakan pandangan terhadap masalah takdir. Salah satu persoalan yang
harus dibedah menyangkut hakekat manusia adalah: "Apakah kemutlakan
“kedaulatan Allah” (Sovereignty of God) mengakibatkan manusia tidak memiliki
kehendak bebas sama sekali ? Sekaligus dipertanyakan apakah kedaulatan Allah
menenggelamkan manusia secara fatalistis didalam “penentuan” segala sesuatu
yang harus hanya diterima saja oleh manusia tanpa dapat menolak atau
menghindarinya? Tetapi sebaliknya kalau manusia memiliki kehendak bebas, sejauh
mana kebebasannya tersebut atau apa batas kehendak bebasnya?"
Banyak orang berpendirian bahwa oleh karena Allah adalah
Allah yang Maha Kuasa, Allah yang tidak perlu diatur atau dinasehati oleh
siapapun, maka Ia tidak akan membuat keliru dalam rencana-Nya, sehingga manusia
sepatutnya hanya menerima apa saja yang Allah perlakukan tanpa memiliki
pilihan. Pilihan Allah adalah pilihan yang terbaik dan pasti terlaksana. Karena
Allah adalah Allah yang tidak terbatas, bahwa Ia adalah Allah yang berdaulat
maka kehendak dan rencana-Nya tidak dapat dibatalkan oleh siapapun dan dengan
kuasa apapun, jadi apapun yang dialami manusia adalah rancangan-Nya. Dengan
kewewenangan-Nya yang tidak terbatas Allah bertindak “sesuka-suka-Nya” tanpa
ada yang dapat mencegah.
Berpijak pada anggapan diatas ini berarti manusia
akan selalu diperhadapkan dengan keadaan yang tidak dapat ditolaknya. Konsep
ini sekilas sangat luhur dan agung, akurat dan Alkitabiah tetapi konsep ini
menghilangkan unsur kebebasan yang Allah telah taruh dalam diri manusia. Dengan
demikian menghilangkan tanggung jawab yang masing-masing individu harus pikul.
Masalah yang bisa muncul kemudian adalah, apakah manusia masih dianggap sebagai
manusia yang berkualitas bila dengan keadaan tanpa kehendak bebas untuk memilih
dan bertanggungjawab atas segala tindakannya.
Dalam sejarah pergumulan theologia gereja, hal
“kehendak bebas” (latin: liberum arbitrium) merupakan masalah yang penting.
Masalah ini juga diperbincangkan hebat di dalam sejarah filsafat dan agama.
Menyikapi fakta sejarah gereja yaitu terjadinya perselisihan mengenai hal
tersebut maka kita tidak harus berpijak pada pandangan salah satu tokoh yang
merumuskan secara definitive mengenai pokok tersebut. Pandangan tokoh-tokoh
theolog dan perumus etika bisa menjadi bahan acuan, tetapi tidak harus menjadi
alas penalaran kita. Kita harus menggunakan koridor Alkitab sebagai tuntunan
kebenaran satu-satunya. Berpijak kepada eksplorasi Alkitab yang teliti kita
membangun pandangan etis theologis mengenai kehendak bebas manusia ini.
Pendahulu-pendahulu kita telah berusaha merumuskan pokok pikiran ini. Ternyata
terdapat polarisasi pandangan yang akhirnya terjadi perdebatan dan
benturan-benturan ide. Dalam hal ini penulis tidak mau terjebak berjalan dalam
koridor seorang tokoh theolog dan membuat perbantahan yang tidak
habis-habisnya. Penulis hendak mencoba berjalan dalam koridor Alkitab dan
membatasi diri dalam pembahasan yang harus dibatasi dengan sekitar orientasi
takdir (walau tentu sebagai akibatnya terkesan berat sebelah dan tidak
lengkap).
Mistik Pantheistis menyangkal adanya kebebasan
kehendak karena tidak adanya perbedaan Kehendak Allah dan kehendak manusia.
Salah satu aliran pemikiran dunia modern yang senada dengan pandangan diatas
adalah filsafat determinisme (behaviorisme – ilmu sosial). Aliran ini
berpendapat bahwa sikap dan tingkah laku manusia, malah pemikiran dan cita-citanya
pun seluruhnya ditentukan. Lazimnya, dengan tidak disadari, oleh warisan
genetika, oleh struktur sistem urat saraf, proses-proses kimia dalam otak dan
sebagainya. Pandangan ini secara tidak langsung hendak menggiring manusia untuk
tidak bertanggungjawab atas keadaan dirinya. Paham determinisme-keturunan
menerangkan bahwa manusia itu ditakdirkan oleh bakat dan keturunannya, jadi
tidak ada kebebasan sama sekali. Dalam Kekristenan juga ada pandangan theologia
yang melihat kebebasan manusia dari segi negatif. Kebebasan manusia bila
ditampilkan dianggap oleh kelompok tertentu sebagai mengurangi supremasi Tuhan
atau dianggap berunsur kekurang-ajaran terhadap integritas kedaulatan Allah
yang absolut dan mutlak. Determinisme theologis ini sangat timpang dan tidak
sesuai dengan apa yang dapat diamati mengenai kelakuan manusia. Theologia
semacam ini menggiring gagasan takdir yang salah dalam wilayah theologia
Alkitab.
Gagasan takdir menyakinkan adanya campur tangan
langsung dari Allah yang mengendalikan nasib manusia di luar kesadarannya,
segala sesuatu ditentukan sejak semula. Ini adalah konsep agama non Kristen
yang tidak banyak membicarakan tentang kebebasan, sebab mereka hanya mengakui
perbuatan-perbuatan yang disiapkan Allah di dalamnya. Konsep takdir ini mengingkari
adanya kebebasan yang sungguh-sungguh, selanjutnya peranan etika disia-siakan.
Adalah satu hal yang sulit diterima kalau kita menerima konsep takdir sementara
kita juga menyerukan pertobatan, dan berbagai panggilan serta seruan lainnya
kepada orang lain untuk hidup di jalan Tuhan. Apakah dalam hal ini kita mulai
berpikir bahwa Tuhan perlu dibantu untuk menggenapi rencana-Nya? Kontradiksi
seperti ini harus dianalisa secara obyektif dan jujur.
Adam dan Hawa diciptakan Allah sebagai
makhluk-makhluk yang bebas. Apakah kita bisa menutup mata terhadap realitas
adanya “pilihan”. Ketika Tuhan melarang manusia pertama untuk tidak menjamah
pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat, tetapi tidak menyembunyikan
pohon tersebut merupakan signal yang jelas adanya kebebasan memilih. Didalamnya
Tuhan menghargai keputusan yang diambil oleh manusia tersebut, baik benar
maupun salah, baik penurutan maupun pemberontakan. Jelas bahwa kebebasan
kehendak ini ditunjukkan Tuhan melalui keberadaan pohon “pengetahuan tentang yang
baik dan jahat” yang ada di dalam Eden dan manusia bebas memetiknya (Kej 2).
Dosa yang dimulai datang dari godaan “ular” yang ditanggapi Hawa merupakan
tindakan yang menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan memilih atau
mengambil keputusan. Mentaati Tuhan atau memberontak kepada-Nya (Kej 3). Tentu
Tuhan berkuasa menghindarkan manusia dari kejatuhan, namun Tuhan tidak
melakukannya. Ini juga merupakan wujud konsistensi, keadilan dan “fair”nya
Tuhan terhadap apa yang ditetapkannya.
Dalam kedaulatan-Nya yang tidak terbatas Tuhan masih
memberi peluang manusia untuk bertindak berdasarkan pertimbangannya sendiri.
Tindakan manusia inilah “taburan” yang satu kali harus dituainya. Dalam hal ini
jelas bahwa manusia bukanlah makhluk yang netral. Tetapi manusia adalah makhluk
yang harus mengambil keputusan. Peristiwa di taman Eden jelas menunjukkan bahwa
Allah memberi kebebasan kepada manusia untuk menentukan kehidupannya. Dari
peristiwa di Eden itulah nampak jelas Allah memberi tanggungjawab kepada
manusia. Dalam tanggungjawab terkandung pengertian penyebab dari apa yang
dialami manusia. Orang bertanggungjawab atas sesuatu yang disebabkan oleh
keputusan dari tindakannya. Orang yang tidak menjadi penyebab dari suatu akibat
tidak bertanggungjawab atas sesuatu. Jadi bagaimana harus bertanggungjawab
kepada Tuhan sementara keadaan hidupnya adalah keadaan yang tidak dapat
ditolaknya, semua ditentukan dan ditetapkan untuk diselami.
Dalam Kekristenan hal “kebebasan” manusia mempunyai
tempat yang penting, yang harus dipahami. Ajaran takdir adalah pengajaran yang
mengesampingkan “nilai” manusia. Kebebasan sangat memberi nilai atas manusia.
Dalam hal ini kita mengerti mengapa penghakiman dan upah merupakan realitas
ilahi. Ada sorga dan neraka. Dengan memahami kebenaran ini kita akan menjadi
hati-hati dalam hidup, tidak ceroboh dan tanpa perhitungan. Hukum “tabur tuai”
merupakan realitas ilahi yang tidak dapat dihindari oleh siapapun (Gal 6:7-9).
Dalam Gal 6:7 ini dimulai dengan kalimat: Jangan sesat. Dalam teks bahasa
Yunaninya: me planasthe - be not deceive. Dalam salah satu terjemahan bahasa
Inggris: do not deceive your selves. Pemikiran yang salah merupakan potensi
penyesatan yang harus diwaspadai. Kalau Tuhan sendiri yang memperingatkan kita,
itu berarti hal akibat penyesatan tersebut adalah suatu bahaya besar. Oleh
sebab itu betapa pentingnya kita mengerti kebenaran Firman Tuhan (2 Pet 1:3)
dan pembaharuan pikiran setiap hari untuk memahami kebenaran-Nya (Rom 12:2).
Terdapatnya banyak orang Kristen yang mempercayai konsep takdir disebabkan
kemiskinannya memahami kebenaran Allah dalam Alkitab.
Sungguh sangat menyedihkan kalau ada orang Kristen
yang ketika terjebak dalam suatu masalah sulit menyalahkan Tuhan dengan
perkataan: semua ini takdir dari Tuhan. Sudah digariskan dari Yang Maha Kuasa.
Hukum tabur tuai ini mirip dengan konsep “karma” dalam suatu agama. Hanya
bedanya “karma” sangat fatalistik, maksudnya setiap tindakan ada akibatnya
tanpa bisa diperbaiki, tetapi dalam Kekristenan anak-anak Tuhan sudah lepas
dari hukuman dan setiap kesalahan ada pengampunan bila kita menyelesaikannya,
tentu walau akibat dari kesalahan tersebut harus ditelannya bukan sebagai
hukuman tetapi disiplin. Daud berdosa kepada Tuhan dengan mengambil istri
bawahannya, ia bertobat dan Tuhan mengampuni Daud. Tetapi akibat kesalahan itu
Daud harus menanggungnya. Dan itu sangat menyakitkan.
Hukum tabur tuai adalah bahwa segala sesuatu yang
kita lakukan mempunyai akibat. Kenyataan ini berangkat dari 2 hal:
1. Allah
adalah Allah yang telah memberi kehendak bebas kepada manusia. Dan Ia sendiri
konsekuen dengan kebebasan yang telah diberikan itu. Sebagai buktinya, Allah
meletakkan pohon ujian di taman Eden. Oleh sebab itu nasib manusia ditangan
manusia itu sendiri.
2. Allah
adalah Allah yang adil yang menuntut pertanggungjawaban atas setiap tindakan
seseorang. Keadilan Allah tidak bertentangan dengan kasih-Nya. Oleh sebab itu
manusia adalah makhluk yang hidup dibawah bayang-bayang keadilan Allah.
Penyaliban Tuhan Yesus adalah bukti penggenapan tuntutan keadilan Allah yang
harus ditegakkan dan hal ini memuaskan hati Allah Bapa.
Dengan penjelasan ini maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa manusia adalah makhluk yang harus bertanggungjawab (Roma 14:12). Konsep
takdir yang sering kita dengar dalam pergaulan bukanlah konsep Alkitab, bahkan
itu bertentangan dengan kebenaran Firman
Tuhan. Manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Keadaan manusia
bukanlah hasil dari penentuan nasib atau takdir. Oleh karenanya dunia ini bukan
panggung sandiwara, tetapi medan pergumulan antara memilih yang jahat atau yang
baik. Keberuntungan atau kemalangan. Kehidupan atau kebinasaan. Tuaian dari apa
yang kita tabur itu bisa kita tuai baik selama hidup dalam dunia maupun sesudah
mati (2 Kor 5:10).
Oleh sebab itu kita tidak boleh hidup ceroboh,
perhatikan kalimat dalam Gal 6:7, Allah tidak dapat dipermainkan, no one makes
a fool God, God is not mocked. Manusia berurusan dengan Allah dan tidak dapat
menghindarinya. Semua yang kita lakukan dalam hidup ini menimbulkan reaksi dan
tindakan Allah atas diri kita. Sebab kita adalah hasil karya-Nya. Ia sebagai
hakim yang adil untuk memberkati orang yang hidup dalam kebenaran dan menghukum
orang yang tidak hidup dalam kebenaran. Orang-orang bebal yang tidak peduli
Allah dan penghakiman-Nya suatu hari kelak akan berhadapan kepada kenyataan
yang tidak pernah ia duga. Pada waktu itu penyesalan baru datang tetapi semua
sudah terlambat. Oleh sebab itu Tuhan menganjurkan kita untuk menabur didalam
Roh, maksudnya mengikuti kehendak Allah. Tentu hal ini akan menghasilkan buah
Roh (Gal 5:22). Tetapi sebaliknya kalau menabur dalam daging, tentu
menghasilkan buah-buah daging maka ia tidak akan memperoleh bagian dalam
kerajaan Allah (Gal 5:19-21). Kebenaran Firman Tuhan dan hukum-hukum-Nya
sebenarnya membawa manusia kepada kehidupan yang berkelimpahan. Secara tidak
langsung hukum “tabur tuai” ini juga dipaparkan oleh pemazmur dalam Mazmur 73,
bahwa pada akhirnya orang fasik akan jatuh dan hancur. Bila manusia tidak
memiliki kehendak bebas dan hidupnya ditentukan oleh takdir, Tuhan Yesus tidak
akan berkata “bertobatlah kamu”, kumpulkan harta di sorga dan lain sebagainya.
Salah satu pra-anggapan bagi penelitian etika adalah
keyakinan bahwa manusia ialah makhluk yang bebas dan bertanggungjawab. Dua kata
ini memiliki hubungan timbal balik. Manusia disebut sebagai makhluk yang
bertanggungjawab apabila manusia bereksistensi sebagai makhluk yang bebas.
Manusia sebagai makhluk yang bebas, oleh karena itu ia harus bertanggungjawab.
Seandainya tidak demikian maka mustahillah menilai manusia secara etis. Oleh
sebab manusia adalah makhluk yang bertanggungjawab (responsible) maka manusia
juga adalah makhluk yang memikul gugatan (imputabilitas). Dengan realitas ini
manusia tidak boleh ceroboh atau sembrono atas setiap perilakunya, sebab apa
yang ditabur orang itu juga akan dituainya (Gal 6:7).
Jadi kalau ada seorang ibu yang menyesali
perkawinannya dengan seorang pria yang ternyata tidak setia, lalu ia berkata
bahwa keadaan tersebut adalah nasibnya, sudah ditakdirkan dari yang maha kuasa.
Ibu ini sesat. Ibu ini sesungguhnya sedang menuai apa yang ia tabur. Mengapa ia
memilih menikah dengan pria tersebut? Mengapa tidak dengan pria lain? Bukankah
di dunia ini ada banyak pria? Jadi keadaan ibu yang sulit tersebut haruslah diterima
sebagai konsekuensi pilihannya. Ibarat nasi sudah menjadi bubur, makanlah bubur
itu! Dalam hal ini kita harus belajar bertanggung jawab atas pilihan dan
keputusan kita sendiri.
Hendaknya kita tidak membela kebodohan kita dalam
mengambil keputusan dengan alasan takdir. Dengan demikian kita mencoba hendak
melemparkan atau memindahkan kesalahan yang kita lakukan kepada Tuhan. Dalam
hal ini Tuhan yang dipersalahkan. Kita menuduh Tuhan sebagai sumber kesulitan
dan kesusahan kita. Pada hal apa yang kita alami adalah buah dari keputusan
kita sendiri secara pribadi. Kesalahan memilih jodoh jangan ditimpakan kepada
Tuhan. Terimalah sebagai kesalahan kita sendiri, tetapi juga jangan lari dari
kenyataan. Tetap pertahankan rumah tangga semaksimal mungkin. Kenyataan yang
kita lihat banyak perceraian yang timbul dari penyesalan atau salah pilih
jodohnya. Bila kita menyadari arti tanggungjawab maka kita akan berusaha
mempertahankan rumah tangga. Itulah konsekuensi kehidupan. Jika kita tidak
berani memikul tanggungjawab dengan segala konsekuensi-konsekuensinya, jangan
menjadi manusia.
Bagaimana kalau suatu hari ada seorang siswa sekolah
tidak naik kelas, lalu berkata: “Ini adalah cobaan dari Tuhan. Tuhan sudah
mentakdirkan”. Sikap ini sungguh merupakan kebodohan. Ia harus bertanya mengapa
ia tidak naik kelas. Sudah belajar rajinkah selama ini atau belum. Sama dengan
kasus seorang yang jatuh sakit, misalnya sakit jantung. Jangan menyalahkan
Tuhan dengan alasan takdir. Perhatikan pola makan orang tersebut. Kalau
seseorang tidak memiliki pola makan yang baik, menimbun kolestrol, lemak dalam
darah-tryglicerid, maka saluran darahnya tersumbat maka berbagai penyakit berat
mengancamnya, diantaranya sakit jantung, stroke, dan lain lain. Sama dengan
kasus ketika seseorang mengalami musibah kecelakaan. Ia tidak mudah berkata:
bahwa semua ini takdir. Kalau ia mengendarai mobil tidak siap, yaitu dalam
kondisi tubuh letih, mata mengantuk, dengan kecepatan tinggi, dan lain lain
tentu lebih dekat bahaya, atau karena malas memeriksa tekanan angin ban mobil
sehingga pecah di jalan tol. Dengan memahami kebenaran ini maka kita harus
mulai tidak mudah menyalahkan keadaan atau Tuhan karena takdir-Nya, tetapi
memeriksa diri dengan seksama, bukan tidak mungkin keadaan buruk yang kita
alami karena kesalahan kita sendiri. Konsep salah mengenai takdir ini bisa
menyebabkan kurang bahkan mungkin tidak adanya dorongan yang memacu manusia
untuk mengembangkan diri sesuai dengan rencana Tuhan. Oleh karena tanggung
jawab individu tidak jelas maka hal ini menyebabkan manusia puas dengan
kualitas rohaninya. Ia tidak terpacu bertumbuh secara luar biasa. Tidak terpacu
memeriksa diri dengan seksama.
Dari sudut pandangan etika kebebasan perlu ada.
Sebab bila menolak kenyataan manusia sebagai makhluk yang memiliki unsur
kebebasan, maka etika tidak dapat tampil sewajarnya. Dalam hidup setiap orang,
kebebasan adalah suatu unsur hakiki yang tidak dapat disangkal. Semua manusia
mengalami kebebasan justru karena kita manusia dan kebebasan merupakan suatu
realitas yang sangat kompleks. Tidak sedikit penganguran bukan karena dosa
struktural masyarakat atau kelalaian pemerintah mengatur rakyatnya, tetapi juga
karena kemalasan atau tidak profesionalnya seseorang mengembangkan
bidang-bidang tertentu di masyarakat. Banyak kemiskinan menyergap seseorang
karena kemalasan dan tidak tekun atau cacat mental lain. Kalau seseorang tidak
bersedia berinteraksi dengan masyarakat secara santun dan dengan baik, suka
marah, gampang tersinggung, tidak jujur atau tidak dapat dipercayai maka
dimanapun dia berada cenderung ditolak oleh lingkungannya, ini awal dari
kehancuran dan kemiskinan. Tentu dalam hal ini jangan membela keadaan yang
sukar tersebut dengan alasan takdir.
Kehidupan, bukan nasib yang harus diterima begitu
saja, melainkan merupakan tantangan yang menuntut keberanian dan tanggung
jawab. Tanggung jawab berarti bahwa orang tidak boleh mengelak bila diminta
penjelasan tentang perbuatannya. Alkitab dengan jelas menunjukkan bahwa setiap
orang harus memberi pertanggunganjawab kepada Allah (Mat 12:36; Rom 14:12; Ibr
4:13; 1 Pet 4:5; Why 20:12). Dalam ayat-ayat ini manusia ditampilkan sebagai
makhluk yang tergugat. Dalam hal ini kita disadarkan bahwa hidup ini bukan
sebuah “game” murahan, tetapi sebuah medan laga yang beresiko tinggi, high
risk. Manusia juga sangat berperan dalam menentukan keadaannya, jodoh lebih
banyak ditangan manusia dari pada dalam pimpinan Tuhan atau ditangan Tuhan,
juga kematian dini bukan karena takdir tetapi karena kesalahannya yaitu tidak
menjaga kesehatannya, sembrono mengendarai kendaraan dll.
Jadi kalau tidak salah pilih jodoh, mengertilah
bagaimana memilih jodoh yang baik. Pemilihan jodoh adalah hal yang sangat
penting dalam hidup. Kalau mau menjadi kaya perlu bekerja rajin, sekolah giat,
jujur dan makin profesional dan ahli dibidangnya. Kalau mau tidak sakit perlu
memperhatikan pola makan, olah raga yang teratur istirahat yang cukup, dan lain
lain. Kalau mau berhasil tentu perlu membayar harganya. Harga keberhasilan
dalam Alkitab dikemukakan: Carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenaran-Nya.