RUMAH SINGGAH ATAU PIALA
BERGILIR
Dengan filosofi yang salah mengenai seks, maka yang paling banyak menjadi korban adalah wanita. Mereka sering menjadi rumah singgah atau piala bergilir. Tahun ini disinggahi si A, tahun berikutnya si B, dua tahun kemudian si C dan seterusnya. Tidak sedikit pula wanita yang merasa bahwa dirinya adalah rumah singgah atau piala bergilir. Tanpa disadari, prinsipnya adalah patah tumbuh hilang berganti.
Kalau hanya berteman dalam batas-batas
yang jelas, tidak masalah bila berganti teman; tetapi kalau dalam konteks
berasmara atau bercinta dengan konten yang salah pasti dirinya menjadi seperti
bunga yang madunya dihisap kemudian ditinggal. Konyolnya, tidak sedikit
gadis-gadis muda tidak merasa “terhina” dengan keadaan dirinya tersebut. Kalian
harus berpikir dan berkata dengan keras: “Aku wanita terhormat dan berharga.
Kemuliaanku sebagai wanita adalah kalau aku memberi kehormatanku kepada pria
yang Tuhan kehendaki kepadanya kuserahkan”.
Jangan jadi gadis murahan atau gampangan.
Harus diingat rumus ini: semakin seorang wanita tidak mudah disentuh, maka ia
semakin mahal harganya. Memang ada godaan bagi pria tertarik untuk memburu
wanita-wanita seperti ini dan menaklukkannya. Bila sudah berhasil menaklukkan
sampai pada berhubungan seks, maka pria itu baru membuktikan bahwa wanita itu
ternyata tidak semahal yang diduganya. Mengapa? Sebab memang sudah tidak
berharga lagi di matanya.
Tidak sedikit gadis-gadis yang mudah
memberi “segalanya” kepada pria yang menjadi pacarnya. Biasanya pria yang tidak
dewasa berpacaran karena ingin menghisap “madunya”. Oleh karena takut
kehilangan “pacar” dan juga memang menikmati hubungan yang tidak dewasa
tersebut, maka seorang gadis menyerahkan kehormatannya. Harus dicatat di sini
bahwa pria yang merenggut kehormatan seorang wanita adalah pria yang tidak
terhormat atau tidak pantas dihormati. Ia akan sulit juga menjadi orang tua
yang terhormat.
Adalah bodoh kalau seorang gadis berpikir
bahwa hubugan seks yang dilakukan berdua itu adalah hubungan
yang mengekspresikan cinta atau membuktikan cinta mereka. Hal itu menunjukkan
kejahatannya terhadap pacarnya. Dalam hal ini seorang gadis hendaknya tidak
berpikir bahwa hal itu hanya dilakukan dengan dirinya (belum tentu, bahkan
sangat besar kemungkinan tidak). Jangan berpikir bahwa pria akan bertanggung
jawab atas apa yang dilakukannya. Kalau pria itu masih bersekolah atau belum
selesai kuliah, mencari nafhah belum bisa, berarti ia tidak akan mampu
bertanggung jawab. Bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri saja tidak
bisa, bagaimana bertanggung jawab kepada orang lain? Menurut survey, separuh
perkawinan orang-orang muda di bawah umur 22 tahun dan yang melakukan hubungan
seks dan kehamilan sebelum menikah, berakhir dengan perceraian.
Kenikmatan seks yang diberikan kepada
pasangan pria sebenarnya bukanlah bukti cinta yang membahagiakan, tetapi dua
menit kepuasan orgasme (klimaks kepuasan seks) yang akan mendatangkan banyak
kerugian, yang tidak dapat ditebus dengan cara dan bentuk apa pun. Hubungan
badan itu bukanlah jawaban dari kehausan bercinta -seakan-akan hal itu
dilakukan atas nama cinta- tetapi justru tindakan itu adalah pengkhianatan
terhadap cinta. Dan hal itu dilakukan atas nama “nafsu” yang rendah, yang tidak
meletakkan cinta pada tempat yang terhormat.
Bagi wanita, hubungan badan memang bisa
menjadi kenangan yang indah; tetapi bagi pria sering menjadi akhir dari sikap
hormatnya kepada lawan jenisnya. Ingat hukum ini: wanita yang sudah berhasil
“ditiduri” (sebelum menikah) tidak akan berharga sama dengan harga sebelumnya
(apalagi kalau terinfus penyakit kelamin). Bagi pria petualang, ia akan mulai
mencari sensasi baru dengan wanita lain, sebab sensasi dengan wanita ini sudah
berakhir. Cinta tidak akan menjadi indah seperti sebelumnya.
Kemuliaan sebagai wanita adalah kalau ia
memberi kehormatannya kepada pria yang Tuhan kehendaki kepadanya ia serahkan.
Hubungan badan itu bukanlah jawaban dari
kehausan bercinta, tetapi justru tindakan itu adalah pengkhianatan terhadap
cinta.