KESALEHAN

 


KESALEHAN AGAMANI

Kesalehan, kata ini berasal dari kata saleh. Saleh artinya taat, sungguh-sungguh beribadah, suci dan beriman. Kesalehan artinya ketaatan (kepatuhan)

dalam menjalankan ibadah; kesungguhan menunaikan ajaran agama. Kesalehan tercermin dalam kehidupan setiap hari. Dalam bahasa Ibrani terdapat kata yang sejajar dengan kata  saleh  ini  yaitu  tam  (םָּת)  kata  ini  dapat  ditemukan dalam Ayub 23. Kata yang sama dengan itu adalah tsaddig (ִּדַצ קי). Kata-kata itu memiliki pengertian perfect, complete, just, lawful, righteous (sempurna, lengkap, lurus, menuruti hukum, benar). Dalam bahasa Yunani kita menemukan kata yang berarti saleh atau kesalehan; kata-kata itu antara lain eusebeia (εὐσέβεια). Kata ini berarti kesucian (holiness) yang terdapat dalam 2 Petrus 311. Kata yang lain adalah eulabeias (εὐλαβείας) yang berarti menghormati dan takut akan Allah (fear of God, honour-reverence of God). Kata eulabeias terdapat di dalam Ibrani 57, Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan.

Pada zaman Tuhan Yesus mengenakan tubuh daging, selain terdapat hukum negara yang diperlakukan di Israel sebagai jajahan Roma, mereka juga memiliki hukum torat yang dalam segala aspek kehidupan mengatur kehidupan umat. Agama Yahudi memiliki hukum-hukum atau syariat dan segala sanksinya yang sangat detail. Dalam Injil dikisahkan mengenai wanita yang kedapatan berzina, masyarakat dapat menghukum wanita itu dengan melempari batu. Tetapi ironisnya, pria yang menjadi pasangan wanita tersebut tidak mendapat sanksi yang sama dengan wanita tersebut. Dalam hal ini nampak diskriminasi, perlakuan terhadap pria dan wanita yang tidak adil. Di Israel wanita harus mengenakan pakaian yang pantas menurut hukum taurat, bila melanggar mereka dapat dikenakan sanksi. Wanita ditempatkan sebagai obyek yang salah dalam membangun kesalehan masyarakat Yahudi. Hal ini sebenarnya merupakan pelanggaran terhadap hak azasi. Tetapi karena agama telah memiliki nalar demikian, maka tidak ada yang berani membantah. Kesalehan hidup masyarakat semacam itu sesungguhnya adalah kesalehan yang bercacat. Pasti Tuhan tidak menghendaki kesalehan semacam itu. Tuhan Yesus menentang kesalehan agamani semacam itu. Itulah sebabnya terjadi konflik antara pemimpin-pemimpin agama Yahudi dengan Tuhan Yesus.

Kalau hukum agama sudah dapat mengatur seluruh tatanan kehidupan masyarakat, maka agama tidak dapat dipisahkan dengan negara atau tata kehidupan masyarakat dalam segala aspeknya. Itulah sebabnya mereka memiliki undang-undang sipil atau semacam syariat yang mengatur seluruh masyarakat dalam segala aspeknya (moral, politik dan ekonomi). Pelanggaran terhadap undang-undang sipil berarti pelanggaran terhadap hukum Allah. Dan sesuai dengan kitab suci mereka, maka pelanggaran terhadap hukum agama (syariatnya) akan dihukum sesuai dengan apa yang tertulis di dalamnya. Pada umumnya mereka juga menyatukan antara agama dan negara. Bahkan bisa menyatukan antara agama dan politik serta ekonomi. Dari hal ini bisa dibangun

negara agama, dimana agama resmi yang diakui sah hanya satu agama yang memiliki hukum atau syariat yang harus dipatuhi oleh semua warganya. Biasanya pula pemimpim- pemimpin agama mereka adalah juga pemimpin-pemimpin negara atau masyarakat. Biasanya pemimpin seperti ini lebih dipatuhi dari pada pemimpin politis.

Dalam banyak agama, termasuk agama Yahudi, kesalehan dapat diukur dari melakukan hukum. Pelanggaran terhadap hukum dapat dibuktikan secara konkret berdasarkan hukum-hukum yang tertulis (hukum syariatnya). Hal ini memungkinkan, sebab agama mereka memiliki sarana untuk itu. Jadi tidak heran kalau ada wilayah-wilayah di dunia ini yang tatanan kehidupan masyarakatnya diatur oleh hukum atau syariat agama. Dalam hal ini kesalehan hidup sudah dapat terukur dan jelas-jelas secara kasat mata. Di dalam Kekristenan tidak terdapat hukum-hukum dan tidak terdapat sanksi-sanksinya seperti agama semacam itu. Karena hal ini, maka dalam masyarakat Kristen bisa terjadi pemisahan antara agama dan negara. Negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen tidak memiliki syariat Kristen, tetapi memiliki hukum-hukum yang diwarnai Injil. Tetapi faktanya lebih demokratis dan agama lain pun bisa lebih mudah diterima, seperti negara-negara di Eropa. Biasanya juga masyarakatnya lebih maju dan makmur.

 Kalau hukum agama sudah dapat mengatur seluruh tatanan kehidupan masyarakat, maka agama tidak dapat dipisahkan dengan negara atau tata kehidupan masyarakat dalam segala aspeknya.”

 2. KESUCIAN YANG BAGAIMANA

Pernahkah kita memperkarakan kesalehan macam apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh Tuhan dalam hidup kita Banyak orang

Kristen yang tidak mengerti ukuran kesalehan yang harus dikenakan dalam kehidupannya. Oleh karena tidak mengerti, maka standar yang dikenakan tidak berbeda dengan kesantunan hidup orang-orang di sekitarnya. Yang mereka anggap sebagai kesantunan moral paling baik itulah ukuran maksimal yang mereka pahami. Padahal banyak orang di sekitarnya yang melandaskan kesantunan moral hidupnya berdasarkan keyakinan agama atau kitab suci atau filosofi hidup mereka di luar kesucian Tuhan. Oleh karena masyarakat telah menganggapnya sebagai standar umum yang baik, maka banyak orang Kristen mengikuti saja tanpa mempersoalkannya dengan serius.

Orang-orang Kristen yang tidak mengerti kebenaran Injil tersebut berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya dengan pemikiran bahwa yang penting diterima dan dipandang santun di mata masyarakat. Orang-orang Kristen seperti ini sebenarnya termasuk anggota masyarakat yang baik dalam ukuran hidup bermasyara kat secara umum. Tetapi sebenarnya mereka belum mencapai standar kesalehan yang dikehendaki oleh Tuhan. Mereka merasa puas dengan standar kesalehan hidup yang mereka miliki tanpa perjuangan untuk meningkatkannya selaku anak Tuhan. Tidak sedikit pula orang-orang Kristen yang terbawa arus kejahatan dunia sehingga dipandang mata masyarakat umum saja tidak santun. Orang-orang seperti sudah bisa dipastikan tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Surga.

Kalau seorang pembicara di mimbar menganjurkan jemaat untuk menaati Firman Tuhan, sebenarnya Firman Tuhan yang mana yang harus ditaati Dalam kehidupan umat Perjanjian baru, tidak ada hukum yang mengatur mereka. Tidak sedikit yang asumsinya tertuju kepada Sepuluh Perintah Allah (dekalog atau dasatitah). Cukupkah kesucian orang percaya diukur dari melakukan hukum yang terdapat dalam Sepuluh Perintah Allah Lagi pula harus dipahami bahwa pengenaan Sepuluh Hukum Allah dalam kehidupan bangsa Israel tidak bisa disamakan dengan kehidupan orang Kristen, misalnya mengenai Sabat. Dengan demikian ketika seorang pembicara menganjurkan agar orang Kristen menaati Firman Tuhan, anjuran tersebut tidak jelas. Standar ketaatannya tidak jelas sama sekali.

Hal ini sebenarnya telah berlangsung berlarut-larut. Tetapi banyak orang Kristen tidak mempersoalkannya. Selain orang-orang Kristen itu sibuk dengan urusan hidup duniawi, di antara mereka memiliki keyakinan bahwa mereka sudah menjadi orang terpilih yang pasti akan masuk surga dan pengertian yang salah mengenai keselamatan atau hal masuk surga tidak ditentukan oleh perbuatan baik. Pemikiran yang salah ini telah menghambat percepatan pertumbuhan iman, karena gairah untuk bertumbuh menuju standar kesalehan yang dikehendaki oleh Allah tidak berkobar sebagaimana mestinya.

Kalau seorang pembicara Kristen menganjurkan umat untuk hidup suci, sebenarnya kesucian macam apakah yang dimaksud itu Hal ini sama dengan kasus di atas, mengenai ketaatan kepada Firman Tuhan. Bisa saja kesucian yang dimaksud oleh pembicara tersebut adalah kehidupan tokoh-tokoh tertentu yang dianggap sudah dianggap sebagai orang suci. Kalau dipertanyakan kepada pembicara, apakah diri pembicara sudah memiliki kesucian yang dimaksud atau yang dianjurkan, maka kemungkinan besar akan dijawab bahwa pembicara sendiri belum. Lalu kesucian yang bagaimana Semua menjadi serba tidak jelas sebenarnya.

Kesucian hidup orang percaya memiliki ukuran atau standar kesucian Tuhan Yesus Kristus. Tuhan Yesus Kristuslah ukuran kesalehan dan kesucian satu-satunya. Tetapi kesucian Tuhan Yesus pun sebenarnya juga masih abstrak; tidak jelas. Itulah sebabnya setiap orang percaya harus memiliki pergaulan pribadi dengan Tuhan. Dalam pergaulan pribadi tersebut orang percaya akan dimuridkan secara pribadi oleh Tuhan Yesus. Hal ini sesuai dengan Amanat Agung Tuhan Yesus yang menyatakan agar semua bangsa dimuridkan oleh Tuhan Yesus. Orang percaya bukan murid gereja atau pendeta atau tokoh agama manapun, tetapi murid Tuhan Yesus. Pelayan-pelayan jemaat hanya menjadi mentor yang sangat terbatas. Tetapi yang terutama adalah masing-masing individu berurusan dengan Tuhan.

 Kesucian Tuhan Yesus Kristus adalah standar kesucian orang percaya, karena Dialah ukuran kesalehan dan kesucian satu-satunya.”

3. HUKUM YANG TERTULIS DI HATI

Kitab kejadian 1 dan 2 mengisahkan tentang penciptaan manusia. Tetapi di sana tidak kita temukan fakta dimana Tuhan menetapkan hukum atau peraturan sebagai upaya mengatur hidup manusia. Dalam Kejadian 126 Alkitab mencatat manusia diciptakan menurut gambar-Nya, artinya manusia menguasai makhluk yang lain supaya manusia dapat melaksanakan apa yang dikehendaki Tuhan, yaitu memerintah bumi ini. Dalam Kejadian 27 ditulis … ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan mengembuskan. Manusia diciptakan oleh Tuhan menurut rupa dan gambar-Nya, hal ini dimaksudkan agar manusia dapat memiliki kemampuan mengerti kehendak Tuhan yaitu yang baik, yang berkenan dan yang sempurna. Dengan kemampuan ini manusia dapat bertindak selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Inilah keunggulan yang dimiliki manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Itulah sebabnya manusia tidak perlu diberi hukum dan peraturan, sebab manusia sudah mampu melakukan apa pun yang dikehendaki oleh Tuhan. Sejatinya, manusia bisa berbuat baik dalam ukuran Tuhan tanpa diatur oleh hukum yang tertulis. Manusia seperti inilah yang dirancang Tuhan sejak semula.

Seandainya Adam dan Hawa tidak jatuh dalam dosa, maka sangat besar kemungkinan masyarakat yang sangat harmoni dapat terbangun. Semua manusia hidup bersama-sama dalam keluarga besar yang sangat indah, mulia dan bahagia. Tidak dibutuhkan hukum-hukum yang mengatur kehidupan masyarakat serta sanksi-sanksinya jika melakukan pelanggaran, sebab tidak ada orang yang melakukan pelanggaran seperti yang terjadi pada kehidupan masyarakat yang sudah jatuh dalam dosa.

Jadi sesungguhnya, potensi untuk mencapai kehidupan yang mengerti kehendak Tuhan sudah diberikan Tuhan kepada manusia sejak semula. Sebenarnya manusia yang sesuai rancangan Tuhan adalah manusia yang tidak membutuhkan hukum. Akibat kejatuhannya, manusia tidak bisa mencapai keadaan sempurna seperti yang Bapa kehendaki dan untuk bisa bermartabat sebagai manusia, bukan sebagai anak Allah, manusia membutuhkan hukum atau peraturan. Adapun kalau Tuhan memelihara hukum- hukum-Nya di hati manusia, hal itu karena Ia hendak menunjukkan jejak-Nya dalam kehidupan manusia dan menjaga kelangsungannya. Kalau tidak ada hukum maka manusia akan berperilaku seperti hewan. Itulah sebabnya hukum Tuhan -oleh pertolongan Tuhan- masih bisa tertulis di hati manusia (Rm. 212-16).

Proses penulisan hukum di hati manusia tentu tidak secara mistis, artinya dengan sendirinya orang tahu apa yang baik dan buruk, tetapi melalui penerusan dari generasi ke generasi, walau tidak melalui dokumen yang tertulis tetap, juga melalui lisan. Tentu saja hukum atau pengetahuan mengenai apa yang baik dan buruk mereka warisi pertama dari Adam, kemudian kepada anak-anak dan cucu cicitnya. Dalam hal ini Tuhan memelihara hukum tersebut dalam kehidupan semua manusia. Terkait dengan hal ini, sesungguhnya Tuhan juga berperkara dengan semua bangsa di dunia ini, sebab Dia adalah Allah yang tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya. Tidak mengherankan Tuhan juga menegakkan keadilan dalam kehidupan semua bangsa di bumi ini; orang yang berlaku sewenang-wenang terhadap sesamanya pasti akan menerima ganjaran, anak-anak yang melawan orang tua pasti terhukum dan lain sebagainya.

Hukum-hukum yang dipelihara Tuhan masih tertulis di hati manusia bisa menjadi bukti keberadaan Tuhan. Bukti ini disebut sebagai bukti moral atau argumentasi moral. Argumentasi ini berpijak pada anggapan pada suatu fakta bahwa di mana pun di belahan dunia ini terdapat hukum moral atau etika yang mirip atau sama. Hal ini dapat menunjukkan ada Pribadi yang menjaga eksistensi hukum- hukum tersebut. Jika Allah tidak menjaganya, maka manusia sudah punah karena saling membunuh dan membinasakan. Dengan adanya hukum yang diberikan Tuhan, terutama Dasatitah, Tuhan menunjukkan bahwa diri-Nya adalah Pribadi yang eksis, yang menciptakan langit dan bumi dan juga menciptakan manusia yang bisa bermoral atau beretika, tidak seperti hewan. Kalau ternyata hukum yang tertulis di hati manusia memiliki kesamaan dengan dekalog (Dasatitah), kesamaan itu antara lain, hal menghormati orang tua, pembunuhan, perzinaan, pencurian dan lain sebagainya, maka hal itu membuktikan bahwa Allah yang benar adalah Allah Abraham, Ishak dan Yakub.

 Hukum-hukum yang dipelihara Tuhan masih tertulis di hati manusia bisa menjadi bukti keberadaan Tuhan, yang disebut bukti moral atau argumentasi moral.”

4. KEUNGGULAN BANGSA ISRAEL

Tuhan memberi hukum-hukum kepada bangsa Israel sangat lengkap dan terperinci melalui Musa. Itulah sebabnya Musa sering disebut sebagai guru bangsa Yahudi. Musa dianggap sebagai pendiri dari agama tersebut. Tidak heran kalau ada yang pernah menyebut agamanya orang Israel adalah agama Musa. Hukum-hukum dan semua peraturan untuk menata hidup bangsa Israel dapat menunjukkan bahwa Allah menghendaki umat pilihan secara darah daging (Israel) tersebut dapat menjadi umat yang beradab, santun, beretika dan bermoral lebih dari bangsa-bangsa lain mana pun.

Sebagai umat pilihan dari Allah semesta alam, satu-satunya Allah yang benar, mereka harus memiliki keunggulan bukan saja mengalami mukjizat Tuhan, tetapi juga perilaku yang unggul pula. Hal kedua inilah yang harusnya lebih menonjol untuk menunjukkan keelokkan bangsa Israel sebagai umat pilihan. Hal ini dapat dibuktikan dalam kenyataan bahwa tidak ada bangsa yang memiliki hukum sedemikian lengkap dan detail seperti yang dimiliki bangsa Israel. Dibanding dengan bangsa-bangsa Kanaan atau bangsa-bangsa kuno di sekitar Kanaan, bangsa Israel adalah bangsa yang memiliki hukum sangat terperinci.

Adapun kalau kemudian hari muncul agama-agama yang memiliki kesamaan dengan hukum-hukum atau syariat seperti yang dimiliki bangsa Israel, tentu tidak bisa dikatakan bahwa bangsa Israel menyontek atau menirunya, sebab hukum-hukum yang diberikan Tuhan kepada bangsa Israel sudah ada 1500 tahun sebelum ada agama Kristen dan 2100 tahun sebelum ada agama Islam. Banyak orang tidak pernah belajar sehingga mereka tidak mengerti bahwa agama samawi (agama yang diyakini datang dari wahyu Allah) atau agama monoiteisme (percaya adanya Allah yang Esa) yang pertama kali adalah agama Yahudi atau yang dikenal sebagai agama Musa. Bangsa Israel telah memeluknya selama ribuan tahun sebelum ada agama Kristen dan agama Islam.

Satu hal yang harus dipahami bahwa Tuhan menghendaki umat pilihan secara darah dan daging memiliki moral yang lebih baik dan mulia dibanding dengan berbagai agama dari bangsa mana pun. Dengan agama Musa dan hukum-hukum yang begitu lengkap dan detail tersebut bangsa Israel dapat menjadi bangsa yang utuh sampai hari ini. Jiwa kebangsaan mereka membuat mereka tetap eksis sampai hari ini, selain tentu pemeliharaan Allah yang sangat khusus dan istimewa, jiwa nasionalisme mereka membuat mereka tetap mempertahankan eksistensi mereka. Pemeliharaan Tuhan atas bangsa Israel memiliki kepentingan, sebab bangsa tersebut harus menjadi saksi bahwa Allah yang benar adalah Allah Israel; Allah Abraham, Ishak dan Yakub. Dari bangsa itu lahir Mesias yang dijanjikan; bahwa dari keturunan Abraham semua bangsa akan diberkati. Itulah sebabnya keselamatan berasal dari bangsa Yahudi. Inilah kepentingan yang kedua.

Ditinjau dari janji kepada Abraham, bangsa tersebut sebagai umat pilihan adalah kekasih Tuhan (Rm. 1128). Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa-bangsa di Kanaan semua punah, tetapi bangsa Israel walau sejak tahun 586 sM tidak lagi memiliki kerajaan dan puncaknya tahun 70 ketika Bait Allah -sebagai lambang kehadiran dan persatuan bangsa Israel- dihancurkan sehingga tercerai berai, mereka masih bisa kembali ke tanah airnya dan membangun negerinya. Lebih dari 2500 tahun tidak memiliki pemerintahan tetapi tetap bisa membangun negara Israel pada tangggal 14 Mei 1948 adalah suatu perbuatan yang hanya bisa dilakukan oleh tangan Tuhan semesta alam.

Aspek lain yang terjadi, bangsa Israel adalah bangsa yang sangat arogan. Mereka merasa lebih tinggi derajat dan martabatnya dari bangsa lain, sehingga mereka memandang rendah bangsa lain. Mereka selalu menyebut bangsa lain sebagai bangsa kafir yang tidak bersunat. Terkait dengan hal ini, perlu dimengerti bahwa sunat adalah tradisi keagamaan yang sudah ada sebelum ada agama Kristen dan Islam. Agama Yahudi adalah agama yang sangat eksklusif, sebab mereka memperuntukkan khusus untuk bangsa Yahudi saja. Walaupun juga tidak tertutup kemungkinan bangsa lain (disebut kaum proselit) juga boleh memeluk agama Yahudi, tetapi mereka tidak berekspansi melakukan siar agama ke wilayah lain. Mereka merasa bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi hanya untuk mereka saja.

  Lebih dari 2500 tahun tidak memiliki pemerintahan tetapi tetap bisa membangun negara Israel pada tangggal 14 Mei 1948 adalah suatu perbuatan yang hanya bisa dilakukan oleh tangan Tuhan semesta alam. ”

5. MEMPERSIAPKAN JALAN

Tuhan memberikan hukum kepada bangsa Israel juga demi mempersiapkan bangsa tersebut menyongsong kedatangan Juru Selamat yang mengembalikan manusia kepada rancangan Allah yang semula. Rancangan semula Allah adalah menjadikan manusia memiliki moral Tuhan tanpa dibayang-bayangi dan ditekan oleh hukum atau peraturan. Bagaimana seseorang bisa memiliki moral Allah yang sempurna kalau moral manusia saja tidak dimiliki Dalam hal ini hukum hanya menjadi tutor sementara. Nantinya manusia yang mengalami keselamatan dalam Yesus Kristus dipimpin oleh Roh (Yoh. 814). Dalam hal ini keselamatan adalah usaha Tuhan mengembalikan manusia kepada rancangan Allah semula untuk menjadi manusia yang bermoral Ilahi; hidup dalam tuntunan Roh.

Tidak bisa dibayangkan kalau manusia tidak berhukum. Kelakuan manusia menjadi seperti hewan; tidak beradab. Dengan keadaan tersebut betapa sulitnya membentuk manusia menjadi manusia yang bermoral dengan standar Allah. Itulah sebabnya berhubung keselamatan datang dari bangsa Yahudi, maka Tuhan mempersiapkan bangsa Yahudi yang adalah penerima pertama undangan keselamatan menjadi manusia yang bermoral agar siap dibawa kepada keselamatan, yaitu dikembalikannya manusia ke rancangan semula Allah. Untuk dapat mengalami dan memiliki keselamatan dengan benar perlu adanya persiapan yang cukup dalam banyak aspek. Itulah sebabnya Tuhan Yesus tidak datang pada zaman yang lain, tetapi pada zaman Israel sedang dalam penguasaan atau penjajahan Roma , setelah mereka mengalami masa kegelapan selama ratusan tahun.

Peristiwa pembuangan yang dialami bangsa Israel, yaitu tahun 722 sM atas Israel Utara dan tahun 586 sM atas Israel Selatan (Yehuda) menjadi latar belakang yang membuat mereka jera untuk hidup menyembah berhala dan mengabaikan torat. Itulah sebabnya pada zaman penggenapan (kedatangan Tuhan Yesus ke dunia) mereka tidak lagi menyembah berhala seperti pada zaman raja-raja sebelum pembuangan. Mereka mulai rajin pergi ke Bait Allah dan mempelajari torat di sinagog-sinagog (tempat pertemuan orang Yahudi membaca dan belajar torat). Selain itu mereka sangat menantikan Mesias yang mereka harapkan dapat melepaskan mereka dari penguasaan bangsa kafir (Roma).

Di balik fakta bangsa Israel yang mulai mencari Allah dengan tekun beribadah dalam tatanan agama Yahudi, mereka menjadi orang-orang yang sangat legalistis (melakukan hukum hanya sesuai dengan bunyinya). Formalitas keberagamaan mereka membuat mereka mengabaikan nilai-nilai batiniah dan unsur pertobatan yang sejati dari melakukan hukum yang tertulis. Itulah sebabnya sebelum Tuhan Yesus datang, Allah mempersiapkan kedatangan-Nya dengan menampilkan Yohanes Pembaptis. Penampilan Yohanes ini memiliki beberapa maksud. Pertama, penampilan Yohanes dimaksudkan agar masyarakat bisa menerima pola pertobatan yang berbeda dengan yang sudah ada (pola para imam). Pola pelayanan Yohanes Pembaptis adalah pelayanan “jalanan”, bukan di Bait Allah atau Sinagog. Mereka tidak bisa menolak ketika Yohanes menyuruh mereka bertobat dan dibaptis, sebab ia memiliki sejarah menakjubkan. Mereka mengakui Yohanes sebagai utusan Allah. Jadi, ketika Yohanes menunjuk kepada Tuhan Yesus yang akan membaptis dengan Roh dan mengatakan bahwa Dia adalah yang akan menghapus dosa manusia, orang berbondong-bondong mengikut Tuhan Yesus. Dengan hal ini Tuhan Yesus dapat mengajarkan Injil kepada masyarakat Israel. Tuhan Yesus dan murid-murid- Nya melanjutkan pelayanan Yohanes Pembaptis, membaptis masyarakat Israel sebagai baptisan pertobatan. Tanpa kehadiran Yohanes Pembaptis sulit bagi Yesus sebagai anak tukang kayu untuk mendapat legitimasi dari masyarakat Yahudi.

Kedua, agar masyarakat Yahudi dan bangsa-bangsa lain yang beragama Yahudi (kaum proselit) memiliki buah-buah pertobatan. Bukan hanya melakukan hukum secara legalistis, tetapi sungguh-sungguh mencakup jiwa hukum tersebut untuk dipenuhi dalam kehidupan secara konkret. Kepada prajurit Roma, Yohanes berkata agar mereka mencukupkan diri dengan gaji dan tidak memeras dan merampas (Luk. 314). Hal ini berarti mereka tidak boleh mendatangkan penderitaan bagi sesama. Yohanes tidak menerima dengan mudah orang- orang yang mau memberi diri dibaptis. Ia berkata dengan keras bahwa yang penting bukan keturunan Abraham, tetapi memiliki buah-buah pertobatan yang sejati (Luk. 37-9). Semua ini sebagai persiapan mereka mendengar Injil Kerajaan Surga dan masuk menjadi anggota keluarga Kerajaan yang bermartabat anak Allah.

 Yohanes Pembaptis adalah pembuka jalan bagi Yesus, sebab tanpa kehadirannya sulit bagi Yesus sebagai anak tukang kayu untuk mendapat legitimasi dari masyarakat Yahudi.”

6.MASALAH TERBESAR

Gambar allah yang hilang atau tepatnya kegagalan Adam mencapai gambar Allah merupakan tragedi yang sangat mengerikan dan menyedihkan. Karena kegagalan Adam ini semua manusia telah kehilangan kemuliaan Allah. Tidak ada tragedi yang lebih dahsyat dari hal ini. Kegagalan manusia mencapai tingkat memiliki gambar Allah dalam dirinya menempatkan manusia sebagai manusia yang kehilangan kemuliaan Allah. Sebagai akibatnya manusia tidak mampu mengerti kehendak Allah; yang baik, yang berkenan dan yang sempurna. Idealnya, manusia memang diciptakan untuk melakukan kehendak Allah dengan sempurna.

 Akibat dari makan buah terlarang, manusia memberontak kepada Allah dan manusia menjadi bersusah payah dalam bekerja dan berjuang mencari naf kah untuk kelangsungan hidupnya di bumi ini. Akibat pemberontakan manusia, bumi ikut terhukum, bumi menumbuhkan onak dan duri. Tetapi hal ini bukan masalah terbesar. Masalah yang lebih besar adalah bahwa di balik kematian itu terdapat kesadaran abadi. Manusia diperhadapkan kepada surga kekal atau neraka kekal. Hendaknya k ita t ida k mema hami bahwa akibat terdahsyat kejatuhan manusia dalam dosa adalah manusia harus mati, menderita, sakit dan mengalami berbagai penderitaan di bumi ini. Sebesar apa pun penderitaan yang dialami di bumi, itu hanya berlangsung selama 70 tahun. Semua penderitaan tersebut bersifat sementara atau temporal. Tetapi yang lebih mengerikan adalah ketika manusia harus terbuang ke dalam api kekal; masuk neraka dalam kesadaran abadi.

 Manusia tidak mampu melakukan kebaikan yang ideal, kebaikan yang berstandar Tuhan. Ini adalah hal yang sangat mengerikan. Realitas ini haruslah menjadi realitas yang menggetarkan jiwa kita. Tetapi faktanya banyak manusia menyepelekan dan menganggap remeh hal tersebut. Orang-orang yang bersikap demikian tidak akan berusaha berjuang untuk mengerti kehendak Allah (yang baik, yang berkenan dan yang sempurna). Kalaupun mereka menjadi Kristen, mereka senang dengan ajaran yang mengatakan asal percaya dengan pikiran atau nalar sudah selamat, lagi pula mereka salah dalam memahami konsep keselamatan hanya oleh anugerah. Mereka beranggapan dengan anugerah tanpa respon, seseorang dengan mudah masuk surga. Padahal keselamatan dalam Yesus Kristus bukan hanya menghindarkan manusia dari neraka, tetapi dikembalikan ke rancangan semula Allah. Dengan hal ini Kekristenan bukanlah sesuatu yang sederhana.

Jadi, masalah terbesar manusia adalah kalau manusia tidak memiliki kesanggupan mengerti kehendak Allah apa yang baik, yang berkenan dan yang sempurna, sehingga tidak melakukan kehendak Allah. Akibat dari hal ini manusia terpisah dari Tuhan sumber kehidupan. Manusia tidak lagi dapat memiliki persekutuan dengan Allah secara ideal atau tepatnya manusia tidak mampu memiliki persekutuan dengan Allah. Keadaan manusia yang tidak mampu mengerti kehendak Allah yaitu yang baik, berkenan dan sempurna menempatkan manusia kehilangan kemuliaan Allah. Hal ini membuat manusia tidak dapat mengimbangi kesucian Allah, sehingga manusia tidak dapat memiliki persekutuan yang ideal dengan Allah.

Memang manusia masih bisa berbuat baik walau telah kehilangan kemuliaan Allah, sebab Tuhan masih menulis hukum-Nya dalam hati manusia. Hukum yang tertulis tersebut mengkristal menjadi berbagai agama. Agama juga menuntun manusia kepada kebaikan, tentu dengan cara pandang mereka sendiri. Itulah kebaikan yang relatif dan subyektif. Kebaikan seperti itu bukan saja tidak menyelamatkan tetapi juga tidak dapat mengimbangi kesucian Tuhan. Kebaikan yang Tuhan kehendaki adalah kebaikan yang ideal, kebaikan yang mutlak yang dipandang dari sudut pandang Tuhan, bukan dari sudut pandang manusia. Keselamatan dari Tuhan Yesus memulihkan kehidupan, yaitu bagaimana manusia dipugar kembali untuk segambaran dengan Tuhan dan dimampukan mengerti kehendak Tuhan. Oleh sebab setelah menjadi umat pilihan, seseorang harus berjuang untuk berkenan (2Kor. 59-10). Keberkenanan di hadapan Allah ukurannya adalah melakukan kehendak-Nya secara ideal, yaitu apa yang baik, berkenan dan sempurna.

 Masalah terbesar manusia adalah ketidaksanggupan mengerti kehendak Allah, yaitu apa yang baik, yang berkenan dan yang sempurna, sehingga tidak melakukan kehendak Allah dan menempatkan manusia kehilangan kemuliaan Allah.”

7. PEMERINTAHAN ALLAH

Untuk apa Tuhan menciptakan manusia Jawabannya sangat singkat yaitu “hidup bagi Tuhan”. Hidup bagi Tuhan berarti dalam segala hal yang dipikiran, diucapkan dan dilakukan, dikerjakan bagi kesenangan dan kepuasan hati Tuhan. Demikianlah jawabannya jika Alkitab yang menjawab pertanyaan tersebut. Dengan demikian, pelayanan bagi Tuhan sebenarnya memiliki tekanan bukan pada kegiatan dalam bentuk apa pun, tetapi semua yang dipikirkan, diucapkan dan dilakukan selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Tuhan. Pelayanan pekerjaan Tuhan intinya bukan pada liturgi atau kegiatan gerejani lainnya seperti misi, diakonia dan lain sebagainya. Dalam hal ini pelayanan yang sesungguhnya bagi Tuhan adalah menyenangkan hati Tuhan atau memuaskan perasaan Tuhan melalui segala hal yang kita lakukan.

Agar dapat menyukakan dan memuaskan hati-Nya seseorang harus memiliki kebaikan. Masalahnya adalah kebaikan yang bagaimana Agar mengerti ukuran kebaikan yang dimaksud, seseorang harus tahu maksud dan tujuan manusia diciptakan. Sebab kebaikan apa pun yg dilakukan manusia tidak ada artinya jika tidak memahami maksud tujuan manusia diciptakan oleh Tuhan. Manusia diciptakan hanya untuk kesenangan dan kepuasan hati Allah. Jawaban ini mengindikasikan dengan sangat jelas bahwa manusia tidak berhak hidup untuk dirinya sendiri. Jika manusia eksis saat ini maka ia harus eksis bagi Tuhan semata-mata. Suka tidak suka, manusia harus hidup hanya untuk melakukan kehendak-Nya, rencana-Nya dan tujuan-Nya yang sempurna. Tentu saja manusia harus melakukan kehendak Tuhan dengan sukacita.

Melakukan kehendak Allah harus diterima bukan sekadar sebagai kewajiban, tetapi sebagai kebutuhan. Sampai seseorang memiliki natur atau kodrat hidup hanya untuk melakukan kehendak Allah. Jika manusia tidak menerima kenyataan ini, itu berarti manusia menjadi pemberontak terhadap Tuhan. Orang seperti itu lebih baik tidak pernah menjadi manusia.

Jadi, kita harus benar-benar tahu dan mengerti tujuan Tuhan menciptakan manusia dan menerimanya dengan rela serta sukacita. Manusia yang baik itu adalah manusia yang tahu untuk apa ia diciptakan oleh Tuhan. Manusia yang diciptakan Tuhan adalah manusia yang harus bisa melakukan kehendak-Nya, apa yang baik yang berkenan dan yang sempurna; bukan sekadar melakukan hukum dan peraturan agama yang ditulis. Manusia harus hidup dalam kehendak Tuhan artinya dalam segala hal yang dilakukan di dalam hidup ini benar-benar menyenangkan dan memuaskan perasaan Tuhan.

Dengan cara hidup seperti yang dijelaskan di atas berarti manusia hidup dalam pemerintahan Allah. Manusia yang hidup dalam pemerintahan Tuhan lebih dari sekadar hidup dalam hukum atau syariat agama. Kebaikan manusia tidak cukup diukur dari tindakan melakukan hukum atau syariat agama dan menjadi orang saleh seperti yang dimiliki manusia pada umumnya. Itu pola keberagamaan yang tidak berstandar kesempurnaan seperti Bapa. Dalam Kekristenan kita mengenal pembaharuan pikiran dari hari ke hari dan terus menerus sehingga mengerti kehendak Tuhan (Rm. 122). Untuk itu manusia harus takut kepada Tuhan. Takut kepada Tuhan yang benar mendorong seseorang berusaha mengenal kehendak dan rencana-Nya, sehingga tidak sama seperti dunia ini.

Mengerti kehendak Tuhan bukan hanya karena aturan hukum-hukum yang ada, tetapi memiliki kepekaan terhadap pikiran dan perasaan Tuhan. Itulah sebabnya Tuhan mengutus Roh Kudus kepada orang percaya. Namun, kalau orang percaya tidak merespon karya Roh Kudus, maka Roh Kudus yang diutus Tuhan tidak berdaya guna menuntun orang tersebut mengerti kehendak Tuhan. Setiap orang percaya harus merespon Roh Kudus dengan kerinduannya mengerti kehendak Tuhan, berusaha menggali kekayaan Alkitab untuk mengenali kebenaran Tuhan. Selalu menyediakan diri bersekutu secara pribadi dengan Tuhan dalam doa. Inilah orang-orang yang dipersiapkan menghuni dan memerintah di Kerajaan Surga bersama-sama dengan Tuhan Yesus dalam kemuliaan. Orang yang melakukan kehendak Tuhan di bumi ini, akan melakukan kehendak Tuhan di kekekalan.

Hal yang harus dicamkan dengan sangat serius oleh kita sebagai anak-anak Allah, yaitu bahwa kehendak Tuhan tidak cukup diwakili oleh hukum-hukum dan peraturan-peraturan. Hukum dan peraturan sebanyak apa pun dan sejelas apa pun, baik deskripsi dan penjelasannya, tidak akan dapat memuat apa yang menjadi kehendak Tuhan, isi pikiran dan perasaan Tuhan. Hukum dan peraturan tidak dapat menampung atau memuat kehendak Tuhan yang tak terbatas serta perasaan Tuhan yang tak terwakili oleh huruf. Seperti misalnya kehendak Allah bahwa kita harus mengasihi sesama. Larangan membunuh belumlah dapat mewakili maksud Tuhan  agar manusia mengasihi sesamanya, sebab orang yang tidak membunuh belum tentu mengasihi sesamanya. Bagaimana bisa merumuskan hukum semacam itu Demikian pula dengan hal larangan berzina dalam dekalog atau dasatitah belumlah mewakili pengertian zina yang sesungguh, sebab ketika seseorang memandang lawan jenisnya dan terbakar hawa nafsunya, berarti sudah berzina. Bagaimana bisa membuktikan kesalahan yang bersifat batin tersebut

Sebelum manusia jatuh dalam dosa, manusia diberi kemampuan atau kemungkinan untuk mengerti kehendak Tuahn dengan sempurna. Kemampuan mengerti kehendak Allah artinya manusiamampumelakukan segala sesuatu yang benar, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan secara kasat mata. Tetapi setelah manusia jatuh dalam dosa, manusia tidak mampu lagi mengerti kehendak Tuhan dan melakukannya dalam artinya yang ideal. Kebaikan moral yang dapat dilakukan hanya sebatas yang kelihatan di mata manusia tetapi tidak atau kurang memperhatikan hal-hal yang bersifat batiniah.

Jikalau Tuhan memberikan hukum kepada manusia, hal tersebut disebabkan karena manusia tidak sanggup mengerti kehendak Tuhan yaitu yang baik, yang berkenan dan yang sempurna. Adapun hukum yang diberikan kepada manusia dimaksudkan agar manusia tetap eksis, jangan menjadi seperti binatang yang saling membunuh dan akhirnya makhluk manusia dapat punah dari muka bumi sebelum mengalami keselamatan dalam Yesus Kristus. Hukum diberikan agar manusia dapat berinteraksi satu dengan yang lain dan manusia dapat bersosialisasi dalam harmonisasi yang baik. Jadi, hukum diberikan agar manusia melakukan tindakan yang beradab dan membimbing manusia untuk menjadi tertib. Aspek lain hukum diberikan untuk membuka mata pengertian manusia dan membuktikan bahwa manusia tidak sanggup melakukan kehendak Tuhan dengan sempurna. Dengan demikian manusia disadarkan untuk merasa membutuhkan Juru Selamat yang menyelamatkan dan menuntunnya untuk mampu melakukan kehendak Tuhan dengan sempurna.

Sebelum Tuhan Yesus datang ke dunia, manusia dilestarikan oleh hukum agar manusia tidak punah. Tanpa hukum, manusia menjadi binatang yang saling membunuh. Ada hukum saja manusia masih saja saling bunuh, apalagi kalau tidak ada hukum. Jadi, hukum ditaruh Tuhan di hati manusia pada umumnya supaya manusia masih bisa dipertahankan eksistensinya (Rm. 212-15). Hal tersebut dimaksudkan Tuhan agar manusia masih bisa dihakimi dan berkesempatan masuk dunia yang akan datang, yaitu jika mereka memedulikan sesamanya dengan benar. Dan kalau mereka ada yang berkesempatan mendengar Injil, maka mereka dipulihkan untuk dikembalikan kepada rancangan Allah semula, yaitu menjadi manusia mengerti kehendak Allah yang sempurna dan melakukannya.

Tuhan memberikan Roh Kudus-Nya kepada manusia yang diperbaharui hati dan pikirannya sehingga manusia dapat dikembalikan rancangan semula Tuhan, yaitu menciptakan manusia yang mampu mengerti kehendak Tuhan dan melakukannya dengan sempurna. Jadi melakukan hukum dan peraturan itu bukan tujuan akhir bagi orang percaya dan umat pilihan yang menerima karunia Roh Kudus. Peraturan hanya digunakan sementara waktu sampai manusia dikembalikan kepada rancangan semula. Orang yang menerima karya keselamatan Allah dalam Yesus Kristus adalah orang-orang yang beradab, bermoral mulia dan tidak mendatangkan bencana bagi sesama, tanpa dibayang-bayangi atau ditekan oleh hukum. Kebaikan moral telah menjadi naturnya, menyatu dalam jiwanya.

 Melakukan hukum dan peraturan bukan tujuan akhir bagi orang percaya dan umat pilihan yang menerima karunia Roh Kudus.”

Manusia harus hidup dalam pemerintahan Tuhan lebih dari sekadar hidup dalam hukum atau syariat agama, dan dalam segala hal yang dilakukan di dalam hidup ini benar-benar menyenangkan dan memuaskan perasaan Tuhan.”

9. PEMUGARAN GAMBAR ALLAH

Selama ini yang dipahami banyak orang mengenai pemugaran gambar Allah adalah mengembalikan manusia menjadi baik. Hal ini sebenarnya sama dengan pemulihan gambar diri. Sesungguhnya belum pernah ada manusia yang berhasil menemukan gambar diri sebelum Tuhan Yesus. Tuhan Yesus adalah manusia sejati yang pertama menemukan gambar diri sesuai dengan kehendak Allah. Dalam membahas pemulihan gambar diri atau pemugaran gambar Allah adalah kebaikan yang dijadikan standarnya. Standar kebaikan yang digunakan tidak jelas. Biasanya standar kebaikan yang digunakan adalah standar kebaikan umum, sehingga banyak ceramah mengenai gambar diri yang tidak berbeda dengan para motivator umum atau sekuler.

Seminar-seminar mengenai pemulihan gambar diri yang sering dipaparkan kepada jemaat Tuhan, bahkan kepada para pendeta bukan berdasarkan pola kesucian atau kesalehan dan kesempurnaan Tuhan. Di antara para pembicarannya adalah orang-orang yang memang  berprestasi dalam dunia motivator dengan seg uda ng penga l a ma n sebagai pembicara motivator, tetapi mereka tidak memiliki landasan kebenaran Firman Tuhan. Tanpa disadari telah terjadi penyesatan yang sangat fatal. Fatal sekali. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan gambar diri itu (self image) Pada dasarnya gambar diri adalah pemahaman seseorang mengenai siapa dirinya (who he is) dan harus menjadi apa atau bagaimana dirinya tersebut (self esteem). Jadi, gambar diri memiliki dua aspek. Aspek pertama adalah aspek present atau kekinian (who I am now), kedua adalah aspek future atau yang akan datang (who I will be). Setiap orang memiliki gambar diri. Hanya orang yang tidak normal yang tidak memiliki gambar diri. Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Manusia memiliki kesadaran akan dirinya dan pandangan ke depan hendak menjadi apa dirinya tersebut, tetapi hewan tidak. Dengan demikian gambar diri adalah pengertian seseorang mengenai siapa dirinya dan harus menjadi apakah atau bagaimana dirinya sendiri tersebut. Manusia sedang mengalami krisis gambar diri. Krisis ini melahirkan berbagai krisis kehidupan lainnya. Krisis gambar diri adalah kegagalan seseorang mengenal siapa dan bagaimana dirinya di hadapan Tuhan.

Apabila pandangan seseorang salah mengenai bagaimana manusia sesuai rancangan Allah, maka salahlah semua gerak hidupnya. Ini berarti ia tidak memiliki pemahaman yang benar mengenai gambar diri. Tidak mungkin seseorang dapat menyelenggarakan hidup ini dengan benar kalau memiliki gambar diri yang salah. Gambar diri seseorang menentukan kualitas hidup orang tersebut. Orang yang tidak memiliki gambar diri yang benar, hidupnya pasti tidak berkualitas standar. Ini berarti berkeadaan tidak seperti rancangan semula Allah menciptakan manusia dan kehilangan kemuliaan Allah.

Dikaitkan dengan keselamatan kekal, gambar diri seseorang menentukan nasib kekalnya. Itulah sebabnya pembangunan gambar diri (rebuild) atau penyusunan gambar diri (redesign) sama dengan mengerjakan keselamatan. Sejatinya, pada dasarnya, keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus adalah pemulihan gambar diri agar manusia dapat dikembalikan sesuai dengan rancangan semula. Tentu, rencana semula Tuhan atas manusia sangat luar biasa. Bukan seperti manusia hari ini yang telah “jatuh”.

Jadi, keadaan manusia yang telah kehilangan gambar diri, maksudnya manusia tidak memahami bagaimana menjadi manusia sesuai rancangan semula Allah dan memang tidak berkeadaan seperti rancangan semula. Ini adalah keadaan manusia yang pasti telah kehilangan kemuliaan Allah. Di dalam keselamatan terdapat usaha Tuhan untuk mengembalikan manusia kepada rancangan semula Tuhan menciptakan manusia. Hal ini sama dengan proses untuk menjadikan manusia yang telah jatuh dan rusak menjadi manusia standar menurut Tuhan. Manusia yang mengalami pemulihan gambar diri sama dengan manusia yang memasuki proses menemukan kembali kemuliaan Allah yang hilang. Ciri dari orang yang sudah menemukan gambar diri ini adalah kesalehan seperti yang Tuhan Yesus peragakan ketika mengenakan tubuh daging seperti kita.

Pemugaran gambar Allah adalah usaha Tuhan mengembalikan manusia kepada rancangan yang semula, yaitu manusia disanggupkan kembali untuk mengerti kehendak Tuhan dengan sempurna dan melakukannya sebagai kebutuhan dan kodrat atau natur. Inilah inti berita baik atau Injil itu. Tuhan menyelamatkan manusia dan mengembalikan manusia kepada rancangan semula. Ini maksud dari apa yang dikatakan Tuhan dalam kitab Perjanjian Lama bahwa Tuhan akan memberikan perjanjian, yaitu akan memberikan hati yang lain dan roh yang baru di dalam batin manusia, mengantikan hati yang keras menjadi hati yang taat (Yeh. 1119-20, Aku akan memberikan mereka hati yang lain dan roh yang baru di dalam batin mereka; juga Aku akan menjauhkan dari tubuh mereka hati yang keras dan memberikan mereka hati yang taat, supaya mereka hidup menurut segala ketetapan-Ku dan peraturan-peraturan-Ku dengan setia;maka mereka akan menjadi umat-Ku dan Aku akan menjadi Allah mereka).

Pernyataan Yehezkiel ini harus  dipahami dengan benar. Memiliki “hati yang lain” tidak bisa terjadi secara mistis dan tidak bisa terjadi secara mudah, apalagi otomatis. Itulah sebabnya semu a ba ngsa ha r u s dimuridkan oleh Tuhan Yesus. Kalau keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus hanya membuat manusia bisa berubah menjadi baik karena mempelajari hukum- hukum atau suatu pandangan teologi, maka tidak lebih elok dari berbagai agama yang juga menawarkan hal yang sama. Kekristenan menawarkan keselamatan yang dapat mengubah manusia, dimana manusia mampu melakukan kehendak Allah yang sempurna dan melakukannya bukan sebagai kewajiban, tetapi sebagai kebutuhan karena hal itu telah menjadi kodrat atau naturnya. Inilah hati yang lain itu. Dalam hal ini seseorang dapat memiliki pikiran dan perasaan Kristus (Flp. 25, Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus). Inilah standar kesalehan dan kesucian orang percaya sebagai umat pilihan.

Memiliki pikiran dan perasaan Kristus adalah panggilan. Ini bukan bukan sesuatu yang dapat terjadi atau berlangsung secara mudah atau otomatis. Dalam teks aslinya di Filipi 25 dalam salah satu terjemahan bahasa Yunani terdapat kata phroneite (φρονεῖτε) yang memiliki sifat perintah. Terjemahan lain menerjemahkan phroneistho (φρονείσθω). Phroneite keterangannya adalah kata kerja imperative present active 2nd person plural, dari akar kata phroneo (φρονέω). Sedangkan phroneistho adalah kata kerja dengan keterangan present passive indicative 3rd person singular dari akar kata phroneo. Dua-duanya adalah kalimat perintah.

Phroneite dan phroneistho bertalian dengan kata phroneo yang bisa berarti cara berpikir (mindset), juga bisa berarti nurani. Dalam bahasa Inggris kata phroneo juga diterjemahkan attitude, yang sama dengan manner (sikap). Terjemahan attitude dan manner untuk phroneo sebenarnya kurang tepat, tetapi bisa diterima dengan alasan bahwa sikap yang nampak dalam perilaku konkret kehidupan setiap hari adalah cerminan dari keadaan manusia batiniahnya atau cara berpikirnya. Harus diingat bahwa menjadi baik saja bukan sesuatu yang mudah, apalagi memiliki kesempurnaan dimana seseorang dapat memiliki pikiran dan perasaan Kristus (cara berpikir-Nya). Kalau ini suatu panggilan, berarti orang percaya harus berjuang dengan sungguh- sungguh untuk memenuhinya.

Membangun mindset atau cara berpikir bukanlah sesuatu yang mudah. Membutuhkan waktu dan kerja keras untuk mengubah berbagai konsep dan filosofi yang sudah terlanjur mengakar dalam pikiran. Melalui proses pembaharuan pikiran setiap hari atau mengenal kebenaran, seseorang dapat diubahkan atau dimerdekakan sehingga dapat memiliki cara berpikir Kristus. Sehingga melakukan kehendak Allah menjadi natur dalam kehidupannya. Mereka bukan “melakukan” hukum karena ancaman adanya hukum dan faktor lain, tetapi mereka melakukan kehendak Allah karena “kebutuhan”. Inilah yang disebut sebagai kelahiran baru. Dalam hal ini Kekristenan sangat bebeda dengan keberagamaan.

Kekristenan menawarkan  keselamatan yang dapat mengubah manusia, dimana manusia mampu melakukan kehendak Allah yang sempurna dan melakukannya bukan sebagai kewajiban, tetapi sebagai kebutuhan karena hal itu telah menjadi kodrat atu naturnya. ”

11.PROYEK YANG LUAR BIASA

Sekarang kita sudah mendapat gambaran yang jelas bahwa manusia diciptakan Tuhan dengan keadaan segambar dengan Allah. Ini berarti manusia

dapat berpikir seperti Tuhan berpikir, bertindak seperti Tuhan bertindak dan melakukan segala hal sesuai dengan pikiran dan perasaan Tuhan. Dalam hal ini sebenarnya atau seharusnya manusia mampu berkenan di hadapan Tuhan, walaupun tanpa diberi peraturan, hukum dan syariat. Kejatuhan manusia ke dalam dosa melenyapkan kemampuan ini. Puji Tuhan, oleh kematian Tuhan Yesus di kayu salib, Tuhan memberikan Roh-Nya yang kudus yang menuntun, memuridkan dan mendewasakan, agar umat pilihan dapat dikembalikan kepada kemampuan semula itu. Oleh sebab itu hendaknya kita tidak menyia-nyiakan anugerah dan kesempatan ini. Hendaknya tidak menjadi orang Kristen yang hanya mengenal liturgi gereja atau datang kebaktian, tetapi harus memandang rancangan Bapa yang besar, yaitu menciptakan manusia segambar kembali dengan diri-Nya. K ita ha r us menjad i ka n ha l dikembalikan ke gambar semula sebagai sesuatu yang mutlak penting melebihi segala sesuatu yang kita upayakan dalam hidup ini. Inilah yang dimaksud Tuhan Yesus mendahulukan kerajaan Allah dan kebenarannya (Mat. 633). Untuk ini, pikiran kita tidak boleh dipenuhi dengan keinginan-keinginan dunia, kekhawatiran dan ketakutan terhadap ha l-ha l ya ng menyangkut pemenuhan kebutuhan jasmani. Namun demikian ini bukan berarti kita boleh santai dan tidak bekerja keras sehingga mengalami kesulitan dalam keuangan dan kesehatan.

Kesempatan untuk dikembalikan kepada kemampuan semula ini adalah anugerah yang tiada tara. Anugerah ini tidak dapat terbeli dengan uang. Justru uang sering menghambat pertumbuhan iman, yaitu ketika seseorang mencintai uang. Anugerah ini juga bisa tidak terbeli oleh waktu, sebab kalau waktu ini berlalu dan kita tidak menggunakan kesempatan ini dengan baik, maka tidak akan ada kesempatan sama sekali. Memang faktanya banyak orang menukar kesempatan untuk diproses dikembalikan ke rancangan semula Allah dengan uang atau harta. Suatu hari nanti mereka akan menyesal sebab semua yang diusahakan selama hidup dengan suah payah akan lenyap dalam sekejap.

Oleh sebab itu, selagi masih ada kesempatan kita harus menggunakan waktu untuk menerima penggarapan dari Tuhan, sampai suatu hari nanti kita didapati Tuhan memiliki kehidupan pribadi seperti yang Dia inginkan dan Bapa bisa menyatakan bahwa kita adalah anak-anak yang berkenan kepada-Nya. Allah Bapa tidak mungkin menyelamatkan kita tanpa mengubah diri kita terlebih dahulu untuk masuk menjadi anggota keluarga-Nya. Dan tidak mungkin kita bisa mengalami perubahan tanpa kesediaan dibentuk atau diproses secara proporsional melalui segala peristiwa hidup yang kita alami.

Setiap hari, ketika kita mulai membuka mata pada pagi hari, kita menetapkan hati untuk berubah, yaitu bertumbuh menjadi pribadi yang mampu mengerti kehendak Tuhan, berpikir dan berperasaan seperti Kristus (Flp. 24-7). Hal ini tidak boleh dikalahkan oleh kesibukan dan segala masalah yang terjadi dalam kehidupan kita. Kita harus selalu berpikir bahwa kesempatan untuk berubah akan segera lenyap dan kita kehilangan kesempatan itu untuk selamanya. Perubahan-perubahan yang dengan sengaja diperjuangkan akan membangun suatu kepekaan sehingga seseorang benar- benar mengerti apa yang diingini-Nya; apa yang baik, yang berkenan dan yang sempurna.

Oleh sebab itu ketika menjadi Kristen kita sedang dibawa kepada proyek yang luar biasa ini, proyek dimana kita dikembalikan pada rancangan Tuhan yang semula, ini proyek yang sangat penting. Untuk itu kita harus kerja keras, kita harus mengerti semua apa yang diajarkan Tuhan Yesus, dan kita terus sungguh-sungguh belajar kebenaran Tuhan tiada henti, sebab kebenaran itu yang akan memerdekakan. Inilah keistimewaan Kekristenan yang orisinal. Bukan sekadar mengajarkan hukum-hukum dan peraturan dan suatu pandangan teologi tertentu, tetapi mengubah hati oleh pimpinan Roh Kudus. Memahami teologi dalam nalar tidaklah cukup. Harus disertai kesediaan untuk mengaplikasikan setiap kebenaran dalam kehidupan secara konkret.

 Allah Bapa tidak mungkin menyelamatkan kita tanpa mengubah diri kita terlebih dahulu untuk masuk menjadi anggota keluarga-Nya. Dan tidak mungkin kita bisa mengalami perubahan tanpa kesediaan dibentuk atau diproses secara proporsional melalui segala peristiwa hidup yang kita alami. ”

12. HANYA OLEH ANUGERAH

Banyak sek ali orang Kristen yang tidak memiliki perjuangan yang benar atau secara proporsional untuk bertumbuh dalam kesalehan atau kesucian. Hal ini disebabkan karena mereka salah memahami maksud pernyataan Firman Tuhan yang mengatakan bahwa keselamatan diperoleh bukan karena perbuatan baik. Mereka berpikir perbuatan baik tidak menyelamatkan, maka mereka merasa sudah selamat karena secara nalar sudah percaya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan. Padahal kelakuan hidup mereka tidak sesuai dengan kesucian Tuhan, bahkan ada yang lebih buruk dari orang non Kristen. Mereka berusaha yakin bahwa dirinya sudah selamat dan nanti kalau meninggal dunia diperkenan masuk surga.

Banyak orang Kristen terjebak dalam kebodohan ini. Tanpa disadari mereka tidak memiliki gairah yang proporsional atau semestinya untuk memperkarakan kesalehan dan berusaha untuk sungguh-sungguh hidup saleh.

Dalam Kekristenan, orang percaya diajar untuk memiliki pikiran dan perasaan Kristus (Flp. 25-7), hal ini sejajar dengan Matius 548 dimana orang percaya harus sempurna seperti Bapa. Pada dasarnya Kekristenan adalah jalan hidup dimana orang percaya menjadikan Tuhan sebagai hukumnya. Segala sesuatu yang dilakukan harus sesuai dengan pikiran dan perasaan Tuhan. Hal ini diusahakan bukan untuk selamat, sebab keselamatan telah dikerjakan oleh Tuhan Yesus di kayu salib. Tanpa pengorbanan Tuhan Yesus perbuatan baik bagaimanapun tidak menyelamatkan sama sekali. Tetapi setelah seseorang menerima karya salib, yaitu bagaimana Allah menyelesaikan dosa manusia, maka ia harus mengisi keselamatan dengan berjuang menjadi sempurna seperti Bapa atau memiliki gaya hidup yang diteladankan oleh Tuhan Yesus. Tetapi karena merasa sudah terpilih sebagai orang yang selamat dan meyakini bahwa perbuatan baik tidak ada artinya untuk keselamatan, maka mereka menjadi ceroboh dalam mengisi hidupnya.

Sementara mereka tidak memiliki gairah yang benar untuk bertumbuh dalam kesalehan atau kesucian Tuhan, pengaruh dunia masuk ke dalam kehidupan mereka. Cara berpikir anak-anak dunia mewarnai jiwa mereka sehingga pada dasarnya mereka tidak berbeda dengan anak-anak dunia. Tetapi mereka merasa berbeda sebab mereka masih ke gereja dan melakukan kegiatan-kegiatan rohani. Tidak sedikit mereka yang masih arogan dengan hidup Kekristenan mereka yang masih dijalani dengan kemampuan berbicara mengenai Tuhan atau berteologi. Padahal sebenarnya mereka buta, telanjang dan miskin.

Biasanya orang-orang yang berpikir salah seperti di atas sangat menentang ajaran yang mengajarkan umat untuk berusaha hidup suci. Seakan-akan orang yang berprinsip bahwa kehidupan Kristen adalah perjuangan untuk hidup suci melakukan dua kesalahan. Pertama, berusaha mencapai keselamatan dengan perbuatan baik. Padahal mereka tidak berpikir demikian. Keselamatan jelas bukan karena perbuatan baik. Tetapi karena anugerah. Setelah memiliki anugerah, orang percaya harus dimuridkan untuk menjadi sempurna. Usaha untuk hidup suci bukan untuk masuk surga, tetapi untuk dimuliakan bersama-sama dengan Tuhan Yesus dan sebagai respon terhadap anugerah, bahwa kita harus kudus seperti Bapa kudus adanya.

Kedua, mereka menuduh orang yang berusaha hidup suci seakan-akan mau mengandalkan kekuatan sendiri mencapai kesucian. Padahal tidak demikian. Kesucian tidak dapat dicapai tanpa fasilitas keselamatan atau anugerah yang Tuhan sediakan. Fasilitas tersebut adalah pengampunan dosa, Injil Kerajaan Allah yang menyelamatkan, Roh Kudus yang menuntun orang percaya kepada segala kebenaran dan terakhir adalah penggarapan Tuhan melalui segala peristiwa kehidupan. Karena Allah bekerja dalam segala hal mendatangkan kebaikan bagi orang yang mengasihi Dia. Tanpa fasilitas keselamatan atau anugerah yang Tuhan berikan, tidak ada seorang pun bisa mencapai kesempurnaan yang Tuhan kehendaki. Adalah salah kalau seseorang mencapai kesucian dengan kekuatan sendiri. Kesucian hanya dapat diraih oleh anugerah Tuhan semata-mata, tetapi setiap individu harus meresponinya, karena kesucian atau kesalehan tidak bisa terjadi secara otomatis atau dengan mudah. Perjuangan itu bukan bermaksud mengandalkan kekuatan sendiri, tetapi meresponi anugerah-Nya.

  Usaha untuk hidup suci bukan sekadar untuk masuk surga, tetapi untuk dimuliakan bersama-sama dengan Tuhan Yesus dan sebagai respon terhadap anugerah keselamatan.”

13. BERTEKUN

Pengajaran yang merusak bangunan kehidupan iman Kristen yang murni adalah pandangan yang menyatakan bahwa orang Kristen sekali selamat tetap selamat, tanpa memberi pengertian yang jelas yang mengenai keselamatan itu sendiri. Sehingga banyak orang Kristen yang merasa sudah selamat karena sudah merasa percaya dan sudah selamat. Prinsip mereka bahwa sekali seseorang mengaku percaya dan yakin sudah selamat maka orang itu tidak akan terhilang. Di dalam pikiran mereka, bahwa apa pun yang terjadi akhirnya mereka masuk surga, sebab mereka sudah ditentukan dan dipilih untuk selamat. Bagaimanapun akhirnya mereka selamat, selamanya selamat. Mereka diyakinkan oleh pengajaran yang salah tersebut bahwa mereka tidak akan masuk neraka. Inilah yang membuat Kekristenan sebagai jalan hidup tidak tampil sebagaimana mestinya.

Lebih rusak lagi ketika diajarkan bahwa nasib seseorang dalam kekekalan telah ditetapkan atau digariskan. Satu kali ditetapkan untuk selamat maka selamanya pasti selamat. Sehingga orang Kristen tidak perlu cemas lagi terhadap nasib di kekekalan nanti. Semua sudah beres, demik ian f ilosof inya. Mereka menganggap itu adalah ajaran yang teragung dalam Alkitab. Padahal justru itu adalah ajaran yang sangat berbahaya. Alkitab tidak mengajarkan hal ini sama sekali. Ajaran ini dibangun dari premis yang sudah salah, sehingga memaksakan ayat-ayat Alkitab mendukung presmis tersebut. Tentu saja ajaran ini menyenangkan bagi orang yang hanya mau beragama Kristen tanpa mengerti bahwa Kekristenan adalah jalan hidup untuk mengisi hidup dalam proses menjadi sempurna seperti Bapa atau panggilan memiliki pikiran dan perasaan Kristus. Kekristenan adalah jalan yang sukar, bukan jalan yang mudah. Sama sekali bukan jalan yang sudah ditakdirkan.

Mereka yang mengikuti ajaran yang salah tersebut berpikir bahwa orang-orang Kristen yang ditentukan dan dipilih untuk selamat akan dibuat Tuhan bisa bertekun dalam iman. Dengan pemikiran tersebut maka mereka dengan sendirinya akan dapat bertekun. Ketekunan disediakan oleh Tuhan. Manusia tidak perlu mengusahakan ketekunan karena akan dapat bertekun dengan sendirinya. Allah, yang menentukan dan memilih mereka selamat, bertanggung jawab menyediakan ketekunan tersebut. Sebenarnya mereka tidak mengerti pengertian bertekun secara benar.

Kata bertekun dalam bahasa Yunaninya adalah proskarteresis (προσκαρτέρησις) dalam bahasa Inggris diterjemahkan perseverance. Ada beberapa kata “ketekunan, atau bertekun, atau tekun” dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia yang berasal dari beberapa kata, misalnya hupomeno (ὑπομένω) yang berarti bertahan. Kata ini dalam Roma 1212 digunakan oleh Paulus yang juga memiliki pengertian bertekun (perseverance). Dalam beberapa Alkitab terjemahan bahasa Inggris diterjemahkan perseverance. Kata lain adalah prosekho (προσέχω) yang memiliki pengertian selain bertekun, juga memberi perhatian dengan sangat kuat. Terdapat pula kata epimeno (ἐπιμένω) yang berarti tetap tinggal atau tetap menetap atau juga bisa dipahami sebagai terus menerus. Kata yang memiliki pengetian bertekun adalah agonizomai (ἀγωνίζομαι). Tetapi kata ini lebih tepat diterjemahkan berjuang.

Bertekun menunjuk perjuangan dari masing-masing individu. Jika tidak demikian berarti “dibuat bertekun” tanpa orang itu mengingini usaha untuk ketekunan itu sendiri. Ini berarti pula manusia hanya menjadi boneka. Padahal Firman Tuhan jelas mengatakan bertekunlah dan berjuanglah (Mat. 2413; Luk. 1324; Rm. 1212; Kol. 42; 1Tim. 13; 16 dan lain sebagainya). Kalau ketekunan seseorang adalah karunia, artinya Tuhan yang menggerakkan dan manusia bersikap pasif, maka manusia tidak lagi perlu bertanggung jawab dan itu juga berarti tidak pantas menerima mahkota atau upah, sebab usaha ketekunan itu tergantung Tuhan bukan pada manusia. Dalam teologi mereka, orang percaya diajar untuk meyakini bahwa ketekunan itu akan diberikan oleh Tuhan. Hal ini menciptakan Kekristenan yang imajiner atau fantasi. Faktanya kita melihat orang-orang Kristen di Eropa yang pada umumnya menganut teologi tersebut menjadi lumpuh dan mati.

 Dalam teologi mereka yang salah, orang percaya diajar untuk meyakini bahwa ketekunan itu akan diberikan oleh Tuhan. Hal ini menciptakan Kekristenan yang imajiner atau fantasi.”

14. TUHAN TIDAK BERTINDAK BODOH

Pengajaran yang merusak kehidupan iman Kristen murni yang diajarkan oleh Tuhan Yesus adalah ketika muncul doktrin bahwa keselamatan seseorang ditentukan oleh ketekunan Allah. Mereka berpendapat bahwa ketekunan orang percaya ditentukan oleh ketekunan Allah. Kalau Allah menentukan dan memilih seseorang untuk selamat, maka Allah akan memberi ketekunan-Nya bagi orang itu. Dengan penjelasan lain, kepada orang yang ditentukan dan dipilih selamat tersebut Allah bertekun untuk menyelamatkannya. Sebenarnya hal ketekunan Allah kita tidak menyangsikannya lagi; bahwa keselamatan hanya oleh anugerah artinya karena Allah sudah bertekun untuk itu dan terus menyediakan fasilitas keselamatan-Nya untuk tercapainya tujuan keselamatan itu. Masalahnya sekarang terletak pada manusia, kita yang adalah obyek keselamatan itu sendiri.

Biasanya hal ini ketekunan Allah dikaitkan dengan providensia (pemeliharaan) Allah, bahwa Allah bukan saja menciptakan langit dan bumi tetapi juga terus menerus menopangnya. Tanpa providensia Allah, jagad raya ini akan chaos (kacau balau) dan semua manusia tidak memiliki kehidupan. Allah memberi oksigen yang berlimpah, hujan pada musimnya, sinar ultra violet yang memberi kehidupan dan lain sebagainya. Dengan dasar itu mereka berpendirian pula bahwa keselamatan bukan hanya dikerjakan oleh Tuhan Yesus di kayu salib, tetapi juga keselamatan masing-masing individu ditentukan sepihak oleh Allah.

Pandangan di atas ceroboh dan dipaksakan. Kalau Allah memberikan providensia-Nya untuk kehidupan jasmani, Ia memberikan secara adil kepada semua orang tanpa diskriminasi. Faktanya juga dalam kehidupan fisik tidak sedikit orang yang tidak percaya lebih sukses dibanding orang Kristen. Ternyata Tuhan pun juga menegakkan keadilan-Nya, bahwa apa yang ditabur seseorang itu juga dituainya (Gal. 67). Adapun mengenai keselamatan, hal yang berbeda. Masing- masing individu bertanggung jawab meresponi anugerah keselamatan dengan tanggung jawab, bukan ditentukan sepihak oleh Allah dalam ketekunan-Nya. Kalau Allah selalu mengistimewakan umat pilihan, berangkat dari providensia- Nya secara fisik, maka kalau konsisten paralel mestinya Allah juga membuat pembedaan antara orang percaya dan orang yang tidak percaya. Tetapi ternyata tidak (Mat. 545). Ini berarti hal mengenai keselamatan berbeda. Juga berlaku hukum bahwa apa yang ditabur seseorang juga akan dituainya. Ini berarti manusia harus bertanggung jawab atas semua tindakannya, juga dalam kerangka keselamatan kekal.

Adalah ceroboh ketika providensia Allah secara secara jasmani diparalelkan dengan keselamatan jiwa. Ini adalah konsep yang dipaksakan, sama dengan pemilihan Israel (Yakub) sebagai umat pilihan dengan pemilihan individu (Agus, Bambang, Joko, Endang dan lain-lain). Pemeliharaan Allah atas jagad raya diberikan rata dan adil. Juga tetap berlaku hukum tabur tuai. Walaupun bukan orang Kristen, tetapi kalau rajin bekerja, jujur dan bertanggung jawab ternyata bisa sukses dalam kehidupan jasmaninya. Adapun mengenai keselamatan, masing-masing individu harus meresponinya secara bertanggung jawab. Injil diberitakan, apakah seseorang menerima atau menolaknya, tergantung masing-masing individu.

Kalau seseorang sudah menjadi orang Kristen, entah dari latar belakang keluarga karena terlahir sebagai orang Kristen, mengikuti agama pasangan hidup yang Kristen atau alasan apa pun, selanjutnya apakah ia mau bertekun atau tidak tergantung masing-masing individu. Keselamatan adalah usaha Tuhan mengembalikan manusia kepada rancangan Allah semula. Apakah seseorang meresponi anugerah-Nya dengan bertekun mendengar Firman, belajar menangkap setiap kejadian dalam hidupnya yang melaluinya Tuhan membentuk atau menolak, tergantung masing-masing individu. Betapa kacaunya pemikiran yang memandang Tuhan bertindak bodoh dengan membuat diri-Nya bertekun demi keselamatan seseorang dan tidak memedulikan orang lain atau membiarkan orang lain binasa dengan tidak memberi kesempatan sama sekali. Padahal Firman Tuhan mengatakan bahwa Tuhan tidak menghendaki seorang pun binasa (2Ptr. 39, karena Ia menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang berbalik dan bertobat). Tidak mungkin Tuhan mengusahakan seseorang bertobat dan membuat orang lain tidak bisa bertobat.

 Betapa kacaunya pemikiran yang memandang Tuhan bertindak bodoh dengan membuat diri- Nya bertekun demi keselamatan seseorang dan tidak memedulikan orang lain atau membiarkan orang lain binasa dengan tidak memberi kesempatan sama sekali.”

5.PROYEKSI KEHIDUPAN

Kesempatan untuk dikembalikan kepada rancangan semula, yaitu bagaimana memiliki kemampuan untuk melakukan kehendak Allah tanpa dibayang-bayangi hukum dan diancam hukuman, adalah anugerah yang tiada tara. Inilah sesungguhnya inti dari anugerah Allah bagi kita. Anugerah Allah tidak cukup dikalimatkan bahwa oleh korban Tuhan Yesus di kayu salib kita diperdamaikan dengan Allah dan secara otomatis kita bisa memiliki persekutuan yang harmoni dengan Dia. Korban Tuhan Yesus di kayu salib memberi jalan kepada manusia untuk dapat menemukan Allah. Tetapi manusia harus menyambut anugerah tersebut dengan belajar menjadi murid Tuhan Yesus agar memiliki kesalehan seperti Dia.

Menjadi orang saleh bukan bermaksud supaya kita selamat. Keselamatan bukan karena kesalehan kita, tetapi oleh karena anugerah Tuhan Yesus Kristus. Ini harga mati yang tidak dapat diubah sama sekali. Tetapi setelah kita memiliki kesempatan diperdamaikan dengan All ah , kita harus bertumbuh menjadi manusia yang saleh seperti kesalehan yang dikenakan atau diperagakan oleh Tuhan Yesus. Hanya dengan memiliki kesalehan seperti Tuhan Yesus seseorang dapat memiliki persekutuan yang harmoni dengan

Tuhan. Itulah sebabnya Tuhan berfirman Kuduslah kamu sebab Aku kudus (1Ptr. 614-16). Di bagian lain Firman Tuhan mengatakan Sebab itu Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu (2Kor. 617).

Pertanyaan yang bisa muncul adalah Bagaimana kalau seandainya seorang Kristen gagal memiliki kesalehan yang berstandar Tuhan Yesus, apakah berarti dibuang ke dalam api kekal atau masuk neraka Tentu saja tidak atau belum tentu. Di dalam Alkitab kita menemukan banyak ayat yang mengatakan bahwa setiap orang akan dihakimi menurut perbuatannya. Setiap orang berarti semua manusia termasuk orang Kristen. Mereka yang berbuat jahat masuk ke dalam api kekal, mereka yang tidak sempurna tetapi berkategori berbuat baik bisa masuk dunia yang akan datang sebagai anggota masyarakat dan mereka yang memiliki kesalehan seperti Tuhan Yesus, berkodrat Ilahi menjadi anggota keluarga Kerajaan dimuliakan bersama-sama dengan Tuhan Yesus. Itulah karenanya Paulus mengatakan bahwa ia berusaha berkenan kepada Allah, sebab setiap orang harus menghadap takhta pengadilan Allah (2Kor. 59-10).

Oleh sebab itu seharusnya perjuangan untuk menjadi saleh, artinya memiliki kekudusan, haruslah merupakan perjuangan yang melebihi semua perjuangan yang lain. Idealnya ini adalah satu-satunya perjuangan yang kita miliki sebagai orang yang terpilih, yaitu sebagai anak-anak Allah. Kalau ada perjuangan lain dalam hidup ini atau perjuangan untuk maksud yang berbeda, maka kita tidak akan menjadi anak-anak Allah yang dimuliakan bersama-sama dengan Tuhan Yesus. Kehidupan orang Kristen adalah kehidupan yang diproyeksikan untuk ini. Itulah sebabnya keselamatan dalam Yesus Kristus, yaitu dikembalikannya manusia ke rancangan semula, adalah hal yang sangat luar biasa. Di dalam anugerah ini terdapat potensi dan kemungkinan manusia bisa menjadi saleh seperti Tuhan Yesus atau berkodrat Ilahi seperti Bapa. Alkitab menyebutnya sebagai man of God.

Terkait dengan hal ini harus diingatkan bahwa menjadi anak Allah bukan sekadar status, tetapi keberadaan. Semua manusia pada dasarnya adalah anak Allah, tetapi hanya mereka yang mengikuti perlombaan yang diwajibkan dan berhasil memiliki iman yang sempurna, artinya berkelakukan seperti Tuhan Yesus, yang disebut sebagai anak Allah yang sah (huios), bukan nothos (anak Allah yang tidak sah; Ibr. 121-10). Anak Allah yang sah adalah mereka yang memberi diri dididik oleh Bapa sehingga mengambil bagian dalam kekudusan Allah. Jadi, sangatlah keliru dan menyesatkan kalau diajarkan bahwa hanya dengan menjadi orang Kristen, pergi ke gereja dan mengakui dengan mulutnya bahwa Yesus adalah Tuhan, maka seseorang otomatis menjadi anak Allah yang sah. Korban Tuhan Yesus memberi jalan manusia diperdamaikan dengan Allah, tetapi hal itu tidak otomatis membuat seseorang menjadi anak Allah. Itulah sebabnya Tuhan Yesus memberi mandat agar pengikut-Nya memuridkan semua bangsa.

 Perjuangan untuk menjadi saleh, artinya memiliki kekudusan, haruslah merupakan perjuangan yang melebihi semua perjuangan yang lain. Kehidupan orang Kristen adalah kehidupan yang diproyeksikan untuk ini.”

16. APAKAH SEMPURNA ITU

Sampai sekarang masih menjadi perdebatan mengenai apakah seseorang bisa sempurna atau tidak. Banyak orang secara ceroboh mengatakan bahwa manusia tidak bisa sempurna. Pandangan ini juga ada dalam pikiran banyak orang Kristen. Sehingga mereka tidak memiliki usaha untuk menjadi sempurna dengan benar. Pikiran seperti itu adalah “mental block” yang membuat seseorang menjadi kerdil dan tidak memiliki gairah yang proporsional untuk menjadi orang saleh Tuhan. Ditambah lagi dengan pemahaman yang salah mengenai keselamatan bukan karena perbuatan baik dan keselamatan masing- masing individu sudah ditentukan secara sepihak oleh Allah, maka Kekristenan mereka menjadi setengah mati atau mati sama sekali. Detak hidup Kekristenannya tidak pada ritme yang normal. Tetapi mereka tidak menyadarinya.

Mereka yang berpandangan salah tersebut bukan berhenti dalam kegiatan agamanya, mereka masih dengan aktif melakukan kegiatan Kekristenan mereka. Tetapi sebenarnya mereka jauh dari standar Kekristenan yang dikehendaki oleh Tuhan. Waktu akan membutikan kesalahan tersebut. Orang- orang Kristen di Eropa yang pada umumnya berpandangan bahwa keselamatan telah ditentukan oleh Tuhan dan bukan karena perbuatan baik, maka mereka meninggalkan iman mereka. Sebagian besar negara-negara di Eropa menjadi negara duniawi yang kebejatan moralnya bisa disaksikan hari ini. Gereja-gereja tutup, bahkan ada yang berubah menjadi rumah ibadah agama lain.

Kalau Tuhan berkata bahwa kita harus sempurna seperti Bapa di surga (Mat. 548) atau menjadi serupa dengan Tuhan Yesus (Rm. 828-29), tentu ini bukan hanya kalimat yang menghiasi lembar Alkitab. Orang percaya harus menerimanya dengan percaya dan tidak memandang Tuhan berdusta atas apa yang difirmankan-Nya. Sempurna yang dimaksud oleh Tuhan Yesus harus dipahami dengan benar. Kata sempurna dalam teks aslinya adalah teleios (τέλειος). Kata teleios memiliki beberapa pengertian antara lain brought to its end, finished, wanting nothing necessary to completeness, perfect, consummate human integrity and virtue, full grown, adult, of full age, mature (dibawa ke akhir atau ujungnya, tidak mengingini apa pun yang diperlukan untuk kelengkapan, mewujudkan integritas dan kebajikan manusia, bertumbuh secara penuh, dewasa, matang).

Selama ini pengertian sempurna dalam pikiran banyak orang Kristen pasti kacau dan tidak jelas. Dari etimologi kata sempurna dapat kita peroleh pengertian bahwa kesempurnaan itu relatif jika ditinjau dari obyeknya. Kesempurnaan itu sendiri mutlak dan absolut, ukurannya adalah Tuhan sendiri. Kesempurnaan manusia tidak mungkin bisa menyamai kesempurnaan Tuhan. Bahkan masing-masing kita memiliki ukuran kesempurnaan yang berbeda-beda. Berbeda dalam arti tuntutan yang diberikan kepada masing-masing individu berbeda, sebab yang diberi banyak dituntut banyak, yang diberi sedikit dituntut sedikit pula (Luk. 1248).

Kalau dikatakan bahwa kita harus sempurna seperti Bapa, bisa berarti bahwa perilaku kita sebagai anak-anak Allah harus melebihi ukuran kebaikan manusia lain. Itulah sebabnya dalam Matius 5 Tuhan Yesus membuat perbandingan antara hukum torat atau hukum yang diberlakukan kepada manusia pada umumnya dan hukum yang diberlakukan bagi anak-anak Allah. Pengertian yang lain sempurna seperti Bapa artinya semua tindakan kita, baik yang kita pikirkan, ucapkan dan lakukan, harus selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Tuhan. Kekudusan bukan sesuatu yang bersifat mistik tetapi natural, artinya bertalian dengan perilaku konkret manusia. Dalam hal ini kita mengerti mengapa dikatakan dalam Firman Tuhan Kuduslah kamu sebab Aku kudus (1Ptr. 116).

Kalau segala sesuatu yang dipikirkan, diucapkan dan dilakukan selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Tuhan berarti kodrat orang tersebut sudah berbeda dengan kodrat manusia berdosa. Ini berarti telah terjadi perubahan, dari hukum dosa (kecenderungan manusia berbuat salah atau sesuai dengan keinginannya sendiri) menjadi manusia yang dalam segala tindakannya cenderung sesuai dengan pikiran dan perasaan Tuhan.

 Sempurna seperti Bapa artinya semua tindakan kita, baik yang kita pikirkan, ucapkan dan lakukan, harus selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Tuhan.”

17.TIGA OPSI

Orang- orang yang tidak mengenal Injil atau salah memahami Injil hanya berkesempatan memilih satu dari dua opsi, yaitu menjadi baik atau jahat. Agama-agama di dunia biasanya mengajarkan hal ini. Tetapi orang Kristen memiliki tiga pilihan, pertama, menjadi sempurna seperti Bapa, belajar memiliki pikiran dan perasaan Kristus atau memiliki kesalehan seperti Tuhan Yesus. Kedua, cukup menjadi baik saja dengan standar agama pada umumnya yang kebaikan moralnya dilandaskan pada hukum. Ketiga menjadi jahat. Harus ditegaskan bahwa menjadi orang Kristen berarti harus menjadi saleh seperti Tuhan Yesus. Orientasi hidupnya hanyalah menjadi sempurna seperti Bapa.

Selama ini orang berpikir kalau seseorang gagal menjadi sempurna, maka ia masuk neraka. Belum tentu, sebab kalau gagal menjadi sempurna seperti Bapa masih ada opsi kedua, yaitu menjadi baik. Baik dalam arti tidak melukai sesama, masih memiliki kepedulian terhadap saudara- saudara yang membutuhkan pertolongan. Orang baik pasti mengasihi sesama dengan memedulikan mereka, tetapi mereka belum tentu berkategori sempurna dalam ukuran Tuhan. Kebaikan seperti itu juga dapat dilakukan dan dimiliki oleh orang- orang di luar gereja. Orang percaya yang bertumbuh menjadi manusia sempurna pasti mengupayakan keselamatan orang lain, bukan saja memedulikan keadaan fisik jasmani mereka, tetapi juga keselamatan jiwa. Orang-orang yang dalam proses kesempurnaan dalam level tertentu rela menyerahkan apa pun yang dimiliki bagi kepentingan Kerajaan Surga.

Untuk menjadi sempurna harus diusahakan dengan sangat serius. Kesempatan ini tersedia setiap hari. Dengan intensifnya Roh Kudus menuntun kita kepada segala kebenaran-Nya agar kita memiliki kesalehan yang berstandar Tuhan Yesus; artinya seperti kesalehan yang telah dikenakan- Nya. Setiap hari, ketika kita mulai membuka mata pada pagi hari, kita menetapkan hati untuk berubah, yaitu bertumbuh menjadi orang saleh yang mampu mengerti kehendak Tuhan, berpikir dan berperasaan seperti Kristus (Flp. 24-7). Kita harus selalu berpikir bahwa kesempatan untuk berubah akan segera lenyap dan kita kehilangan kesempatan itu untuk selamanya. Perubahan-perubahan yang dengan sengaja diperjuangkan akan membangun suatu kepekaan sehingga seseorang benar-benar mengerti apa yang diingini oleh Tuhan; apa yang baik, yang berkenan dan yang sempurna.

Kalau keselahan memiliki ukuran hukum, maka kesalehan tersebut sudah dapat terukur oleh manusia lain dalam kehidupan setiap hari. Misalnya hukum berkata jangan membunuh. Kehidupan seseorang yang tidak terlibat dalam pembunuhan akan dapat dibuktikan dengan mudah. Tetapi kalau kesalehan memiliki ukuran Tuhan, maka tidak dapat dibuktikan oleh orang lain, walau tentu saja kehidupan yang sesuai dengan pikiran dan perasaan Tuhan adalah kehidupan yang sangat luar biasa indahnya dan pasti orang di sekitarnya mencium keharumannya.

Untuk memiliki kesalehan seperti yang Tuhan kehendaki seseorang harus berurusan dengan Tuhan secara pribadi. Tentu hal ini hanya bagi mereka yang berminat. Berurusan secara pribadi berarti bisa mendengar suara-Nya, menangkap teguran-teguran-Nya dan semua nasihat serta tuntunan-Nya. Mengapa harus berurusan dengan Tuhan secara pribadi sedemikian Sebab yang dapat membuktikan kebenaran hidup kita hanya Tuhan. Untuk hal ini ada beberapa langkah yang harus kita lakukan.

Tuhan Yesus diwakili oleh Roh Kudus akan memuridkan kita agar kita dapat melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya. Dalam hal ini setiap kita harus sungguh-sungguh mencari Tuhan untuk menemukan kehadiran-Nya dalam hidup ini. Kehadiran Tuhan dalam peristiwa-peristiwa kehidupan setiap hari jauh lebih mengubah dari pada kehadiran Tuhan di ruang gereja dan ruang doa. Justru kehadiran Tuhan di setiap pergumulan hidup kita mengajarkan bagaimana kita menempatkan diri, bersikap dan bertindak sesuai dengan kehendak-Nya. Dalam hal ini kesalehan kita tidaklah cukup dibangun dari perjumpaan dengan Tuhan dalam liturgi gereja dan di ruang doa, tetapi dalam pengalaman konkret hidup setiap saat dan doa pribadi setiap hari.

Orang Kristen memiliki tiga opsi, yaitu menjadi sempurna seperti Bapa, cukup menjadi baik dengan standar agama pada umumnya yang kebaikan moralnya dilandaskan pada hukum atau menjadi jahat.”

18.INTEGRITAS

Kata integritas berasal dari bahasa Latin integer yang dalam arti sempitnya adalah utuh atau lengkap. Dalam Bahasa Inggris kata ini terjemahan dari integrity, yang artinya the quality of being honest and having strong moral principles; moral uprightness, the state of being whole and undivided. Dalam banyak buku dan risalah, kata integritas mendapat beragam pengertian. Tetapi pada intinya integritas hendak menunjuk keutuhan dan konsistensi sikap dalam melakukan tindakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran. Dalam integritas terkandung makna keteguhan hati yang tidak tergoyahkan untuk hidup sesuai dengan kebenaran yang diyakini dalam perilaku konkret, bukan hanya dengan perkataan atau sekadar retorika. Jadi integritas adalah satunya perkataan dan perbuatan. Dengan demikian integritas adalah peta dari kehidupan individu; integrity is who you are. Integritas ini sangat berhubungan dengan kekudusan.

Pembahasan mengenai kekudusan sangat penting dalam hidup Kekristenan, sebab hal ini merupakan bagian dari pokok pengajaran keselamatan. Banyak bagian dalam Alkitab memunculkan hal ini. Setiap kali berbicara mengenai keselamatan, tidak bisa tidak hal kekudusan ini pasti juga dibicarakan. Kesalahan memahami hal ini akan berpengaruh terhadap p eng er t i a n m eng en a i keselamatan. Dalam bahasa Ibrani kata menguduskan adalah qadhas. Kata sifatnya adalah qadhos. Kata qadhos itu sendiri dari etimologinya berarti “dipisahkan dari yang lain untuk digunakan”. Kata ini biasanya digunakan dalam wilayah ibadah kepada Yahwe atau berkenaan dengan pengampunan yang diberikan Allah kepada umat Israel.

Dalam Perjanjian Lama, bila kata dikuduskan dikaitkan dengan benda, hal itu selalu menunjuk kepada sesuatu yang dipisahkan dari yang lain atau dikhususkan untuk digunakan oleh Allah. Dikuduskan berarti sesuatu yang dianggap layak atau pantas dipakai oleh Tuhan, biasanya berkenaan dengan seremonial ibadah kepada Yahwe di kemah suci atau di Bait Allah. Benda-benda itu biasanya peralatan ibadah di kemah suci atau bait Allah. Bila kata dikuduskan dikaitkan dengan manusia, maka kata ini menunjuk kepada umat yang dilayakkan menghadap Tuhan atau dipakai Tuhan sebagai pelayan ibadah kepada Yahwe, seperti keturunan Harun yang menjadi imam atau suku Lewi untuk melayani Bait Allah. Kata dikuduskan juga bertalian dengan umat yang menerima pengampunan setelah mereka berbuat salah. Hal itu dimaksudkan agar umat layak berdiri di hadapan Allah.

Dalam bahasa Yunani terdapat kata hagiazo atau hagiasmos yang berarti menguduskan. Kata sifatnya adalah hagios. Selain itu juga ada kata katharoi (Mat. 58), yang juga berarti suci (Ing. clean). Kata ini mengandung pengertian free from impure admixture, without blemish, spotless (bebas dari dari campuran, tidak bernoda). Matius tidak menggunakan kata hagios (Ing. holy). Kata hagios lebih dekat kepada pengertian suci dalam kaitannya dengan kualitas eksistensi Allah. Kalau kata ini dikenakan dalam hidup orang percaya, hal ini menunjukkan perbedaan mutlak antara orang percaya dan orang yang tidak percaya. Kata katharoi lebih menunjuk kepada keadaan hati yang tidak tercemari oleh pengaruh dunia sekitar. Kata hagios sejajar dengan kata hieros, hosios dan hagnos. Kata-kata tersebut berkenaan dengan karya Tuhan Yesus di kayu salib untuk menyelamatkan umat manusia yang percaya kepada-Nya. Kata hagios berarti “berbeda dari yang lain atau dibuat berbeda dari yang lain”. Dalam bahasa Latin diterjemahkan sanctifikatio yang kemudian dalam bahasa Inggris menjadi sanctification.

Selama ini bila berbicara mengenai pengertian pengudusan atau penyucian, asumsi banyak orang adalah pembersihan atas suatu bidang atau sebuah tempat dari kotoran atau noda. Demikian juga bila berbicara mengenai pengudusan dalam kehidupan umat Perjanjian Baru yang dilakukan Allah melalui korban Tuhan Yesus, dalam pikiran banyak orang seakan-akan ada bercak-bercak hitam (dosa) dalam diri manusia yang harus dibersihkan. Darah Yesus dibayangkan seperti sabun detergen yang mencuci pakaian kotor. Memang dalam Alkitab kita temukan hal pembasuhan, tetapi itu adalah gambaran atau figuratif. Fakta sebenarnya tidaklah demikian.

 Integritas mengandung makna keteguhan hati yang tidak tergoyahkan untuk hidup sesuai dengan kebenaran yang diyakini dalam perilaku konkret, bukan hanya dengan perkataan atau sekadar retorika.”

19. PENGUDUSAN (1)

Kepada kamu sekalian yang tinggal di Roma, yang dikasihi Allah, yang dipanggil dan dijadikan orang-orang  kudus  Kasih karunia menyertai kamu dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita, dan dari Tuhan Yesus Kristus” (Rm. 17). Pelajaran yang sangat penting dalam kehidupan Kekristenan adalah hal pengudusan. Kesalahan memahami hal pengudusan ini memengaruhi kualitas hidup orang percaya. Dipanggil dan dijadikan orang kudus yang ditulis oleh Paulus ini bukanlah proses otomatis. Kata dijadikan dalam Roma 17 mengesankan manusia pasif dan hanya Allah yang aktif. Harus dipahami dengan benar bahwa manusia adalah makhluk bebas yang harus meresponi anugerah. Manusia bukanlah robot yang keadaannya ditentukan atau digariskan oleh takdir. Pengajaran takdir adalah pengajaran yang bertentangan dengan Alkitab, serapan dari teologi atau pengajaran di luar Alkitab.

Di seluruh Alkitab terdapat banyak teks yang memuat panggilan untuk meresponi anugerah, yaitu untuk mengerjakan keselamatan. Anugerah diberikan untuk membawa manusia kepada rancangan Allah semula, yaitu manusia yang tidak bercacat dan tidak bercela atau mengambil bagian dalam

kekudusan Allah atau hidup dalam kekudusan Allah; mengenakan kodrat Ilahi. Allah mau menjadikan orang percaya sebagai orang kudus, tetapi kalau seseorang menolaknya, maka Allah tidak memaksanya. Memaksa bukanlah hakikat Allah. Dari hal ini kita peroleh fakta ada orang-orang yang bersedia bertobat dan menerima Yesus Kristus dengan benar dan banyak yang menolaknya. Dari hal ini juga kita peroleh fakta bahwa orang percaya bisa menjadi orang yang menang atau orang yang kalah. Hidup adalah perjuangan (Luk. 1323-24).

Selama ini banyak orang berpikir bahwa disucikan atau dikuduskan seperti sebuah bidang yang dibersihkan dengan sesuatu. Ini adalah pemahaman yang salah. Harus kita pahami bahwa konsep pengudusan yang disamakan dengan pembersihan adalah konsep yang tidak tepat benar. Pengudusan bagi manusia adalah sesuatu yang ditujukan kepada suatu obyek yang tidak memiliki bidang dalam arti fisik. Tidak seperti “menyapu lantai” atau “mengelap kotoran dari meja makan”. Kalau seseorang berdosa agar hatinya disucikan, sebenarnya hati yang mana Liver Perasaan Sejatinya, pengudusan harus lebih dipahami sebagai suatu tindakan dari Allah oleh korban salib Kristus untuk menempatkan manusia pada status baru.

Manusia telah berdosa, berarti manusia berkedudukan sebagai pendosa yang tidak berkenan kepada Allah sesuai dengan standar kesucian yang Allah kehendaki. Status atau kondisi ini menutup kemungkinan manusia berstatus sebagai anak Allah dan menghilangkan potensi manusia bisa berkeadaan seperti Bapanya. Pengampunan mengubah keadaan dari manusia yang berstatus sebagai orang bersalah menjadi orang yang dianggap tidak bersalah. Proses ini paralel dengan penebusan. Ditebus berarti dibeli untuk memindahkan status. Dari status budak menjadi orang merdeka. Ditebus berarti dipindahkan dari status pemberontak ke status yang baru. Penebusan tersebut menempatkan manusia sebagai “dimiliki oleh Tuhan” untuk menjadi hamba Tuhan.

Oleh korban penebusan Tuhan Yesus menempatkan manusia yang telah berdosa dianggap sebagai manusia yang tidak bersalah, sebab semua perbuatan salah (baik sudah, sedang dan akan dilakukan) telah dipaku di kayu salib. Inilah pengudusan pasif. Pengudusan ini belum membuat seseorang benar-benar baik. Penyucian pasif ini adalah perubahan status dan sekaligus membuka kemungkinan yang nantinya melalui proses pendewasaan manusia menjadi suci seperti Bapa (Mat. 548; 1Ptr. 116). Disucikan atau dikuduskan dimaksudkan agar melalui proses pendewasaan atau pemuridan dapat benar-benar berkeadaan menjadi suci seperti Allah (1Ptr. 116). Hal pengudusan ini paralel dengan pembenaran atau dianggap benar. Oleh pengorbanan Tuhan Yesus di kayu salib, maka orang berdosa dapat dibenarkan (secara pasif). Tetapi orang percaya tidak boleh merasa puas sudah merasa dianggap benar secara pasif ini. Orang percaya harus harus berjuang untuk berkeadaan benar-benar benar (pembenaran secara aktif).

Kesalahan memahami hal pengudusan akan memengaruhi kualitas hidup orang percaya.”

20. PENGUDUSAN (2)

Pengertian yang kurang tepat mengenai penyucian menyimpangkan pemahaman prinsip keselamatan dalam Yesus Kristus. Oleh sebab itu

kita harus memahaminya dengan tepat secara Alkitabiah. Sejatinya, Tuhan Yesus mengorbankan diri-Nya untuk memuaskan keadilan Allah. Masalah dosa sebenarnya bukan masalah bercak-bercak hitam (dosa) dalam diri manusia (seperti suatu bidang yang dikotori suatu kotoran), tetapi mengenai murka Allah atas pemberontakan manusia. Yang kedua ini harus dipandang lebih penting. Tidak ada agama dalam dunia ini yang memiliki gagasan keselamatan seperti ini, dan tidak mungkin mereka memilikinya, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi.

 Bagaimana dengan pernyataan Alkitab dalam Yesaya (Yes. 118) yang mengatakan “Marilah, baiklah  kita berperkara!

FIRMAN TUHAN Sekalipun dosamu merah s eperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba” Ayat ini hendak menunjukkan bahwa Tuhan tidak memperhitungkan kesalahan yang telah dilakukan umat Allah. Tetapi bukan berarti Tuhan tidak mempersoalkan pertobatan demi perubahan mereka. Justru tindakan Tuhan tidak mengingat dosa melahirkan tanggung jawab dan panggilan untuk manusia agar berubah menjadi umat seperti yang dikehendaki oleh Allah.

Kalau pengampunan dosa berpusat atau menekankan pada keadaan manusia (yaitu kesalahan yang ditandai dengan bercak-bercak dosa), maka itu bukan pengampunan yang theocentris (berpusat pada Allah), tetapi anthropocentris (berpusat pada manusia). Pengampunan harus berpusat pada Allah, yaitu menekankan atau terfokus pada perasaan Tuhan yang telah dikhianati manusia. Oleh pengorbanan Tuhan Yesus murka Allah atas manusia diredakan tuntas. Di sini manusia mengalami pengudusan. Tetapi pengudusan ini barulah pengudusan secara pasif.

Pengudusan oleh darah Tuhan Yesus atas hidup kita jangan dibayangkan seakan-akan setelah menerima pengudusan dalam hati kita, maka tidak ada lagi bercak-bercak hitam dosa sebab darah Tuhan Yesus membersihkannya, lalu merasa sudah suci. Kemudian berusaha percaya dan yakin kalau setiap saat meninggal dunia sudah berkeadaan berkenan kepada Tuhan, pasti masuk surga. Banyak khotbah dan pengajaran yang mengisyaratkan bahwa korban Tuhan Yesus sudah memberikan paket “all in”. Dikuduskan oleh darah Tuhan Yesus atas semua perbuatan salah kita sudah sekaligus membuat kita berkenan kepada Tuhan. Hal ini membuat banyak orang Kristen tidak berusaha untuk bertumbuh secara proporsional.

Tentu ada bercak “kodrat dosa” (Ing. sinful nature) dalam karakter, tetapi darah Tuhan Yesus tidak otomatis dapat membersihkannya dan mengubah dengan mudah nature dosa tersebut. Penyucian atau pengudusan secara pasif ini tidak membuat kodrat dosa kita seketika berubah menjadi kodrat Ilahi; tidak otomatis membuat diri kita berkeadaan berkenan kepada Tuhan. Kalau Alkitab menyatakan bahwa darah Yesus menyucikan artinya bahwa darah itulah yang menempatkan manusia yang tadinya sebagai orang yang berstatus bersalah sekarang menjadi orang yang berstatus tidak bersalah. Oleh karena Tuhan Yesus telah menanggung dosa manusia, maka hukum keadilan Allah dapat ditegakkan yaitu pelanggaran harus dihukum. Tuhan Yesus menggantikan tempat hukuman yang seharusnya manusia tempati sebagai orang bersalah atau orang berdosa. Hal ini memuaskan hati Allah yang Mahaadil. Dalam hal ini tatanan Allah dipenuhi bahwa tidak akan ada pengampunan tanpa penggantian atau penumpahan darah.

Pengudusan atau penyucian oleh darah Tuhan Yesus (yang membuat status orang berdosa berubah) barulah pengudusan secara pasif. Kita sebagai orang-orang yang ditebus, dibenarkan dan memperoleh pengampunan dosa bersikap pasif. Semua dikerjakan oleh Tuhan Yesus tanpa peran dan jasa kita sama sekali. Dengan pengertian ini, maka tidak seorang pun dapat membanggakan diri bahwa dirinya kudus atau suci oleh karena usahanya. Sebab pengudusan oleh darah Tuhan Yesus adalah pengudusan sepihak yang Allah lakukan tanpa peran manusia sama sekali. Inilah yang dimaksud bahwa keselamatan manusia bukan usaha manusia atau bukan karena perbuatan baiknya tetapi karena anugerah Allah semata-mata.

Tindakan Tuhan yang tidak mengingat dosa kita melahirkan tanggung jawab dan panggilan untuk manusia agar berubah menjadi umat seperti yang dikehendaki oleh Allah.”

21. PENGUDUSAN (3)

Status baru yang dimiliki manusia ini membuat manusia ditempatkan kembali, bukan sebagai pemberontak, tetapi sebagai anak.  Menurut Ibrani 12, sebagai anak, tetapi anak gampang (Yun. nothos). Status inilah yang juga memberi peluang dimana Allah Bapa dapat mendidik mereka yang mengakui dan menerima Yesus Kristus sebagai Pencipta dan Pemilik kehidupan. Allah mendidik mereka agar mereka dapat mengambil bagian dalam kekudusan Allah (Ibr. 125-10). Dalam hal ini pengudusan Allah memiliki dua aspek. Pertama, dikuduskan berarti diubah statusnya; dan kedua, pemberian potensi atau kemungkinan manusia berkeadaan seperti Bapa. Hal kedua ini harus diresponi manusia, agar dari nothos (anak gampang) menjadi anak yang sah atau pangeran (Yun. huios). Perubahan dari nothos ke huios melibatkan masing-masing individu.

Pengudusan tidak berhenti sampai hanya status kita berubah, sebab pengudusan harus berlanjut pada proses di mana kita yang dikuduskan haruslah benar- benar menjadi kudus. Dalam 1Tesalonika 47 Firman Tuhan berkata “Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus”. Sejajar dengan 1 Tesalonika 47, dalam 1 Petrus 116 Firman Tuhan tegas berkata “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus”. Dan banyak lagi teks Alkitab yang berupa perintah untuk menjadi kudus. Dalam hal ini orang percaya dipanggil untuk hidup dalam kekudusan. Kekudusan ini adalah kekudusan aktif.

Kekudusan aktif artinya respon manusia terhadap anugerah keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus untuk melepaskan karakter dosa dalam dirinya, sehingga atau agar tidak berbuat dosa lagi. Dengan demikian bukan hanya dosa atau kesalahan masa lalu yang dianggap telah beres atau dibereskan, tetapi kemungkinan untuk berbuat salah lagi juga dihilangkan. Dalam hal ini orang yang menerima pengampunan dari Tuhan adalah orang-orang yang memiliki tanggung jawab. Inilah yang disebut sebagai anugerah yang bertanggung jawab. Orang yang menerima pengampunan Tuhan harus memberi diri diperbaiki oleh Tuhan. Perbaikan di sini adalah perbaikan dari gambar Allah yang rusak untuk dikembalikan pada rancangan semula-Nya.

Proses menguduskan diri ini membuat seseorang menjadi kudus, artinya berbeda dari yang lain. Hal ini menunjuk bahwa perbaikan yang Tuhan kerjakan memiliki proyeksi yaitu mereka yang dikuduskan menjadi manusia yang berbeda dari manusia yang tidak menerima keselamatan dalam Yesus Kristus. Proyeksinya adalah menjadi sempurna seperti Bapa di surga. Itulah sebabnya Firman Tuhan menyatakan dengan jelas bahwa kita harus kudus seperti Dia kudus. Kalau pengampunan Tuhan tidak disertai dengan respon kita untuk benar-benar menjadi kudus dalam seluruh hidup kita, maka Tuhan hanya diperlakukan sebagai tukang sapu dosa. Betapa jahatnya pandangan ini. Sebab kalau seorang pencuri hanya dimaafhan atas kejahatan mencuri tetapi tidak diajar untuk tidak mencuri lagi, berarti ia akan semakin merajalela sebagai pencuri atau tidak berhenti dari kejahatannya. Kalau orang percaya hanya menerima pengampunan tanpa dididik untuk menjadi sempurna guna dikembalikan ke rancangan Allah semula atau memperoleh kembali kemuliaan Allah yang hilang, apa bedanya dengan kesalehan umat Perjanjian Lama. Perubahan status dari ‘pemberontak’ menjadi ‘anak’ harus berlanjut sampai orang yang dikuduskan tersebut benar-benar berkeadaan kudus seperti Bapa. Inilah yang menempatkan kita sebagai anak-anak Allah yang sah. Itulah sebabnya Rasul Petrus dalam 1 Petrus 117 mengingatkan, bahwa kalau kita memanggil Allah Bapa hendaknya kita hidup dalam ketakutan selama menumpang di dunia.

Sebagai anak, kita harus meneladani apa yang dilakukan oleh Tuhan Yesus, karena proyeksi keselamatan adalah agar kita serupa dengan Tuhan Yesus (Rm. 828-29). Model Anak yang menyukakan hati-Nya adalah Tuhan Yesus Kristus. Oleh sebab itu kalau kita tidak mau diproses menjadi seperti Tuhan Yesus, kita tidak perlu menerima pengampunan-Nya. Pengampunan diberikan untuk proses perubahan sampai dilayakkan untuk dipermuliakan bersama-sama dengan Tuhan Yesus.

Pengudusan tidak berhenti sampai hanya status kita berubah, sebab pengudusan harus berlanjut pada proses di mana kita yang dikuduskan haruslah benar-benar menjadi kudus.”

22. FANTASI IMAN

alam 1korintus 12 tertulis “Kepada jemaat Allah di Korintus, yaitu mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus dan yang dipanggil menjadi orang-orang kudus, dengan semua orang di segala tempat, yang berseru kepada nama Tuhan kita Yesus Kristus”. Perhatikan kalimat “dikuduskan dalam nama Kristus Yesus” dan “yang dipanggil untuk menjadi orang-orang kudus”. Di sini kita dapat temukan ada dua dimensi. Dimensi pertama adalah “dikuduskan dalam nama Tuhan Yesus”, artinya Tuhan mengubah status kita sebagai orang percaya, dari pemberontak dijadikan anak-Nya. Kedua, “dipanggil untuk menjadi orang kudus”, artinya kita harus memiliki karakter kekudusan Bapa.

Memerhatikan dua jenis atau dua aspek pengudusan (yaitu aktif dan pasif), maka kita temukan kesejajaran dengan pengudusan oleh darah Tuhan Yesus dan oleh Firman yang dikerjakan oleh Roh Kudus. Pengudusan oleh darah Tuhan Yesus adalah pengudusan untuk mengubah status (seperti yang telah dijelaskan di atas). Hal ini hanya bisa dilakukan oleh Tuhan Yesus (Kis. 412). Dikuduskan dengan darah Tuhan Yesus tidak melibatkan peran manusia sama sekali. Manusia hanya menerima anugerah tersebut. Pengudusan oleh darah Tuhan Yesus ini tidak otomatis menghilangkan kodrat dosa (Ing. sinful nature) atau mengubah watak dosa dalam kehidupan manusia. Kodrat dosa hanya dapat dihilangkan melalui proses pendewasan oleh Firman dan pembentukan Allah yang dikerjakan oleh Roh Kudus dalam diri umat pilihan. Orang yang menolak pembentukan ini, berarti menghujat Roh Kudus.

 Banyak orang Kristen puas hanya sampai pengudusan secara pasif. Mereka merasa bahwa pengudusan dalam hidup mereka sudah tuntas. Biasanya mereka juga percaya bahwa sakramen sudah cukup menguduskan, padahal sakramen tidak bisa menguduskan kalau hanya dari segi teknisnya, sakramen menguduskan dari segi esensinya. Misalnya baptisan, yang menguduskan bukanlah air baptisan atau tindakan dibaptis itu sendiri, tetapi kesediaan meninggalkan manusia lama dan hidup dalam hidup yang baru, tentu melalui proses pembelajaran Firman Tuhan dan kehidupan setiap hari melalui segala peristiwa yang dialami. Sekarang jelaslah bahwa Roma 17 mengisyaratkan bahwa dipanggil dan dijadikan orang kudus bukanlah proses sederhana yang terjadi oleh tindakan sepihak dari Allah, tetapi juga respon manusia dalam menerima pengudusan itu. Orang yang tidak mau bertobat adalah orang yang menolak pengudusan secara aktif oleh Roh Kudus dan Firman (Rm. 25 Tetapi oleh kekerasan hatimu yang tidak mau bertobat, engkau menimbun murka atas dirimu sendiri pada hari waktu mana murka dan hukuman Allah yang adil akan dinyatakan).

Allah tidak memaksa. Kalau seseorang mengeraskan hati tidak mau bertobat, maka berarti ia tidak menerima anugerah pengudusan secara aktif. Ini juga berarti ia membuang dan menginjak-injak darah korban Tuhan Yesus atau tidak menghargai pengorbanan-Nya. Dengan tindakan itu maka secara tidak langsung membuat pengudusan secara pasif menjadi sia-sia; tidak berdaya guna sama sekali. Hal ini akan nampak ketika seseorang tidak mengalami pertumbuhan kepada kesempurnaan seperti Kristus, bahkan berbuat baik pun tidak dilakukan (sebagai buktinya tidak sedikit orang Kristen lebih jahat dari orang non Kristen). Ironinya banyak orang Kristen merasa sudah selamat dengan merasa “sudah berkenan” di hadapan Tuhan, padahal keadaan diri mereka “tidak melakukan kehendak Bapa” (Mat. 721-23).

Banyak orang Kristen berpikir bahwa perkenanan di hadapan Tuhan sudah bisa dimiliki seseorang hanya oleh korban Tuhan Yesus dalam pengudusan pasif. Mereka merasa sudah menjadi anak Allah yang sah, dikuduskan dan dibenarkan oleh darah Yesus. Perjuangan menjadi sempurna dianggap sebagai kesombongan dan kesalahan prosedur keselamatan. Mereka merasa tidak perlu berjuang untuk sempurna. Di pikiran mereka sempurna hanya bisa dialami atau dicapai nanti di surga.

Harus tetap diingat, bahwa perjuangan untuk sempurna bukan bertujuan untuk memperoleh keselamatan, tetapi sebagai sikap meresponi dan menghargai korban pengudusan Tuhan secara pantas. Tuhan tidak pernah berkata atau mengajar bahwa kesempurnaan hanya bisa dialami dan dimiliki nanti di surga. Justru berkat anugerah keselamatan dan pengudusan Tuhan agar manusia memperoleh kembali kemuliaan Allah yang hilang bukan sekadar dalam “fantasi iman” atau “imaginasi percaya”, tetapi keberadaan yang riil yang dialami sehingga “wajah Tuhan Yesus” nampak dalam kehidupan konkret orang percaya yang tidak terbantahkan. Orang-orang ini barulah pantas disebut Kristen (seperti Kristus).

Berkat anugerah keselamatan dan pengudusan Tuhan agar manusia memperoleh kembali kemuliaan Allah yang hilang bukan sekadar dalam “fantasi iman”, tetapi keberadaan yang riil yang dialami sehingga “wajah Tuhan Yesus” nampak dalam kehidupan konkret orang percaya yang tidak terbantahkan.”

23. PENGUDUSAN OLEH FIRMAN

Dikuduskan oleh Firman artinya dengan kuasa Firman Tuhan yang dipahami, maka seseorang dapat didewasakan agar tidak lagi

hidup dalam dosa, tetapi hidup sesuai dengan kehendak Allah. Firman Tuhan menguduskan artinya Firman Tuhan menghindarkan manusia dari berbuat jahat (Yoh. 1714-17). Tentu manusianya yang harus tekun belajar kebenaran Firman Tuhan, sebab kalau seseorang tetap dalam Firman barulah ia dapat dimerdekakan (Yoh. 831-32). Dimerdekakan di sini maksudnya adalah dibebaskan dari kecenderungan berbuat dosa.

Pengudusan dengan atau oleh Firman di sini melibatkan penuh peran manusia. Kalau manusia tidak pro-aktif, maka pengudusan ini tidak bisa berlangsung. Ini berarti pula bahwa pengudusan oleh darah Yesus bisa menjadi sia-sia. Dengan kalimat lain, bila seseorang tidak masuk dalam proses pengudusan dengan atau oleh Firman, maka berarti ia tidak menghargai darah Yesus (Ibr. 1029). Pengudusan oleh darah Tuhan Yesus dimaksudkan supaya manusia masuk dalam proses pengudusan dengan atau oleh Firman. Firman yang membuahkan iman, dan iman yang menyelamatkan (Rm. 116-17). Pengudusan oleh darah Yesus memindahkan status manusia, pengudusan oleh Firman mengubah karakter manusia. Pengudusan oleh Firman pada dasarnya juga proses pendewasaan yang membuat seorang anak tebusan menjadi serupa dengan Tuhan Yesus.

Tidak mungkin seseorang bisa mengalami pengudusan yang benar tanpa Firman Tuhan. FirmanTuhan memperbaharui pikiran seseorang atau cara berpikir seseorang. Terkait dengan hal ini Tuhan Yesus menyatakan “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” (Yoh. 831- 32). Tetap di dalam Firman merupakan usaha terus menerus belajar Firman Tuhan untuk mengerti dan mengubah cara berpikir. Dalam Roma 116 Firman Tuhan mengatakan Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. Injil yang dimaksud dalam ayat ini adalah kebenaran atau Firman yang diajarkan oleh Tuhan Yesus. Dalam hal ini sangatlah jelas bahwa proses keselamatan dalam kehidupan umat pilihan tidak dapat dipisahkan dari Firman Tuhan.

Mengingat betapa sentralnya peran Firman Tuhan dalam proses keselamatan (dikembalikannya manusia ke rancangan Allah semula), maka hal belajar kebenaran Firman Tuhan harus menjadi perjuangan dan usaha kita setiap hari. Menambah pengertian mengenai kebenaran Firman Tuhan haruslah dipandang mutlak sebagai hal yang harus dialami setiap hari. Seperti makanan yang kita konsumsi setiap hari, demikian pula dengan kebenaran Firman Tuhan. Setiap hari harus ada waktu yang disedikan untuk belajar kebenaran Firman Tuhan. Belajar Firman bisa melalui beberapa sarana seperti Alkitab, literatur, cd khotbah, internet, radio dan lain sebagainya.

Belajar Firman Tuhan bukan hanya pada waktu kosong, tetapi harus disediakan sebagai hal yang sangat penting, bahkan dipandang mutlak. Akibat dari kehidupan orang Kristen yang tidak bertumbuh dalam kebenaran, Firman Tuhan baru dirasakan setelah beberapa belas atau beberapa puluh tahun. Karena hal ini, maka banyak orang merasa bahwa sikap mengabaikan Firman Tuhan seakan- akan tidak berakibat fatal. Bila ada acara-acara dimana Firman Tuhan diajarkan, seperti kebaktian hari Minggu, persekutuan doa, pendalaman Alkitab, seminar-seminar rohani, hal itu harus menjadi momentum berharga yang harus dihadiri. Biaya dan kelelahan yang dikorbankan tidak ada artinya dibanding dengan berkat kekal yang diperoleh. Oleh karena pengertian seseorang mengenai Firman menentukan proses menuju kesempurnaan, maka kita harus sangat berhati-hati memperoleh sumber kebenaran Firman Tuhan yang kita pelajari. Banyak ajaran sesat yang tidak membawa kepada pertumbuhan rohani yang benar. Tidak semua orang yang berkhotbah menggunakan Alkitab berarti menyampaikan kebenaran. Dalam hal ini harus benar-benar berhati-hati.

Pengudusan oleh darah Yesus memindahkan status manusia, pengudusan oleh Firman mengubah karakter manusia. Pengudusan oleh Firman pada dasarnya juga proses pendewasaan yang membuat seorang anak tebusan menjadi serupa dengan Tuhan Yesus.”

24. DIKUDUSKAN OLEH ROH

Dalam 1 petrus 12 Firman Tuhan mengatakan “… yaitu orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan

oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya. Kiranya kasih karunia dan damai sejahtera makin melimpah atas kamu”. Dalam ayat ini terdapat kalimat bahwa orang percaya juga dikuduskan oleh Roh. Apa yang dimaksud dengan dikuduskan oleh Roh itu dan bagaimana proses dikuduskan oleh Roh tersebut

Menjawab pernyataan ini kita harus memahami dan dapat membedakan pengertian Firman dalam arti Logos dan Rhema. Pada waktu seseorang mendengar Firman Tuhan, cara berpikirnya diubah dengan pengajaran yang diajarkan secara penalaran atau kognitif. Dalam hal ini Firman (Logos) menjadi pengertian di dalam pikirannya. Logos adalah Firman yang dipahami di dalam pikiran melalui pengajaran yang didengar. Misalnya seseorang mendengar Firman kasihilah musuhmu . Ini bukan berarti seseorang sudah bisa mengasihi musuh. Pengertiannya mengenai mengasihi musuh belum tentu dapat diperagakan atau dilakukan. Untuk itu seseorang harus mengalami secara konkret atau riil bagaimana dimusuhi seseorang. Pada waktu dalam pergumulan dimusuhi tersebut, Roh Kudus akan mengingatkan perkataan Tuhan. Di sini Firman (logos) yang sudah dipahami secara akal pikiran diterjemahakan secara konkret dalam kenyataan hidup. Roh Kudus akan berbicara kepada orang tersebut. Perkataan Tuhan inilah yang disebut sebagai Rhema.

Dalam kasus-kasus tertentu dan untuk orang-orang tertentu (bagi mereka yang mengasihi Tuhan), Tuhan memproses pengudusan melalui peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan (Rm. 828). Semua ini dilakukan oleh Tuhan, khususnya untuk mereka yang merasa perlu dan sungguh-sungguh bersedia menerima didikan atau pukulan dari Allah (Ibr. 127-9). Tidak ada pendewasaan tanpa pengalaman dalam kehidupan nyata setiap hari. Memang proses ini tidak menyenangkan bahkan tidak jarang yang menyakitkan, tetapi Tuhan melalui segala pengalaman- pengalaman riil tersebut hendak membersihkan karakter dosa kita. Dalam hal ini Bapa mendidik kita melalui Roh- Nya. Inilah yang dimaksud dikuduskan oleh Roh Allah.

Oleh pekerjaan atau pimpinan roh seseorang dimungkinkan untuk memiliki ketaatan kepada Bapa. Jadi, bukan dengan kuat dan gagah, seseorang dapat melakukan atau mencapai kesucian seperti yang dikehendaki oleh Allah, tetapi oleh Roh Allah yang menolong orang percaya. Roh Allah adalah fasilitas keselamatan yang disediakan guna membawa orang percaya kepada kesempurnaan Allah.

Kalau kata “dikuduskan” ini dihubungkan dengan pernyataan Tuhan Yesus bahwa Ia menguduskan diri-Nya, supaya orang percaya dikuduskan dalam kebenaran (Yoh. 1718), maka berarti Tuhan Yesus berusaha untuk taat agar bisa menggenapi rencana Allah. Tuhan Yesus sendiri harus bergumul untuk bisa mencapai kesempurnaan. Ia tidak mencapainya dengan mudah. Ia harus bergumul hebat. Hal itu dilakukan agar setelah Ia mencapai kesempurnaan, Ia dapat menjadi teladan bagi orang percaya dan Allah memakai-Nya sebagai alat keselamatan. Demikian pula orang percaya dapat dikuduskan dengan kebenaran supaya bisa dipakai oleh Bapa (Yoh. 1719). Dalam Ibrani 58-9 tertulis “Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang diderita-Nya, dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya”. Setelah Tuhan Yesus menyelesaikan tugas penyelamatan-Nya, Ia menjadikan manusia untuk dikuduskan dan dipakai oleh Bapa, sebagaimana diri-Nya sendiri juga telah mengalaminya. Paulus juga dikuduskan untuk ini, yaitu menjadi alat dalam tangan Tuhan untuk menggenapi rencana Allah (Rm. 11).

Dalam hal ini jelas sekali bahwa pengudusan Tuhan bukan hanya berhenti dimana orang percaya dipindahkan statusnya dari orang berdosa menjadi anak, juga bukan sekadar diperbaiki karakternya, tetapi juga direncanakan untuk menjadi alat dalam tangan Bapa guna menggenapi rancana- Nya. Rencana Bapa adalah membinasakan pekerjaan Iblis (1Yoh. 38). Hal ini sejajar dengan pengertian kudus dalam bahasa Ibrani qadhos, yang artinya dipisahkan dari yang lain untuk digunakan.

Oleh pekerjaan atau pimpinan roh seseorang dimungkinkan untuk memiliki ketaatan kepada Bapa. Jadi, bukan dengan kuat dan gagah, seseorang dapat melakukan atau mencapai kesucian  seperti yang dikehendaki oleh Allah, tetapi oleh Roh Allah yang menolong orang percaya.”

25. DIKUDUSKAN OLEH DOA

Dalam 1 timotius 45 tertulis “… sebab semuanya itu dikuduskan oleh firman Allah dan oleh doa”. Dari teks Alkitab ini ditunjukkan kepada

kita bahwa pengudusan atas orang percaya juga melalui doa (1Tim. 45). Apa maksud pernyataan Paulus ini Maksud pernyataan Paulus ini adalah bahwa melalui persekutuan yang tiada henti dengan Tuhan dalam doa pribadi, maka seseorang diarahkan untuk memiliki karakter Bapa. Dalam hal ini doa harus dipahami sebagai dialog atau hubungan interaksi terus menerus dengan Tuhan. Oleh sebab itu kalau Alkitab menyatakan bahwa kita harus berdoa dengan tiada berkeputusan atau tetap dalam doa, itu berarti bahwa kita harus terus menerus hidup dalam persekutuan dengan Bapa (1Tes. 517).

 Ketekunan hidup dalam persekutuan dengan Bapa digambarkan oleh Tuhan Yesus seperti seorang janda yang tekun menghadapi hakim yang tidak takut akan Allah dan tidak peduli siapa pun (Luk. 181-8). Ketekunan untuk tetap dalam persekutuan dengan Bapa seperti itulah yang diharapkan Tuhan Yesus ditemukan pada akhir zaman di tengah dunia yang semakin sibuk dimana orang tidak memedulikan Tuhan (Luk. 188). Kalau manusia sudah tidak memedulikan Tuhan, maka cara berpikir dan filosofi hidupnya semakin jauh dan bertentangan dengan kebenaran Allah. Sebagai hasilnya adalah manusia-manusia fasik yang tidak takut Tuhan dan tidak memedulikan hukum-Nya. Pada kenyataannya banyak orang Kristen yang lebih akrab dengan hiburan dunia dengan segala kesenangannya daripada Tuhan sebagai kebahagiaan atau kesukaannya.

Untuk hal ini sangatlah mutlak bagi setiap orang percaya menyediakan waktu untuk “menghadap” Bapa dan Tuhan Yesus Kristus. Waktu yang disediakan haruslah waktu prima dimana seseorang sungguh-sungguh serius hendak bertemu dengan Tuhan dengan penuh kerinduan dan merasa butuh yang sangat kuat terhadap Tuhan. Waktu doa ini bukan sekadar mengisi jadwal berdoa atau jadwal saat teduh rutin, yang kadang menjadi seperti beban atau sekadar kebiasaan yang tidak memuat kerinduan yang mendalam terhadap Tuhan. Keinginan atau hasrat bertemu dengan Tuhan haruslah menjadi hasrat yang paling kuat dibanding dengan segala hasrat yang lain dalam hidupnya. Jika tidak demikian, berarti ada hal lain yang lebih dipandang menarik dibanding Tuhan.

Dalam perjumpaan pribadi dengan Allah tersebut kita akan lebih menyadari dan menghayati kekudusan Allah yang tiada tara. Seiring dengan itu kita menyadari pula betapa rusaknya hidup dan diri kita ini. Keadaan kita ternyata masih sangat jauh dari kesucian dan kesempurnaan Allah. Kita merasa sangat tidak layak di hadapan kekudusan Allah. Di sini terjadi pertobatan. Kita akan membuat komitmen-komitmen baru untuk memulai hidup tidak bercacat dan tidak bercela. Setiap kali kita bertemu dengan Tuhan, kita seperti baru bertobat kembali dan rasanya kita baru mengalami kelahiran baru. Sejak saat itu kita melatih diri untuk tidak menyentuh apa yang salah baik di dalam pikiran, perkataan maupun perbuatan kita. Dari hal-hal sederhana kita mulai belajar untuk mengarahkan pikiran dan perkataan kita kepada apa yang benar menurut Tuhan. Kita tidak sembarangan berpikir. Kita tidak akan mengijinkan sesuatu yang najis masuk pikiran kita. Kita juga menjaga mulut kita untuk tidak mengucapkan sesuatu yang sia-sia. Kalau pikiran dan hati kita bisa dikontrol dengan landasan Firman Tuhan, maka kita jauh dari perbuatan yang bertentangan dengan kehendak Allah.

Dalam perjumpaan dengan Tuhan tersebut, maka terjadi impartasi. Tuhan membagikan spirit dan gairah keilahian-Nya kepada kita. Tuhan menularkan diri-Nya kepada kita melalui perjumpaan tersebut. Gairah-gairah surgawi atau kekudusan Allah akan menginspirasikan kita untuk berjalan dalam kesucian-Nya. Dari hal ini kita barulah dapat merasakan apa artinya dimuridkan oleh Tuhan Yesus secara pribadi. Dan memang inilah sebenarnya kehendak Allah agar kita dimuridkan secara pribadi oleh Tuhan Yesus sesuai Firman-Nya Jadikan semua bangsa murid-Ku. ”Murid-Ku” artinya bukan muridnya pendeta atau gereja atau manusia manapun. Manusia dan gereja hanya menjadi mentor sementara, tetapi pada dasarnya Tuhan Yesus sendiri yang memuridkan orang percaya. Oleh sebab itu hal berjumpa secara pribadi dengan Tuhan dalam doa adalah hal yang sangat mutlak.

 Melalui persekutuan yang tiada henti dengan Tuhan dalam doa pribadi, maka seseorang diarahkan untuk memiliki karakter Bapa. Gairah surgawi atau kekudusan Allah akan menginspirasikan kita untuk berjalan dalam kesucian-Nya.”

26. TIDAK BERCACAT TIDAK BERCELA

Jika seseorang mendengar kalimat “hidup tidak bercacat dan tidak bercela”, rasanya sangat berat dan sulit dicapai, bahkan tidak sedikit yang berpikir hal itu mustahil. Kemudian banyak orang bersikap apatis terhadap hal tersebut karena berpikir tidak mungkin dapat mencapainya. Benarkah bahwa manusia tidak mungkin bisa hidup tidak bercacat dan tidak bercela Sesungguhnya kalau seseorang berpikir bahwa tidak mungkin seseorang bisa hidup tidak bercacat dan tidak bercela atau menjadi sempurna, pasti karena pengaruh cara berpikir berbagai agama dan keyakinan. Di dalam berbagai agama dan keyakinan, kesan yang ditimbulkan sangat kuat bahwa manusia adalah makhluk yang tidak sempurna dan tidak bisa sempurna. Hal inilah yang menolerir seseorang berbuat suatu kesalahan. Sikap ini sebenarnya merupakan sikap “permisif ” (sikap serba memperbolehkan atau kecenderungan mengijinkan sega la t inda ka n boleh dilakukan).

Ketika Allah dipromosikan sebagai Allah yang Mahapengampun, dikesankan bahwa manusia selalu bisa bersalah, dan Allah pasti selalu bersedia memberi pengampunan, maka Ia disebut sebagai Allah Mahapengampun. Pernyataan ini bukan berarti membantah fakta yang bisa terjadi atas orang percaya, yaitu kegagalan yang bisa dialami oleh orang percaya. Hal ini juga tidak bermaksud tidak meyakini bahwa Allah selalu menyediakan pengampunan. Tetapi hendaknya orang percaya tidak memberi peluang berbuat dosa dengan pemikiran bahwa Tuhan siap memberi pengampunan. Meskipun Tuhan selalu siap memberi pengampunan, sejatinya orang percaya menghindari tindakan bersalah yang dapat melukai hati Tuhan.

Sikap permisif juga bisa terbangun berhubung fakta orang-orang saleh Perjanjian Lama yang melakukan pelanggaran dan memiliki kelemahan-kelemahan. Abraham, Yakub, Daud, Salomo, Elia, Yunus dan tokoh-tokoh lain memiliki lembaran hitam dalam kehidupan mereka. Belum lagi tokoh Perjanjian Baru seperti Petrus yang ternyata juga melakukan suatu kesalahan yang dikategorikan fatal. Kalau mereka bisa gagal, jatuh dalam dosa, mengapa kita tidak Begitulah pikiran banyak orang Kristen. Pikiran yang sesat ini tidak boleh bertakhta di dalam pikiran orang percaya. Berkenaan dengan hal ini harus diketahui bahwa tokoh-tokoh Perjanjian Lama adalah orang-orang yang belum mendengar Injil dan belum menerima materai Roh Kudus. Mereka tidak dapat dituntut untuk sempurna. Memerhatikan kehidupan tokoh-tokoh iman Perjanjian Lama, kita harus mengerti bahwa walaupun mereka tidak sempurna -mereka memiliki kegagalan-kegagalan bahkan perbuatan yang memalukan- tetapi ada kelebihan-kelebihan mereka yang dapat menjadi pelajaran rohani bagi kita. Adapun Petrus dan murid-murid yang lain ketika berbuat kesalahan, hal itu karena mereka belum menerima baptisan Roh Kudus. Bahkan sekalipun menerima baptisan Roh Kudus, mereka juga harus melalui proses bertahap untuk bisa menjadi sempurna.

Penyebab seseorang t idak bergairah untuk mencapai hidup yang tidak bercacat dan tidak bercela juga disebabkan karena memandang gaya hidup seperti ini tidak menguntungkan. Pertanyaan yang bisa muncul dalam pikiran banyak orang adalah apakah yang dapat diberikan oleh kehidupan yang tidak bercacat dan tidak bercela Malahan timbul kecurigaan, jangan-jangan hidup yang tidak bercacat dan tidak bercela membuat hidup tidak bahagia. Gaya hidup yang dianggap tidak wajar bagi kehidupan masyarakat pada umumnya. Di kalangan tertentu orang yang berusaha hidup tidak bercacat dan tidak bercela dianggap fanatik, tidak bisa bergaul dengan masyarakat lain, aneh dan membuat orang lain tidak nyaman. Seharusnya hal ini tidak boleh menjadi alasan, sebab dunia memang memiliki standar yang berbeda. Orang percaya tidak boleh serupa dengan dunia ini.

Kalau orang percaya harus tersisih dan disingkirkan oleh dunia dan dianggap sebagai ancaman, hal itu harus dianggap sebagai kewajaran. Kalau pada zaman gereja mula-mula orang percaya teraniaya oleh orang-orang yang menolak Injil, tetapi pada zaman ini orang percaya yang hidup tidak bercacat dan tidak bercela akan teraniaya oleh orang-orang baik yang tidak mau meningkatkan hidup pada taraf kesucian seperti Tuhan. Banyak orang puas dengan standar hidup sebagai orang baik, dan menolak untuk sempurna.

 Orang percaya yang hidup tidak bercacat dan tidak bercela akan teraniaya oleh orang- orang baik yang tidak mau meningkatkan hidup pada taraf kesucian seperti Tuhan, karena banyak orang puas dengan standar hidup sebagai orang baik, dan menolak untuk sempurna.”

27. MENTAL BLOCK

Apatisme untuk hidup tidak bercacat dan tidak bercela juga disebabkan oleh pengalaman hidup yang telah dilalui, dimana seseorang merasa selalu gagal untuk hidup tidak bercacat dan tidak bercela. Pengalaman hidup dan catatannya menunjukkan bahwa mencapai hidup tidak bercacat dan tidak bercela adalah kemustahilan. Hal ini membangun “mental block”. Banyak orang-orang Kristen seperti ini tidak menyadari keadaannya. Mereka terus terpuruk ke dalam keadaan yang sebenarnya semakin tidak berkenan kepada Tuhan.

 Di antara mereka yang tidak meyakini bahwa manusia bisa melakukan kehendak Allah dengan baik dan tidak meyakini bahwa kesempurnaan dapat dicapai di bumi ini, mencoba menyusun doktrin untuk membela pandangan mereka, yang pada intinya mereka berpendirian bahwa kesempurnaan hanya dapat dicapai nanti di balik kubur. Teologi yang dibangun mereka biasanya teologi yang tidak menuntut manusia mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar. Mereka tidak mengajarkan bahwa manusia harus berjuang untuk mencapai kehidupan yang tidak bercacat dan tidak bercela.

Bagi mereka keselamatan hanyalah terhindar dari neraka dan diperkenan masuk surga. Menurut mereka, semua dikerjakan oleh Allah. Manusia tidak berhakmenentukan “takdirnya”, sebab semua takdir ditentukan oleh Allah. Mereka meyakini hal selamat atau binasa dalam kehidupan seseorang sudah ditentukan atau ditakdirkan secara sepihak oleh Allah. Tidak heran kalau mereka menempatkan Tuhan sebagai kausalitas (penyebab) segala sesuatu, termasuk sebagian manusia yang masuk neraka. Waktu akan menguji apakah ajaran seperti ini mampu membawa umat kepada integritas manusia yang unggul seperti yang dirancang Tuhan atau tidak.

Sesungguhnya manusia harus bertanggung jawab atas hidupnya. Setiap individu menentukan takdirnya. Menjadi seorang yang tidak bercacat atau tidak bercela tergantung individu tersebut. Itulah sebab Petrus mengatakan “siapkanlah akal budimu… Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis Kuduslah kamu, sebab Aku kudus” (1Ptr. 113-16). Firman ini sangat jelas menyatakan bahwa orang percaya harus memiliki kekudusan seperti Allah. Itulah sebabnya Perjanjian Baru tidak memberi peluang bagi orang percaya boleh hidup dalam dosa atau kesalahan. Orang percaya harus sempurna. Ini adalah harga mati yang tidak dapat ditawar. Firman Tuhan sangat jelas menuntut kita untuk hidup tidak bercacat dan tidak bercela, bahkan Tuhan menghendaki agar orang percaya menjadi sempurna seperti Bapa (Mat. 548). Firman Tuhan menghendaki agar orang percaya memiliki kekudusan seperti Bapa. Dalam tulisan Paulus kepada jemaat Korintus jelas sekali dikatakan bahwa mereka harus hidup tidak bercela dan tidak hidup dalam persekutuan dengan orang berdosa. Jika menuruti hal ini, maka Allah akan menerima mereka sebagai anak-anak-Nya (2Kor. 614-18).

 Dalam kamus hidup orang percaya hanya ada satu dari dua pilihan, terang atau gelap. Orang percaya tidak diperkenankan ada di daerah abu-abu atau sebuah level mediokritas (setengah-setengah). Orang percaya harus menempatkan diri di tempat terang dan berperilaku sempurna seperti Bapa. Untuk ini orang percaya harus berjiwa besar dan bermental baja, artinya orang percaya harus berani menerima perintah Tuhan untuk hidup tidak bercacat dengan optimis, bahwa Dia yang memerintahkan orang percaya berbuat sesuatu, pasti Ia menyanggupkannya, sebab Ia memberi fasilitas dan menuntunnya. Dalam suratnya Paulus mengatakan “Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus” (1Tim. 614). Orang yang menolak hidup kudus atau hidup yang tidak bercacat dan tidak bercela berarti menolak menjadi anak Allah. Hal ini hendaknya tidak dipahami sebagai merusak doktrin sola gracia. Memang hanya karena anugerah kita menjadi anak Allah. Tetapi anugerah tidak menempatkan orang percaya secara otomatis berkeadaan sebagai anak Allah. Berkeadaan sebagai anak Allah adalah hasil perjuangan dari orang percaya yang menerima Yesus sebagai Tuhan, atau menempatkan Tuhan sebagai pemilik kehidupan ini. Itulah sebabnya jika seseorang menolak untuk hidup kudus, berarti menolak menjadikan Yesus sebagai Tuhannya.

Pengalaman hidup dan catatannya menunjukkan bahwa mencapai hidup tidak bercacat dan tidak bercela adalah kemustahilan. Hal ini membangun “mental block”.”

 28. BUKAN HANYA YAKIN, TETAPI TAHU

Selama ini bila kita berbicara mengenai kehidupan orang percaya yang tidak bercacat dan tidak bercela, kita diarahkan kepada orang-orang yang dianggap sebagai orang suci dan orang saleh. Biasanya pula selalu dikaitkan dengan kegiatan di sekitar keagamaan. Jika ukuran kehidupan yang tidak bercacat dan tidak bercela adalah kehidupan orang yang meninggalkan kehidupan wajar dan berbiara, betapa mudahnya hidup tidak bercacat dan tidak bercela itu. Kondisi mereka yang hidup dalam biara adalah kehidupan yang jauh dari pergumulan hidup wajar yang dialami mereka yang ada di tengah buasnya dunia, di luar tembok biara. Hidup tidak bercacat dan tidak bercela bukan hanya menyangkut masalah-masalah rohani yang selalu dikaitkan dengan moral. Tetapi bertalian dengan berbagai aspek hidup ini tanpa batas.

Kesalahan memandang hal kehidupan tidak bercacat dan tidak bercela di atas menciptakan strata dalam kehidupan orang percaya . Ada kelompok orang suci dan kelompok lain yang tidak berhak menyandang gelar sebagai orang suci. Padahal Firman Tuhan menyatakan bahwa semua orang percaya yang menerima panggilan sebagai orang percaya yang benar adalah bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri (1Ptr. 29). Kebodohan ini juga akan membangun mental blok dalam kehidupan orang percaya, seakan-akan hanya mereka yang dikelompokkan sebagai orang suci yang dapat hidup tidak bercacat dan tidak bercela. Kesalahan ini juga membangun sikap permisif. Kalau orang suci tidak boleh berbuat kesalahan, sementara sebagai jemaat biasa tidak terlalu dituntut untuk hidup tidak bercacat dan tidak bercela.

 Kehidupan yang tidak bercacat dan tidak bercela harus dikaitkan dengan segenap aspek hidup kita di tengah pergumulan menghadapai dunia dan manusia lain dalam kehidupan konkret. Ini berarti menyangkut moral, etos kerja yaitu kerajinan dan ketekunan bekerja, pola hidup, pola makan, tutur kata dalam berbicara dan bercanda, penggunaan waktu, ketertiban mengatur waktu, ketepatan waktu dalam menghadiri sebuah pertemuan, kesetiaan memenuhi janji, cara berpakaian, kebersihan dan pemeliharaan tubuh dan segala aspek hidup lainnya. Dalam segala aspek hidupnya tidak ditemukan salah dan kurangnya. Hal ini menyangkut perkara-perkara kecil sampai perkara- perkara besar. Justru dari perkara-perkara kecil nampak kebenaran seseorang dalam perkara yang besar. Untuk itu seseorang yang menginginkan dengan benar kehidupan yang tidak bercacat dan tidak bercela akan berlatih setiap hari. Dan setiap malam ia selalu memeriksa, apakah sepanjang hari telah melukis gambar yang indah melalui segala perbuatannya, atau belum.

Kehidupan seseorang yang tidak bercacat dan tidak bercela pasti membawa keteduhan bagi semua orang yang dijumpainya. Sejatinya, semua ini menunjuk keagungan seorang anak Allah yang benar-benar bermental surgawi. Kehidupan orang yang tidak bercacat dan tidak bercela sangat berpotensi menjadi saksi bagi Tuhan. Dari kehidupan yang tidak bercacat dan tidak bercela, seorang anak Tuhan dapat membuktikan bahwa dua ribu tahun yang lalu pernah hadir seorang pria yang mengaku Anak Allah (dan memang Dia adalah Anak Allah), yang menjadi Juru Selamat dunia ini. Perbuatan dan seluruh gaya hidup yang tidak bercacat dan tidak bercela berpotensi menjadi saksi Kristus yang sangat efektif. Sebenarnya inilah pola penginjilan dan kesaksian yang dikehendaki oleh Allah.

Orang yang hidup tidak bercacat dan tidak bercela memiliki keyakinan berdasarkan keberadaan hidupnya setiap hari bahwa dirinya layak masuk rumah Bapa yang Mahakudus dan tinggal bersama dengan orang-orang saleh Tuhan yang pernah hidup di bumi ini. Dalam hal ini setiap orang dapat mengukur dirinya, apakah ia layak menjadi anggota keluarga Kerajaan Surga atau tidak. Sehingga keyakinannya diterima di rumah Bapa bukan hanya berdasarkan keyakinan dalam pikirannya, tetapi fakta kehidupan yang dijalani setiap hari. Orang-orang seperti ini bukan hanya percaya akan masuk surga tetapi tahu. Jadi, keyakinan masuk surga bukan berangkat dari aktivitas nalar lagi (keyakinan di dalam pikiran), tetapi sebuah pengalaman konkret hidup yang melahirkan pengalaman langsung dengan Tuhan, sehingga dirinya tahu bahwa ia akan pasti diterima di rumah abadi.

 Keyakinan masuk surga bukan berangkat dari aktivitas nalar lagi, tetapi sebuah pengalaman konkret hidup yang melahirkan pengalaman langsung dengan Tuhan, sehingga dirinya bukan hanya percaya tetapi ia tahu bahwa ia akan pasti diterima di rumah abadi.”

29. HIDUP DALAM PERSEKUTUAN DENGAN ALLAH

Apa yang kita pahami selama ini mengenai hidup dalam persekutuan dengan Tuhan Bagaimana realisasi konkretnya dalam kehidupan ini Pada umumnya orang kalau sudah melakukan kegiatan agamanya sudah merasa hidup dalam persekutuan dengan Tuhan. Harus dipahami bahwa persekutuan dengan Tuhan tidak cukup demikian.

Kekristenan adalah jalan hidup. Persekutuan dengan Tuhan harus berlangsung setiap saat, setiap jengkal langkah hidup kita, setiap saat tiada henti. Bentuk persekutuan dengan Allah dinyatakan Tuhan dengan kalimat “… supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa,

 di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku” (Yoh. 1721).

Pernyataan Tuhan ini menunjuk adanya kelompok orang-orang yang memiliki kehidupan sesuai dengan kehendak Allah dari berbagai tempat di dunia ini. Walaupun mereka belum tentu menjadi satu secara fisik atau dalam suatu komunitas yang hidup bersama berdampingan, tetapi mereka adalah orang-orang yang dipandang Tuhan sebagai umat yang layak masuk dalam persekutuan dengan Allah. Mereka adalah orang- orang yang dikuduskan oleh Firman (Yoh. 117), tentu juga mereka telah dikuduskan oleh Roh sehingga telah menjadi lukisan Ilahi yang indah. Mereka adalah orang-orang yang sudah memiliki karakter seperti Tuhan Yesus. Hanya orang-orang yang memiliki karakter agung seperti Tuhan Yesus yang dapat berjalan bersama dengan Tuhan setiap saat. Dalam hal ini persekutuan dengan Allah bukan sesuatu yang sederhana. Untuk mencapai kehidupan seperti ini harus dilalui dan dicapai dengan perjuangan yang mempertaruhkan segenap hidup.

Ciri-ciri dari kehidupan seseorang yang dapat bersekutu dengan Tuhan setiap saat, pertama, memfokuskan dirinya kepada kemuliaan bersama dengan Tuhan Yesus. Semua ambisinya dicurahkan pada kerinduan untuk dipermulian bersama-sama dengan Tuhan Yesus, karena memang inilah proyeksi kehidupan oang yang terpilih (Rm. 817; 28-30). Kedua, tidak lagi memiliki kesenangan dari keindahan dunia ini. Keindahan Kerajaan Surga dan kekayaan Allah yang tidak terbatas menjadi warisan abadi yang dimilikinya. Ketiga, hidup tidak bercacat dan tidak bercela dalam segala hal, dari apa yang diucapkan, dipikirkan dan dilakukan. Keempat, mengabdikan diri segenap hidup untuk menyelamatkan jiwa-jiwa, baik mereka yang ada di luar gereja maupun yang ada di dalam gereja. Untuk orang- orang yang ada di dalam gereja harus dibina untuk menjadi corpus delicti. Kelima, hidup dalam ketergantungan penuh kepada Tuhan, sampai tidak memiliki rasa takut terhadap apa pun, selain kepada Tuhan sendiri.

Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang hidup dalam kawasan Ilahi. Sangat berbeda bahkan bertolak belakang dari cara hidup yang telah kita warisi dari nenek moyang kita (1Ptr. 118-19). Dengan cara hidup seperti ini kita masuk ke dalam kehidupan penghayatan sebagai anak- anak Allah. Sesungguhnya orang percaya harus memiliki penghayatan hidup seperti ini. Jika tidak, maka belumlah ia dapat disebut sebagai anak-anak Allah yang sah (huios).

 Allah tidak akan mengadopsi secara sah seseorang yang tidak bersedia masuk ke dalam proses keselamatan-Nya. Keberadaan seseorang sebagai anak Allah bukan hanya berangkat dari tindakan Tuhan menebus dengan darah- Nya, tetapi juga kesediaan individu untuk diubah melalui didikan Bapa.

Kasih karunia Tuhan bisa mengantar orang percaya kepada kehidupan yang luar biasa seperti ini. Jika hanya melakukan kegiatan agama, itu belumlah tujuan dari keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus diberikan. Dari hal ini sebenarnya kita sudah bisa menguji apakah suatu pengajaran benar-benar dari Tuhan atau dari manusia. Kalau pengajaran tidak mengarahkan jemaat pada tujuan hidup ini, maka bukanlah pengajaran yang datang dari Allah. Memang waktu yang akan membuktikan, tetapi harus sedini mungkin kita sudah dapat membedakan dengan nurani yang baik, kecuali nurani seseorang sudah rusak, maka ia tidak akan dapat membedakannya.

Hanya orang-orang yang memiliki karakter agung seperti Tuhan Yesus yang dapat berjalan bersama dengan Tuhan setiap saat.”

30. BERKENAN DI HADAPAN TUHAN

Manusia bisa memiliki segala kelebihan, tetapi kalau tidak berkenan di hadapan Tuhan, semuanya menjadi sia-sia. Manusia tidak berhak hidup untuk siapa pun bahkan untuk dirinya sendiri, kecuali untuk Penciptanya. Kita harus bersyukur dan sungguh-sungguh menghargai kesempatan tidak ternilai menjadi manusia berkenan di hadapan Tuhan, sebab kalau kita menjadi binatang kita tidak akan pernah memiliki kesempatan berkenan di hadapan Tuhan. Hanya manusia yang dapat berkenan di hadapan Tuhan, yaitu dengan melakukan segala sesuatu yang Tuhan kehendaki dan yang Tuhan rencanakan secara tepat. Inilah kehormatan dan kebesaran kita sebagai manusia ciptaan Tuhan.

 Terkait dengan hal ini, kita harus menyadari betapa hebat dan sunguh-sungguh luar biasa diperkenan menyenangkan hati Tuhan, sebab hal ini sama dengan bisa membuat irama atau gerakan di hati Tuhan. Siapa yang bisa mengerakkan kalau bukan manusia yang adalah anak-anak-Nya Jadi, kalau kita menyiakan- nyiakan kesempatan ini, sebaiknya kita tidak pernah menjadi manusia atau tidak pernah ada. Hal ini akan dimengerti lengkap tatkala seseorang terbuang dari hadirat Allah selamanya menjadi sampah abadi. Ia akan menyesali mengapa dirinya pernah ada di bumi ini.

Berkenan di hadapan Tuhan adalah harta abadi yang tidak akan pernah bisa diambil oleh siapa pun. Tidak keliru kalau hal ini bisa dikatakan sebagai “harta surga”, sebab Tuhan tidak akan mengijinkan orang yang tidak berkenan di hadapan Tuhan masuk ke dalam Kerajaan-Nya. Walaupun Tuhan memberi kesempatan untuk mengumpulkan harta di surga dengan cara berusaha berkenan di hadapan Tuhan, tetapi banyak orang mengabaikannya. Mereka lebih suka mengumpulkan harta di dunia, yaitu memuaskan diri sendiri dengan segala keinginan dan cita-citanya sehingga tidak memedulikan sesamanya. Padahal Tuhan memberi waktu yang terbatas di bumi ini untuk menunjukkan atau membuktikan bahwa mereka mengasihi Tuhan dengan berusaha berkenan di hadapan Tuhan. Orang yang gagal berkenan di hadapan Tuhan berarti gagal menjadi anak- anak Allah. Sebab anak-anak Allah yang benar memiliki ciri berkenan di hadapan Tuhan.

Berkenan di hadapan Tuhan adalah hal yang paling rumit dan tersulit dalam kehidupan ini. Oleh sebab itu kita tidak boleh menganggap sepele atau remeh hal ini. Inilah hal yang harus diperjuangkan lebih dari memperjuangkan segala sesuatu. Tetapi sayangnya banyak orang memperjuangkan banyak hal, tetapi tidak memperjuangkan hal ini secara benar. Hampir semua manusia menempatkan hal ini bukan pada urutan utama dan pertama, bahkan ada yang tidak mencantumkannya dalam daftar kebutuhan hidup ini. Mereka menganggap bahwa berkenan di hadapan Tuhan hal yang tidak penting. Tuhan pun juga seakan-akan tidak peduli akan hal ini. Seakan-akan Tuhan pun berdiam diri kalau seorang Kristen tidak menyukakan hati-Nya. Sesungguhnya tidak demikian, Tuhan selalu mengingatkan umat pilihan- Nya untuk menempatkan hal ini pada urutan pertama dan utama dalam hidup.

 Sesungguhnya Tuhan bukan berdiam diri terhadap keadaan manusia yang tidak berkenan di hadapan Tuhan, tetapi Tuhan tidak memaksakan kehendak-Nya terhadap umat untuk dapat menyukakan hati-Nya. Memaksakan kehendak bukanlah hakikat Tuhan. Tuhan tidak akan memaksakan seseorang untuk berkenan di hadapan Tuhan dengan ancaman-ancaman atau menggunakan kuasanya- Nya sehingga secara otomatis seseorang bisa menyukakan hati Tuhan. Gairah berkenan di hadapan Tuhan haruslah mengalir dari diri seseorang yang digerakan oleh dirinya sendiri. Inilah letak misteri kehidupan dari kehendak bebas manusia yang ditaruh Tuhan atas setiap individu. Dengan hal ini setiap individu bisa menunjukkan keberadaan dirinya sebagai individu di hadapan Tuhan yang menempatkan diri sebagai sekutu Tuhan dengan rela, sukacita dan segenap kehidupan.

Tuhan memberi kesempatan setiap saat dan melalui segala hal untuk menyenangkan hati Tuhan. Gairah menyenangkan hati Tuhan dalam diri kita harus bernyala bahkan membara terus tiada henti sampai kekekalan. Oleh sebab itu kita harus bersyukur kalau saat-saat tertentu Tuhan menutup kemungkinan untuk menyenangkan hati sendiri (bisa karena kemiskinan, sakit, kekecewaaan, penindasan dan lain sebagainya), supaya dengan keadaan tersebut kita memiliki peluang lebih besar untuk menyenangkan hati Tuhan dan hidup berkenan di hadapan Tuhan.

 Berkenan di hadapan Tuhan adalah harta abadi yang tidak akan pernah bisa diambil oleh siapa pun, karena itu gairah berkenan di hadapan Tuhan haruslah mengalir dari diri seseorang yang digerakan oleh dirinya sendiri.”

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Jaminsen

Welcome, TO BE LIKE JESUS

Post a Comment

Previous Post Next Post