KESALEHAN AGAMANI
Kesalehan, kata ini berasal dari kata saleh. Saleh artinya
taat, sungguh-sungguh beribadah, suci dan beriman. Kesalehan artinya ketaatan
(kepatuhan)
dalam menjalankan ibadah; kesungguhan menunaikan ajaran
agama. Kesalehan tercermin dalam kehidupan setiap hari. Dalam bahasa Ibrani
terdapat kata yang sejajar dengan kata
saleh ini yaitu tam (םָּת) kata
ini dapat ditemukan dalam Ayub 23. Kata yang sama
dengan itu adalah tsaddig (ִּדַצ
קי). Kata-kata itu
memiliki pengertian perfect, complete, just, lawful, righteous (sempurna,
lengkap, lurus, menuruti hukum, benar). Dalam bahasa Yunani kita menemukan kata
yang berarti saleh atau kesalehan; kata-kata itu antara lain eusebeia (εὐσέβεια).
Kata ini berarti kesucian (holiness) yang terdapat dalam 2 Petrus 311. Kata
yang lain adalah eulabeias (εὐλαβείας) yang berarti menghormati dan takut akan
Allah (fear of God, honour-reverence of God). Kata eulabeias terdapat di dalam
Ibrani 57, Dalam hidup-Nya sebagai manusia, Ia telah mempersembahkan doa dan
permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup
menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya Ia telah didengarkan.
Pada zaman Tuhan Yesus mengenakan tubuh daging, selain
terdapat hukum negara yang diperlakukan di Israel sebagai jajahan Roma, mereka
juga memiliki hukum torat yang dalam segala aspek kehidupan mengatur kehidupan
umat. Agama Yahudi memiliki hukum-hukum atau syariat dan segala sanksinya yang
sangat detail. Dalam Injil dikisahkan mengenai wanita yang kedapatan berzina,
masyarakat dapat menghukum wanita itu dengan melempari batu. Tetapi ironisnya,
pria yang menjadi pasangan wanita tersebut tidak mendapat sanksi yang sama
dengan wanita tersebut. Dalam hal ini nampak diskriminasi, perlakuan terhadap
pria dan wanita yang tidak adil. Di Israel wanita harus mengenakan pakaian yang
pantas menurut hukum taurat, bila melanggar mereka dapat dikenakan sanksi.
Wanita ditempatkan sebagai obyek yang salah dalam membangun kesalehan
masyarakat Yahudi. Hal ini sebenarnya merupakan pelanggaran terhadap hak azasi.
Tetapi karena agama telah memiliki nalar demikian, maka tidak ada yang berani
membantah. Kesalehan hidup masyarakat semacam itu sesungguhnya adalah kesalehan
yang bercacat. Pasti Tuhan tidak menghendaki kesalehan semacam itu. Tuhan Yesus
menentang kesalehan agamani semacam itu. Itulah sebabnya terjadi konflik antara
pemimpin-pemimpin agama Yahudi dengan Tuhan Yesus.
Kalau hukum agama sudah dapat mengatur seluruh tatanan
kehidupan masyarakat, maka agama tidak dapat dipisahkan dengan negara atau tata
kehidupan masyarakat dalam segala aspeknya. Itulah sebabnya mereka memiliki
undang-undang sipil atau semacam syariat yang mengatur seluruh masyarakat dalam
segala aspeknya (moral, politik dan ekonomi). Pelanggaran terhadap
undang-undang sipil berarti pelanggaran terhadap hukum Allah. Dan sesuai dengan
kitab suci mereka, maka pelanggaran terhadap hukum agama (syariatnya) akan
dihukum sesuai dengan apa yang tertulis di dalamnya. Pada umumnya mereka juga
menyatukan antara agama dan negara. Bahkan bisa menyatukan antara agama dan
politik serta ekonomi. Dari hal ini bisa dibangun
negara agama, dimana agama resmi yang diakui sah hanya satu
agama yang memiliki hukum atau syariat yang harus dipatuhi oleh semua warganya.
Biasanya pula pemimpim- pemimpin agama mereka adalah juga pemimpin-pemimpin
negara atau masyarakat. Biasanya pemimpin seperti ini lebih dipatuhi dari pada
pemimpin politis.
Dalam banyak agama, termasuk agama Yahudi, kesalehan dapat
diukur dari melakukan hukum. Pelanggaran terhadap hukum dapat dibuktikan secara
konkret berdasarkan hukum-hukum yang tertulis (hukum syariatnya). Hal ini
memungkinkan, sebab agama mereka memiliki sarana untuk itu. Jadi tidak heran
kalau ada wilayah-wilayah di dunia ini yang tatanan kehidupan masyarakatnya
diatur oleh hukum atau syariat agama. Dalam hal ini kesalehan hidup sudah dapat
terukur dan jelas-jelas secara kasat mata. Di dalam Kekristenan tidak terdapat
hukum-hukum dan tidak terdapat sanksi-sanksinya seperti agama semacam itu.
Karena hal ini, maka dalam masyarakat Kristen bisa terjadi pemisahan antara
agama dan negara. Negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen
tidak memiliki syariat Kristen, tetapi memiliki hukum-hukum yang diwarnai
Injil. Tetapi faktanya lebih demokratis dan agama lain pun bisa lebih mudah
diterima, seperti negara-negara di Eropa. Biasanya juga masyarakatnya lebih
maju dan makmur.
“Kalau hukum agama sudah dapat mengatur seluruh
tatanan kehidupan masyarakat, maka agama tidak dapat dipisahkan dengan negara
atau tata kehidupan masyarakat dalam segala aspeknya.”
2. KESUCIAN YANG BAGAIMANA
Pernahkah kita memperkarakan kesalehan macam apakah
sebenarnya yang dikehendaki oleh Tuhan dalam hidup kita Banyak orang
Kristen yang tidak mengerti ukuran kesalehan yang harus
dikenakan dalam kehidupannya. Oleh karena tidak mengerti, maka standar yang
dikenakan tidak berbeda dengan kesantunan hidup orang-orang di sekitarnya. Yang
mereka anggap sebagai kesantunan moral paling baik itulah ukuran maksimal yang
mereka pahami. Padahal banyak orang di sekitarnya yang melandaskan kesantunan
moral hidupnya berdasarkan keyakinan agama atau kitab suci atau filosofi hidup
mereka di luar kesucian Tuhan. Oleh karena masyarakat telah menganggapnya
sebagai standar umum yang baik, maka banyak orang Kristen mengikuti saja tanpa
mempersoalkannya dengan serius.
Orang-orang Kristen yang tidak mengerti kebenaran Injil
tersebut berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya dengan pemikiran bahwa
yang penting diterima dan dipandang santun di mata masyarakat. Orang-orang
Kristen seperti ini sebenarnya termasuk anggota masyarakat yang baik dalam
ukuran hidup bermasyara kat secara umum. Tetapi sebenarnya mereka belum
mencapai standar kesalehan yang dikehendaki oleh Tuhan. Mereka merasa puas dengan standar kesalehan hidup yang mereka miliki tanpa perjuangan untuk meningkatkannya
selaku anak Tuhan. Tidak sedikit pula orang-orang Kristen yang terbawa arus
kejahatan dunia sehingga dipandang mata masyarakat umum saja tidak santun.
Orang-orang seperti sudah bisa dipastikan tidak mendapat bagian dalam Kerajaan
Surga.
Kalau seorang pembicara di mimbar menganjurkan jemaat untuk
menaati Firman Tuhan, sebenarnya Firman Tuhan yang mana yang harus ditaati
Dalam kehidupan umat Perjanjian baru, tidak ada hukum yang mengatur mereka.
Tidak sedikit yang asumsinya tertuju kepada Sepuluh Perintah Allah (dekalog
atau dasatitah). Cukupkah kesucian orang percaya diukur dari melakukan hukum
yang terdapat dalam Sepuluh Perintah Allah Lagi pula harus dipahami bahwa
pengenaan Sepuluh Hukum Allah dalam kehidupan bangsa Israel tidak bisa
disamakan dengan kehidupan orang Kristen, misalnya mengenai Sabat. Dengan
demikian ketika seorang pembicara menganjurkan agar orang Kristen menaati
Firman Tuhan, anjuran tersebut tidak jelas. Standar ketaatannya tidak jelas
sama sekali.
Hal ini sebenarnya telah berlangsung berlarut-larut. Tetapi
banyak orang Kristen tidak mempersoalkannya. Selain orang-orang Kristen itu
sibuk dengan urusan hidup duniawi, di antara mereka memiliki keyakinan bahwa
mereka sudah menjadi orang terpilih yang pasti akan masuk surga dan pengertian
yang salah mengenai keselamatan atau hal masuk surga tidak ditentukan oleh
perbuatan baik. Pemikiran yang salah ini telah menghambat percepatan
pertumbuhan iman, karena gairah untuk bertumbuh menuju standar kesalehan yang
dikehendaki oleh Allah tidak berkobar sebagaimana mestinya.
Kalau seorang pembicara Kristen menganjurkan umat untuk hidup
suci, sebenarnya kesucian macam apakah yang dimaksud itu Hal ini sama dengan
kasus di atas, mengenai ketaatan kepada Firman Tuhan. Bisa saja kesucian yang
dimaksud oleh pembicara tersebut adalah kehidupan tokoh-tokoh tertentu yang
dianggap sudah dianggap sebagai orang suci. Kalau dipertanyakan kepada
pembicara, apakah diri pembicara sudah memiliki kesucian yang dimaksud atau
yang dianjurkan, maka kemungkinan besar akan dijawab bahwa pembicara sendiri
belum. Lalu kesucian yang bagaimana Semua menjadi serba tidak jelas sebenarnya.
Kesucian hidup orang percaya memiliki ukuran atau standar
kesucian Tuhan Yesus Kristus. Tuhan Yesus Kristuslah ukuran kesalehan dan
kesucian satu-satunya. Tetapi kesucian Tuhan Yesus pun sebenarnya juga masih
abstrak; tidak jelas. Itulah sebabnya setiap orang percaya harus memiliki
pergaulan pribadi dengan Tuhan. Dalam pergaulan pribadi tersebut orang percaya
akan dimuridkan secara pribadi oleh Tuhan Yesus. Hal ini sesuai dengan Amanat
Agung Tuhan Yesus yang menyatakan agar semua bangsa dimuridkan oleh Tuhan
Yesus. Orang percaya bukan murid gereja atau pendeta atau tokoh agama manapun,
tetapi murid Tuhan Yesus. Pelayan-pelayan jemaat hanya menjadi mentor yang
sangat terbatas. Tetapi yang terutama adalah masing-masing individu berurusan
dengan Tuhan.
“Kesucian Tuhan Yesus Kristus adalah standar
kesucian orang percaya, karena Dialah ukuran kesalehan dan kesucian
satu-satunya.”
3. HUKUM YANG TERTULIS DI HATI
Kitab kejadian 1 dan 2 mengisahkan tentang penciptaan
manusia. Tetapi di sana tidak kita temukan fakta dimana Tuhan menetapkan hukum atau
peraturan sebagai upaya mengatur hidup manusia. Dalam Kejadian 126 Alkitab
mencatat manusia diciptakan menurut gambar-Nya, artinya manusia menguasai
makhluk yang lain supaya manusia dapat melaksanakan apa yang dikehendaki Tuhan,
yaitu memerintah bumi ini. Dalam Kejadian 27 ditulis … ketika itulah TUHAN
Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan mengembuskan. Manusia
diciptakan oleh Tuhan menurut rupa dan gambar-Nya, hal ini dimaksudkan agar
manusia dapat memiliki kemampuan mengerti kehendak Tuhan yaitu yang baik, yang
berkenan dan yang sempurna. Dengan kemampuan ini manusia dapat bertindak selalu
sesuai dengan pikiran dan perasaan Allah. Inilah keunggulan yang dimiliki
manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Itulah sebabnya manusia tidak
perlu diberi hukum dan peraturan, sebab manusia sudah mampu melakukan apa pun
yang dikehendaki oleh Tuhan. Sejatinya, manusia bisa berbuat baik dalam ukuran
Tuhan tanpa diatur oleh hukum yang tertulis. Manusia seperti inilah yang
dirancang Tuhan sejak semula.
Seandainya Adam dan Hawa tidak jatuh dalam dosa, maka sangat
besar kemungkinan masyarakat yang sangat harmoni dapat terbangun. Semua manusia
hidup bersama-sama dalam keluarga besar yang sangat indah, mulia dan bahagia.
Tidak dibutuhkan hukum-hukum yang mengatur kehidupan masyarakat serta
sanksi-sanksinya jika melakukan pelanggaran, sebab tidak ada orang yang melakukan
pelanggaran seperti yang terjadi pada kehidupan masyarakat yang sudah jatuh
dalam dosa.
Jadi sesungguhnya,
potensi untuk mencapai kehidupan yang mengerti kehendak Tuhan sudah diberikan
Tuhan kepada manusia sejak semula. Sebenarnya manusia yang sesuai rancangan
Tuhan adalah manusia yang tidak membutuhkan hukum. Akibat kejatuhannya, manusia
tidak bisa mencapai keadaan sempurna seperti yang Bapa kehendaki dan untuk bisa
bermartabat sebagai manusia, bukan sebagai anak Allah, manusia membutuhkan
hukum atau peraturan. Adapun kalau Tuhan memelihara hukum- hukum-Nya di hati
manusia, hal itu karena Ia hendak menunjukkan jejak-Nya dalam kehidupan manusia
dan menjaga kelangsungannya. Kalau tidak ada hukum maka manusia akan berperilaku
seperti hewan. Itulah sebabnya hukum Tuhan -oleh pertolongan Tuhan- masih bisa
tertulis di hati manusia (Rm. 212-16).
Proses penulisan hukum di hati manusia tentu tidak secara
mistis, artinya dengan sendirinya orang tahu apa yang baik dan buruk, tetapi
melalui penerusan dari generasi ke generasi, walau tidak melalui dokumen yang
tertulis tetap, juga melalui lisan. Tentu saja hukum atau pengetahuan mengenai
apa yang baik dan buruk mereka warisi pertama dari Adam, kemudian kepada
anak-anak dan cucu cicitnya. Dalam hal ini Tuhan memelihara hukum tersebut
dalam kehidupan semua manusia. Terkait dengan hal ini, sesungguhnya Tuhan juga
berperkara dengan semua bangsa di dunia ini, sebab Dia adalah Allah yang tidak
pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya. Tidak mengherankan Tuhan juga
menegakkan keadilan dalam kehidupan semua bangsa di bumi ini; orang yang
berlaku sewenang-wenang terhadap sesamanya pasti akan menerima ganjaran,
anak-anak yang melawan orang tua pasti terhukum dan lain sebagainya.
Hukum-hukum yang dipelihara Tuhan masih tertulis di hati
manusia bisa menjadi bukti keberadaan Tuhan. Bukti ini disebut sebagai bukti
moral atau argumentasi moral. Argumentasi ini berpijak pada anggapan pada suatu
fakta bahwa di mana pun di belahan dunia ini terdapat hukum moral atau etika
yang mirip atau sama. Hal ini dapat menunjukkan ada Pribadi yang menjaga
eksistensi hukum- hukum tersebut. Jika Allah tidak menjaganya, maka manusia
sudah punah karena saling membunuh dan membinasakan. Dengan adanya hukum yang
diberikan Tuhan, terutama Dasatitah, Tuhan menunjukkan bahwa diri-Nya adalah
Pribadi yang eksis, yang menciptakan langit dan bumi dan juga menciptakan
manusia yang bisa bermoral atau beretika, tidak seperti hewan. Kalau ternyata
hukum yang tertulis di hati manusia memiliki kesamaan dengan dekalog
(Dasatitah), kesamaan itu antara lain, hal menghormati orang tua, pembunuhan,
perzinaan, pencurian dan lain sebagainya, maka hal itu membuktikan bahwa Allah
yang benar adalah Allah Abraham, Ishak dan Yakub.
“Hukum-hukum yang dipelihara Tuhan masih
tertulis di hati manusia bisa menjadi bukti keberadaan Tuhan, yang disebut
bukti moral atau argumentasi moral.”
4. KEUNGGULAN BANGSA ISRAEL
Tuhan memberi hukum-hukum kepada bangsa Israel sangat lengkap
dan terperinci melalui Musa. Itulah sebabnya Musa sering disebut sebagai guru
bangsa Yahudi. Musa dianggap sebagai pendiri dari agama tersebut. Tidak heran
kalau ada yang pernah menyebut agamanya orang Israel adalah agama Musa.
Hukum-hukum dan semua peraturan untuk menata hidup bangsa Israel dapat
menunjukkan bahwa Allah menghendaki umat pilihan secara darah daging (Israel)
tersebut dapat menjadi umat yang beradab, santun, beretika dan bermoral lebih
dari bangsa-bangsa lain mana pun.
Sebagai umat pilihan dari Allah semesta alam, satu-satunya
Allah yang benar, mereka harus memiliki keunggulan bukan saja mengalami
mukjizat Tuhan, tetapi juga perilaku yang unggul pula. Hal kedua inilah yang
harusnya lebih menonjol untuk menunjukkan keelokkan bangsa Israel sebagai umat
pilihan. Hal ini dapat dibuktikan dalam kenyataan bahwa tidak ada bangsa yang
memiliki hukum sedemikian lengkap dan detail seperti yang dimiliki bangsa
Israel. Dibanding dengan bangsa-bangsa Kanaan atau bangsa-bangsa kuno di
sekitar Kanaan, bangsa Israel adalah bangsa yang memiliki hukum sangat
terperinci.
Adapun kalau kemudian hari muncul agama-agama yang memiliki
kesamaan dengan hukum-hukum atau syariat seperti yang dimiliki bangsa Israel,
tentu tidak bisa dikatakan bahwa bangsa Israel menyontek atau menirunya, sebab
hukum-hukum yang diberikan Tuhan kepada bangsa Israel sudah ada 1500 tahun
sebelum ada agama Kristen dan 2100 tahun sebelum ada agama Islam. Banyak orang
tidak pernah belajar sehingga mereka tidak mengerti bahwa agama samawi (agama
yang diyakini datang dari wahyu Allah) atau agama monoiteisme (percaya adanya
Allah yang Esa) yang pertama kali adalah agama Yahudi atau yang dikenal sebagai
agama Musa. Bangsa Israel telah memeluknya selama ribuan tahun sebelum ada
agama Kristen dan agama Islam.
Satu hal yang harus dipahami bahwa Tuhan menghendaki umat
pilihan secara darah dan daging memiliki moral yang lebih baik dan mulia
dibanding dengan berbagai agama dari bangsa mana pun. Dengan agama Musa dan
hukum-hukum yang begitu lengkap dan detail tersebut bangsa Israel dapat menjadi
bangsa yang utuh sampai hari ini. Jiwa kebangsaan mereka membuat mereka tetap
eksis sampai hari ini, selain tentu pemeliharaan Allah yang sangat khusus dan
istimewa, jiwa nasionalisme mereka membuat mereka tetap mempertahankan
eksistensi mereka. Pemeliharaan Tuhan atas bangsa Israel memiliki kepentingan,
sebab bangsa tersebut harus menjadi saksi bahwa Allah yang benar adalah Allah
Israel; Allah Abraham, Ishak dan Yakub. Dari bangsa itu lahir Mesias yang
dijanjikan; bahwa dari keturunan Abraham semua bangsa akan diberkati. Itulah
sebabnya keselamatan berasal dari bangsa Yahudi. Inilah kepentingan yang kedua.
Ditinjau dari janji
kepada Abraham, bangsa tersebut sebagai umat pilihan adalah kekasih Tuhan (Rm.
1128). Tidak dapat dipungkiri bahwa bangsa-bangsa di Kanaan semua punah, tetapi
bangsa Israel walau sejak tahun 586 sM tidak lagi memiliki kerajaan dan
puncaknya tahun 70 ketika Bait Allah -sebagai lambang kehadiran dan persatuan
bangsa Israel- dihancurkan sehingga tercerai berai, mereka masih bisa kembali
ke tanah airnya dan membangun negerinya. Lebih dari 2500 tahun tidak memiliki
pemerintahan tetapi tetap bisa membangun negara Israel pada tangggal 14 Mei
1948 adalah suatu perbuatan yang hanya bisa dilakukan oleh tangan Tuhan semesta
alam.
Aspek lain yang terjadi, bangsa Israel adalah bangsa yang
sangat arogan. Mereka merasa lebih tinggi derajat dan martabatnya dari bangsa
lain, sehingga mereka memandang rendah bangsa lain. Mereka selalu menyebut
bangsa lain sebagai bangsa kafir yang tidak bersunat. Terkait dengan hal ini,
perlu dimengerti bahwa sunat adalah tradisi keagamaan yang sudah ada sebelum
ada agama Kristen dan Islam. Agama Yahudi adalah agama yang sangat eksklusif,
sebab mereka memperuntukkan khusus untuk bangsa Yahudi saja. Walaupun juga
tidak tertutup kemungkinan bangsa lain (disebut kaum proselit) juga boleh
memeluk agama Yahudi, tetapi mereka tidak berekspansi melakukan siar agama ke
wilayah lain. Mereka merasa bahwa Allah yang menciptakan langit dan bumi hanya
untuk mereka saja.
“Lebih dari 2500 tahun tidak memiliki pemerintahan tetapi
tetap bisa membangun negara Israel pada tangggal 14 Mei 1948 adalah suatu
perbuatan yang hanya bisa dilakukan oleh tangan Tuhan semesta alam. ”
5. MEMPERSIAPKAN JALAN
Tuhan memberikan hukum kepada bangsa Israel juga demi
mempersiapkan bangsa tersebut menyongsong kedatangan Juru Selamat yang mengembalikan
manusia kepada rancangan Allah yang semula. Rancangan semula Allah adalah
menjadikan manusia memiliki moral Tuhan tanpa dibayang-bayangi dan ditekan oleh
hukum atau peraturan. Bagaimana seseorang bisa memiliki moral Allah yang
sempurna kalau moral manusia saja tidak dimiliki Dalam hal ini hukum hanya
menjadi tutor sementara. Nantinya manusia yang mengalami keselamatan dalam
Yesus Kristus dipimpin oleh Roh (Yoh. 814). Dalam hal ini keselamatan adalah
usaha Tuhan mengembalikan manusia kepada rancangan Allah semula untuk menjadi
manusia yang bermoral Ilahi; hidup dalam tuntunan Roh.
Tidak bisa dibayangkan kalau manusia tidak berhukum.
Kelakuan manusia menjadi seperti hewan; tidak beradab. Dengan keadaan tersebut
betapa sulitnya membentuk manusia menjadi manusia yang bermoral dengan standar
Allah. Itulah sebabnya berhubung keselamatan datang dari bangsa Yahudi, maka
Tuhan mempersiapkan bangsa Yahudi yang adalah penerima pertama undangan
keselamatan menjadi manusia yang bermoral agar siap dibawa kepada keselamatan,
yaitu dikembalikannya manusia ke rancangan semula Allah. Untuk dapat mengalami
dan memiliki keselamatan dengan benar perlu adanya persiapan yang cukup dalam
banyak aspek. Itulah sebabnya Tuhan Yesus tidak datang pada zaman yang lain,
tetapi pada zaman Israel sedang dalam penguasaan atau penjajahan Roma , setelah
mereka mengalami masa kegelapan selama ratusan tahun.
Peristiwa pembuangan yang dialami bangsa Israel, yaitu tahun
722 sM atas Israel Utara dan tahun 586 sM atas Israel Selatan (Yehuda) menjadi
latar belakang yang membuat mereka jera untuk hidup menyembah berhala dan mengabaikan
torat. Itulah sebabnya pada zaman penggenapan (kedatangan Tuhan Yesus ke dunia)
mereka tidak lagi menyembah berhala seperti pada zaman raja-raja sebelum
pembuangan. Mereka mulai rajin pergi ke Bait Allah dan mempelajari torat di
sinagog-sinagog (tempat pertemuan orang Yahudi membaca dan belajar torat).
Selain itu mereka sangat menantikan Mesias yang mereka harapkan dapat
melepaskan mereka dari penguasaan bangsa kafir (Roma).
Di balik fakta bangsa Israel yang mulai mencari Allah dengan
tekun beribadah dalam tatanan agama Yahudi, mereka menjadi orang-orang yang
sangat legalistis (melakukan hukum hanya sesuai dengan bunyinya). Formalitas
keberagamaan mereka membuat mereka mengabaikan nilai-nilai batiniah dan unsur
pertobatan yang sejati dari melakukan hukum yang tertulis. Itulah sebabnya
sebelum Tuhan Yesus datang, Allah mempersiapkan kedatangan-Nya dengan
menampilkan Yohanes Pembaptis. Penampilan Yohanes ini memiliki beberapa maksud.
Pertama, penampilan Yohanes dimaksudkan agar masyarakat bisa menerima pola
pertobatan yang berbeda dengan yang sudah ada (pola para imam). Pola pelayanan
Yohanes Pembaptis adalah pelayanan “jalanan”, bukan di Bait Allah atau Sinagog.
Mereka tidak bisa menolak ketika Yohanes menyuruh mereka bertobat dan dibaptis,
sebab ia memiliki sejarah menakjubkan. Mereka mengakui Yohanes sebagai utusan
Allah. Jadi, ketika Yohanes menunjuk kepada Tuhan Yesus yang akan membaptis
dengan Roh dan mengatakan bahwa Dia adalah yang akan menghapus dosa manusia,
orang berbondong-bondong mengikut Tuhan Yesus. Dengan hal ini Tuhan Yesus dapat
mengajarkan Injil kepada masyarakat Israel. Tuhan Yesus dan murid-murid- Nya
melanjutkan pelayanan Yohanes Pembaptis, membaptis masyarakat Israel sebagai
baptisan pertobatan. Tanpa kehadiran Yohanes Pembaptis sulit bagi Yesus sebagai
anak tukang kayu untuk mendapat legitimasi dari masyarakat Yahudi.
Kedua, agar masyarakat Yahudi dan bangsa-bangsa lain yang
beragama Yahudi (kaum proselit) memiliki buah-buah pertobatan. Bukan hanya
melakukan hukum secara legalistis, tetapi sungguh-sungguh mencakup jiwa hukum
tersebut untuk dipenuhi dalam kehidupan secara konkret. Kepada prajurit Roma,
Yohanes berkata agar mereka mencukupkan diri dengan gaji dan tidak memeras dan
merampas (Luk. 314). Hal ini berarti mereka tidak boleh mendatangkan
penderitaan bagi sesama. Yohanes tidak menerima dengan mudah orang- orang yang
mau memberi diri dibaptis. Ia berkata dengan keras bahwa yang penting bukan
keturunan Abraham, tetapi memiliki buah-buah pertobatan yang sejati (Luk.
37-9). Semua ini sebagai persiapan mereka mendengar Injil Kerajaan Surga dan
masuk menjadi anggota keluarga Kerajaan yang bermartabat anak Allah.
“Yohanes Pembaptis adalah pembuka jalan bagi
Yesus, sebab tanpa kehadirannya sulit bagi Yesus sebagai anak tukang kayu untuk
mendapat legitimasi dari masyarakat Yahudi.”
6.MASALAH TERBESAR
Gambar allah yang hilang atau tepatnya kegagalan Adam
mencapai gambar Allah merupakan tragedi yang sangat mengerikan dan menyedihkan.
Karena kegagalan Adam ini semua manusia telah kehilangan kemuliaan Allah. Tidak
ada tragedi yang lebih dahsyat dari hal ini. Kegagalan manusia mencapai tingkat
memiliki gambar Allah dalam dirinya menempatkan manusia sebagai manusia yang
kehilangan kemuliaan Allah. Sebagai akibatnya manusia tidak mampu mengerti
kehendak Allah; yang baik, yang berkenan dan yang sempurna. Idealnya, manusia
memang diciptakan untuk melakukan kehendak Allah dengan sempurna.
Akibat dari makan
buah terlarang, manusia memberontak kepada Allah dan manusia menjadi bersusah
payah dalam bekerja dan berjuang mencari naf kah untuk kelangsungan hidupnya di
bumi ini. Akibat pemberontakan manusia, bumi ikut terhukum, bumi menumbuhkan
onak dan duri. Tetapi hal ini bukan masalah terbesar. Masalah yang lebih besar
adalah bahwa di balik kematian itu terdapat kesadaran abadi. Manusia
diperhadapkan kepada surga kekal atau neraka kekal. Hendaknya k ita t ida k
mema hami bahwa akibat terdahsyat kejatuhan manusia dalam dosa adalah manusia
harus mati, menderita, sakit dan mengalami berbagai penderitaan di bumi ini.
Sebesar apa pun penderitaan yang dialami di bumi, itu hanya berlangsung selama
70 tahun. Semua penderitaan tersebut bersifat sementara atau temporal. Tetapi
yang lebih mengerikan adalah ketika manusia harus terbuang ke dalam api kekal;
masuk neraka dalam kesadaran abadi.
Manusia tidak mampu
melakukan kebaikan yang ideal, kebaikan yang berstandar Tuhan. Ini adalah hal
yang sangat mengerikan. Realitas ini haruslah menjadi realitas yang
menggetarkan jiwa kita. Tetapi faktanya banyak manusia menyepelekan dan
menganggap remeh hal tersebut. Orang-orang yang bersikap demikian tidak akan
berusaha berjuang untuk mengerti kehendak Allah (yang baik, yang berkenan dan
yang sempurna). Kalaupun mereka menjadi Kristen, mereka senang dengan ajaran
yang mengatakan asal percaya dengan pikiran atau nalar sudah selamat, lagi pula
mereka salah dalam memahami konsep keselamatan hanya oleh anugerah. Mereka
beranggapan dengan anugerah tanpa respon, seseorang dengan mudah masuk surga.
Padahal keselamatan dalam Yesus Kristus bukan hanya menghindarkan manusia dari
neraka, tetapi dikembalikan ke rancangan semula Allah. Dengan hal ini
Kekristenan bukanlah sesuatu yang sederhana.
Jadi, masalah terbesar manusia adalah kalau manusia tidak memiliki
kesanggupan mengerti kehendak Allah apa yang baik, yang berkenan dan yang
sempurna, sehingga tidak melakukan kehendak Allah. Akibat dari hal ini manusia
terpisah dari Tuhan sumber kehidupan. Manusia tidak lagi dapat memiliki
persekutuan dengan Allah secara ideal atau tepatnya manusia tidak mampu
memiliki persekutuan dengan Allah. Keadaan manusia yang tidak mampu mengerti
kehendak Allah yaitu yang baik, berkenan dan sempurna menempatkan manusia
kehilangan kemuliaan Allah. Hal ini membuat manusia tidak dapat mengimbangi
kesucian Allah, sehingga manusia tidak dapat memiliki persekutuan yang ideal
dengan Allah.
Memang manusia masih bisa berbuat baik walau telah
kehilangan kemuliaan Allah, sebab Tuhan masih menulis hukum-Nya dalam hati
manusia. Hukum yang tertulis tersebut mengkristal menjadi berbagai agama. Agama
juga menuntun manusia kepada kebaikan, tentu dengan cara pandang mereka
sendiri. Itulah kebaikan yang relatif dan subyektif. Kebaikan seperti itu bukan
saja tidak menyelamatkan tetapi juga tidak dapat mengimbangi kesucian Tuhan.
Kebaikan yang Tuhan kehendaki adalah kebaikan yang ideal, kebaikan yang mutlak
yang dipandang dari sudut pandang Tuhan, bukan dari sudut pandang manusia.
Keselamatan dari Tuhan Yesus memulihkan kehidupan, yaitu bagaimana manusia
dipugar kembali untuk segambaran dengan Tuhan dan dimampukan mengerti kehendak
Tuhan. Oleh sebab setelah menjadi umat pilihan, seseorang harus berjuang untuk
berkenan (2Kor. 59-10). Keberkenanan di hadapan Allah ukurannya adalah
melakukan kehendak-Nya secara ideal, yaitu apa yang baik, berkenan dan
sempurna.
“Masalah terbesar manusia adalah
ketidaksanggupan mengerti kehendak Allah, yaitu apa yang baik, yang berkenan
dan yang sempurna, sehingga tidak melakukan kehendak Allah dan menempatkan
manusia kehilangan kemuliaan Allah.”
7. PEMERINTAHAN ALLAH
Untuk apa Tuhan menciptakan manusia Jawabannya sangat
singkat yaitu “hidup bagi Tuhan”. Hidup bagi Tuhan berarti dalam segala hal
yang dipikiran, diucapkan dan dilakukan, dikerjakan bagi kesenangan dan
kepuasan hati Tuhan. Demikianlah jawabannya jika Alkitab yang menjawab
pertanyaan tersebut. Dengan demikian, pelayanan bagi Tuhan sebenarnya memiliki
tekanan bukan pada kegiatan dalam bentuk apa pun, tetapi semua yang dipikirkan,
diucapkan dan dilakukan selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Tuhan.
Pelayanan pekerjaan Tuhan intinya bukan pada liturgi atau kegiatan gerejani
lainnya seperti misi, diakonia dan lain sebagainya. Dalam hal ini pelayanan
yang sesungguhnya bagi Tuhan adalah menyenangkan hati Tuhan atau memuaskan
perasaan Tuhan melalui segala hal yang kita lakukan.
Agar dapat menyukakan dan memuaskan hati-Nya seseorang harus
memiliki kebaikan. Masalahnya adalah kebaikan yang bagaimana Agar mengerti
ukuran kebaikan yang dimaksud, seseorang harus tahu maksud dan tujuan manusia
diciptakan. Sebab kebaikan apa pun yg dilakukan manusia tidak ada artinya jika
tidak memahami maksud tujuan manusia diciptakan oleh Tuhan. Manusia diciptakan
hanya untuk kesenangan dan kepuasan hati Allah. Jawaban ini mengindikasikan
dengan sangat jelas bahwa manusia tidak berhak hidup untuk dirinya sendiri.
Jika manusia eksis saat ini maka ia harus eksis bagi Tuhan semata-mata. Suka
tidak suka, manusia harus hidup hanya untuk melakukan kehendak-Nya, rencana-Nya
dan tujuan-Nya yang sempurna. Tentu saja manusia harus melakukan kehendak Tuhan
dengan sukacita.
Melakukan kehendak Allah harus diterima bukan sekadar
sebagai kewajiban, tetapi sebagai kebutuhan. Sampai seseorang memiliki natur
atau kodrat hidup hanya untuk melakukan kehendak Allah. Jika manusia tidak
menerima kenyataan ini, itu berarti manusia menjadi pemberontak terhadap Tuhan.
Orang seperti itu lebih baik tidak pernah menjadi manusia.
Jadi, kita harus benar-benar tahu dan mengerti tujuan Tuhan
menciptakan manusia dan menerimanya dengan rela serta sukacita. Manusia yang
baik itu adalah manusia yang tahu untuk apa ia diciptakan oleh Tuhan. Manusia
yang diciptakan Tuhan adalah manusia yang harus bisa melakukan kehendak-Nya,
apa yang baik yang berkenan dan yang sempurna; bukan sekadar melakukan hukum
dan peraturan agama yang ditulis. Manusia harus hidup dalam kehendak Tuhan
artinya dalam segala hal yang dilakukan di dalam hidup ini benar-benar menyenangkan
dan memuaskan perasaan Tuhan.
Dengan cara hidup seperti yang dijelaskan di atas berarti
manusia hidup dalam pemerintahan Allah. Manusia yang hidup dalam pemerintahan
Tuhan lebih dari sekadar hidup dalam hukum atau syariat agama. Kebaikan manusia
tidak cukup diukur dari tindakan melakukan hukum atau syariat agama dan menjadi
orang saleh seperti yang dimiliki manusia pada umumnya. Itu pola keberagamaan
yang tidak berstandar kesempurnaan seperti Bapa. Dalam Kekristenan kita mengenal
pembaharuan pikiran dari hari ke hari dan terus menerus sehingga mengerti
kehendak Tuhan (Rm. 122). Untuk itu manusia harus takut kepada Tuhan. Takut
kepada Tuhan yang benar mendorong seseorang berusaha mengenal kehendak dan
rencana-Nya, sehingga tidak sama seperti dunia ini.
Mengerti kehendak Tuhan bukan hanya karena aturan
hukum-hukum yang ada, tetapi memiliki kepekaan terhadap pikiran dan perasaan
Tuhan. Itulah sebabnya Tuhan mengutus Roh Kudus kepada orang percaya. Namun,
kalau orang percaya tidak merespon karya Roh Kudus, maka Roh Kudus yang diutus
Tuhan tidak berdaya guna menuntun orang tersebut mengerti kehendak Tuhan.
Setiap orang percaya harus merespon Roh Kudus dengan kerinduannya mengerti
kehendak Tuhan, berusaha menggali kekayaan Alkitab untuk mengenali kebenaran
Tuhan. Selalu menyediakan diri bersekutu secara pribadi dengan Tuhan dalam doa.
Inilah orang-orang yang dipersiapkan menghuni dan memerintah di Kerajaan Surga
bersama-sama dengan Tuhan Yesus dalam kemuliaan. Orang yang melakukan kehendak
Tuhan di bumi ini, akan melakukan kehendak Tuhan di kekekalan.
Hal yang harus dicamkan dengan sangat serius oleh kita
sebagai anak-anak Allah, yaitu bahwa kehendak Tuhan tidak cukup diwakili oleh
hukum-hukum dan peraturan-peraturan. Hukum dan peraturan sebanyak apa pun dan
sejelas apa pun, baik deskripsi dan penjelasannya, tidak akan dapat memuat apa
yang menjadi kehendak Tuhan, isi pikiran dan perasaan Tuhan. Hukum dan
peraturan tidak dapat menampung atau memuat kehendak Tuhan yang tak terbatas
serta perasaan Tuhan yang tak terwakili oleh huruf. Seperti misalnya kehendak
Allah bahwa kita harus mengasihi sesama. Larangan membunuh belumlah dapat
mewakili maksud Tuhan agar manusia
mengasihi sesamanya, sebab orang yang tidak membunuh belum tentu mengasihi
sesamanya. Bagaimana bisa merumuskan hukum semacam itu Demikian pula dengan hal
larangan berzina dalam dekalog atau dasatitah belumlah mewakili pengertian zina
yang sesungguh, sebab ketika seseorang memandang lawan jenisnya dan terbakar
hawa nafsunya, berarti sudah berzina. Bagaimana bisa membuktikan kesalahan yang
bersifat batin tersebut
Sebelum manusia jatuh dalam dosa, manusia diberi kemampuan
atau kemungkinan untuk mengerti kehendak Tuahn dengan sempurna. Kemampuan
mengerti kehendak Allah artinya manusiamampumelakukan segala sesuatu yang benar,
baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan secara kasat mata. Tetapi
setelah manusia jatuh dalam dosa, manusia tidak mampu lagi mengerti kehendak
Tuhan dan melakukannya dalam artinya yang ideal. Kebaikan moral yang dapat
dilakukan hanya sebatas yang kelihatan di mata manusia tetapi tidak atau kurang
memperhatikan hal-hal yang bersifat batiniah.
Jikalau Tuhan
memberikan hukum kepada manusia, hal tersebut disebabkan karena manusia tidak
sanggup mengerti kehendak Tuhan yaitu yang baik, yang berkenan dan yang
sempurna. Adapun hukum yang diberikan kepada manusia dimaksudkan agar manusia
tetap eksis, jangan menjadi seperti binatang yang saling membunuh dan akhirnya
makhluk manusia dapat punah dari muka bumi sebelum mengalami keselamatan dalam
Yesus Kristus. Hukum diberikan agar manusia dapat berinteraksi satu dengan yang
lain dan manusia dapat bersosialisasi dalam harmonisasi yang baik. Jadi, hukum
diberikan agar manusia melakukan tindakan yang beradab dan membimbing manusia untuk
menjadi tertib. Aspek lain hukum diberikan untuk membuka mata pengertian
manusia dan membuktikan bahwa manusia tidak sanggup melakukan kehendak Tuhan
dengan sempurna. Dengan demikian manusia disadarkan untuk merasa membutuhkan
Juru Selamat yang menyelamatkan dan menuntunnya untuk mampu melakukan kehendak
Tuhan dengan sempurna.
Sebelum Tuhan Yesus datang ke dunia, manusia dilestarikan
oleh hukum agar manusia tidak punah. Tanpa hukum, manusia menjadi binatang yang
saling membunuh. Ada hukum saja manusia masih saja saling bunuh, apalagi kalau
tidak ada hukum. Jadi, hukum ditaruh Tuhan di hati manusia pada umumnya supaya
manusia masih bisa dipertahankan eksistensinya (Rm. 212-15). Hal tersebut dimaksudkan
Tuhan agar manusia masih bisa dihakimi dan berkesempatan masuk dunia yang akan
datang, yaitu jika mereka memedulikan sesamanya dengan benar. Dan kalau mereka
ada yang berkesempatan mendengar Injil, maka mereka dipulihkan untuk
dikembalikan kepada rancangan Allah semula, yaitu menjadi manusia mengerti
kehendak Allah yang sempurna dan melakukannya.
Tuhan memberikan Roh Kudus-Nya kepada manusia yang
diperbaharui hati dan pikirannya sehingga manusia dapat dikembalikan rancangan
semula Tuhan, yaitu menciptakan manusia yang mampu mengerti kehendak Tuhan dan
melakukannya dengan sempurna. Jadi melakukan hukum dan peraturan itu bukan
tujuan akhir bagi orang percaya dan umat pilihan yang menerima karunia Roh
Kudus. Peraturan hanya digunakan sementara waktu sampai manusia dikembalikan
kepada rancangan semula. Orang yang menerima karya keselamatan Allah dalam
Yesus Kristus adalah orang-orang yang beradab, bermoral mulia dan tidak
mendatangkan bencana bagi sesama, tanpa dibayang-bayangi atau ditekan oleh
hukum. Kebaikan moral telah menjadi naturnya, menyatu dalam jiwanya.
“Melakukan hukum dan
peraturan bukan tujuan akhir bagi orang percaya dan umat pilihan yang menerima
karunia Roh Kudus.”
“Manusia
harus hidup dalam pemerintahan Tuhan lebih dari sekadar hidup dalam hukum atau
syariat agama, dan dalam segala hal yang dilakukan di dalam hidup ini
benar-benar menyenangkan dan memuaskan perasaan Tuhan.”
9. PEMUGARAN GAMBAR ALLAH
Selama ini yang dipahami banyak orang mengenai pemugaran
gambar Allah adalah mengembalikan manusia menjadi baik. Hal ini sebenarnya sama
dengan pemulihan gambar diri. Sesungguhnya belum pernah ada manusia yang
berhasil menemukan gambar diri sebelum Tuhan Yesus. Tuhan Yesus adalah manusia
sejati yang pertama menemukan gambar diri sesuai dengan kehendak Allah. Dalam
membahas pemulihan gambar diri atau pemugaran gambar Allah adalah kebaikan yang
dijadikan standarnya. Standar kebaikan yang digunakan tidak jelas. Biasanya
standar kebaikan yang digunakan adalah standar kebaikan umum, sehingga banyak
ceramah mengenai gambar diri yang tidak berbeda dengan para motivator umum atau
sekuler.
Seminar-seminar mengenai pemulihan gambar diri yang sering
dipaparkan kepada jemaat Tuhan, bahkan kepada para pendeta bukan berdasarkan
pola kesucian atau kesalehan dan kesempurnaan Tuhan. Di antara para pembicarannya
adalah orang-orang yang memang berprestasi dalam dunia motivator dengan seg
uda ng penga l a ma n sebagai pembicara motivator, tetapi mereka tidak memiliki
landasan kebenaran Firman Tuhan. Tanpa disadari telah terjadi penyesatan yang
sangat fatal. Fatal sekali. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan gambar diri
itu (self image) Pada dasarnya gambar diri adalah pemahaman seseorang mengenai
siapa dirinya (who he is) dan harus menjadi apa atau bagaimana dirinya tersebut
(self esteem). Jadi, gambar diri memiliki dua aspek. Aspek pertama adalah aspek
present atau kekinian (who I am now), kedua adalah aspek future atau yang akan
datang (who I will be). Setiap orang memiliki gambar diri. Hanya orang yang
tidak normal yang tidak memiliki gambar diri. Inilah yang membedakan manusia
dengan makhluk lain. Manusia memiliki kesadaran akan dirinya dan pandangan ke
depan hendak menjadi apa dirinya tersebut, tetapi hewan tidak. Dengan demikian
gambar diri adalah pengertian seseorang mengenai siapa dirinya dan harus
menjadi apakah atau bagaimana dirinya sendiri tersebut. Manusia sedang
mengalami krisis gambar diri. Krisis ini melahirkan berbagai krisis kehidupan
lainnya. Krisis gambar diri adalah kegagalan seseorang mengenal siapa dan
bagaimana dirinya di hadapan Tuhan.
Apabila pandangan seseorang salah mengenai bagaimana manusia
sesuai rancangan Allah, maka salahlah semua gerak hidupnya. Ini berarti ia
tidak memiliki pemahaman yang benar mengenai gambar diri. Tidak mungkin
seseorang dapat menyelenggarakan hidup ini dengan benar kalau memiliki gambar
diri yang salah. Gambar diri seseorang menentukan kualitas hidup orang
tersebut. Orang yang tidak memiliki gambar diri yang benar, hidupnya pasti
tidak berkualitas standar. Ini berarti berkeadaan tidak seperti rancangan
semula Allah menciptakan manusia dan kehilangan kemuliaan Allah.
Dikaitkan dengan keselamatan kekal, gambar diri seseorang
menentukan nasib kekalnya. Itulah sebabnya pembangunan gambar diri (rebuild)
atau penyusunan gambar diri (redesign) sama dengan mengerjakan keselamatan.
Sejatinya, pada dasarnya, keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus adalah
pemulihan gambar diri agar manusia dapat dikembalikan sesuai dengan rancangan
semula. Tentu, rencana semula Tuhan atas manusia sangat luar biasa. Bukan
seperti manusia hari ini yang telah “jatuh”.
Jadi, keadaan manusia yang telah kehilangan gambar diri,
maksudnya manusia tidak memahami bagaimana menjadi manusia sesuai rancangan
semula Allah dan memang tidak berkeadaan seperti rancangan semula. Ini adalah
keadaan manusia yang pasti telah kehilangan kemuliaan Allah. Di dalam
keselamatan terdapat usaha Tuhan untuk mengembalikan manusia kepada rancangan
semula Tuhan menciptakan manusia. Hal ini sama dengan proses untuk menjadikan
manusia yang telah jatuh dan rusak menjadi manusia standar menurut Tuhan.
Manusia yang mengalami pemulihan gambar diri sama dengan manusia yang memasuki
proses menemukan kembali kemuliaan Allah yang hilang. Ciri dari orang yang
sudah menemukan gambar diri ini adalah kesalehan seperti yang Tuhan Yesus
peragakan ketika mengenakan tubuh daging seperti kita.
Pemugaran gambar Allah adalah usaha Tuhan mengembalikan
manusia kepada rancangan yang semula, yaitu manusia disanggupkan kembali untuk
mengerti kehendak Tuhan dengan sempurna dan melakukannya sebagai kebutuhan dan
kodrat atau natur. Inilah inti berita baik atau Injil itu. Tuhan menyelamatkan
manusia dan mengembalikan manusia kepada rancangan semula. Ini maksud dari apa
yang dikatakan Tuhan dalam kitab Perjanjian Lama bahwa Tuhan akan memberikan
perjanjian, yaitu akan memberikan hati yang lain dan roh yang baru di dalam
batin manusia, mengantikan hati yang keras menjadi hati yang taat (Yeh.
1119-20, Aku akan memberikan mereka hati yang lain dan roh yang baru di dalam
batin mereka; juga Aku akan menjauhkan dari tubuh mereka hati yang keras dan
memberikan mereka hati yang taat, supaya mereka hidup menurut segala ketetapan-Ku
dan peraturan-peraturan-Ku dengan setia;maka mereka akan menjadi umat-Ku dan
Aku akan menjadi Allah mereka).
Pernyataan Yehezkiel ini harus dipahami dengan benar. Memiliki “hati yang
lain” tidak bisa terjadi secara mistis dan tidak bisa terjadi secara mudah,
apalagi otomatis. Itulah sebabnya semu a ba ngsa ha r u s dimuridkan oleh Tuhan
Yesus. Kalau keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus hanya membuat manusia bisa
berubah menjadi baik karena mempelajari hukum- hukum atau suatu pandangan
teologi, maka tidak lebih elok dari berbagai agama yang juga menawarkan hal
yang sama. Kekristenan menawarkan keselamatan yang dapat mengubah manusia,
dimana manusia mampu melakukan kehendak Allah yang sempurna dan melakukannya
bukan sebagai kewajiban, tetapi sebagai kebutuhan karena hal itu telah menjadi
kodrat atau naturnya. Inilah hati yang lain itu. Dalam hal ini seseorang dapat
memiliki pikiran dan perasaan Kristus (Flp. 25, Hendaklah kamu dalam hidupmu
bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus).
Inilah standar kesalehan dan kesucian orang percaya sebagai umat pilihan.
Memiliki pikiran dan perasaan Kristus adalah panggilan. Ini
bukan bukan sesuatu yang dapat terjadi atau berlangsung secara mudah atau
otomatis. Dalam teks aslinya di Filipi 25 dalam salah satu terjemahan bahasa
Yunani terdapat kata phroneite (φρονεῖτε) yang memiliki sifat perintah. Terjemahan
lain menerjemahkan phroneistho (φρονείσθω). Phroneite keterangannya adalah kata
kerja imperative present active 2nd person plural, dari akar kata phroneo (φρονέω).
Sedangkan phroneistho adalah kata kerja dengan keterangan present passive
indicative 3rd person singular dari akar kata phroneo. Dua-duanya adalah
kalimat perintah.
Phroneite dan phroneistho bertalian dengan kata phroneo yang
bisa berarti cara berpikir (mindset), juga bisa berarti nurani. Dalam bahasa
Inggris kata phroneo juga diterjemahkan attitude, yang sama dengan manner
(sikap). Terjemahan attitude dan manner untuk phroneo sebenarnya kurang tepat,
tetapi bisa diterima dengan alasan bahwa sikap yang nampak dalam perilaku
konkret kehidupan setiap hari adalah cerminan dari keadaan manusia batiniahnya
atau cara berpikirnya. Harus diingat bahwa menjadi baik saja bukan sesuatu yang
mudah, apalagi memiliki kesempurnaan dimana seseorang dapat memiliki pikiran
dan perasaan Kristus (cara berpikir-Nya). Kalau ini suatu panggilan, berarti
orang percaya harus berjuang dengan sungguh- sungguh untuk memenuhinya.
Membangun mindset atau cara berpikir bukanlah sesuatu yang
mudah. Membutuhkan waktu dan kerja keras untuk mengubah berbagai konsep dan
filosofi yang sudah terlanjur mengakar dalam pikiran. Melalui proses
pembaharuan pikiran setiap hari atau mengenal kebenaran, seseorang dapat
diubahkan atau dimerdekakan sehingga dapat memiliki cara berpikir Kristus.
Sehingga melakukan kehendak Allah menjadi natur dalam kehidupannya. Mereka bukan
“melakukan” hukum karena ancaman adanya hukum dan faktor lain, tetapi mereka
melakukan kehendak Allah karena “kebutuhan”. Inilah yang disebut sebagai
kelahiran baru. Dalam hal ini Kekristenan sangat bebeda dengan keberagamaan.
“Kekristenan
menawarkan keselamatan yang dapat
mengubah manusia, dimana manusia mampu melakukan kehendak Allah yang sempurna
dan melakukannya bukan sebagai kewajiban, tetapi sebagai kebutuhan karena hal
itu telah menjadi kodrat atu naturnya. ”
11.PROYEK YANG LUAR BIASA
Sekarang kita sudah mendapat gambaran yang jelas bahwa
manusia diciptakan Tuhan dengan keadaan segambar dengan Allah. Ini berarti
manusia
dapat berpikir seperti Tuhan berpikir, bertindak seperti
Tuhan bertindak dan melakukan segala hal sesuai dengan pikiran dan perasaan
Tuhan. Dalam hal ini sebenarnya atau seharusnya manusia mampu berkenan di
hadapan Tuhan, walaupun tanpa diberi peraturan, hukum dan syariat. Kejatuhan
manusia ke dalam dosa melenyapkan kemampuan ini. Puji Tuhan, oleh kematian Tuhan
Yesus di kayu salib, Tuhan memberikan Roh-Nya yang kudus yang menuntun,
memuridkan dan mendewasakan, agar umat pilihan dapat dikembalikan kepada
kemampuan semula itu. Oleh sebab itu hendaknya kita tidak menyia-nyiakan
anugerah dan kesempatan ini. Hendaknya tidak menjadi orang Kristen yang hanya
mengenal liturgi gereja atau datang kebaktian, tetapi harus memandang rancangan
Bapa yang besar, yaitu menciptakan manusia segambar kembali dengan diri-Nya. K
ita ha r us menjad i ka n ha l dikembalikan ke gambar semula sebagai sesuatu
yang mutlak penting melebihi segala sesuatu yang kita upayakan dalam hidup ini.
Inilah yang dimaksud Tuhan Yesus mendahulukan kerajaan Allah dan kebenarannya
(Mat. 633). Untuk ini, pikiran kita tidak boleh dipenuhi dengan
keinginan-keinginan dunia, kekhawatiran dan ketakutan terhadap ha l-ha l ya ng
menyangkut pemenuhan kebutuhan jasmani. Namun demikian ini bukan berarti kita
boleh santai dan tidak bekerja keras sehingga mengalami kesulitan dalam
keuangan dan kesehatan.
Kesempatan untuk dikembalikan kepada kemampuan semula ini
adalah anugerah yang tiada tara. Anugerah ini tidak dapat terbeli dengan uang.
Justru uang sering menghambat pertumbuhan iman, yaitu ketika seseorang
mencintai uang. Anugerah ini juga bisa tidak terbeli oleh waktu, sebab kalau
waktu ini berlalu dan kita tidak menggunakan kesempatan ini dengan baik, maka
tidak akan ada kesempatan sama sekali. Memang faktanya banyak orang menukar
kesempatan untuk diproses dikembalikan ke rancangan semula Allah dengan uang
atau harta. Suatu hari nanti mereka akan menyesal sebab semua yang diusahakan
selama hidup dengan suah payah akan lenyap dalam sekejap.
Oleh sebab itu, selagi masih ada kesempatan kita harus
menggunakan waktu untuk menerima penggarapan dari Tuhan, sampai suatu hari
nanti kita didapati Tuhan memiliki kehidupan pribadi seperti yang Dia inginkan
dan Bapa bisa menyatakan bahwa kita adalah anak-anak yang berkenan kepada-Nya.
Allah Bapa tidak mungkin menyelamatkan kita tanpa mengubah diri kita terlebih
dahulu untuk masuk menjadi anggota keluarga-Nya. Dan tidak mungkin kita bisa
mengalami perubahan tanpa kesediaan dibentuk atau diproses secara proporsional
melalui segala peristiwa hidup yang kita alami.
Setiap hari, ketika kita mulai membuka mata pada pagi hari,
kita menetapkan hati untuk berubah, yaitu bertumbuh menjadi pribadi yang mampu
mengerti kehendak Tuhan, berpikir dan berperasaan seperti Kristus (Flp. 24-7).
Hal ini tidak boleh dikalahkan oleh kesibukan dan segala masalah yang terjadi
dalam kehidupan kita. Kita harus selalu berpikir bahwa kesempatan untuk berubah
akan segera lenyap dan kita kehilangan kesempatan itu untuk selamanya.
Perubahan-perubahan yang dengan sengaja diperjuangkan akan membangun suatu
kepekaan sehingga seseorang benar- benar mengerti apa yang diingini-Nya; apa
yang baik, yang berkenan dan yang sempurna.
Oleh sebab itu ketika menjadi Kristen kita sedang dibawa
kepada proyek yang luar biasa ini, proyek dimana kita dikembalikan pada
rancangan Tuhan yang semula, ini proyek yang sangat penting. Untuk itu kita
harus kerja keras, kita harus mengerti semua apa yang diajarkan Tuhan Yesus,
dan kita terus sungguh-sungguh belajar kebenaran Tuhan tiada henti, sebab
kebenaran itu yang akan memerdekakan. Inilah keistimewaan Kekristenan yang
orisinal. Bukan sekadar mengajarkan hukum-hukum dan peraturan dan suatu
pandangan teologi tertentu, tetapi mengubah hati oleh pimpinan Roh Kudus. Memahami
teologi dalam nalar tidaklah cukup. Harus disertai kesediaan untuk
mengaplikasikan setiap kebenaran dalam kehidupan secara konkret.
“Allah Bapa tidak mungkin menyelamatkan kita
tanpa mengubah diri kita terlebih dahulu untuk masuk menjadi anggota
keluarga-Nya. Dan tidak mungkin kita bisa mengalami perubahan tanpa kesediaan
dibentuk atau diproses secara proporsional melalui segala peristiwa hidup yang
kita alami. ”
12. HANYA OLEH ANUGERAH
Banyak sek ali orang Kristen yang tidak memiliki perjuangan
yang benar atau secara proporsional untuk bertumbuh dalam kesalehan atau
kesucian. Hal ini disebabkan karena mereka salah memahami maksud pernyataan
Firman Tuhan yang mengatakan bahwa keselamatan diperoleh bukan karena perbuatan
baik. Mereka berpikir perbuatan baik tidak menyelamatkan, maka mereka merasa
sudah selamat karena secara nalar sudah percaya bahwa Yesus Kristus adalah
Tuhan. Padahal kelakuan hidup mereka tidak sesuai dengan kesucian Tuhan, bahkan
ada yang lebih buruk dari orang non Kristen. Mereka berusaha yakin bahwa dirinya
sudah selamat dan nanti kalau meninggal dunia diperkenan masuk surga.
Banyak orang Kristen
terjebak dalam kebodohan ini. Tanpa disadari mereka tidak memiliki gairah yang
proporsional atau semestinya untuk memperkarakan kesalehan dan berusaha untuk
sungguh-sungguh hidup saleh.
Dalam Kekristenan, orang percaya diajar untuk memiliki
pikiran dan perasaan Kristus (Flp. 25-7), hal ini sejajar dengan Matius 548
dimana orang percaya harus sempurna seperti Bapa. Pada dasarnya Kekristenan adalah
jalan hidup dimana orang percaya menjadikan Tuhan sebagai hukumnya. Segala
sesuatu yang dilakukan harus sesuai dengan pikiran dan perasaan Tuhan. Hal ini
diusahakan bukan untuk selamat, sebab keselamatan telah dikerjakan oleh Tuhan
Yesus di kayu salib. Tanpa pengorbanan Tuhan Yesus perbuatan baik bagaimanapun
tidak menyelamatkan sama sekali. Tetapi setelah seseorang menerima karya salib,
yaitu bagaimana Allah menyelesaikan dosa manusia, maka ia harus mengisi
keselamatan dengan berjuang menjadi sempurna seperti Bapa atau memiliki gaya
hidup yang diteladankan oleh Tuhan Yesus. Tetapi karena merasa sudah terpilih
sebagai orang yang selamat dan meyakini bahwa perbuatan baik tidak ada artinya
untuk keselamatan, maka mereka menjadi ceroboh dalam mengisi hidupnya.
Sementara mereka tidak memiliki gairah yang benar untuk
bertumbuh dalam kesalehan atau kesucian Tuhan, pengaruh dunia masuk ke dalam
kehidupan mereka. Cara berpikir anak-anak dunia mewarnai jiwa mereka sehingga
pada dasarnya mereka tidak berbeda dengan anak-anak dunia. Tetapi mereka merasa
berbeda sebab mereka masih ke gereja dan melakukan kegiatan-kegiatan rohani.
Tidak sedikit mereka yang masih arogan dengan hidup Kekristenan mereka yang
masih dijalani dengan kemampuan berbicara mengenai Tuhan atau berteologi.
Padahal sebenarnya mereka buta, telanjang dan miskin.
Biasanya orang-orang yang berpikir salah seperti di atas
sangat menentang ajaran yang mengajarkan umat untuk berusaha hidup suci.
Seakan-akan orang yang berprinsip bahwa kehidupan Kristen adalah perjuangan
untuk hidup suci melakukan dua kesalahan. Pertama, berusaha mencapai
keselamatan dengan perbuatan baik. Padahal mereka tidak berpikir demikian.
Keselamatan jelas bukan karena perbuatan baik. Tetapi karena anugerah. Setelah
memiliki anugerah, orang percaya harus dimuridkan untuk menjadi sempurna. Usaha
untuk hidup suci bukan untuk masuk surga, tetapi untuk dimuliakan bersama-sama
dengan Tuhan Yesus dan sebagai respon terhadap anugerah, bahwa kita harus kudus
seperti Bapa kudus adanya.
Kedua, mereka menuduh orang yang berusaha hidup suci
seakan-akan mau mengandalkan kekuatan sendiri mencapai kesucian. Padahal tidak
demikian. Kesucian tidak dapat dicapai tanpa fasilitas keselamatan atau
anugerah yang Tuhan sediakan. Fasilitas tersebut adalah pengampunan dosa, Injil
Kerajaan Allah yang menyelamatkan, Roh Kudus yang menuntun orang percaya kepada
segala kebenaran dan terakhir adalah penggarapan Tuhan melalui segala peristiwa
kehidupan. Karena Allah bekerja dalam segala hal mendatangkan kebaikan bagi
orang yang mengasihi Dia. Tanpa fasilitas keselamatan atau anugerah yang Tuhan
berikan, tidak ada seorang pun bisa mencapai kesempurnaan yang Tuhan kehendaki.
Adalah salah kalau seseorang mencapai kesucian dengan kekuatan sendiri.
Kesucian hanya dapat diraih oleh anugerah Tuhan semata-mata, tetapi setiap
individu harus meresponinya, karena kesucian atau kesalehan tidak bisa terjadi
secara otomatis atau dengan mudah. Perjuangan itu bukan bermaksud mengandalkan
kekuatan sendiri, tetapi meresponi anugerah-Nya.
“Usaha
untuk hidup suci bukan sekadar untuk masuk surga, tetapi untuk dimuliakan
bersama-sama dengan Tuhan Yesus dan sebagai respon terhadap anugerah
keselamatan.”
13. BERTEKUN
Pengajaran yang merusak bangunan kehidupan iman Kristen yang
murni adalah pandangan yang menyatakan bahwa orang Kristen sekali selamat tetap
selamat, tanpa memberi pengertian yang jelas yang mengenai keselamatan itu
sendiri. Sehingga banyak orang Kristen yang merasa sudah selamat karena sudah
merasa percaya dan sudah selamat. Prinsip mereka bahwa sekali seseorang mengaku
percaya dan yakin sudah selamat maka orang itu tidak akan terhilang. Di dalam
pikiran mereka, bahwa apa pun yang terjadi akhirnya mereka masuk surga, sebab
mereka sudah ditentukan dan dipilih untuk selamat. Bagaimanapun akhirnya mereka
selamat, selamanya selamat. Mereka diyakinkan oleh pengajaran yang salah
tersebut bahwa mereka tidak akan masuk neraka. Inilah yang membuat Kekristenan
sebagai jalan hidup tidak tampil sebagaimana mestinya.
Lebih rusak lagi ketika diajarkan bahwa nasib seseorang
dalam kekekalan telah ditetapkan atau digariskan. Satu kali ditetapkan untuk
selamat maka selamanya pasti selamat. Sehingga orang Kristen tidak perlu cemas
lagi terhadap nasib di kekekalan nanti. Semua sudah beres, demik ian f ilosof
inya. Mereka menganggap itu adalah ajaran yang teragung dalam Alkitab. Padahal
justru itu adalah ajaran yang sangat berbahaya. Alkitab tidak mengajarkan hal
ini sama sekali. Ajaran ini dibangun dari premis yang sudah salah, sehingga
memaksakan ayat-ayat Alkitab mendukung presmis tersebut. Tentu saja ajaran ini
menyenangkan bagi orang yang hanya mau beragama Kristen tanpa mengerti bahwa
Kekristenan adalah jalan hidup untuk mengisi hidup dalam proses menjadi sempurna
seperti Bapa atau panggilan memiliki pikiran dan perasaan Kristus. Kekristenan
adalah jalan yang sukar, bukan jalan yang mudah. Sama sekali bukan jalan yang
sudah ditakdirkan.
Mereka yang mengikuti ajaran yang salah tersebut berpikir
bahwa orang-orang Kristen yang ditentukan dan dipilih untuk selamat akan dibuat
Tuhan bisa bertekun dalam iman. Dengan pemikiran tersebut maka mereka dengan
sendirinya akan dapat bertekun. Ketekunan disediakan oleh Tuhan. Manusia tidak
perlu mengusahakan ketekunan karena akan dapat bertekun dengan sendirinya.
Allah, yang menentukan dan memilih mereka selamat, bertanggung jawab
menyediakan ketekunan tersebut. Sebenarnya mereka tidak mengerti pengertian
bertekun secara benar.
Kata bertekun dalam bahasa Yunaninya adalah proskarteresis
(προσκαρτέρησις) dalam bahasa Inggris diterjemahkan perseverance. Ada beberapa
kata “ketekunan, atau bertekun, atau tekun” dalam Alkitab terjemahan bahasa
Indonesia yang berasal dari beberapa kata, misalnya hupomeno (ὑπομένω) yang
berarti bertahan. Kata ini dalam Roma 1212 digunakan oleh Paulus yang juga
memiliki pengertian bertekun (perseverance). Dalam beberapa Alkitab terjemahan
bahasa Inggris diterjemahkan perseverance. Kata lain adalah prosekho (προσέχω)
yang memiliki pengertian selain bertekun, juga memberi perhatian dengan sangat
kuat. Terdapat pula kata epimeno (ἐπιμένω) yang berarti tetap tinggal atau
tetap menetap atau juga bisa dipahami sebagai terus menerus. Kata yang memiliki
pengetian bertekun adalah agonizomai (ἀγωνίζομαι). Tetapi kata ini lebih tepat
diterjemahkan berjuang.
Bertekun menunjuk perjuangan dari masing-masing individu.
Jika tidak demikian berarti “dibuat bertekun” tanpa orang itu mengingini usaha
untuk ketekunan itu sendiri. Ini berarti pula manusia hanya menjadi boneka.
Padahal Firman Tuhan jelas mengatakan bertekunlah dan berjuanglah (Mat. 2413;
Luk. 1324; Rm. 1212; Kol. 42; 1Tim. 13; 16 dan lain sebagainya). Kalau
ketekunan seseorang adalah karunia, artinya Tuhan yang menggerakkan dan manusia
bersikap pasif, maka manusia tidak lagi perlu bertanggung jawab dan itu juga
berarti tidak pantas menerima mahkota atau upah, sebab usaha ketekunan itu
tergantung Tuhan bukan pada manusia. Dalam teologi mereka, orang percaya diajar
untuk meyakini bahwa ketekunan itu akan diberikan oleh Tuhan. Hal ini
menciptakan Kekristenan yang imajiner atau fantasi. Faktanya kita melihat
orang-orang Kristen di Eropa yang pada umumnya menganut teologi tersebut
menjadi lumpuh dan mati.
“Dalam teologi mereka yang salah, orang percaya
diajar untuk meyakini bahwa ketekunan itu akan diberikan oleh Tuhan. Hal ini
menciptakan Kekristenan yang imajiner atau fantasi.”
14. TUHAN TIDAK BERTINDAK BODOH
Pengajaran yang merusak kehidupan iman Kristen murni yang
diajarkan oleh Tuhan Yesus adalah ketika muncul doktrin bahwa keselamatan
seseorang ditentukan oleh ketekunan Allah. Mereka berpendapat bahwa ketekunan
orang percaya ditentukan oleh ketekunan Allah. Kalau Allah menentukan dan
memilih seseorang untuk selamat, maka Allah akan memberi ketekunan-Nya bagi
orang itu. Dengan penjelasan lain, kepada orang yang ditentukan dan dipilih
selamat tersebut Allah bertekun untuk menyelamatkannya. Sebenarnya hal
ketekunan Allah kita tidak menyangsikannya lagi; bahwa keselamatan hanya oleh
anugerah artinya karena Allah sudah bertekun untuk itu dan terus menyediakan fasilitas
keselamatan-Nya untuk tercapainya tujuan keselamatan itu. Masalahnya sekarang
terletak pada manusia, kita yang adalah obyek keselamatan itu sendiri.
Biasanya hal ini ketekunan Allah dikaitkan dengan
providensia (pemeliharaan) Allah, bahwa Allah bukan saja menciptakan langit dan
bumi tetapi juga terus menerus menopangnya. Tanpa providensia Allah, jagad raya
ini akan chaos (kacau balau) dan semua manusia tidak memiliki kehidupan. Allah
memberi oksigen yang berlimpah, hujan pada musimnya, sinar ultra violet yang
memberi kehidupan dan lain sebagainya. Dengan dasar itu mereka berpendirian
pula bahwa keselamatan bukan hanya dikerjakan oleh Tuhan Yesus di kayu salib,
tetapi juga keselamatan masing-masing individu ditentukan sepihak oleh Allah.
Pandangan di atas ceroboh dan dipaksakan. Kalau Allah
memberikan providensia-Nya untuk kehidupan jasmani, Ia memberikan secara adil
kepada semua orang tanpa diskriminasi. Faktanya juga dalam kehidupan fisik
tidak sedikit orang yang tidak percaya lebih sukses dibanding orang Kristen.
Ternyata Tuhan pun juga menegakkan keadilan-Nya, bahwa apa yang ditabur
seseorang itu juga dituainya (Gal. 67). Adapun mengenai keselamatan, hal yang
berbeda. Masing- masing individu bertanggung jawab meresponi anugerah
keselamatan dengan tanggung jawab, bukan ditentukan sepihak oleh Allah dalam
ketekunan-Nya. Kalau Allah selalu mengistimewakan umat pilihan, berangkat dari
providensia- Nya secara fisik, maka kalau konsisten paralel mestinya Allah juga
membuat pembedaan antara orang percaya dan orang yang tidak percaya. Tetapi
ternyata tidak (Mat. 545). Ini berarti hal mengenai keselamatan berbeda. Juga
berlaku hukum bahwa apa yang ditabur seseorang juga akan dituainya. Ini berarti
manusia harus bertanggung jawab atas semua tindakannya, juga dalam kerangka
keselamatan kekal.
Adalah ceroboh ketika providensia Allah secara secara
jasmani diparalelkan dengan keselamatan jiwa. Ini adalah konsep yang
dipaksakan, sama dengan pemilihan Israel (Yakub) sebagai umat pilihan dengan
pemilihan individu (Agus, Bambang, Joko, Endang dan lain-lain). Pemeliharaan
Allah atas jagad raya diberikan rata dan adil. Juga tetap berlaku hukum tabur
tuai. Walaupun bukan orang Kristen, tetapi kalau rajin bekerja, jujur dan
bertanggung jawab ternyata bisa sukses dalam kehidupan jasmaninya. Adapun mengenai
keselamatan, masing-masing individu harus meresponinya secara bertanggung
jawab. Injil diberitakan, apakah seseorang menerima atau menolaknya, tergantung
masing-masing individu.
Kalau seseorang sudah menjadi orang Kristen, entah dari
latar belakang keluarga karena terlahir sebagai orang Kristen, mengikuti agama
pasangan hidup yang Kristen atau alasan apa pun, selanjutnya apakah ia mau
bertekun atau tidak tergantung masing-masing individu. Keselamatan adalah usaha
Tuhan mengembalikan manusia kepada rancangan Allah semula. Apakah seseorang
meresponi anugerah-Nya dengan bertekun mendengar Firman, belajar menangkap
setiap kejadian dalam hidupnya yang melaluinya Tuhan membentuk atau menolak,
tergantung masing-masing individu. Betapa kacaunya pemikiran yang memandang
Tuhan bertindak bodoh dengan membuat diri-Nya bertekun demi keselamatan
seseorang dan tidak memedulikan orang lain atau membiarkan orang lain binasa
dengan tidak memberi kesempatan sama sekali. Padahal Firman Tuhan mengatakan
bahwa Tuhan tidak menghendaki seorang pun binasa (2Ptr. 39, karena Ia
menghendaki supaya jangan ada yang binasa, melainkan supaya semua orang
berbalik dan bertobat). Tidak mungkin Tuhan mengusahakan seseorang bertobat dan
membuat orang lain tidak bisa bertobat.
“Betapa kacaunya pemikiran yang memandang Tuhan
bertindak bodoh dengan membuat diri- Nya bertekun demi keselamatan seseorang
dan tidak memedulikan orang lain atau membiarkan orang lain binasa dengan tidak
memberi kesempatan sama sekali.”
5.PROYEKSI KEHIDUPAN
Kesempatan untuk dikembalikan kepada rancangan semula, yaitu
bagaimana memiliki kemampuan untuk melakukan kehendak Allah tanpa
dibayang-bayangi hukum dan diancam hukuman, adalah anugerah yang tiada tara.
Inilah sesungguhnya inti dari anugerah Allah bagi kita. Anugerah Allah tidak
cukup dikalimatkan bahwa oleh korban Tuhan Yesus di kayu salib kita
diperdamaikan dengan Allah dan secara otomatis kita bisa memiliki persekutuan
yang harmoni dengan Dia. Korban Tuhan Yesus di kayu salib memberi jalan kepada
manusia untuk dapat menemukan Allah. Tetapi manusia harus menyambut anugerah
tersebut dengan belajar menjadi murid Tuhan Yesus agar memiliki kesalehan
seperti Dia.
Menjadi orang saleh
bukan bermaksud supaya kita selamat. Keselamatan bukan karena kesalehan kita,
tetapi oleh karena anugerah Tuhan Yesus Kristus. Ini harga mati yang tidak
dapat diubah sama sekali. Tetapi setelah kita memiliki kesempatan diperdamaikan
dengan All ah , kita harus bertumbuh menjadi manusia yang saleh
seperti kesalehan yang dikenakan atau diperagakan oleh Tuhan Yesus. Hanya dengan memiliki kesalehan seperti Tuhan Yesus seseorang dapat memiliki
persekutuan yang harmoni dengan
Tuhan. Itulah sebabnya Tuhan berfirman Kuduslah kamu sebab Aku kudus (1Ptr. 614-16). Di bagian lain Firman Tuhan mengatakan Sebab itu Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu (2Kor. 617).
Pertanyaan yang bisa muncul adalah Bagaimana kalau
seandainya seorang Kristen gagal memiliki kesalehan yang berstandar Tuhan
Yesus, apakah berarti dibuang ke dalam api kekal atau masuk neraka Tentu saja
tidak atau belum tentu. Di dalam Alkitab kita menemukan banyak ayat yang
mengatakan bahwa setiap orang akan dihakimi menurut perbuatannya. Setiap orang
berarti semua manusia termasuk orang Kristen. Mereka yang berbuat jahat masuk
ke dalam api kekal, mereka yang tidak sempurna tetapi berkategori berbuat baik
bisa masuk dunia yang akan datang sebagai anggota masyarakat dan mereka yang
memiliki kesalehan seperti Tuhan Yesus, berkodrat Ilahi menjadi anggota
keluarga Kerajaan dimuliakan bersama-sama dengan Tuhan Yesus. Itulah karenanya
Paulus mengatakan bahwa ia berusaha berkenan kepada Allah, sebab setiap orang
harus menghadap takhta pengadilan Allah (2Kor. 59-10).
Oleh sebab itu seharusnya perjuangan untuk menjadi saleh,
artinya memiliki kekudusan, haruslah merupakan perjuangan yang melebihi semua
perjuangan yang lain. Idealnya ini adalah satu-satunya perjuangan yang kita
miliki sebagai orang yang terpilih, yaitu sebagai anak-anak Allah. Kalau ada
perjuangan lain dalam hidup ini atau perjuangan untuk maksud yang berbeda, maka
kita tidak akan menjadi anak-anak Allah yang dimuliakan bersama-sama dengan
Tuhan Yesus. Kehidupan orang Kristen adalah kehidupan yang diproyeksikan untuk
ini. Itulah sebabnya keselamatan dalam Yesus Kristus, yaitu dikembalikannya
manusia ke rancangan semula, adalah hal yang sangat luar biasa. Di dalam
anugerah ini terdapat potensi dan kemungkinan manusia bisa menjadi saleh
seperti Tuhan Yesus atau berkodrat Ilahi seperti Bapa. Alkitab menyebutnya
sebagai man of God.
Terkait dengan hal ini harus diingatkan bahwa menjadi anak
Allah bukan sekadar status, tetapi keberadaan. Semua manusia pada dasarnya
adalah anak Allah, tetapi hanya mereka yang mengikuti perlombaan yang
diwajibkan dan berhasil memiliki iman yang sempurna, artinya berkelakukan
seperti Tuhan Yesus, yang disebut sebagai anak Allah yang sah (huios), bukan
nothos (anak Allah yang tidak sah; Ibr. 121-10). Anak Allah yang sah adalah
mereka yang memberi diri dididik oleh Bapa sehingga mengambil bagian dalam
kekudusan Allah. Jadi, sangatlah keliru dan menyesatkan kalau diajarkan bahwa
hanya dengan menjadi orang Kristen, pergi ke gereja dan mengakui dengan
mulutnya bahwa Yesus adalah Tuhan, maka seseorang otomatis menjadi anak Allah
yang sah. Korban Tuhan Yesus memberi jalan manusia diperdamaikan dengan Allah,
tetapi hal itu tidak otomatis membuat seseorang menjadi anak Allah. Itulah
sebabnya Tuhan Yesus memberi mandat agar pengikut-Nya memuridkan semua bangsa.
“Perjuangan untuk menjadi saleh, artinya
memiliki kekudusan, haruslah merupakan perjuangan yang melebihi semua
perjuangan yang lain. Kehidupan orang Kristen adalah kehidupan yang
diproyeksikan untuk ini.”
16. APAKAH SEMPURNA ITU
Sampai sekarang masih menjadi perdebatan mengenai apakah
seseorang bisa sempurna atau tidak. Banyak orang secara ceroboh mengatakan bahwa
manusia tidak bisa sempurna. Pandangan ini juga ada dalam pikiran banyak orang
Kristen. Sehingga mereka tidak memiliki usaha untuk menjadi sempurna dengan
benar. Pikiran seperti itu adalah “mental block” yang membuat seseorang menjadi
kerdil dan tidak memiliki gairah yang proporsional untuk menjadi orang saleh
Tuhan. Ditambah lagi dengan pemahaman yang salah mengenai keselamatan bukan
karena perbuatan baik dan keselamatan masing- masing individu sudah ditentukan
secara sepihak oleh Allah, maka Kekristenan mereka menjadi setengah mati atau
mati sama sekali. Detak hidup Kekristenannya tidak pada ritme yang normal. Tetapi
mereka tidak menyadarinya.
Mereka yang berpandangan salah tersebut bukan berhenti dalam
kegiatan agamanya, mereka masih dengan aktif melakukan kegiatan Kekristenan
mereka. Tetapi sebenarnya mereka jauh dari standar Kekristenan yang dikehendaki
oleh Tuhan. Waktu akan membutikan kesalahan tersebut. Orang- orang Kristen di Eropa
yang pada umumnya berpandangan bahwa keselamatan telah ditentukan oleh Tuhan
dan bukan karena perbuatan baik, maka mereka meninggalkan iman mereka. Sebagian
besar negara-negara di Eropa menjadi negara duniawi yang kebejatan moralnya
bisa disaksikan hari ini. Gereja-gereja tutup, bahkan ada yang berubah menjadi
rumah ibadah agama lain.
Kalau Tuhan berkata bahwa kita harus sempurna seperti Bapa
di surga (Mat. 548) atau menjadi serupa dengan Tuhan Yesus (Rm. 828-29), tentu
ini bukan hanya kalimat yang menghiasi lembar Alkitab. Orang percaya harus
menerimanya dengan percaya dan tidak memandang Tuhan berdusta atas apa yang
difirmankan-Nya. Sempurna yang dimaksud oleh Tuhan Yesus harus dipahami dengan
benar. Kata sempurna dalam teks aslinya adalah teleios (τέλειος). Kata teleios
memiliki beberapa pengertian antara lain brought to its end, finished, wanting
nothing necessary to completeness, perfect, consummate human integrity and
virtue, full grown, adult, of full age, mature (dibawa ke akhir atau ujungnya,
tidak mengingini apa pun yang diperlukan untuk kelengkapan, mewujudkan
integritas dan kebajikan manusia, bertumbuh secara penuh, dewasa, matang).
Selama ini pengertian sempurna dalam pikiran banyak orang
Kristen pasti kacau dan tidak jelas. Dari etimologi kata sempurna dapat kita
peroleh pengertian bahwa kesempurnaan itu relatif jika ditinjau dari obyeknya.
Kesempurnaan itu sendiri mutlak dan absolut, ukurannya adalah Tuhan sendiri.
Kesempurnaan manusia tidak mungkin bisa menyamai kesempurnaan Tuhan. Bahkan
masing-masing kita memiliki ukuran kesempurnaan yang berbeda-beda. Berbeda
dalam arti tuntutan yang diberikan kepada masing-masing individu berbeda, sebab
yang diberi banyak dituntut banyak, yang diberi sedikit dituntut sedikit pula
(Luk. 1248).
Kalau dikatakan bahwa kita harus sempurna seperti Bapa, bisa
berarti bahwa perilaku kita sebagai anak-anak Allah harus melebihi ukuran
kebaikan manusia lain. Itulah sebabnya dalam Matius 5 Tuhan Yesus membuat
perbandingan antara hukum torat atau hukum yang diberlakukan kepada manusia
pada umumnya dan hukum yang diberlakukan bagi anak-anak Allah. Pengertian yang
lain sempurna seperti Bapa artinya semua tindakan kita, baik yang kita
pikirkan, ucapkan dan lakukan, harus selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan
Tuhan. Kekudusan bukan sesuatu yang bersifat mistik tetapi natural, artinya
bertalian dengan perilaku konkret manusia. Dalam hal ini kita mengerti mengapa
dikatakan dalam Firman Tuhan Kuduslah kamu sebab Aku kudus (1Ptr. 116).
Kalau segala sesuatu yang dipikirkan, diucapkan dan
dilakukan selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Tuhan berarti kodrat orang
tersebut sudah berbeda dengan kodrat manusia berdosa. Ini berarti telah terjadi
perubahan, dari hukum dosa (kecenderungan manusia berbuat salah atau sesuai
dengan keinginannya sendiri) menjadi manusia yang dalam segala tindakannya
cenderung sesuai dengan pikiran dan perasaan Tuhan.
“Sempurna seperti Bapa
artinya semua tindakan kita, baik yang kita pikirkan, ucapkan dan lakukan,
harus selalu sesuai dengan pikiran dan perasaan Tuhan.”
17.TIGA OPSI
Orang- orang yang tidak mengenal Injil atau salah memahami
Injil hanya berkesempatan memilih satu dari dua opsi, yaitu menjadi baik atau
jahat. Agama-agama di dunia biasanya mengajarkan hal ini. Tetapi orang Kristen
memiliki tiga pilihan, pertama, menjadi sempurna seperti Bapa, belajar memiliki
pikiran dan perasaan Kristus atau memiliki kesalehan seperti Tuhan Yesus. Kedua,
cukup menjadi baik saja dengan standar agama pada umumnya yang kebaikan
moralnya dilandaskan pada hukum. Ketiga menjadi jahat. Harus ditegaskan bahwa
menjadi orang Kristen berarti harus menjadi saleh seperti Tuhan Yesus.
Orientasi hidupnya hanyalah menjadi sempurna seperti Bapa.
Selama ini orang
berpikir kalau seseorang gagal menjadi sempurna, maka ia masuk neraka. Belum
tentu, sebab kalau gagal menjadi sempurna seperti Bapa masih ada opsi kedua,
yaitu menjadi baik. Baik dalam arti tidak melukai sesama, masih memiliki
kepedulian terhadap saudara- saudara yang membutuhkan pertolongan. Orang baik
pasti mengasihi sesama dengan memedulikan mereka, tetapi mereka belum tentu
berkategori sempurna dalam ukuran Tuhan. Kebaikan seperti itu juga dapat
dilakukan dan dimiliki oleh orang- orang di luar gereja. Orang percaya yang
bertumbuh menjadi manusia sempurna pasti mengupayakan keselamatan orang lain, bukan
saja memedulikan keadaan fisik jasmani mereka, tetapi juga keselamatan jiwa.
Orang-orang yang dalam proses kesempurnaan dalam level tertentu rela
menyerahkan apa pun yang dimiliki bagi kepentingan Kerajaan Surga.
Untuk menjadi sempurna harus diusahakan dengan sangat
serius. Kesempatan ini tersedia setiap hari. Dengan intensifnya Roh Kudus
menuntun kita kepada segala kebenaran-Nya agar kita memiliki kesalehan yang
berstandar Tuhan Yesus; artinya seperti kesalehan yang telah dikenakan- Nya.
Setiap hari, ketika kita mulai membuka mata pada pagi hari, kita menetapkan
hati untuk berubah, yaitu bertumbuh menjadi orang saleh yang mampu mengerti
kehendak Tuhan, berpikir dan berperasaan seperti Kristus (Flp. 24-7). Kita
harus selalu berpikir bahwa kesempatan untuk berubah akan segera lenyap dan
kita kehilangan kesempatan itu untuk selamanya. Perubahan-perubahan yang dengan
sengaja diperjuangkan akan membangun suatu kepekaan sehingga seseorang
benar-benar mengerti apa yang diingini oleh Tuhan; apa yang baik, yang berkenan
dan yang sempurna.
Kalau keselahan memiliki ukuran hukum, maka kesalehan
tersebut sudah dapat terukur oleh manusia lain dalam kehidupan setiap hari.
Misalnya hukum berkata jangan membunuh. Kehidupan seseorang yang tidak terlibat
dalam pembunuhan akan dapat dibuktikan dengan mudah. Tetapi kalau kesalehan
memiliki ukuran Tuhan, maka tidak dapat dibuktikan oleh orang lain, walau tentu
saja kehidupan yang sesuai dengan pikiran dan perasaan Tuhan adalah kehidupan
yang sangat luar biasa indahnya dan pasti orang di sekitarnya mencium
keharumannya.
Untuk memiliki kesalehan seperti yang Tuhan kehendaki
seseorang harus berurusan dengan Tuhan secara pribadi. Tentu hal ini hanya bagi
mereka yang berminat. Berurusan secara pribadi berarti bisa mendengar
suara-Nya, menangkap teguran-teguran-Nya dan semua nasihat serta tuntunan-Nya.
Mengapa harus berurusan dengan Tuhan secara pribadi sedemikian Sebab yang dapat
membuktikan kebenaran hidup kita hanya Tuhan. Untuk hal ini ada beberapa
langkah yang harus kita lakukan.
Tuhan Yesus diwakili oleh Roh Kudus akan memuridkan kita
agar kita dapat melakukan kehendak Bapa dan menyelesaikan pekerjaan-Nya. Dalam
hal ini setiap kita harus sungguh-sungguh mencari Tuhan untuk menemukan
kehadiran-Nya dalam hidup ini. Kehadiran Tuhan dalam peristiwa-peristiwa
kehidupan setiap hari jauh lebih mengubah dari pada kehadiran Tuhan di ruang
gereja dan ruang doa. Justru kehadiran Tuhan di setiap pergumulan hidup kita
mengajarkan bagaimana kita menempatkan diri, bersikap dan bertindak sesuai
dengan kehendak-Nya. Dalam hal ini kesalehan kita tidaklah cukup dibangun dari
perjumpaan dengan Tuhan dalam liturgi gereja dan di ruang doa, tetapi dalam
pengalaman konkret hidup setiap saat dan doa pribadi setiap hari.
“Orang
Kristen memiliki tiga opsi, yaitu menjadi sempurna seperti Bapa, cukup menjadi
baik dengan standar agama pada umumnya yang kebaikan moralnya dilandaskan pada
hukum atau menjadi jahat.”
18.INTEGRITAS
Kata integritas berasal dari bahasa Latin integer yang dalam
arti sempitnya adalah utuh atau lengkap. Dalam Bahasa Inggris kata ini terjemahan
dari integrity, yang artinya the quality of being honest and having strong
moral principles; moral uprightness, the state of being whole and undivided.
Dalam banyak buku dan risalah, kata integritas mendapat beragam pengertian.
Tetapi pada intinya integritas hendak menunjuk keutuhan dan konsistensi sikap
dalam melakukan tindakan yang sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran. Dalam
integritas terkandung makna keteguhan hati yang tidak tergoyahkan untuk hidup
sesuai dengan kebenaran yang diyakini dalam perilaku konkret, bukan hanya
dengan perkataan atau sekadar retorika. Jadi integritas adalah satunya
perkataan dan perbuatan. Dengan demikian integritas adalah peta dari kehidupan
individu; integrity is who you are. Integritas ini sangat berhubungan dengan
kekudusan.
Pembahasan mengenai kekudusan sangat penting dalam hidup
Kekristenan, sebab hal ini merupakan bagian dari pokok pengajaran keselamatan.
Banyak bagian dalam Alkitab memunculkan hal ini. Setiap kali berbicara mengenai
keselamatan, tidak bisa tidak hal kekudusan ini pasti juga dibicarakan.
Kesalahan memahami hal ini akan berpengaruh terhadap p eng er t i a n m eng en
a i keselamatan. Dalam bahasa Ibrani kata menguduskan adalah qadhas. Kata
sifatnya adalah qadhos. Kata qadhos itu sendiri dari etimologinya berarti
“dipisahkan dari yang lain untuk digunakan”. Kata ini biasanya digunakan dalam
wilayah ibadah kepada Yahwe atau berkenaan dengan pengampunan yang diberikan
Allah kepada umat Israel.
Dalam Perjanjian
Lama, bila kata dikuduskan dikaitkan dengan benda, hal itu selalu menunjuk
kepada sesuatu yang dipisahkan dari yang lain atau dikhususkan untuk digunakan
oleh Allah. Dikuduskan berarti sesuatu yang dianggap layak atau pantas dipakai
oleh Tuhan, biasanya berkenaan dengan seremonial ibadah kepada Yahwe di kemah
suci atau di Bait Allah. Benda-benda itu biasanya peralatan ibadah di kemah
suci atau bait Allah. Bila kata dikuduskan dikaitkan dengan manusia, maka kata
ini menunjuk kepada umat yang dilayakkan menghadap Tuhan atau dipakai Tuhan
sebagai pelayan ibadah kepada Yahwe, seperti keturunan Harun yang menjadi imam
atau suku Lewi untuk melayani Bait Allah. Kata dikuduskan juga bertalian dengan
umat yang menerima pengampunan setelah mereka berbuat salah. Hal itu dimaksudkan
agar umat layak berdiri di hadapan Allah.
Dalam bahasa Yunani terdapat kata hagiazo atau hagiasmos
yang berarti menguduskan. Kata sifatnya adalah hagios. Selain itu juga ada kata
katharoi (Mat. 58), yang juga berarti suci (Ing. clean). Kata ini mengandung
pengertian free from impure admixture, without blemish, spotless (bebas dari
dari campuran, tidak bernoda). Matius tidak menggunakan kata hagios (Ing.
holy). Kata hagios lebih dekat kepada pengertian suci dalam kaitannya dengan
kualitas eksistensi Allah. Kalau kata ini dikenakan dalam hidup orang percaya,
hal ini menunjukkan perbedaan mutlak antara orang percaya dan orang yang tidak
percaya. Kata katharoi lebih menunjuk kepada keadaan hati yang tidak tercemari
oleh pengaruh dunia sekitar. Kata hagios sejajar dengan kata hieros, hosios dan
hagnos. Kata-kata tersebut berkenaan dengan karya Tuhan Yesus di kayu salib
untuk menyelamatkan umat manusia yang percaya kepada-Nya. Kata hagios berarti
“berbeda dari yang lain atau dibuat berbeda dari yang lain”. Dalam bahasa Latin
diterjemahkan sanctifikatio yang kemudian dalam bahasa Inggris menjadi
sanctification.
Selama ini bila berbicara mengenai pengertian pengudusan
atau penyucian, asumsi banyak orang adalah pembersihan atas suatu bidang atau
sebuah tempat dari kotoran atau noda. Demikian juga bila berbicara mengenai
pengudusan dalam kehidupan umat Perjanjian Baru yang dilakukan Allah melalui
korban Tuhan Yesus, dalam pikiran banyak orang seakan-akan ada bercak-bercak
hitam (dosa) dalam diri manusia yang harus dibersihkan. Darah Yesus dibayangkan
seperti sabun detergen yang mencuci pakaian kotor. Memang dalam Alkitab kita
temukan hal pembasuhan, tetapi itu adalah gambaran atau figuratif. Fakta
sebenarnya tidaklah demikian.
“Integritas mengandung makna keteguhan hati
yang tidak tergoyahkan untuk hidup sesuai dengan kebenaran yang diyakini dalam
perilaku konkret, bukan hanya dengan perkataan atau sekadar retorika.”
19. PENGUDUSAN (1)
Kepada kamu sekalian yang tinggal di Roma, yang dikasihi
Allah, yang dipanggil dan dijadikan orang-orang kudus
Kasih karunia menyertai kamu dan damai sejahtera dari Allah, Bapa kita,
dan dari Tuhan Yesus Kristus” (Rm. 17). Pelajaran yang sangat penting dalam
kehidupan Kekristenan adalah hal pengudusan. Kesalahan memahami hal pengudusan
ini memengaruhi kualitas hidup orang percaya. Dipanggil dan dijadikan orang
kudus yang ditulis oleh Paulus ini bukanlah proses otomatis. Kata dijadikan dalam
Roma 17 mengesankan manusia pasif dan hanya Allah yang aktif. Harus dipahami
dengan benar bahwa manusia adalah makhluk bebas yang harus meresponi anugerah.
Manusia bukanlah robot yang keadaannya ditentukan atau digariskan oleh takdir.
Pengajaran takdir adalah pengajaran yang bertentangan dengan Alkitab, serapan
dari teologi atau pengajaran di luar Alkitab.
Di seluruh Alkitab terdapat banyak teks yang memuat
panggilan untuk meresponi anugerah, yaitu untuk mengerjakan keselamatan. Anugerah
diberikan untuk membawa manusia kepada rancangan Allah semula, yaitu manusia
yang tidak bercacat dan tidak bercela atau mengambil bagian dalam
kekudusan Allah atau hidup dalam kekudusan Allah; mengenakan
kodrat Ilahi. Allah mau menjadikan orang percaya sebagai orang kudus, tetapi
kalau seseorang menolaknya, maka Allah tidak memaksanya. Memaksa bukanlah
hakikat Allah. Dari hal ini kita peroleh fakta ada orang-orang yang bersedia
bertobat dan menerima Yesus Kristus dengan benar dan banyak yang menolaknya.
Dari hal ini juga kita peroleh fakta bahwa orang percaya bisa menjadi orang
yang menang atau orang yang kalah. Hidup adalah perjuangan (Luk. 1323-24).
Selama ini banyak orang berpikir bahwa disucikan atau
dikuduskan seperti sebuah bidang yang dibersihkan dengan sesuatu. Ini adalah
pemahaman yang salah. Harus kita pahami bahwa konsep pengudusan yang disamakan
dengan pembersihan adalah konsep yang tidak tepat benar. Pengudusan bagi
manusia adalah sesuatu yang ditujukan kepada suatu obyek yang tidak memiliki
bidang dalam arti fisik. Tidak seperti “menyapu lantai” atau “mengelap kotoran
dari meja makan”. Kalau seseorang berdosa agar hatinya disucikan, sebenarnya
hati yang mana Liver Perasaan Sejatinya, pengudusan harus lebih dipahami
sebagai suatu tindakan dari Allah oleh korban salib Kristus untuk menempatkan
manusia pada status baru.
Manusia telah berdosa, berarti manusia berkedudukan sebagai
pendosa yang tidak berkenan kepada Allah sesuai dengan standar kesucian yang
Allah kehendaki. Status atau kondisi ini menutup kemungkinan manusia berstatus
sebagai anak Allah dan menghilangkan potensi manusia bisa berkeadaan seperti
Bapanya. Pengampunan mengubah keadaan dari manusia yang berstatus sebagai orang
bersalah menjadi orang yang dianggap tidak bersalah. Proses ini paralel dengan
penebusan. Ditebus berarti dibeli untuk memindahkan status. Dari status budak
menjadi orang merdeka. Ditebus berarti dipindahkan dari status pemberontak ke
status yang baru. Penebusan tersebut menempatkan manusia sebagai “dimiliki oleh
Tuhan” untuk menjadi hamba Tuhan.
Oleh korban penebusan Tuhan Yesus menempatkan manusia yang
telah berdosa dianggap sebagai manusia yang tidak bersalah, sebab semua
perbuatan salah (baik sudah, sedang dan akan dilakukan) telah dipaku di kayu
salib. Inilah pengudusan pasif. Pengudusan ini belum membuat seseorang
benar-benar baik. Penyucian pasif ini adalah perubahan status dan sekaligus
membuka kemungkinan yang nantinya melalui proses pendewasaan manusia menjadi
suci seperti Bapa (Mat. 548; 1Ptr. 116). Disucikan atau dikuduskan dimaksudkan
agar melalui proses pendewasaan atau pemuridan dapat benar-benar berkeadaan
menjadi suci seperti Allah (1Ptr. 116). Hal pengudusan ini paralel dengan
pembenaran atau dianggap benar. Oleh pengorbanan Tuhan Yesus di kayu salib,
maka orang berdosa dapat dibenarkan (secara pasif). Tetapi orang percaya tidak
boleh merasa puas sudah merasa dianggap benar secara pasif ini. Orang percaya
harus harus berjuang untuk berkeadaan benar-benar benar (pembenaran secara
aktif).
“Kesalahan
memahami hal pengudusan akan memengaruhi kualitas hidup orang percaya.”
20. PENGUDUSAN (2)
Pengertian yang kurang tepat mengenai penyucian
menyimpangkan pemahaman prinsip keselamatan dalam Yesus Kristus. Oleh sebab itu
kita harus memahaminya dengan tepat secara Alkitabiah.
Sejatinya, Tuhan Yesus mengorbankan diri-Nya untuk memuaskan keadilan Allah.
Masalah dosa sebenarnya bukan masalah bercak-bercak hitam (dosa) dalam diri
manusia (seperti suatu bidang yang dikotori suatu kotoran), tetapi mengenai
murka Allah atas pemberontakan manusia. Yang kedua ini harus dipandang lebih
penting. Tidak ada agama dalam dunia ini yang memiliki gagasan keselamatan
seperti ini, dan tidak mungkin mereka memilikinya, sebab keselamatan datang
dari bangsa Yahudi.
Bagaimana dengan
pernyataan Alkitab dalam Yesaya (Yes. 118) yang mengatakan “Marilah,
baiklah kita berperkara!
FIRMAN TUHAN Sekalipun dosamu merah s eperti kirmizi, akan
menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba,
akan menjadi putih seperti bulu domba” Ayat ini hendak menunjukkan bahwa Tuhan
tidak memperhitungkan kesalahan yang telah dilakukan umat Allah. Tetapi bukan
berarti Tuhan tidak mempersoalkan pertobatan demi perubahan mereka. Justru
tindakan Tuhan tidak mengingat dosa melahirkan tanggung jawab dan panggilan
untuk manusia agar berubah menjadi umat seperti yang dikehendaki oleh Allah.
Kalau pengampunan dosa berpusat atau menekankan pada keadaan
manusia (yaitu kesalahan yang ditandai dengan bercak-bercak dosa), maka itu
bukan pengampunan yang theocentris (berpusat pada Allah), tetapi
anthropocentris (berpusat pada manusia). Pengampunan harus berpusat pada Allah,
yaitu menekankan atau terfokus pada perasaan Tuhan yang telah dikhianati manusia.
Oleh pengorbanan Tuhan Yesus murka Allah atas manusia diredakan tuntas. Di sini
manusia mengalami pengudusan. Tetapi pengudusan ini barulah pengudusan secara
pasif.
Pengudusan oleh darah Tuhan Yesus atas hidup kita jangan
dibayangkan seakan-akan setelah menerima pengudusan dalam hati kita, maka tidak
ada lagi bercak-bercak hitam dosa sebab darah Tuhan Yesus membersihkannya, lalu
merasa sudah suci. Kemudian berusaha percaya dan yakin kalau setiap saat
meninggal dunia sudah berkeadaan berkenan kepada Tuhan, pasti masuk surga.
Banyak khotbah dan pengajaran yang mengisyaratkan bahwa korban Tuhan Yesus
sudah memberikan paket “all in”. Dikuduskan oleh darah Tuhan Yesus atas semua
perbuatan salah kita sudah sekaligus membuat kita berkenan kepada Tuhan. Hal ini
membuat banyak orang Kristen tidak berusaha untuk bertumbuh secara
proporsional.
Tentu ada bercak “kodrat dosa” (Ing. sinful nature) dalam
karakter, tetapi darah Tuhan Yesus tidak otomatis dapat membersihkannya dan
mengubah dengan mudah nature dosa tersebut. Penyucian atau pengudusan secara
pasif ini tidak membuat kodrat dosa kita seketika berubah menjadi kodrat Ilahi;
tidak otomatis membuat diri kita berkeadaan berkenan kepada Tuhan. Kalau
Alkitab menyatakan bahwa darah Yesus menyucikan artinya bahwa darah itulah yang
menempatkan manusia yang tadinya sebagai orang yang berstatus bersalah sekarang
menjadi orang yang berstatus tidak bersalah. Oleh karena Tuhan Yesus telah
menanggung dosa manusia, maka hukum keadilan Allah dapat ditegakkan yaitu
pelanggaran harus dihukum. Tuhan Yesus menggantikan tempat hukuman yang
seharusnya manusia tempati sebagai orang bersalah atau orang berdosa. Hal ini
memuaskan hati Allah yang Mahaadil. Dalam hal ini tatanan Allah dipenuhi bahwa
tidak akan ada pengampunan tanpa penggantian atau penumpahan darah.
Pengudusan atau penyucian oleh darah Tuhan Yesus (yang
membuat status orang berdosa berubah) barulah pengudusan secara pasif. Kita
sebagai orang-orang yang ditebus, dibenarkan dan memperoleh pengampunan dosa
bersikap pasif. Semua dikerjakan oleh Tuhan Yesus tanpa peran dan jasa kita
sama sekali. Dengan pengertian ini, maka tidak seorang pun dapat membanggakan
diri bahwa dirinya kudus atau suci oleh karena usahanya. Sebab pengudusan oleh
darah Tuhan Yesus adalah pengudusan sepihak yang Allah lakukan tanpa peran
manusia sama sekali. Inilah yang dimaksud bahwa keselamatan manusia bukan usaha
manusia atau bukan karena perbuatan baiknya tetapi karena anugerah Allah
semata-mata.
“Tindakan
Tuhan yang tidak mengingat dosa kita melahirkan tanggung jawab dan panggilan
untuk manusia agar berubah menjadi umat seperti yang dikehendaki oleh Allah.”
21. PENGUDUSAN (3)
Status baru yang dimiliki manusia ini membuat manusia
ditempatkan kembali, bukan sebagai pemberontak, tetapi sebagai anak. Menurut Ibrani 12, sebagai anak, tetapi anak
gampang (Yun. nothos). Status inilah yang juga memberi peluang dimana Allah
Bapa dapat mendidik mereka yang mengakui dan menerima Yesus Kristus sebagai
Pencipta dan Pemilik kehidupan. Allah mendidik mereka agar mereka dapat
mengambil bagian dalam kekudusan Allah (Ibr. 125-10). Dalam hal ini pengudusan
Allah memiliki dua aspek. Pertama, dikuduskan berarti diubah statusnya; dan
kedua, pemberian potensi atau kemungkinan manusia berkeadaan seperti Bapa. Hal
kedua ini harus diresponi manusia, agar dari nothos (anak gampang) menjadi anak
yang sah atau pangeran (Yun. huios). Perubahan dari nothos ke huios melibatkan
masing-masing individu.
Pengudusan tidak berhenti sampai hanya status kita berubah, sebab pengudusan harus berlanjut pada proses di mana kita yang dikuduskan haruslah benar- benar menjadi kudus. Dalam 1Tesalonika 47 Firman Tuhan berkata “Allah memanggil kita bukan untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus”. Sejajar dengan 1 Tesalonika 47, dalam 1 Petrus 116 Firman Tuhan tegas berkata “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus”. Dan banyak lagi teks Alkitab yang berupa perintah untuk menjadi kudus. Dalam hal ini orang percaya dipanggil untuk hidup dalam kekudusan. Kekudusan ini adalah kekudusan aktif.
Kekudusan aktif artinya respon manusia terhadap anugerah
keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus untuk melepaskan karakter dosa dalam
dirinya, sehingga atau agar tidak berbuat dosa lagi. Dengan demikian bukan
hanya dosa atau kesalahan masa lalu yang dianggap telah beres atau dibereskan,
tetapi kemungkinan untuk berbuat salah lagi juga dihilangkan. Dalam hal ini
orang yang menerima pengampunan dari Tuhan adalah orang-orang yang memiliki
tanggung jawab. Inilah yang disebut sebagai anugerah yang bertanggung jawab.
Orang yang menerima pengampunan Tuhan harus memberi diri diperbaiki oleh Tuhan.
Perbaikan di sini adalah perbaikan dari gambar Allah yang rusak untuk
dikembalikan pada rancangan semula-Nya.
Proses menguduskan diri ini membuat seseorang menjadi kudus,
artinya berbeda dari yang lain. Hal ini menunjuk bahwa perbaikan yang Tuhan
kerjakan memiliki proyeksi yaitu mereka yang dikuduskan menjadi manusia yang
berbeda dari manusia yang tidak menerima keselamatan dalam Yesus Kristus.
Proyeksinya adalah menjadi sempurna seperti Bapa di surga. Itulah sebabnya
Firman Tuhan menyatakan dengan jelas bahwa kita harus kudus seperti Dia kudus.
Kalau pengampunan Tuhan tidak disertai dengan respon kita untuk benar-benar
menjadi kudus dalam seluruh hidup kita, maka Tuhan hanya diperlakukan sebagai
tukang sapu dosa. Betapa jahatnya pandangan ini. Sebab kalau seorang pencuri
hanya dimaafhan atas kejahatan mencuri tetapi tidak diajar untuk tidak mencuri
lagi, berarti ia akan semakin merajalela sebagai pencuri atau tidak berhenti
dari kejahatannya. Kalau orang percaya hanya menerima pengampunan tanpa dididik
untuk menjadi sempurna guna dikembalikan ke rancangan Allah semula atau
memperoleh kembali kemuliaan Allah yang hilang, apa bedanya dengan kesalehan
umat Perjanjian Lama. Perubahan status dari ‘pemberontak’ menjadi ‘anak’ harus
berlanjut sampai orang yang dikuduskan tersebut benar-benar berkeadaan kudus
seperti Bapa. Inilah yang menempatkan kita sebagai anak-anak Allah yang sah.
Itulah sebabnya Rasul Petrus dalam 1 Petrus 117 mengingatkan, bahwa kalau kita
memanggil Allah Bapa hendaknya kita hidup dalam ketakutan selama menumpang di
dunia.
Sebagai anak, kita harus meneladani apa yang dilakukan oleh
Tuhan Yesus, karena proyeksi keselamatan adalah agar kita serupa dengan Tuhan
Yesus (Rm. 828-29). Model Anak yang menyukakan hati-Nya adalah Tuhan Yesus
Kristus. Oleh sebab itu kalau kita tidak mau diproses menjadi seperti Tuhan
Yesus, kita tidak perlu menerima pengampunan-Nya. Pengampunan diberikan untuk
proses perubahan sampai dilayakkan untuk dipermuliakan bersama-sama dengan
Tuhan Yesus.
“Pengudusan
tidak berhenti sampai hanya status kita berubah, sebab pengudusan harus
berlanjut pada proses di mana kita yang dikuduskan haruslah benar-benar menjadi
kudus.”
22. FANTASI IMAN
alam 1korintus 12 tertulis “Kepada jemaat Allah di Korintus,
yaitu mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus dan yang dipanggil menjadi orang-orang
kudus, dengan semua orang di segala tempat, yang berseru kepada nama Tuhan kita
Yesus Kristus”. Perhatikan kalimat “dikuduskan dalam nama Kristus Yesus” dan
“yang dipanggil untuk menjadi orang-orang kudus”. Di sini kita dapat temukan
ada dua dimensi. Dimensi pertama adalah “dikuduskan dalam nama Tuhan Yesus”,
artinya Tuhan mengubah status kita sebagai orang percaya, dari pemberontak
dijadikan anak-Nya. Kedua, “dipanggil untuk menjadi orang kudus”, artinya kita
harus memiliki karakter kekudusan Bapa.
Memerhatikan dua
jenis atau dua aspek pengudusan (yaitu aktif dan pasif), maka kita temukan
kesejajaran dengan pengudusan oleh darah Tuhan Yesus dan oleh Firman yang
dikerjakan oleh Roh Kudus. Pengudusan oleh darah Tuhan Yesus adalah pengudusan
untuk mengubah status (seperti yang telah dijelaskan di atas). Hal ini hanya
bisa dilakukan oleh Tuhan Yesus (Kis. 412). Dikuduskan dengan darah Tuhan Yesus
tidak melibatkan peran manusia sama sekali. Manusia hanya menerima anugerah
tersebut. Pengudusan oleh darah Tuhan Yesus ini tidak otomatis menghilangkan
kodrat dosa (Ing. sinful nature) atau mengubah watak dosa dalam kehidupan
manusia. Kodrat dosa hanya dapat dihilangkan melalui proses pendewasan oleh
Firman dan pembentukan Allah yang dikerjakan oleh Roh Kudus dalam diri umat
pilihan. Orang yang menolak pembentukan ini, berarti menghujat Roh Kudus.
Banyak orang Kristen
puas hanya sampai pengudusan secara pasif. Mereka merasa bahwa pengudusan dalam
hidup mereka sudah tuntas. Biasanya mereka juga percaya bahwa sakramen sudah
cukup menguduskan, padahal sakramen tidak bisa menguduskan kalau hanya dari
segi teknisnya, sakramen menguduskan dari segi esensinya. Misalnya baptisan,
yang menguduskan bukanlah air baptisan atau tindakan dibaptis itu sendiri,
tetapi kesediaan meninggalkan manusia lama dan hidup dalam hidup yang baru,
tentu melalui proses pembelajaran Firman Tuhan dan kehidupan setiap hari
melalui segala peristiwa yang dialami. Sekarang jelaslah bahwa Roma 17
mengisyaratkan bahwa dipanggil dan dijadikan orang kudus bukanlah proses
sederhana yang terjadi oleh tindakan sepihak dari Allah, tetapi juga respon
manusia dalam menerima pengudusan itu. Orang yang tidak mau bertobat adalah
orang yang menolak pengudusan secara aktif oleh Roh Kudus dan Firman (Rm. 25
Tetapi oleh kekerasan hatimu yang tidak mau bertobat, engkau menimbun murka
atas dirimu sendiri pada hari waktu mana murka dan hukuman Allah yang adil akan
dinyatakan).
Allah tidak memaksa. Kalau seseorang mengeraskan hati tidak
mau bertobat, maka berarti ia tidak menerima anugerah pengudusan secara aktif.
Ini juga berarti ia membuang dan menginjak-injak darah korban Tuhan Yesus atau
tidak menghargai pengorbanan-Nya. Dengan tindakan itu maka secara tidak
langsung membuat pengudusan secara pasif menjadi sia-sia; tidak berdaya guna
sama sekali. Hal ini akan nampak ketika seseorang tidak mengalami pertumbuhan
kepada kesempurnaan seperti Kristus, bahkan berbuat baik pun tidak dilakukan
(sebagai buktinya tidak sedikit orang Kristen lebih jahat dari orang non
Kristen). Ironinya banyak orang Kristen merasa sudah selamat dengan merasa “sudah
berkenan” di hadapan Tuhan, padahal keadaan diri mereka “tidak melakukan
kehendak Bapa” (Mat. 721-23).
Banyak orang Kristen berpikir bahwa perkenanan di hadapan
Tuhan sudah bisa dimiliki seseorang hanya oleh korban Tuhan Yesus dalam
pengudusan pasif. Mereka merasa sudah menjadi anak Allah yang sah, dikuduskan
dan dibenarkan oleh darah Yesus. Perjuangan menjadi sempurna dianggap sebagai
kesombongan dan kesalahan prosedur keselamatan. Mereka merasa tidak perlu
berjuang untuk sempurna. Di pikiran mereka sempurna hanya bisa dialami atau
dicapai nanti di surga.
Harus tetap diingat, bahwa perjuangan untuk sempurna bukan
bertujuan untuk memperoleh keselamatan, tetapi sebagai sikap meresponi dan
menghargai korban pengudusan Tuhan secara pantas. Tuhan tidak pernah berkata
atau mengajar bahwa kesempurnaan hanya bisa dialami dan dimiliki nanti di
surga. Justru berkat anugerah keselamatan dan pengudusan Tuhan agar manusia
memperoleh kembali kemuliaan Allah yang hilang bukan sekadar dalam “fantasi
iman” atau “imaginasi percaya”, tetapi keberadaan yang riil yang dialami
sehingga “wajah Tuhan Yesus” nampak dalam kehidupan konkret orang percaya yang
tidak terbantahkan. Orang-orang ini barulah pantas disebut Kristen (seperti
Kristus).
“Berkat anugerah keselamatan dan pengudusan Tuhan agar manusia
memperoleh kembali kemuliaan Allah yang hilang bukan sekadar dalam “fantasi
iman”, tetapi keberadaan yang riil yang dialami sehingga “wajah Tuhan Yesus”
nampak dalam kehidupan konkret orang percaya yang tidak terbantahkan.”
23. PENGUDUSAN OLEH FIRMAN
Dikuduskan oleh Firman artinya dengan kuasa Firman Tuhan
yang dipahami, maka seseorang dapat didewasakan agar tidak lagi
hidup dalam dosa, tetapi hidup sesuai dengan kehendak Allah.
Firman Tuhan menguduskan artinya Firman Tuhan menghindarkan manusia dari
berbuat jahat (Yoh. 1714-17). Tentu manusianya yang harus tekun belajar
kebenaran Firman Tuhan, sebab kalau seseorang tetap dalam Firman barulah ia
dapat dimerdekakan (Yoh. 831-32). Dimerdekakan di sini maksudnya adalah dibebaskan
dari kecenderungan berbuat dosa.
Pengudusan dengan atau oleh Firman di sini melibatkan penuh
peran manusia. Kalau manusia tidak pro-aktif, maka pengudusan ini tidak bisa
berlangsung. Ini berarti pula bahwa pengudusan oleh darah Yesus bisa menjadi
sia-sia. Dengan kalimat lain, bila seseorang tidak masuk dalam proses
pengudusan dengan atau oleh Firman, maka berarti ia tidak menghargai darah
Yesus (Ibr. 1029). Pengudusan oleh darah Tuhan Yesus dimaksudkan supaya manusia
masuk dalam proses pengudusan dengan atau oleh Firman. Firman yang membuahkan
iman, dan iman yang menyelamatkan (Rm. 116-17). Pengudusan oleh darah Yesus
memindahkan status manusia, pengudusan oleh Firman mengubah karakter manusia.
Pengudusan oleh Firman pada dasarnya juga proses pendewasaan yang membuat
seorang anak tebusan menjadi serupa dengan Tuhan Yesus.
Tidak mungkin seseorang bisa mengalami pengudusan yang benar
tanpa Firman Tuhan. FirmanTuhan memperbaharui pikiran seseorang atau cara
berpikir seseorang. Terkait dengan hal ini Tuhan Yesus menyatakan “Jikalau kamu
tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan
mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.” (Yoh. 831-
32). Tetap di dalam Firman merupakan usaha terus menerus belajar Firman Tuhan
untuk mengerti dan mengubah cara berpikir. Dalam Roma 116 Firman Tuhan
mengatakan Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil
adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama
orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. Injil yang dimaksud dalam ayat ini
adalah kebenaran atau Firman yang diajarkan oleh Tuhan Yesus. Dalam hal ini
sangatlah jelas bahwa proses keselamatan dalam kehidupan umat pilihan tidak
dapat dipisahkan dari Firman Tuhan.
Mengingat betapa sentralnya peran Firman Tuhan dalam proses
keselamatan (dikembalikannya manusia ke rancangan Allah semula), maka hal
belajar kebenaran Firman Tuhan harus menjadi perjuangan dan usaha kita setiap
hari. Menambah pengertian mengenai kebenaran Firman Tuhan haruslah dipandang
mutlak sebagai hal yang harus dialami setiap hari. Seperti makanan yang kita
konsumsi setiap hari, demikian pula dengan kebenaran Firman Tuhan. Setiap hari
harus ada waktu yang disedikan untuk belajar kebenaran Firman Tuhan. Belajar
Firman bisa melalui beberapa sarana seperti Alkitab, literatur, cd khotbah,
internet, radio dan lain sebagainya.
Belajar Firman Tuhan bukan hanya pada waktu kosong, tetapi
harus disediakan sebagai hal yang sangat penting, bahkan dipandang mutlak.
Akibat dari kehidupan orang Kristen yang tidak bertumbuh dalam kebenaran,
Firman Tuhan baru dirasakan setelah beberapa belas atau beberapa puluh tahun.
Karena hal ini, maka banyak orang merasa bahwa sikap mengabaikan Firman Tuhan
seakan- akan tidak berakibat fatal. Bila ada acara-acara dimana Firman Tuhan
diajarkan, seperti kebaktian hari Minggu, persekutuan doa, pendalaman Alkitab,
seminar-seminar rohani, hal itu harus menjadi momentum berharga yang harus
dihadiri. Biaya dan kelelahan yang dikorbankan tidak ada artinya dibanding dengan
berkat kekal yang diperoleh. Oleh karena pengertian seseorang mengenai Firman
menentukan proses menuju kesempurnaan, maka kita harus sangat berhati-hati
memperoleh sumber kebenaran Firman Tuhan yang kita pelajari. Banyak ajaran
sesat yang tidak membawa kepada pertumbuhan rohani yang benar. Tidak semua
orang yang berkhotbah menggunakan Alkitab berarti menyampaikan kebenaran. Dalam
hal ini harus benar-benar berhati-hati.
“Pengudusan
oleh darah Yesus memindahkan status manusia, pengudusan oleh Firman mengubah
karakter manusia. Pengudusan oleh Firman pada dasarnya juga proses pendewasaan
yang membuat seorang anak tebusan menjadi serupa dengan Tuhan Yesus.”
24. DIKUDUSKAN OLEH ROH
Dalam 1 petrus 12 Firman Tuhan mengatakan “… yaitu
orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang
dikuduskan
oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima
percikan darah-Nya. Kiranya kasih karunia dan damai sejahtera makin melimpah
atas kamu”. Dalam ayat ini terdapat kalimat bahwa orang percaya juga dikuduskan
oleh Roh. Apa yang dimaksud dengan dikuduskan oleh Roh itu dan bagaimana proses
dikuduskan oleh Roh tersebut
Menjawab pernyataan ini kita harus memahami dan dapat
membedakan pengertian Firman dalam arti Logos dan Rhema. Pada waktu seseorang
mendengar Firman Tuhan, cara berpikirnya diubah dengan pengajaran yang
diajarkan secara penalaran atau kognitif. Dalam hal ini Firman (Logos) menjadi
pengertian di dalam pikirannya. Logos adalah Firman yang dipahami di dalam
pikiran melalui pengajaran yang didengar. Misalnya seseorang mendengar Firman
kasihilah musuhmu . Ini bukan berarti seseorang sudah bisa mengasihi musuh.
Pengertiannya mengenai mengasihi musuh belum tentu dapat diperagakan atau
dilakukan. Untuk itu seseorang harus mengalami secara konkret atau riil
bagaimana dimusuhi seseorang. Pada waktu dalam pergumulan dimusuhi tersebut,
Roh Kudus akan mengingatkan perkataan Tuhan. Di sini Firman (logos) yang sudah
dipahami secara akal pikiran diterjemahakan secara konkret dalam kenyataan
hidup. Roh Kudus akan berbicara kepada orang tersebut. Perkataan Tuhan inilah
yang disebut sebagai Rhema.
Dalam kasus-kasus tertentu dan untuk orang-orang tertentu
(bagi mereka yang mengasihi Tuhan), Tuhan memproses pengudusan melalui
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan (Rm. 828). Semua ini dilakukan
oleh Tuhan, khususnya untuk mereka yang merasa perlu dan sungguh-sungguh
bersedia menerima didikan atau pukulan dari Allah (Ibr. 127-9). Tidak ada
pendewasaan tanpa pengalaman dalam kehidupan nyata setiap hari. Memang proses
ini tidak menyenangkan bahkan tidak jarang yang menyakitkan, tetapi Tuhan
melalui segala pengalaman- pengalaman riil tersebut hendak membersihkan
karakter dosa kita. Dalam hal ini Bapa mendidik kita melalui Roh- Nya. Inilah
yang dimaksud dikuduskan oleh Roh Allah.
Oleh pekerjaan atau pimpinan roh seseorang dimungkinkan
untuk memiliki ketaatan kepada Bapa. Jadi, bukan dengan kuat dan gagah,
seseorang dapat melakukan atau mencapai kesucian seperti yang dikehendaki oleh
Allah, tetapi oleh Roh Allah yang menolong orang percaya. Roh Allah adalah
fasilitas keselamatan yang disediakan guna membawa orang percaya kepada
kesempurnaan Allah.
Kalau kata “dikuduskan” ini dihubungkan dengan pernyataan
Tuhan Yesus bahwa Ia menguduskan diri-Nya, supaya orang percaya dikuduskan
dalam kebenaran (Yoh. 1718), maka berarti Tuhan Yesus berusaha untuk taat agar
bisa menggenapi rencana Allah. Tuhan Yesus sendiri harus bergumul untuk bisa
mencapai kesempurnaan. Ia tidak mencapainya dengan mudah. Ia harus bergumul
hebat. Hal itu dilakukan agar setelah Ia mencapai kesempurnaan, Ia dapat
menjadi teladan bagi orang percaya dan Allah memakai-Nya sebagai alat
keselamatan. Demikian pula orang percaya dapat dikuduskan dengan kebenaran
supaya bisa dipakai oleh Bapa (Yoh. 1719). Dalam Ibrani 58-9 tertulis “Dan sekalipun
Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang diderita-Nya, dan
sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi
bagi semua orang yang taat kepada-Nya”. Setelah Tuhan Yesus menyelesaikan tugas
penyelamatan-Nya, Ia menjadikan manusia untuk dikuduskan dan dipakai oleh Bapa,
sebagaimana diri-Nya sendiri juga telah mengalaminya. Paulus juga dikuduskan
untuk ini, yaitu menjadi alat dalam tangan Tuhan untuk menggenapi rencana Allah
(Rm. 11).
Dalam hal ini jelas sekali bahwa pengudusan Tuhan bukan
hanya berhenti dimana orang percaya dipindahkan statusnya dari orang berdosa
menjadi anak, juga bukan sekadar diperbaiki karakternya, tetapi juga
direncanakan untuk menjadi alat dalam tangan Bapa guna menggenapi rancana- Nya.
Rencana Bapa adalah membinasakan pekerjaan Iblis (1Yoh. 38). Hal ini sejajar
dengan pengertian kudus dalam bahasa Ibrani qadhos, yang artinya dipisahkan
dari yang lain untuk digunakan.
“Oleh
pekerjaan atau pimpinan roh seseorang dimungkinkan untuk memiliki ketaatan
kepada Bapa. Jadi, bukan dengan kuat dan gagah, seseorang dapat melakukan atau
mencapai kesucian seperti yang
dikehendaki oleh Allah, tetapi oleh Roh Allah yang menolong orang percaya.”
25. DIKUDUSKAN OLEH DOA
Dalam 1 timotius 45 tertulis “… sebab semuanya itu
dikuduskan oleh firman Allah dan oleh doa”. Dari teks Alkitab ini ditunjukkan
kepada
kita bahwa pengudusan atas orang percaya juga melalui doa
(1Tim. 45). Apa maksud pernyataan Paulus ini Maksud pernyataan Paulus ini
adalah bahwa melalui persekutuan yang tiada henti dengan Tuhan dalam doa
pribadi, maka seseorang diarahkan untuk memiliki karakter Bapa. Dalam hal ini
doa harus dipahami sebagai dialog atau hubungan interaksi terus menerus dengan
Tuhan. Oleh sebab itu kalau Alkitab menyatakan bahwa kita harus berdoa dengan
tiada berkeputusan atau tetap dalam doa, itu berarti bahwa kita harus terus
menerus hidup dalam persekutuan dengan Bapa (1Tes. 517).
Ketekunan hidup dalam
persekutuan dengan Bapa digambarkan oleh Tuhan Yesus seperti seorang janda yang
tekun menghadapi hakim yang tidak takut akan Allah dan tidak peduli siapa pun
(Luk. 181-8). Ketekunan untuk tetap dalam persekutuan dengan Bapa seperti itulah
yang diharapkan Tuhan Yesus ditemukan pada akhir zaman di tengah dunia yang
semakin sibuk dimana orang tidak memedulikan Tuhan (Luk. 188). Kalau manusia
sudah tidak memedulikan Tuhan, maka cara berpikir dan filosofi hidupnya semakin
jauh dan bertentangan dengan kebenaran Allah. Sebagai hasilnya adalah
manusia-manusia fasik yang tidak takut Tuhan dan tidak memedulikan hukum-Nya.
Pada kenyataannya banyak orang Kristen yang lebih akrab dengan hiburan dunia
dengan segala kesenangannya daripada Tuhan sebagai kebahagiaan atau
kesukaannya.
Untuk hal ini sangatlah mutlak bagi setiap orang percaya menyediakan
waktu untuk “menghadap” Bapa dan Tuhan Yesus Kristus. Waktu yang disediakan
haruslah waktu prima dimana seseorang sungguh-sungguh serius hendak bertemu
dengan Tuhan dengan penuh kerinduan dan merasa butuh yang sangat kuat terhadap
Tuhan. Waktu doa ini bukan sekadar mengisi jadwal berdoa atau jadwal saat teduh
rutin, yang kadang menjadi seperti beban atau sekadar kebiasaan yang tidak
memuat kerinduan yang mendalam terhadap Tuhan. Keinginan atau hasrat bertemu
dengan Tuhan haruslah menjadi hasrat yang paling kuat dibanding dengan segala
hasrat yang lain dalam hidupnya. Jika tidak demikian, berarti ada hal lain yang
lebih dipandang menarik dibanding Tuhan.
Dalam perjumpaan pribadi dengan Allah tersebut kita akan
lebih menyadari dan menghayati kekudusan Allah yang tiada tara. Seiring dengan
itu kita menyadari pula betapa rusaknya hidup dan diri kita ini. Keadaan kita
ternyata masih sangat jauh dari kesucian dan kesempurnaan Allah. Kita merasa
sangat tidak layak di hadapan kekudusan Allah. Di sini terjadi pertobatan. Kita
akan membuat komitmen-komitmen baru untuk memulai hidup tidak bercacat dan
tidak bercela. Setiap kali kita bertemu dengan Tuhan, kita seperti baru
bertobat kembali dan rasanya kita baru mengalami kelahiran baru. Sejak saat itu
kita melatih diri untuk tidak menyentuh apa yang salah baik di dalam pikiran,
perkataan maupun perbuatan kita. Dari hal-hal sederhana kita mulai belajar
untuk mengarahkan pikiran dan perkataan kita kepada apa yang benar menurut
Tuhan. Kita tidak sembarangan berpikir. Kita tidak akan mengijinkan sesuatu
yang najis masuk pikiran kita. Kita juga menjaga mulut kita untuk tidak
mengucapkan sesuatu yang sia-sia. Kalau pikiran dan hati kita bisa dikontrol
dengan landasan Firman Tuhan, maka kita jauh dari perbuatan yang bertentangan
dengan kehendak Allah.
Dalam perjumpaan dengan Tuhan tersebut, maka terjadi
impartasi. Tuhan membagikan spirit dan gairah keilahian-Nya kepada kita. Tuhan
menularkan diri-Nya kepada kita melalui perjumpaan tersebut. Gairah-gairah
surgawi atau kekudusan Allah akan menginspirasikan kita untuk berjalan dalam
kesucian-Nya. Dari hal ini kita barulah dapat merasakan apa artinya dimuridkan
oleh Tuhan Yesus secara pribadi. Dan memang inilah sebenarnya kehendak Allah
agar kita dimuridkan secara pribadi oleh Tuhan Yesus sesuai Firman-Nya Jadikan
semua bangsa murid-Ku. ”Murid-Ku” artinya bukan muridnya pendeta atau gereja
atau manusia manapun. Manusia dan gereja hanya menjadi mentor sementara, tetapi
pada dasarnya Tuhan Yesus sendiri yang memuridkan orang percaya. Oleh sebab itu
hal berjumpa secara pribadi dengan Tuhan dalam doa adalah hal yang sangat
mutlak.
“Melalui persekutuan yang tiada henti dengan
Tuhan dalam doa pribadi, maka seseorang diarahkan untuk memiliki karakter Bapa.
Gairah surgawi atau kekudusan Allah akan menginspirasikan kita untuk berjalan
dalam kesucian-Nya.”
26. TIDAK BERCACAT TIDAK BERCELA
Jika seseorang mendengar kalimat “hidup tidak bercacat dan tidak
bercela”, rasanya sangat berat dan sulit dicapai, bahkan tidak sedikit yang
berpikir hal itu mustahil. Kemudian banyak orang bersikap apatis terhadap hal
tersebut karena berpikir tidak mungkin dapat mencapainya. Benarkah bahwa
manusia tidak mungkin bisa hidup tidak bercacat dan tidak bercela Sesungguhnya
kalau seseorang berpikir bahwa tidak mungkin seseorang bisa hidup tidak
bercacat dan tidak bercela atau menjadi sempurna, pasti karena pengaruh cara
berpikir berbagai agama dan keyakinan. Di dalam berbagai agama dan keyakinan,
kesan yang ditimbulkan sangat kuat bahwa manusia adalah makhluk yang tidak
sempurna dan tidak bisa sempurna. Hal inilah yang menolerir seseorang berbuat
suatu kesalahan. Sikap ini sebenarnya merupakan sikap “permisif ” (sikap serba
memperbolehkan atau kecenderungan mengijinkan sega la t inda ka n boleh
dilakukan).
Ketika Allah dipromosikan sebagai Allah yang Mahapengampun,
dikesankan bahwa manusia selalu bisa bersalah, dan Allah pasti selalu bersedia
memberi pengampunan, maka Ia disebut sebagai Allah Mahapengampun. Pernyataan
ini bukan berarti membantah fakta yang bisa terjadi atas orang percaya, yaitu
kegagalan yang bisa dialami oleh orang percaya. Hal ini juga tidak bermaksud
tidak meyakini bahwa Allah selalu menyediakan pengampunan. Tetapi hendaknya
orang percaya tidak memberi peluang berbuat dosa dengan pemikiran bahwa Tuhan
siap memberi pengampunan. Meskipun Tuhan selalu siap memberi pengampunan,
sejatinya orang percaya menghindari tindakan bersalah yang dapat melukai hati
Tuhan.
Sikap permisif juga
bisa terbangun berhubung fakta orang-orang saleh Perjanjian Lama yang melakukan
pelanggaran dan memiliki kelemahan-kelemahan. Abraham, Yakub, Daud, Salomo,
Elia, Yunus dan tokoh-tokoh lain memiliki lembaran hitam dalam kehidupan
mereka. Belum lagi tokoh Perjanjian Baru seperti Petrus yang ternyata juga
melakukan suatu kesalahan yang dikategorikan fatal. Kalau mereka bisa gagal,
jatuh dalam dosa, mengapa kita tidak Begitulah pikiran banyak orang Kristen.
Pikiran yang sesat ini tidak boleh bertakhta di dalam pikiran orang percaya.
Berkenaan dengan hal ini harus diketahui bahwa tokoh-tokoh Perjanjian Lama
adalah orang-orang yang belum mendengar Injil dan belum menerima materai Roh
Kudus. Mereka tidak dapat dituntut untuk sempurna. Memerhatikan kehidupan
tokoh-tokoh iman Perjanjian Lama, kita harus mengerti bahwa walaupun mereka
tidak sempurna -mereka memiliki kegagalan-kegagalan bahkan perbuatan yang
memalukan- tetapi ada kelebihan-kelebihan mereka yang dapat menjadi pelajaran
rohani bagi kita. Adapun Petrus dan murid-murid yang lain ketika berbuat
kesalahan, hal itu karena mereka belum menerima baptisan Roh Kudus. Bahkan
sekalipun menerima baptisan Roh Kudus, mereka juga harus melalui proses
bertahap untuk bisa menjadi sempurna.
Penyebab seseorang t idak bergairah untuk mencapai hidup
yang tidak bercacat dan tidak bercela juga disebabkan karena memandang gaya
hidup seperti ini tidak menguntungkan. Pertanyaan yang bisa muncul dalam
pikiran banyak orang adalah apakah yang dapat diberikan oleh kehidupan yang
tidak bercacat dan tidak bercela Malahan timbul kecurigaan, jangan-jangan hidup
yang tidak bercacat dan tidak bercela membuat hidup tidak bahagia. Gaya hidup
yang dianggap tidak wajar bagi kehidupan masyarakat pada umumnya. Di kalangan
tertentu orang yang berusaha hidup tidak bercacat dan tidak bercela dianggap
fanatik, tidak bisa bergaul dengan masyarakat lain, aneh dan membuat orang lain
tidak nyaman. Seharusnya hal ini tidak boleh menjadi alasan, sebab dunia memang
memiliki standar yang berbeda. Orang percaya tidak boleh serupa dengan dunia
ini.
Kalau orang percaya harus tersisih dan disingkirkan oleh
dunia dan dianggap sebagai ancaman, hal itu harus dianggap sebagai kewajaran.
Kalau pada zaman gereja mula-mula orang percaya teraniaya oleh orang-orang yang
menolak Injil, tetapi pada zaman ini orang percaya yang hidup tidak bercacat
dan tidak bercela akan teraniaya oleh orang-orang baik yang tidak mau
meningkatkan hidup pada taraf kesucian seperti Tuhan. Banyak orang puas dengan
standar hidup sebagai orang baik, dan menolak untuk sempurna.
“Orang percaya yang hidup tidak bercacat dan
tidak bercela akan teraniaya oleh orang- orang baik yang tidak mau meningkatkan
hidup pada taraf kesucian seperti Tuhan, karena banyak orang puas dengan
standar hidup sebagai orang baik, dan menolak untuk sempurna.”
27. MENTAL BLOCK
Apatisme untuk hidup tidak bercacat dan tidak bercela juga
disebabkan oleh pengalaman hidup yang telah dilalui, dimana seseorang merasa selalu
gagal untuk hidup tidak bercacat dan tidak bercela. Pengalaman hidup dan
catatannya menunjukkan bahwa mencapai hidup tidak bercacat dan tidak bercela
adalah kemustahilan. Hal ini membangun “mental block”. Banyak orang-orang
Kristen seperti ini tidak menyadari keadaannya. Mereka terus terpuruk ke dalam
keadaan yang sebenarnya semakin tidak berkenan kepada Tuhan.
Di antara mereka yang
tidak meyakini bahwa manusia bisa melakukan kehendak Allah dengan baik dan
tidak meyakini bahwa kesempurnaan dapat dicapai di bumi ini, mencoba menyusun
doktrin untuk membela pandangan mereka, yang pada intinya mereka berpendirian
bahwa kesempurnaan hanya dapat dicapai nanti di balik kubur. Teologi yang
dibangun mereka biasanya teologi yang tidak menuntut manusia mengerjakan
keselamatan dengan takut dan gentar. Mereka tidak mengajarkan bahwa manusia
harus berjuang untuk mencapai kehidupan yang tidak bercacat dan tidak bercela.
Bagi mereka keselamatan hanyalah terhindar dari neraka dan
diperkenan masuk surga. Menurut mereka, semua dikerjakan oleh Allah. Manusia
tidak berhakmenentukan “takdirnya”, sebab semua takdir ditentukan
oleh Allah. Mereka meyakini hal selamat atau binasa dalam kehidupan seseorang
sudah ditentukan atau ditakdirkan secara sepihak oleh Allah. Tidak heran kalau
mereka menempatkan Tuhan sebagai kausalitas (penyebab) segala sesuatu, termasuk
sebagian manusia yang masuk neraka. Waktu akan menguji apakah ajaran seperti ini
mampu membawa umat kepada integritas manusia yang unggul seperti yang dirancang
Tuhan atau tidak.
Sesungguhnya manusia harus bertanggung jawab atas hidupnya.
Setiap individu menentukan takdirnya. Menjadi seorang yang tidak bercacat atau
tidak bercela tergantung individu tersebut. Itulah sebab Petrus mengatakan
“siapkanlah akal budimu… Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti
hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu
menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah
memanggil kamu, sebab ada tertulis Kuduslah kamu, sebab Aku kudus” (1Ptr.
113-16). Firman ini sangat jelas menyatakan bahwa orang percaya harus memiliki
kekudusan seperti Allah. Itulah sebabnya Perjanjian Baru tidak memberi peluang
bagi orang percaya boleh hidup dalam dosa atau kesalahan. Orang percaya harus
sempurna. Ini adalah harga mati yang tidak dapat ditawar. Firman Tuhan sangat
jelas menuntut kita untuk hidup tidak bercacat dan tidak bercela, bahkan Tuhan
menghendaki agar orang percaya menjadi sempurna seperti Bapa (Mat. 548). Firman
Tuhan menghendaki agar orang percaya memiliki kekudusan seperti Bapa. Dalam
tulisan Paulus kepada jemaat Korintus jelas sekali dikatakan bahwa mereka harus
hidup tidak bercela dan tidak hidup dalam persekutuan dengan orang berdosa.
Jika menuruti hal ini, maka Allah akan menerima mereka sebagai anak-anak-Nya
(2Kor. 614-18).
Dalam kamus hidup
orang percaya hanya ada satu dari dua pilihan, terang atau gelap. Orang percaya
tidak diperkenankan ada di daerah abu-abu atau sebuah level mediokritas
(setengah-setengah). Orang percaya harus menempatkan diri di tempat terang dan
berperilaku sempurna seperti Bapa. Untuk ini orang percaya harus berjiwa besar
dan bermental baja, artinya orang percaya harus berani menerima perintah Tuhan
untuk hidup tidak bercacat dengan optimis, bahwa Dia yang memerintahkan orang
percaya berbuat sesuatu, pasti Ia menyanggupkannya, sebab Ia memberi fasilitas
dan menuntunnya. Dalam suratnya Paulus mengatakan “Allah memanggil kita bukan
untuk melakukan apa yang cemar, melainkan apa yang kudus” (1Tim. 614). Orang
yang menolak hidup kudus atau hidup yang tidak bercacat dan tidak bercela
berarti menolak menjadi anak Allah. Hal ini hendaknya tidak dipahami sebagai
merusak doktrin sola gracia. Memang hanya karena anugerah kita menjadi anak
Allah. Tetapi anugerah tidak menempatkan orang percaya secara otomatis
berkeadaan sebagai anak Allah. Berkeadaan sebagai anak Allah adalah hasil
perjuangan dari orang percaya yang menerima Yesus sebagai Tuhan, atau
menempatkan Tuhan sebagai pemilik kehidupan ini. Itulah sebabnya jika seseorang
menolak untuk hidup kudus, berarti menolak menjadikan Yesus sebagai Tuhannya.
“Pengalaman
hidup dan catatannya menunjukkan bahwa mencapai hidup tidak bercacat dan tidak
bercela adalah kemustahilan. Hal ini membangun “mental block”.”
Selama ini bila kita berbicara mengenai kehidupan orang
percaya yang tidak bercacat dan tidak bercela, kita diarahkan kepada
orang-orang yang dianggap sebagai orang suci dan orang saleh. Biasanya pula
selalu dikaitkan dengan kegiatan di sekitar keagamaan. Jika ukuran kehidupan
yang tidak bercacat dan tidak bercela adalah kehidupan orang yang meninggalkan
kehidupan wajar dan berbiara, betapa mudahnya hidup tidak bercacat dan tidak
bercela itu. Kondisi mereka yang hidup dalam biara adalah kehidupan yang jauh
dari pergumulan hidup wajar yang dialami mereka yang ada di tengah buasnya dunia,
di luar tembok biara. Hidup tidak bercacat dan tidak bercela bukan hanya
menyangkut masalah-masalah rohani yang selalu dikaitkan dengan moral. Tetapi
bertalian dengan berbagai aspek hidup ini tanpa batas.
Kesalahan memandang hal kehidupan tidak bercacat dan tidak
bercela di atas menciptakan strata dalam kehidupan orang percaya . Ada kelompok
orang suci dan kelompok lain yang tidak berhak menyandang gelar sebagai orang
suci. Padahal Firman Tuhan menyatakan bahwa semua orang percaya yang menerima
panggilan sebagai orang percaya yang benar adalah bangsa yang kudus, umat
kepunyaan Allah sendiri (1Ptr. 29). Kebodohan ini juga akan membangun mental
blok dalam kehidupan orang percaya, seakan-akan hanya mereka yang dikelompokkan
sebagai orang suci yang dapat hidup tidak bercacat dan tidak bercela. Kesalahan
ini juga membangun sikap permisif. Kalau orang suci tidak boleh berbuat
kesalahan, sementara sebagai jemaat biasa tidak terlalu dituntut untuk hidup
tidak bercacat dan tidak bercela.
Kehidupan yang tidak
bercacat dan tidak bercela harus dikaitkan dengan segenap aspek hidup kita di
tengah pergumulan menghadapai dunia dan manusia lain dalam kehidupan konkret.
Ini berarti menyangkut moral, etos kerja yaitu kerajinan dan ketekunan bekerja,
pola hidup, pola makan, tutur kata dalam berbicara dan bercanda, penggunaan
waktu, ketertiban mengatur waktu, ketepatan waktu dalam menghadiri sebuah
pertemuan, kesetiaan memenuhi janji, cara berpakaian, kebersihan dan
pemeliharaan tubuh dan segala aspek hidup lainnya. Dalam segala aspek hidupnya
tidak ditemukan salah dan kurangnya. Hal ini menyangkut perkara-perkara kecil
sampai perkara- perkara besar. Justru dari perkara-perkara kecil nampak kebenaran
seseorang dalam perkara yang besar. Untuk itu seseorang yang menginginkan
dengan benar kehidupan yang tidak bercacat dan tidak bercela akan berlatih
setiap hari. Dan setiap malam ia selalu memeriksa, apakah sepanjang hari telah
melukis gambar yang indah melalui segala perbuatannya, atau belum.
Kehidupan seseorang yang tidak bercacat dan tidak bercela
pasti membawa keteduhan bagi semua orang yang dijumpainya. Sejatinya, semua ini
menunjuk keagungan seorang anak Allah yang benar-benar bermental surgawi.
Kehidupan orang yang tidak bercacat dan tidak bercela sangat berpotensi menjadi
saksi bagi Tuhan. Dari kehidupan yang tidak bercacat dan tidak bercela, seorang
anak Tuhan dapat membuktikan bahwa dua ribu tahun yang lalu pernah hadir
seorang pria yang mengaku Anak Allah (dan memang Dia adalah Anak Allah), yang
menjadi Juru Selamat dunia ini. Perbuatan dan seluruh gaya hidup yang tidak
bercacat dan tidak bercela berpotensi menjadi saksi Kristus yang sangat
efektif. Sebenarnya inilah pola penginjilan dan kesaksian yang dikehendaki oleh
Allah.
Orang yang hidup tidak bercacat dan tidak bercela memiliki
keyakinan berdasarkan keberadaan hidupnya setiap hari bahwa dirinya layak masuk
rumah Bapa yang Mahakudus dan tinggal bersama dengan orang-orang saleh Tuhan
yang pernah hidup di bumi ini. Dalam hal ini setiap orang dapat mengukur
dirinya, apakah ia layak menjadi anggota keluarga Kerajaan Surga atau tidak.
Sehingga keyakinannya diterima di rumah Bapa bukan hanya berdasarkan keyakinan
dalam pikirannya, tetapi fakta kehidupan yang dijalani setiap hari. Orang-orang
seperti ini bukan hanya percaya akan masuk surga tetapi tahu. Jadi, keyakinan
masuk surga bukan berangkat dari aktivitas nalar lagi (keyakinan di dalam
pikiran), tetapi sebuah pengalaman konkret hidup yang melahirkan pengalaman
langsung dengan Tuhan, sehingga dirinya tahu bahwa ia akan pasti diterima di
rumah abadi.
“Keyakinan masuk surga bukan berangkat dari
aktivitas nalar lagi, tetapi sebuah pengalaman konkret hidup yang melahirkan
pengalaman langsung dengan Tuhan, sehingga dirinya bukan hanya percaya tetapi
ia tahu bahwa ia akan pasti diterima di rumah abadi.”
29. HIDUP DALAM PERSEKUTUAN DENGAN ALLAH
Apa yang kita pahami selama ini mengenai hidup dalam
persekutuan dengan Tuhan Bagaimana realisasi konkretnya dalam kehidupan ini
Pada umumnya orang kalau sudah melakukan kegiatan agamanya sudah merasa hidup
dalam persekutuan dengan Tuhan. Harus dipahami bahwa persekutuan dengan Tuhan
tidak cukup demikian.
Kekristenan adalah jalan hidup. Persekutuan dengan Tuhan
harus berlangsung setiap saat, setiap jengkal langkah hidup kita, setiap saat
tiada henti. Bentuk persekutuan dengan Allah dinyatakan Tuhan dengan kalimat “…
supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa,
di dalam Aku dan Aku
di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa
Engkaulah yang telah mengutus Aku” (Yoh. 1721).
Pernyataan Tuhan ini menunjuk adanya kelompok orang-orang yang memiliki kehidupan sesuai dengan kehendak Allah dari berbagai tempat di dunia ini. Walaupun mereka belum tentu menjadi satu secara fisik atau dalam suatu komunitas yang hidup bersama berdampingan, tetapi mereka adalah orang-orang yang dipandang Tuhan sebagai umat yang layak masuk dalam persekutuan dengan Allah. Mereka adalah orang- orang yang dikuduskan oleh Firman (Yoh. 117), tentu juga mereka telah dikuduskan oleh Roh sehingga telah menjadi lukisan Ilahi yang indah. Mereka adalah orang-orang yang sudah memiliki karakter seperti Tuhan Yesus. Hanya orang-orang yang memiliki karakter agung seperti Tuhan Yesus yang dapat berjalan bersama dengan Tuhan setiap saat. Dalam hal ini persekutuan dengan Allah bukan sesuatu yang sederhana. Untuk mencapai kehidupan seperti ini harus dilalui dan dicapai dengan perjuangan yang mempertaruhkan segenap hidup.
Ciri-ciri dari kehidupan seseorang yang dapat bersekutu dengan Tuhan setiap saat, pertama, memfokuskan dirinya kepada kemuliaan bersama dengan Tuhan Yesus. Semua ambisinya dicurahkan pada kerinduan untuk dipermulian bersama-sama dengan Tuhan Yesus, karena memang inilah proyeksi kehidupan oang yang terpilih (Rm. 817; 28-30). Kedua, tidak lagi memiliki kesenangan dari keindahan dunia ini. Keindahan Kerajaan Surga dan kekayaan Allah yang tidak terbatas menjadi warisan abadi yang dimilikinya. Ketiga, hidup tidak bercacat dan tidak bercela dalam segala hal, dari apa yang diucapkan, dipikirkan dan dilakukan. Keempat, mengabdikan diri segenap hidup untuk menyelamatkan jiwa-jiwa, baik mereka yang ada di luar gereja maupun yang ada di dalam gereja. Untuk orang- orang yang ada di dalam gereja harus dibina untuk menjadi corpus delicti. Kelima, hidup dalam ketergantungan penuh kepada Tuhan, sampai tidak memiliki rasa takut terhadap apa pun, selain kepada Tuhan sendiri.
Orang-orang seperti ini adalah orang-orang yang hidup dalam
kawasan Ilahi. Sangat berbeda bahkan bertolak belakang dari cara hidup yang
telah kita warisi dari nenek moyang kita (1Ptr. 118-19). Dengan cara hidup
seperti ini kita masuk ke dalam kehidupan penghayatan sebagai anak- anak Allah.
Sesungguhnya orang percaya harus memiliki penghayatan hidup seperti ini. Jika
tidak, maka belumlah ia dapat disebut sebagai anak-anak Allah yang sah (huios).
Allah tidak akan
mengadopsi secara sah seseorang yang tidak bersedia masuk ke dalam proses
keselamatan-Nya. Keberadaan seseorang sebagai anak Allah bukan hanya berangkat
dari tindakan Tuhan menebus dengan darah- Nya, tetapi juga kesediaan individu
untuk diubah melalui didikan Bapa.
Kasih karunia Tuhan bisa mengantar orang percaya kepada
kehidupan yang luar biasa seperti ini. Jika hanya melakukan kegiatan agama, itu
belumlah tujuan dari keselamatan dalam Tuhan Yesus Kristus diberikan. Dari hal
ini sebenarnya kita sudah bisa menguji apakah suatu pengajaran benar-benar dari
Tuhan atau dari manusia. Kalau pengajaran tidak mengarahkan jemaat pada tujuan
hidup ini, maka bukanlah pengajaran yang datang dari Allah. Memang waktu yang
akan membuktikan, tetapi harus sedini mungkin kita sudah dapat membedakan
dengan nurani yang baik, kecuali nurani seseorang sudah rusak, maka ia tidak
akan dapat membedakannya.
“Hanya
orang-orang yang memiliki karakter agung seperti Tuhan Yesus yang dapat
berjalan bersama dengan Tuhan setiap saat.”
30. BERKENAN DI HADAPAN TUHAN
Manusia bisa memiliki segala kelebihan, tetapi kalau tidak
berkenan di hadapan Tuhan, semuanya menjadi sia-sia. Manusia tidak berhak hidup
untuk siapa pun bahkan untuk dirinya sendiri, kecuali untuk Penciptanya. Kita
harus bersyukur dan sungguh-sungguh menghargai kesempatan tidak ternilai
menjadi manusia berkenan di hadapan Tuhan, sebab kalau kita menjadi binatang
kita tidak akan pernah memiliki kesempatan berkenan di hadapan Tuhan. Hanya
manusia yang dapat berkenan di hadapan Tuhan, yaitu dengan melakukan segala
sesuatu yang Tuhan kehendaki dan yang Tuhan rencanakan secara tepat. Inilah
kehormatan dan kebesaran kita sebagai manusia ciptaan Tuhan.
Terkait dengan hal
ini, kita harus menyadari betapa hebat dan sunguh-sungguh luar biasa diperkenan
menyenangkan hati Tuhan, sebab hal ini sama dengan bisa membuat irama atau gerakan
di hati Tuhan. Siapa yang bisa mengerakkan kalau bukan manusia yang adalah
anak-anak-Nya Jadi, kalau kita menyiakan- nyiakan kesempatan ini, sebaiknya
kita tidak pernah menjadi manusia atau tidak pernah ada. Hal ini akan
dimengerti lengkap tatkala seseorang terbuang dari hadirat Allah selamanya
menjadi sampah abadi. Ia akan menyesali mengapa dirinya pernah ada di bumi ini.
Berkenan di hadapan Tuhan adalah harta abadi yang tidak akan
pernah bisa diambil oleh siapa pun. Tidak keliru kalau hal ini bisa dikatakan
sebagai “harta surga”, sebab Tuhan tidak akan mengijinkan orang yang tidak
berkenan di hadapan Tuhan masuk ke dalam Kerajaan-Nya. Walaupun Tuhan memberi
kesempatan untuk mengumpulkan harta di surga dengan cara berusaha berkenan di
hadapan Tuhan, tetapi banyak orang mengabaikannya. Mereka lebih suka mengumpulkan
harta di dunia, yaitu memuaskan diri sendiri dengan segala keinginan dan
cita-citanya sehingga tidak memedulikan sesamanya. Padahal Tuhan memberi waktu
yang terbatas di bumi ini untuk menunjukkan atau membuktikan bahwa mereka
mengasihi Tuhan dengan berusaha berkenan di hadapan Tuhan. Orang yang gagal
berkenan di hadapan Tuhan berarti gagal menjadi anak- anak Allah. Sebab
anak-anak Allah yang benar memiliki ciri berkenan di hadapan Tuhan.
Berkenan di hadapan Tuhan adalah hal yang paling rumit dan
tersulit dalam kehidupan ini. Oleh sebab itu kita tidak boleh menganggap sepele
atau remeh hal ini. Inilah hal yang harus diperjuangkan lebih dari
memperjuangkan segala sesuatu. Tetapi sayangnya banyak orang memperjuangkan
banyak hal, tetapi tidak memperjuangkan hal ini secara benar. Hampir semua
manusia menempatkan hal ini bukan pada urutan utama dan pertama, bahkan ada
yang tidak mencantumkannya dalam daftar kebutuhan hidup ini. Mereka menganggap
bahwa berkenan di hadapan Tuhan hal yang tidak penting. Tuhan pun juga
seakan-akan tidak peduli akan hal ini. Seakan-akan Tuhan pun berdiam diri kalau
seorang Kristen tidak menyukakan hati-Nya. Sesungguhnya tidak demikian, Tuhan
selalu mengingatkan umat pilihan- Nya untuk menempatkan hal ini pada urutan
pertama dan utama dalam hidup.
Sesungguhnya Tuhan
bukan berdiam diri terhadap keadaan manusia yang tidak berkenan di hadapan
Tuhan, tetapi Tuhan tidak memaksakan kehendak-Nya terhadap umat untuk dapat
menyukakan hati-Nya. Memaksakan kehendak bukanlah hakikat Tuhan. Tuhan tidak
akan memaksakan seseorang untuk berkenan di hadapan Tuhan dengan
ancaman-ancaman atau menggunakan kuasanya- Nya sehingga secara otomatis
seseorang bisa menyukakan hati Tuhan. Gairah berkenan di hadapan Tuhan haruslah
mengalir dari diri seseorang yang digerakan oleh dirinya sendiri. Inilah letak
misteri kehidupan dari kehendak bebas manusia yang ditaruh Tuhan atas setiap
individu. Dengan hal ini setiap individu bisa menunjukkan keberadaan dirinya
sebagai individu di hadapan Tuhan yang menempatkan diri sebagai sekutu Tuhan
dengan rela, sukacita dan segenap kehidupan.
Tuhan memberi kesempatan setiap saat dan melalui segala hal
untuk menyenangkan hati Tuhan. Gairah menyenangkan hati Tuhan dalam diri kita
harus bernyala bahkan membara terus tiada henti sampai kekekalan. Oleh sebab
itu kita harus bersyukur kalau saat-saat tertentu Tuhan menutup kemungkinan
untuk menyenangkan hati sendiri (bisa karena kemiskinan, sakit, kekecewaaan,
penindasan dan lain sebagainya), supaya dengan keadaan tersebut kita memiliki
peluang lebih besar untuk menyenangkan hati Tuhan dan hidup berkenan di hadapan
Tuhan.
“Berkenan di hadapan Tuhan adalah harta
abadi yang tidak akan pernah bisa diambil oleh siapa pun, karena itu gairah
berkenan di hadapan Tuhan haruslah mengalir dari diri seseorang yang digerakan
oleh dirinya sendiri.”