Pemulihan Gambar Diri

 

Gambar diri adalah pengertian seseorang mengenai siapa dirinya dan harus menjadi apa atau bagaimana dirinya sendiri tersebut. Krisis gambar diri adalah kegagalan seseorang mengenal siapa dan bagaimana dirinya di hadapan Tuhan. Apabila pandangan seseorang mengenai manusia salah, maka salahlah semua gerak hidupnya. Krisis ini akan melahirkan berbagai krisis kehidupan lainnya.

TUJUAN MANUSIA DICIPTAKAN

Kejadian 1 : 26
Berfirmanlah Allah: "Baiklah Kita menjadikan manusia menurut GAMBAR dan RUPA Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi."

Efesus 1 : 4
Sebab DI DALAM DIA Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita KUDUS dan TAK BERCACAT di hadapan-Nya.

Efesus 1 : 5-6
DALAM KASIH Ia telah menentukan kita dari semula OLEH YESUS KRISTUS UNTUK MENJADI ANAK-ANAKNYA, sesuai dengan KERELAAN KEHENDAKNYA, supaya TERPUJILAH KASIH KARUNIANYA YANG MULIA, yang dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Dia, yang dikasihi-Nya.

1 Petrus 1 : 20
IA TELAH DIPILIH SEBELUM DUNIA DIJADIKAN, tetapi karena kamu baru menyatakan diri-Nya pada ZAMAN AKHIR.

Roma 8 : 28-29
Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi MEREKA YANG MENGASIHI DIA,  yaitu BAGI MEREKA YANG TERPANGGIL SESUAI DENGAN RENCANA ALLAH. (29) Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi SERUPA dengan GAMBAR ANAKNYA, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi YANG SULUNG di antara banyak saudara.

Pemulihan Gambar Diri

Manusia sedang mengalami krisis gambar diri. Gambar diri adalah pengertian seseorang mengenai siapa dirinya dan harus menjadi apa atau bagaimana dirinya sendiri tersebut. Krisis gambar diri adalah kegagalan seseorang mengenal siapa dan bagaimana dirinya di hadapan Tuhan. Apabila pandangan seseorang mengenai manusia salah, maka salahlah semua gerak hidupnya. Krisis ini akan melahirkan berbagai krisis kehidupan lainnya.


Dua Aspek Gambar diri

Dewasa ini banyak orang sedang berbicara mengenai gambar diri, baik di dalam maupun di luar lingkungan gereja. Tampillah penceramah-penceramah, pembicara-pembicara dan pengkotbah-pengkotbah yang mengambil tema ini sebagai isi percakapannya. Dalam pelatihan-pelatihan para pemimpin dan pejabat gereja, tema ini juga diangkat ke permukaan sebagai bahan ajarannya. Rupanya banyak orang sudah menganggap pokok ini penting. Apakah sebenarnya yang dimaksud dengan gambar diri itu (self image)? Gambar diri adalah pemahaman seseorang mengenai siapa dirinya? (Who he is) dan harus menjadi apa atau bagaimana dirinya tersebut (self esteem). Jadi, gambar diri dimiliki dua aspek:

•   Aspek present atau kekinian (who I am now).

•   Aspek future atau yang akan datang (who I will be).

Aspek present atau kekinian yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya saat ini. Setiap orang memiliki penilaian atau harga terhadap dirinya sendiri. Dalam hal ini ada orang yang menilai dirinya terlalu tinggi, tetapi ada juga yang memandang dirinya terlalu rendah. Orang yang memandang dirinya tinggi cenderung percaya diri dan merasa yakin pasti diterima siapapun dan dimanapun. Hal-hal ini biasanya dianggap positif, pada hal belum tentu. Orang yang percaya diri bukan berarti telah memiliki gambar diri yang benar.
Sebaliknya kalau seseorang memandang dirinya rendah, maka akan cenderung rendah diri atau minder. Orang yang minder sebenarnya adalah orang sombong dari sudut yang berbeda. Orang yang rendah diri adalah orang yang menetapkan suatu standar. Karena tidak mencapai standar tersebut maka ia menjadi minder. Orang minder tidak menerima diri sebagai mana adanya. Itulah letak kesombongannya. Kalau ia menerima keberadaannya, maka ia tidak minder. Orang yang memandang diri terlalu rendah bukan saja cenderung minder tetapi juga mudah memiliki perasaan tertolak dan perasaaan tertolak dan perasaan negative lainnya. Perbaikan atas hal ini bukan saja mengembalikan penilaian atas dirinya secara proporsional, sehingga tidak minder, tidak merasa tertolak dan lain sebagainya, tetapi mengenakan pikiran dan perasaan Kristus.

Ceramah mengenai gambar diri yang diajarkan sering tidak memiliki ukuran yang jelas. Percaya diri dianggap sebagai tanda seorang yang sudah menemukan gambar diri. Bila demikian ukurannya, maka ini bukanlah kebenaran Alkitab. Ini hanyalah pengembangan kepribadian yang juga diajarkan oleh para motivator umum. Pengembangan kepribadian bila diajarkan tanpa kebenaran Injil akan membangun sikap humanisme (berpusat kepada diri sendiri) dan tidak mengembangkan pola hidup seperti yang disaksikan Paulus yaitu “hidupku bukan aku lagi” (Gal 2:19-20). Tuhan menghendaki agar orang percaya memiliki kembali gambar Allah yang rusak dalam dirinya. Tuhan Yesuslah teladannya. Itulah sebabnya orang percaya harus mengenakan pikiran dan perasaan Kristus Yesus.

Gambar diri juga memiliki aspek future atau akan datang, yaitu bagaimana seseorang akan membawa dirinya (self esteem). Gambaran dalam diri seseorang dapat menjadi apa atau bagaimana dirinya di kemudian hari. Aspek ini sangat diperankan oleh filosofi orang tersebut. Kalau ia memandang kekayaan adalah nilai tertinggi maka bayangan dirinya adalah menjadi orang kaya. Kalau ia memandang gelar adalah nilai tertinggi, maka ia berusaha mencapai jenjang pendidikan tertentu untuk dapat meraih gelar. Kalau ia memandang kedudukan adalah nilai tertinggi kehidupan, ia berusaha menjadi orang terhormat, baik di gelanggang politik maupun di bidang lain. Dan manusia terus bergerak untuk menjadi seseorang seperti yang diidolakan.

Apa yang dilakukan oleh manusia pada hakekatnya adalah proses meniru. Dari generasi ke generasi proses ini berlangsung secara otomatis. Pola pikir dan gaya hidup seseorang pada umumnya meniru apa yang sudah dilakukan orang sebelumnya dan apa yang dilihat dari lingkungannya. Ini yang disebut oleh Petrus sebagai cara hidup yang diwariskan oleh nenek moyang (1 Pet 1:18-19). Inilah proses membangun gambar diri yang salah.

Semua orang berjuang untuk menjadi seseorang seperti yang diidolakan. Idola manusia pada umumnya adalah menjadi orang yang berlimpah harta, berpendidikan tinggi, berpangkat, berpenampilan menarik, cantik atau ganteng dan lain sebagainya. Pada umumnya orang tua juga mendorong anak-anaknya mengidolakan apa yang diidamkan oleh mereka. Kalau orang tua mengidolakan profesi dokter maka anaknya diusahakan untuk menjadi dokter. Kalau orang tua mengidolakan ilmu, maka ia mendisain anaknya untuk menjadi ilmuwan. Dari kecil setiap anak manusia sudah dijejali obsesi-obsesi dan segala cita-cita yang berpusat kepada diri sendiri atau berpusat kepada ausia (anthroposentris). Gambar diri yang dibangun oleh seseorang untuk dapat diwujudkan secara konkret dalam kehidupan ini pada umumnya adalah menjadi sosok yang dikagumi, dipuja dan dihormati manusia lain. Banyak orang mati dalam dosa dan kegelapan, tahun-tahun umur hidupnya hanya digunakan untuk membangun gambar diri yang salah. Inilah yang disebut “disorientasi” yaitu hidup dengan fokus yang salah. Hal ini yang akan menyeret seseorang hidup dalam kesia-siaan (Pengk 1:2). Menjadi pintar, kaya, berkedudukan, terhormat, terkenal sebenarnya tidak salah tetapi masalahnya adalah untuk apa semua itu? Bila prestasi kehidupan ini hanya untuk supaya dikagumi manusia lain dan berharap bisa menikmati kebahagiaan, maka ini adalah suatu penyesatan. Tuhan Yesus menyatakan bahwa apa yang dikagumi manusia dibenci oleh Allah (Luk 16:15) dan hidup manusia tidak tergantung dari kekayaannya (Luk 12:15). Selanjutnya, Alkitab juga mengajarkan agar orang percaya tidak boleh menjadi sama dengan dunia ini (Roma 12:2).

Gambar Diri yang benar secara umum dan khusus

Ada dua macam gambar diri yang benar. Gambar diri secara umum dan gambar diri secara khusus. Secara umum artinya gambar diri yang mengacu atau menunjuk kepada manusia yang dikehendaki Allah, dalam hal ini Tuhan Yesus sebagai teladan-Nya (Fil 2:4-7). Untuk ini Injil harus dibedah dan digali untuk menemukan gambaran yang jelas, manusia macam apakah yang dikehendaki oleh Bapa itu. Gambaran mengenai manusia yang dikehendaki oleh Bapa adalah standar umum. Dalam hal ini semua orang percaya memiliki peta gambar diri yang sama yaitu mengacu kepada pribadi Tuhan Yesus Kristus sebagai model atau prototipenya. Gambar diri ini bisa disebut sebagai landasan utama dan umum dari gambar diri untuk semua orang percaya.

Gambar diri secara khusus artinya kehendak Tuhan kepada masing-masing individu untuk menjadi sosok pribadi macam apakah masing-masing individu itu. Dalam hal ini setiap orang memiliki gambar diri yang berbeda-beda. Tidak ada yang sama. Setiap orang memuat atau memikul rencana Allah secara khusus dan istimewa. Oleh sebab itu, hendaknya kita tidak membandingkan keadaan diri kita dengan orang lain. Setiap orang dirancang Tuhan dengan keadaannya yang khas, unik dan luar biasa. Sesuai dengan keberadaannya tersebut Tuhan memiliki rencana untuk dapat digenapi pada masing-masing individu. Dalam hal ini masing-masing orang memiliki peta diri yang berbeda. Disini nyata kebijaksanaan Tuhan sekaligus kreativitasnya menciptakan manusia dengan keberadaannya yang bermacam-macam modelnya. Tidak ada 2 orang yang sama di dunia ini sekalipun mereka anak kembar. Mari renungkan, betapa dahsyat, bahwa di kenyataan jagad raya ini hanya ada seorang, yaitu anda. Dalam hal ini tidak seorangpun dapat dan boleh menghakimi sesamanya, sebab Tuhan yang Maha Tahu, satu-satunya yang berhak menggelar penghakiman-Nya.

 Peran Waktu

Sering kita mendengar orang berkata dan bermotto, bahwa bukan awal perjalanan yang menentukan tetapi akhir perjalanan. Karena hampir semua orang setuju dengan pernyataan tersebut, maka banyak orang Kristen pun ikut-ikutan setuju. Apakah pernyataan ini benar? Apakah akhir perjalanan hidup seseorang menentukan segalanya. Pernyataan tersebut mengesankan bahwa hanya saat-saat terakhir kehidupan seseorang yang menentukan nasib kekalnya. Bila konsep ini dibenarkan, maka ada kecenderungan untuk tidak mulai berjaga-jaga mempersiapkan diri jauh-jauh hari sebelum mendekati hari kematian atau menghadap tahta pengadilan Tuhan. Ini adalah sebuah kecerobohan, sebab seseorang tidak pernah tahu kapan saat terakhir hidupnya. Itulah sebabnya Tuhan jarang sekali memberitahu kapan seseorang dipanggil-Nya pulang. Hal ini paralel dengan hari kedatangan Tuhan. Tidak seorangpun tahu kapan kedatangan-Nya yang kedua kali untuk menyudahi sejarah dunia ini (Mat 24:36; Kis 1:7). Kalau manusia tahu hari kedatangan-Nya, maka sikap berjaga-jaga yang benar tidak dimiliki secara benar. Pertobatannya juga tidak benar. Sebenarnya yang menentukan “nasib kekal seseorang” bukan hanya akhir perjalanan hidup seseorang, tetapi juga awal, pertengahan dan seluruh perjalanan hidupnya. Hendaknya kita tidak berpikir bahwa awal dan pertengahan perjalanan hidup tidak terlalu penting. Seluruh waktu yang tersedia adalah kesempatan untuk bersiap-siap bertemu dengan Hakim Agung. Ini berarti setiap saat seseorang harus siap menghadap Tuhan untuk mempertanggung jawabkan seluruh kehidupannya selama di dunia (2Kor 5:9-10). Bagi orang percaya pertanggungan jawabnya adalah apakah telah menemukan gambar diri yang Allah kehendaki. Disinilah letak perkenanan di hadapan Bapa. Untuk meraih hal ini orang percaya harus memanfaatkan setiap detiknya guna pengembangan diri untuk sempurna seperti Bapa..

Dalam bahasa Yunani ada beberapa kata yang dapat diterjemahkan “waktu” dalam bahasa Indonesia. Pertama"Hora". Kata ini menunjuk kepada waktu dalam pengertian durasinya (panjang pendeknya, lama singkatnya). Kita harus memperhatikan bahwa durasi waktu hidup kita sangat singkat. Durasi waktu itu merupakan kesempatan untuk merubah diri menjadi pribadi yang Tuhan kehendaki. Dalam 70 tahun umur hidup ini, seseorang harus menemukan gambar dirinya sesuai dengan kehendak Tuhan.

Kata kedua adalah "Kronos" artinya waktu dalam pengertian urut-urutannya. Kata ini menjadi kronologi dalam bahasa Indonesia. Dalam kebijaksanaan Tuhan, Tuhan telah merancang segala sesuatu indah. Rancangan Tuhan tesebut seperti kurikulum mahasiswa yang dirancang agar mahasiswa dapat menjadi lulusan yang berkualitas. Melalui urut-urutan peristiwa dalam kehidupan ini seorang anak Tuhan dibentuk agar menemukan gambar dirinya yang benar menurut Pencipta-Nya.

Sedangkan kata yang ketiga adalah "Kairos". Kairos berarti momentum. Ada saat-saat yang berharga dan sangat berarti dalam kehidupan ini dimana Tuhan menggarap seseorang. Momentum-momentum tersebut merupakan vitamin jiwa yang merubah warna jiwa seseorang menjadi seperti yang Tuhan mau. Warna jiwa inilah yang menentukan kualitas gambar diri seseorang.

Tiga kata untuk waktu ini (hora, kronos dan kairos) mengisyaratkan bahwa seluruh perjalanan waktu hidup ini penting. Bukan hanya awal perjalanan yang penting tetapi juga seluruh hora (durasi), kronos (urut-urutan kejadian) dan kairos (momentum atau kesempatan) yang Tuhan sediakan bagi orang percaya guna proses pendewasaannya. Dalam hal ini kita memahami betapa berharganya setiap detik waktu kita. Setiap detik kita berharga untuk mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar (Fil 2:12). Mengerjakan keselamatan adalah usaha untuk memiliki pikiran dan perasaan Kristus (Fil 2:5-7). Inilah keselamatan itu, yaitu menemukan gambar diri (memiliki pikiran dan perasaan Kristus) dan mengenakannya secara konkret.

Durasi hidup manusia sekarang hanya sekitar 70 tahun. 70 tahun tersebut menentukan nasib kekal atau keberadaan bagi seseorang (2Kor 5:9-10). Paulus menulis bahwa penderitaan ringan yang sekarang ini (70 tahun), mengerjakan bagi orang percaya kemuliaan kekal yang melebihi segala-segalanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan itu. Kalau 70 tahun dibanding 7 juta tahun, satu detiknya mengerjakan kemuliaan yang sangat berarti. Kalau 70 tahun dibanding 7 milyar tahun, satu detiknya mengerjakan kemuliaan yang sangat besar. Kalau 70 tahun dibanding 7 trilyun tahun, satu detiknya mengerjakan kemuliaan sangat-sangat besar. Dan kalau 70 tahun dibanding dengan kekekalan, maka satu detiknya mengerjakan kemuliaan yang tiada tara. Mata perhatian kita tidak boleh hanya memandang detik terakhir hidup ini dan menilainya lebih berarti, seolah-olah hanya detik terakhir yang menentukan nasib kekal. Yang menentukan nasib kekal manusia bukan hanya akhir perjalanan hidupnya tetapi sepanjang perjalanan hidupnya. Kalau awalnya sudah salah, sulit pada pertengahan menjadi benar. Awalnya benar saja belum tentu pertengahannya benar. Apalagi kalau awalnya sudah salah, maka kesalahan akan terjadi terus sampai akhir. Harus diingat bahwa tidak seorangpun tahu kapan detik terakhirnya. Setiap detik adalah momentum (Kairos) yang berharga yang memuat pelajaran rohani yang berharga, sesuai dengan jadwal pembentukan yang Tuhan susun seperti kurikulum (kronos). Itulah sebabnya Firman Tuhan menyatakan bahwa kita harus menggunakan waktu yang ada sebab hari-hari ini adalah jahat (Ef 5:16). Satu detik kita memiliki arti yang sangat berharga, karena itu bagian dari durasi (hora), urut-urutan (kronos) dan kesempatan (kairos) yang Tuhan berikan. Bila menggunakan waktu itu dengan baik maka waktu itu membawa manusia kepada kemuliaan. Harus kita ingat bahwa waktu (hora) kita makin berkurang, kesempatan-kesempatan (kairos) dapat berlalu tanpa hasil dan urut-urutan pembentukan Tuhan atas kita menjadi sia-sia. Betapa berharganya waktu kita. Detik demi detik berlalu, Tuhan menunggu anak-anak-Nya untuk menggunakan kesempatan hidup ini untuk meraih berkat kesulungan yang dimiliki orang percaya yaitu kesempatan untuk sempurna agar bisa dipermuliakan bersama-sama dengan Yesus. Tetapi kenyataan yang ada orang Kristen yang menukar hak kesulungannya dengan semangkuk makanan. Ini adalah percabulan rohani. Hal ini tindakan mengkhianati Tuhan. Suatu hari nanti orang-orang seperti tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri (Ibr 12:16-17). Jadi bukan hanya detik terakhir yang menentukan tetapi juga semua detik hidup yang diberikan Tuhan kepadanya.

Perjuangan Membangun Gambar Diri

Mengapa dikalangan orang Kristen terdapat pemahaman bahwa yang penting adalah akhir perjalanan. Harus diakui ada suatu pengertian yang salah mengenai keselamatan yang ada dalam pikiran banyak orang Kristen. Keselamatan dianggap begitu murahan dan gampangan (Luk 13:22-29). Inilah yang menyebabkan banyak orang Kristen memiliki hidup kerohanian yang tidak bermutu. Dari pernyataan-pernyataan Tuhan di perikop ini jelaslah dapat disimpulkan bahwa “keselamatan bukan sesuatu yang gampangan dan murahan.” Perhatikan ucapan Tuhan Yesus: Berjuanglah. Kata ini dalam teks aslinya adalah “agonizeste” artinya struggle atau strive (berjuang atau berusaha dengan keras). Pengertiannya yang lain adalah labor fervently (bekerja dengan bersemangat atau bernyala-nyala). Pemahaman keselamatan yang salah disebabkan pula intepretasi yang salah terhadap fragmen di kayu salib, yaitu keselamatan yang diterima oleh salah satu penjahat disamping Tuhan Yesus (Luk 23:39-43). Hanya mengucapkan: “Ingatlah aku kalau Engkau datang sebagai Raja”, ia sudah selamat. Banyak orang tidak memahami bahwa penjahat tersebut memiliki ” sikap hati yang luar biasa”, yang karenanya ia layak menerima keselamatan. Beberapa hal yang menunjukkan sikap hatinya nampak dalam beberapa pernyataan yang diucapkan di kayu salib tersebut: Ia mengakui bahwa Tuhan Yesus adalah Mesias, Sang Juru Selamat dan Yesus berkuasa menyelamatkan dirinya di kekekalan. Ia percaya bahwa Yesuslah Raja. Pada saat orang-orang meninggalkan Tuhan Yesus, bahkan murid-murid Yesus menyangsikan Dia adalah Mesias, justru ia satu-satunya yang masih percaya pada waktu itu. Apakah kita masih bisa mempertahankan iman Kristen dalam keadaan terjepit, atau bisa-bisa menyangkal Yesus seperti Petrus. Kesetiaan sampai akhir yang menentukan keselamatan seseorang, tetapi ini tidak hanya ditentukan oleh menit-menit. Kemenangan petinju bukan hanya pada menit-menit terakhir ketika ada di ring tinju tetapi hari-hari panjang pada waktu ia mempersiapkan diri bertinju di ring tinjunya.

Penjahat ini menerima dengan rela hukuman salib terhadap dirinya. Ia merasa bahwa ia pantas menerimanya. Ini menunjuk pengakuan dosanya yang tulus dan jujur. Sukar mengatakan bahwa penjahat ini tidak bertobat. Inilah pertobatan yang sesungguhnya, bukan pertobatan yang semu. Tidak mungkin sikap hati seperti ini dapat dimilikinya secara mendadak. Tentu ia telah membangunnya melalui detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun-tahun yang panjang. Apa yang dilakukan penjahat ini adalah peta perjalanan yang telah dilaluinya. Ia bukan penjahat kriminal tetapi penjahat politik di mata penjajah, yaitu kekaisaran Roma. Oleh sebab itu detik terakhir penjahat ini bukan merupakan penentu satu-satunya keselamatannya. Dari sikap penjahat yang baik ini kita menemukan suatu gambar diri yang melayakkan ia dibawa ke Firdaus, sedangkan penjahat yang tidak baik memiliki gambar diri yang tidak layak di bawa ke Firdaus.

Pelajaran berharga lain yang kita peroleh dari penjahat di samping salib Tuhan itu adalah dari pernyataan-pernyataan penjahat tersebut di kayu salibnya menunjukkan hormatnya kepada Tuhan Yesus (Luk 23:39-43). Rupanya penjahat ini sudah mengenal Tuhan Yesus sebelum penyaliban mereka. Itulah sebabnya ia dapat membela Tuhan Yesus dan mengatakan bahwa Yesus tidak bersalah. Hal ini bukan diperolehnya dalam sehari tetapi tahun-tahun yang panjang dalam perjuangan yang benar-benar serius. Penjahat yang baik ini tidak mempersoalkan masalah dunia fana tetapi ia mempersoalkan perkara-perkara sorgawi, yaitu Firdaus. Sukar mengatakan ia tidak rohani. Sebagai perbandingan adalah teman penjahatnya yang mempersoalkan bagaimana ia bisa turun dari salib itu, ia masih mempersoalkan bagaimana menikmati hidup di dunia ini. Sedangkan penjahat yang baik ini tidak. Dari pernyataannya nampak kualitas sikap hati yang melayakkan ia masuk Firdaus. Inilah yang dimaksud dengan: Mendahulukan kerajaan Allah (Mat 6:33), dan mencari perkara-perkara yang diatas (Kol 3:1-4). Dalam kondisi yang terjepit seperti penjahat ini, ia masih memandang Kerajaan Tuhan Yesus Kristus. Ia tidak hanyut dalam keduniawian. Ia memiliki kepribadian sorgawi.

Ia tidak menghujat Tuhan Yesus, di tengah situasi frustasi yang dialaminya. Ia tidak mempersalahkan Tuhan dan memaksa Tuhan menolongnya. Ia tidak egois. Ia mengakui bahwa Tuhan Yesus tidak bersalah, lebih lanjut. Ia mengadakan pembelaan untuk Tuhan Yesus.
Ia tidak memikirkan nasibnya tetapi kepentingan Tuhan Yesus. Ini adalah hal yang paling istimewa dalam diri penjahat saleh ini. Pembelaannya kepada Tuhan adalah motif dasar hidup dan pelayanan kita kepada Tuhan. Coba kita periksa apakah diri kita telah memiliki pembelaan yang sedemikian ini kepada Tuhan. Dalam keadaan yang terjepit seperti penjahat tersebut, Ia masih memikirkan kepentingan Tuhan walau ia sendiri memiliki kepentingan. Inilah sebenarnya landasan pelayanan yang benar kepada Tuhan. Orang-orang seperti ini pantas mendapat mahkota. Jadi kalau kita melayani pekerjaan Tuhan, motivasi inilah yang harus bertahta di hati kita.

Tuhan tentu tidak sembrono mempersilahkan penjahat disampingnya masuk Firdaus tanpa memenuhi kriteria penghuni Firdaus. Kalau penjahat tersebut masih bermental penjahat masakan disamakan dengan orang-orang saleh di sorga. Penjahat adalah status lahiriahnya tetapi mentalnya penduduk Firdaus. Dengan melihat sikap hati penjahat disamping Tuhan, penjahat saleh ini kita belajar sikap hati yang hati yang benar yang harus kita miliki dihadapan Tuhan. Kualitas rohani penjahat ini pasti bukan dibangun dalam beberapa jam. Ia bukan penjahat kriminal karena kejahatan yang dilakukan tetapi penjahat politik. Ia ditangkap karena membela Yahwe Allah Israel.

Mampu Merubah Diri dan Lingkungannya. Hanya mahkluk manusia yang memiliki kemampuan untuk mengenal dirinya sendiri dan kemampuan menentukan keadaannya. Mahkluk lain tidak memiliki kemampuan ini. Belajar mengenal diri dan memahami bagaimana seharusnya menjadi manusia yang sesuai rancangan Penciptanya, sebenarnya sama dengan usaha untuk memanusiakan manusia, sebab kejatuhan manusia ke dalam dosa membuat manusia telah tidak menjadi manusia seperti yang dikehendaki Penciptanya. Manusia yang dikehendaki Allah adalah manusia yang memiliki gambar diri seperti yang Tuhan kehendaki. Jadi, kalau manusia belum menjadi manusia seperti yang dikehendaki Tuhan berarti ia belum menjadi manusia yang ideal menurut Tuhan. Sebelum Tuhan menciptakan manusia, Tuhan telah membuat rancangan mengenai “model” manusia yang diinginkan-Nya. Tidak mungkin Tuhan menciptakan tanpa rancangan. Seperti yang diinformasikan Alkitab bahwa dalam penciptaan manusia, Tuhan menciptakan dengan musyawarah (Kej 1:26).

Selain mengenal dirinya sendiri, manusia juga mampu merubah diri dan mengubah keadaan sekelilingnya. Itulah sebabnya kalau kita belajar mengenai gambar diri, hal ini dimaksudkan agar kita bukan saja mampu mengenal diri kita sendiri tetapi juga mengusahakan diri agar menjadi manusia seperti yang dikehendaki oleh Tuhan Sang Pencipta sehingga mampu mengubah keadaan. Keadaan diri kita dan keadaan lingkungan kita, baik manusia maupun alamnya. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah mengenal diri dengan jujur, memahami bagaimana manusia yang dikehendaki Tuhan.Seorang yang belajar mengenal siapa dirinya (siapa manusia), berarti ia bersedia menerima panggilan untuk bertobat dan diperbaharui agar menjadi manusia sesuai dengan rancangan-Nya. Semua orang pasti memiliki konsep gambar diri di dalam hidupnya dan harapan atau cita-cita bakal menjadi apa dirinya nanti.

Dari seluruh sikap hidup seseorang, apa yang menjadi hasrat dan cita-citanya nampak konsep gambar dirinya. Sulitlah seseorang menyembunyikan konsep gambar dirinya di mata manusia lain. Disini sebenarnya gambar diri seseorang akan sangat mudah terbaca oleh sesamanya. Berkenaan dengan hal ini, Tuhan Yesus berkata bahwa dari buahnya kita mengenal seseorang (Mat 7:16). Dari seluruh tindakan hidup seseorang nampak peta kehidupan seseorang. Gambar diri seseorang juga tidak bisa dipisahkan dari pemahamannya mengenai kehidupan. Justru konsepnya mengenai kehidupan ini sangat mempengaruhi dan menentukan gambar dirinya. Ide-ide yang diserap seseorang akan menjadi pemikiran, pemikiran akan menjadi konsep. Konsep yang dimiliki merupakan substansi dari jiwa yang membangun gambar diri. Misalnya, kalau seseorang menganggap bahwa nilai tertinggi kehidupan adalah harta, maka ketika memiliki banyak harta maka ia merasa dirinya sukses atau terhormat. Kalau ia miskin, maka ia merasa diri gagal, tidak berarti dan menjadi rendah diri. Selanjutnya ia akan memburu kekayaan agar ia menjadi “sosok orang kaya”, sebab baginya menjadi orang kaya adalah bentuk keberhasilan kehidupan. Jadi, ketika Tuhan Yesus mengajarkan kebenaran, maka kebenaran itu akan membangun konsep gambar diri yang benar menurut Tuhan dan apa yang Tuhan kehendaki; bisa menjadi apa setiap individu menurut Dia atau sesuai dengan rencana-Nya. Tanpa mengerti apa yang Tuhan Yesus ajarkan, maka seseorang tidak akan menemukan gambar diri yang benar.

Keadaan Tidak Berpotensi.

Sebenarnya pada dasarnya manusia yang telah jatuh dalam dosa dan kehilangan kemuliaan Allah (Rom 3:23), terlahir dalam keadaan yang tidak berpotensi sama sekali untuk memilih dan mengenal gambar diri yang benar. Ini bagian dari dosa warisan yang diterima setiap anak-anak Adam (Maz 51:7). Jadi adalah keliru, kalau orang berpendirian bahwa ada manusia yang dapat mengenal gambar dirinya tanpa mengenal kebenaran Injil. Adam sendiri telah kehilangan kesempatan untuk menemukan gambar dirinya dengan benar dan bertumbuh menuju keserupaan dengan Allah lebih baik. Oleh karena kejatuhan manusia pertama tersebut maka semua keturunannya telah kehilangan kesempatan untuk memiliki pengetahuan mengenai gambar dirinya, sampai Tuhan Yesus menyelamatkannya.

Kejatuhan manusia dalam dosa karena bujukan iblis untuk menjadi seperti Allah (Kej 3:1-6), menunjukkan manusia belum mengenal gambar diri dengan benar. Kalau manusia memahami gambar diri dengan benar, maka ia tidak akan makan buah yang terlarang untuk dimakan tersebut. Siapakah sebenarnya manusia itu? Manusia adalah mahkota ciptaan Allah (ciptaan Allah dengan kualitas tertinggi). Raja di bumi atas kuasa yang Tuhan berikan. Manusia diberikan kemampuan untuk menaklukkan bumi (Kej 1:28). Pasti didalamnya termasuk semua rintangan yang merintangi penyelenggaraan pemerintahannya. Kemungkinan potensi terbesar yang akan mengganggu pemerintahan manusia adalah malaikat-malaikat pemberontak yang dibuang ke bumi (Why 12:4).

Dengan mandat menaklukkan bumi berarti manusia diberi kesanggupan untuk mengalahkan iblis. Apakah manusia bisa menaklukkan iblis? Mengapa tidak? Tentu bisa, sebab tidak mungkin Bapa merancang kejatuhan manusia ke dalam dosa, kemudian mengutus Tuhan Yesus Kristus untuk mengalahkan iblis. Manusialah yang seharusnya dapat mengalahkan iblis. Banyak orang menganggap bahwa inkarnasi Allah Anak menjadi manusia adalah skenario Allah yang pasti harus dilakukan. Ini juga berarti bahwa kejatuhan manusia ke dalam dosa adalah rancangan Tuhan. Tuhan dianggap sebagai sumber bencana. Sesungguhnya manusia dirancang untuk bersekutu dalam kurun waktu yang tidak terbatas. Tuhan menciptakan manusia hanya untuk hidup dalam persekutuan dengan Dia dan pengabdian kepada-Nya selamanya. Betapa dahsyat mahkluk ini. Gambar diri ini rupanya belum ditemukan Adam dengan sempurna atau dengan baik sehingga ia masih bisa terkecoh oleh iblis, yaitu tergoda untuk menjadi sama seperti Tuhan, akhirnya jatuh. Dengan menemukan gambar diri secara utuh dan benar manusia tidak akan jatuh dalam dosa. Manusia dirancang seperti Bapa-Nya, yaitu Allah sendiri.

Tidak Statis

Seandainya Adam tidak berbuat dosa, maka melalui perjalanan waktu yang tidak terbatas manusia akan mengenal dirinya dengan benar. Manusia bisa mencapai keserupaan dengan Bapa lebih baik dan memahami apa yang baik dan buruk tanpa harus berbuat dosa terlebih dahulu. Tetapi rancangan ini tertunda karena kejatuhannya. Sekarang, di dalam dan melalui kehidupan anak-anak Allah, Tuhan hendak kembali menggenapkan rancangan-Nya, yaitu menciptakan manusia menurut gambar-Nya dan terus bertumbuh sampai menemukan gambar dirinya dengan benar dan sempurna. Dan begitu banyak pandangan mengenai gambar dan rupa Allah (tselem dan demuth) yang diungkapkan Kejadian 1:26-27, terdapat kemungkinan bahwa pengertian gambar adalah keserupaan yang diperoleh sejak penciptaan atau sejak lahir sedangkan rupamenunjuk keserupaan yang diperoleh belakangan. Kata-kata yang digunakan untuk gambar dan rupa di dalam teks asli Alkitab yaitu dalam bahasa Ibrani adalah tselem dan demuth. Tselem hendak menunjuk gambar dalam arti unsur-unsur dasar yang dimiliki Allah juga dimiliki manusia yaitu pikiran, perasaan, kehendak, kekekalan dan hakekat kerja. Adapun Demuth adalah keserupaan yang menunjuk kepada kualitas atas unsur-unsur tersebut. Keserupaan dengan Allah yang dimiliki manusia bukan sesuatu yang statis tetapi bisa progresif. Walaupun pandangan ini tidak mudah untuk menjadi pijakan, tetapi faktanya jelas, yaitu bahwa manusia pertama yang diciptakan “memiliki peluang untuk berkembang atau progresif”. Pemahaman ini sulit diterima karena konsep orang selama ini adalah bahwa keberadaan manusia yang diciptakan sudah selesai. Satu entitas yang tidak bisa berkembang lagi secara intelektual maupun aspek lainnya, termasuk moralnya. Bila demikian, berarti tidak akan ada perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Bila intelektual bisa berkembang maka bukan tidak mungkin hal ini sebangun atau parallel dengan perkembangan moral manusia yang sama artinya dengan makin ditemukan gambar dirinya.
Landasan yang lain terhadap pandangan ini adalah bahwa manusia tidak mungkin diciptakan dengan kondisi statis dan tidak mampu mengungguli iblis. Kalau manusia sampai jatuh dalam dosa atau kalah terhadap iblis, itu juga karena pilihannya bukan karena kemampuannya. Kalau manusia memilih taat, maka proses penyempurnaan akan terus berlangsung sampai tingkat dimana iblis tidak akan bisa mengunggulinya atau menjatuhkan. Dalam hal ini jelas sekali, bahwa manusia seharusnya dapat mengalahkan iblis. Manusia harus mengembangkan diri, menemukan gambar diri yang luar biasa yaitu segambar dan serupa dengan Allah, sampai tidak bisa jatuh dalam dosa.

Keselamatan dalam Yesus Kristus membuka peluang manusia dapat belajar mengenal dirinya dengan benar dan mengembangkannya sesuai dengan apa yang Tuhan kehendaki (Mat 5:48). Pernyataan Tuhan Yesus bahwa orang percaya harus sempurna seperti Bapa di Sorga sebenarnya sama dengan panggilan untuk menemukan gambar diri yang Allah Bapa kehendaki. Dan gambar diri yang ditemukan adalah “kesempurnaan Bapa di Sorga”.
Pergumulan untuk menemukan gambar diri ini belum tuntas diselesaikan oleh Adam. Sekiranya Adam bertumbuh dalam pengembangan gambar diri, yaitu kesempurnaan seperti Bapa di Sorga, pastilah ia tidak jatuh dalam dosa. Kalau manusia bisa sempurna seperti Bapa berarti iblis tidak akan mampu mengungguli-Nya. Rancangan Tuhan adalah bahwa manusia dapat mengungguli musuh dengan keberadaan segambar dan serupa dengan Allah. Dengan demikian istilah “krisis gambar diri” harus dikoreksi dan dipahami dengan pemahaman yang baru. Sebab kalau dikatakan krisis, seolah-olah pernah terjadi atau ada suatu masa dimana manusia pernah memiliki gambar diri yang sempurna, padahal dari fakta sejarah sebelum Anak Allah datang, manusia belum sempat sampai kepada tingkat mengungguli iblis. Kalaupun harus digunakan kata “krisis”, ini harus dalam pengertian bahwa manusia memang belum mencapai gambar diri yang dikehendaki oleh Allah, sementara waktu atau kesempatan untuk menerima restorasi atau pemulihan gambar diri (deadline) semakin dekat.

Jadi pengertian yang benar mengenai kata krisis gambar diri bukan mengembalikan gambar diri yang rusak, seolah-olah manusia pernah mencapai gambar diri yang ideal atau sempurna dan telah menetap permanen dalam dirinya, tetapi mengembalikan proses penyempurnaan untuk menemukan gambar diri yang telah gagal oleh manusia pertama. Adam pertama gagal, Adam terakhir yaitu Tuhan Yesus Kristus berhasil (Luk 2:52). Dengan keberhasilan Adam terakhir menemukan gambar diri seperti yang Bapa kehendaki (Mat 3:17), maka orang percaya dan mengikut Dia diberi kemungkinan untuk berhasil juga, sama seperti Dia (Rom 8:29). Dengan demikian panggilan untuk sempurna seperti Bapa adalah meneruskan proses penyempurnaan manusia yang tertunda oleh Adam. Kedatangan Tuhan Yesus sebagai Adam terakhir dari dimulainya kembali proses pencarian gambar diri oleh manusia yang diciptakan segambar dengan Allah agar sempurna seperti Bapa di Sorga. Melalui dan di dalam Dia, Bapa menciptakan manusia-manusia baru yang akan dapat menjadi kesukaan Bapa. Dengan demikian bukan hanya kepada Tuhan Yesus. Bapa menyatakan bahwa Bapa berkenan, tetapi juga kepada orang percaya yang menemukan gambar dirinya seperti Yesus.

Menyangkal Diri.

Manusia sedang mengalami krisis gambar diri. Konsep gambar diri setiap orang dibangun dari apa yang dilihat, didengar dan dialami sejak masa kanak-kanak. Padahal apa yang dilihat, didengar dan dialami seseorang belum tentu membawanya kepada gambar diri yang dikehendaki Tuhan. Ternyata bukan hanya pengalaman yang menyakitkan atau yang dianggap negatif yang dapat merusak gambar diri, tetapi pengalaman hidup yang serba nikmat dan nyaman (yang dianggap positif) dapat menjadi pemicu rusaknya gambar diri seseorang. Justru kadangkala keadaan nyaman, terhormat dan kaya mengkondisi seseorang lebih sukar masuk Kerajaan Sorga. Ini sama dengan kondisi dimana seseorang tidak mudah untuk diubahkan. Ceramah mengenai gambar diri sering menyalahkan keadaan negatif sebagai kausalitas prima (penyebab utama) rusaknya gambar diri. Padahal bukan hanya keadaan buruk saja yang dapat merusak gambar diri, keadaan baik pun berpotensi sangat besar bisa merusak gambar diri.

Kesalahan beberapa gereja selama ini adalah tidak membongkar konsep-konsep salah mengenai kehidupan yang telah dipahami oleh jemaat, yaitu mengenai gambar diri yang salah. Malah sebaliknya gereja berusaha untuk membantu mewujudkan apa yang dipahami sebagai keberhasilan, kemenangan, hidup yang berkelimpahan dan diberkati dan lain sebagainya. Jemaat dilatih untuk mengembangkan self esteem yang bertentangan dengan rencana pemulihan gambar diri. Jemaat bukan semakin menemukan gambar dirinya tetapi semakin sesat jauh dari peta gambar diri yang Tuhan kehendaki.

Kegagalan mengenal dirinya bersumber kepada satu hal saja yaitu tidak mengenal kebenaran Tuhan. Sehingga mereka tidak mengerti bagaimana gambar diri yang dikehendaki oleh Allah itu. Pengalaman hidup dlsb tidak menjadi pemicu yang berarti untuk itu (walaupun memiliki pengaruh juga). Banyak pembicara mengenai gambar diri sering menyalahkan pengalaman masa lalu sebagai kausalitas rusaknya gambar diri, tetapi sebenarnya pengalaman apapun dapat merusak gambar diri seseorang. Bukan hanya pengalaman yang menyakitkan (yang dianggap negatif) yang bisa merusak kepribadian sehingga tidak memiliki gambar diri yang benar, tetapi pengalaman yang baik (yang dianggap positif) juga bisa mengakibatkan seseorang membangun gambar diri yang salah. Dunia yang fasik tanpa disadari telah membangun gambar diri yang salah dalam kehidupan setiap individu. Hanya kebenaran yang dapat mengantisipasinya. Untuk mengembalikan gambar diri, seseorang harus bersedia menyangkal diri (Mat 16:24). Menyangkal diri adalah kesediaan untuk membuang konsep dan segala asumsi-nya mengenai kehidupan ini; asumsi mengenai keberhasilan, kebahagiaan dan lain sebagainya. Seperti yang telah dijelaskan bahwa konsep mengenai kehidupan sangat mempengaruhi seseorang membangun gambar dirinya. Hanya dengan penyangkalan diri maka gambar diri yang salah bisa diganti. Menyangkal diri artinya bersedia menanggalkan gambar diri yang salah yang tertanam dalam benaknya. Gambar diri ini diperoleh dari apa yang didengar dan dilihat pada orang tua dan lingkungannya. Semua ini membangun konsep gambar diri seseorang. Selama ini yang dipahami sebagai penyangkalan diri adalah sikap yang menolak perbuatan salah yang dikategorikan melanggar moral dan kesediaan melakukan hukum yang dianggap sebagai standar moral. Ini sebenarnya belum bisa dikatakan penyangkalan diri tetapi pertarakan.

Penyangkalan diri adalah sikap yang menolak semua filosofi hidup yang dipahami oleh orang tua dan lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Filosofi hidup yang diwariskan kepada kita pada umumnya adalah perjuangan untuk meraih keberhasilan melalui sekolah, kuliah, berkarir, berdagang, mencari nafkah dengan berbagai profesi, menikah, mempunyai anak, membesarkan anak, mencari menantu, ikut membesarkan cucu dan lain sebagainya.

Semua itu dilakukan untuk meraih apa yang disebut sebagai keberhasilan atau paling tidak sebuah kelayakan atau kewajaran hidup. Anak-anak Tuhan dipanggil untuk mengabdi kepada Tuhan. Baik makan atau minum, atau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah (1Kor 10:31). Anak Tuhan memang harus sekolah, kuliah, berkarir, dagang, menikah dan lain sebagainya, tetapi semua itu harus dilakukan bagi Tuhan yang telah menebus kita dan membeli kita dengan darah-Nya.

 

Ke Tingkat yang Lebih Tinggi

Sebenarnya jiwa manusia penuh dengan perbendaharaan yang busuk yang tidak membangun diri menjadi manusia yang tidak dikehendaki oleh Allah. Perbendaharaan itu antara lain: keserakahan, kesombongan atau mau dihormati, kebencian, ambisi memerintah orang lain atau mau berkuasa, tidak mau menerima orang lain sebagaimana adanya dlsb. Inilah yang membuat gambar diri manusia semakin jauh dari gambar diri ideal yang harus dicapai oleh setiap individu. Perbendaharaan jiwa yang busuk tersebut juga merupakan penyakit jiwa yang tidak mudah disembuhkan. Banyak orang merasa sudah sembuh dari hal-hal itu, tetapi sebenarnya belum. Karena kecerdasan dan kelicikan hati seseorang, maka manifestasi dari kebusukan jiwanya tidak mudah dikenali, bahkan oleh dirinya sendiri. Pendidikan budi pekerti, pengembangan kepribadian dan berbagai ajaran etika sering hanya memoles bagian luarnya tetapi tidak memperbaharui sampai kedalaman. Pada dasarnya orang-orang seperti itu belum hidup baru dalam Tuhan seperi yang dikemukakan dalam 2Kor 5:17. Kepada orang-orang seperti itu Tuhan menyatakan bahwa mereka tidak dikenal atau tidak dapat dinikmati oleh Tuhan (Mat 7:21-23). Keadaan mereka jauh dari standar kesucian atau kebenaran Tuhan. Bagaimana seseorang bisa mengenal, bahwa dirinya masih jauh dari standar kesucian atau kebenaran Tuhan? Ia harus memiliki kesungguhan untuk mencapai standar hidup yang luar biasa. Ia tidak boleh merasa puas dengan kebaikan yang telah ia capai. Ia harus selalu bertanya: Apakah ada yang lebih baik dari apa yang sudah kucapai hari ini, seperti pertanyaan orang muda yang kaya dalam Matius 19:20: “Semuanya itu telah saya lakukan, apa lagi yang masih kurang”? Hanya orang yang haus dan lapar akan kebenaran yang akan dipuaskan (Mat 5:6). Orang yang selalu ingin mencapai tingkat yang lebih tinggi dalam kesucian Tuhan yang akan memperoleh jawaban.

Bagaimana seseorang dapat dinaikkan ke tingkat yang lebih tinggi kalau ia sendiri tidak memiliki keinginan untuk mencapainya. Banyak orang yang tidak memiliki kerinduan untuk mencapai tingkat kesucian atau kebenaran yang lebih tinggi disebabkan karena menganggap hal itu tidak terlalu penting. Bagi mereka segala kesenangan hidup lebih berarti dan membahagiakan. Tanpa disadari, mereka merendahkan nilai-nilai kesucian dan kebenaran Tuhan serta mencampakkannya seperti sampah. Pada dasarnya mereka menghina Tuhan. Tetapi mereka tidak merasa demikian, sebab mereka masih melakukan kegiatan gereja dan dihargai oleh sesamanya sebagai orang baik. Inilah orang-orang yang tidak mendahulukan Kerajaan Sorga, walaupun kadang-kadang mereka mendahulukan gereja. Kerinduan untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi harus berangkat dari diri sendiri. Hal ini tidak bisa dipaksakan. Ini adalah pilihan. Bila seseorang menunda memilih hari ini, maka ia tidak akan memiliki kerinduan tersebut untuk selamanya. Sia-sia hidup ini.

Semakin menjadi pribadi yang dikehendaki oleh Tuhan atau menemukan gambar diri yang benar sama artinya dengan semakin meningkatnya kesucian dan kebenaran Tuhan dalam hidup seseorang. Hal ini rentang atau jaraknya bisa tidak terbatas. Seandainya seseorang memiliki waktu umur hidupnya 1000 tahun, waktu itupun tidak akan cukup untuk menjangkau kesucian dan kebenaran Tuhan yang tersedia bagi manusia. Sangat mungkin, perkembangan kesucian dan kebenaran Tuhan dalam hidup seseorang akan berlanjut nanti di langit baru dan bumi yang baru. Tetapi ini hanya dialami oleh orang-orang yang selama hidup di dunia ini menghargainya. Menghargai kesucian dan kebenaran Tuhan berarti berusaha untuk melakukan kehendak Tuhan apa yang baik, yang berkenan dan yang sempurna (Rom 12:2). Orang-orang seperti ini tidak curiga terhadap Tuhan Yesus dan kehendak-Nya bahwa kita harus sempurna seperti Bapa (Mat 5:48).

Sayang sekali banyak orang mau memiliki rumah, mobil, kehormatan, pangkat dan fasilitas lain yang serba terbaik, tetapi tidak merindukan kehidupan rohani yang terbaik. Inilah yang Alkitab katakan sebagai orang-orang bodoh (Luk 12:15-21). Inilah orang-orang yang menukar hak kesulungannya dengan semangkuk makanan (Ibr 12:16-17). Kebodohan itu barulah disadari ketika seseorang menutup mata, ternyata ia miskin dalam keabadian. Penyesalan atas hal ini hanya bisa digambarkan dengan ratap tangis dan kertak gigi. Jadi, kalau Tuhan berfirman: kumpulkan harta di Sorga, itu dimaksud agar kita membenahi jiwa kita untuk diisi kebenaran Tuhan, menggantikan segala yang busuk yang ada di dalamnya. Nasihat Tuhan untuk mengumpulkan harta di Sorga berkenaan dengan kotbah Tuhan Yesus di Bukit (Mat 5-7), yaitu ketika Tuhan meletakan dasar moral untuk umat Perjanjian Baru. Bila jiwa seseorang diisi kebenaran Tuhan, maka ekspresi dari jiwa yang bersih tersebut akan pasti dirasakan manusia di sekitarnya.

Kesempatan ini hanya diberikan kepada umat Perjanjian Baru. Umat Perjanjian Lama tidak memiliki kesempatan ini dan mereka tidak sanggup untuk melakukannya, karena mereka tidak memiliki kuasa untuk hidup sebagai anak-anak Tuhan (Yoh 1:2-13). 
Kuasa untuk hidup sebagai anak-anak Tuhan adalah kemampuan untuk hidup dalam pimpinan roh (Rom 8:14). Dan Tuhan hanya menyediakan paket ini untuk orang yang percaya. Jadi kalau seseorang mau hidup baik-baik saja, maka ia tidak perlu menjadi orang Kristen. Orang Kristen adalah manusia yang dipanggil untuk mencapai standar kesucian dan kebenaran Tuhan. Oleh sebab itu Tuhan menghendaki kita mempersoalkan hal ini lebih dari mempersoalkan hal lain. 

Mengutamakan Kerajaan Sorga tidak akan mengganggu kegiatan hidup kita setiap hari, bahkan sebaliknya Tuhan akan membuat masalah pemenuhan kebutuhan jasmani kita tidak mengganggu pergumulan untuk mencapai standar kesucian dan kebenaran Tuhan.

Proses keselamatan dalam Yesus Kristus pada dasarnya adalah proses menjadikan manusia unggul bagi Tuhan. Manusia unggul adalah manusia seperti rancangan semula. Inilah “cita-cita Tuhan”. Keunggulan ini bukan diukur oleh nilai-nilai benda atau materi. Ukuran keunggulan disini adalah ukuran Tuhan. Jadi tidak seorangpun berhak menghakimi sesamanya dan menilai dari ukurannya sendiri. Untuk menemukan nilai keunggulan ini seseorang harus belajar kebenaran Firman Tuhan. Dengan belajar kebenaran Firman Tuhan maka seseorang mengenal pribadi Tuhan Yesus yang merupakan prototype manusia yang dikehendaki oleh Allah. Dalam hal ini ayat-ayat Perjanjian Lama tidak bisa menjadi tolok ukur kehidupan iman Kristen. Kalaupun kita mengambil ayat Perjanjian Lama, maka kita harus melihat konteksnya dengan seksama. Ayat-ayat Perjanjian Baru memuat kebenaran yang pantas dikenakan dalam kehidupan orang percaya. Dari pemahamannya terhadap kebenaran Alkitab seseorang menemukan gambar diri secara umum. Selanjutnya seseorang harus bergumul dengan Tuhan setiap hari untuk menemukan gambar diri secara khusus. Semua orang percaya memperoleh panggilan untuk ini. Untuk masuk dalam proyek menjadi manusia unggul bagi Tuhan, seseorang harus mempertaruhkan segenap hidupnya bagi Tuhan. Tanpa pertaruhan segenap hidup ini seseorang tidak akan menjadi manusia seperti yang dikehendaki oleh Allah. Pertaruhan segenap hidup artinya harus sungguh-sungguh serius. Bukan kegiatan sambilan. Disini berlaku Firman Tuhan yang mengatakan: Kasihilah Tuhan Allah-mu dengan segenap hidupmu (Mat 22:37-40; Mark 12:28-34; Luk 10:25-28). Kasih seseorang kepada Tuhan ditunjukkan dengan kesediaan menjadi pribadi seperti yang Tuhan kehendaki. Langkah penyempurnaan sebagai orang yang menerima keselamatan, dimulai dari manusia harus jadi manusia yang secara umum terlebih dahulu, barulah dapat menjadi manusia unggul warga Kerajaan.

Di dunia ini kita dapat menemukan orang-orang yang memiliki nilai kebaikan secara umum. Kebaikan secara umum ini antara lain: memiliki kejujuran, santun dan etika, sehat jasmani, cerdas berpikir, tidak ceroboh dalam mengambil keputusan, rajin dan giat bekerja, hemat, bertanggung jawab dalam tugas, sopan dalam tutur kata, bisa mengatur keuangan pribadinya dengan baik, produktif dan berguna di tempat kerja, memiliki prestasi dalam study, karir maupun dalam bidang lainnya, dibutuhkan masyarakat, bersosialisasi atau bermasyarakat dengan baik, tidak membuat onar tetapi membawa kesejahteraan dan ketentraman, memiliki toleransi yang tinggi terhadap orang lain dan berbagai aspek, menggunakan lidahnya dengan baik, menguasai diri dan mampu mengontrol perasaan dengan seksama, tidak mengingini milik orang lain dlsb. Orang-orang yang memiliki kebaikan secara umum ini biasanya tidak atau kurang memiliki kesulitan dalam hidup berumah tangga, ekonomi dan kesehatan jasmaninya. Jadi kalau seseorang harus terus menerus mengalami problem rumah tangga, kesulitan ekonomi dan kesehatan, patut memeriksa diri dengan seksama.

Kebaikan secara umum adalah kebaikan yang telah dimiliki orang kaya yang mengingini hidup kekal dalam Matius 19:16-26. Ia seorang yang telah melakukan hukum Taurat. Orang seperti ini hidupnya berkualitas secara umum, tetapi masih kurang satu lagi untuk memiliki hidup yang kekal atau hidup yang berkualitas menurut Tuhan. Satu lagi itu adalah mengikuti perkataan Tuhan Yesus (Mar 10:21). Tuhan menghendaki kita bukan saja menjadi baik tetapi sempurna. Inilah manusia unggul menurut Tuhan itu (Mat 5:48).

Mengapa harus memiliki kebaikan secara umum terlebih dahulu? Hal ini terjadi sebab manusia harus menjadi manusia yang cukup memadai, yaitu sehat dalam berbagai aspek hidupnya atau manusia yang utuh barulah dapat dibangun menjadi manusia yang sempurna. Manusia yang utuh maksudnya adalah manusia yang pikirannya atau mentalnya sehat, jasmaninya sehat dan lingkungan juga mendukung. Lingkungan yang mendukung bukan berarti harus keadaan yang berlimpah materi, tanpa masalah dan menyenangkan. Tetapi kondisi yang kondusif menurut Tuhan untuk pemulihan gambar diri. 

Dalam pertimbangan Tuhan ada kondisi-kondisi tertentu yang efektif mengubah dan membentuk seseorang menjadi pribadi seperti yang dikehendaki-Nya. Dalam hal ini Tuhan mengajar kita untuk mengucap syukur dalam segala keadaan sebab situasi yang Tuhan ijinkan terjadi dalam hidup kita mendatangkan kebaikan bagi kita (Rom 8:28).
Pikiran atau mental yang sehat dibangun melalui pendidikan yang baik, baik formal (pendidikan umum, akademis) maupun informal yaitu lingkungan dan keluarga. Pikiran yang tidak sehat tidak akan membuat seseorang mampu mengerti pikiran Tuhan atau kebenaran-kebenaran Firman Tuhan. Tuhan adalah pribadi yang cerdas, hasil karya dan kebesaran-Nya juga lahir dari kecerdasan-Nya. Oleh sebab itu untuk memahami kecerdasan Tuhan seseorang harus mengimbangi Tuhan dengan memiliki kecerdasan semaksimal mungkin. Ingat, hanya orang yang mengasihi Tuhan dengan segenap akal budi yang dapat mengerti kebenaran-kebenaran-Nya.

Untuk menggali kebenaran Firman Tuhan dibutuhkan perangkat-perangkat antara lain: logika yang diasah, kemampuan memahami bahasa, terutama bahasa sendiri yang dipakai untuk menulis Alkitab. Lebih lengkap lagi kalau mampu memahami bahasa asli Alkitab (bahasa Ibrani dan Yunani). Logika yaitu kemampuan berpikir atau pemahaman tentang penalaran yang berdasarkan logika deduktif maupun induktif. Lebih lengkap lagi kalau seseorang dilengkapi dengan statistiknya yaitu sarana berpikir yang membantu seseorang menemukan kesimpulan-kesimpulan dari kebenaran Alkitab secara induktif dan fakta-fakta empirisnya.
Seseorang yang menggunakan logika dengan baik akan terhindar dari manipulasi-manipulasi dalam emosinya yang dapat menciptakan pemalsuan-pemalsuan. Kenyataan inilah yang banyak terdapat dalam kegiatan keagamaan. Kalau di kalangan orang Kristen lebih banyak pada gereja aliran Pentakosta, kharismatik dan sejenisnya. Dalam hal ini dibutuhkan pendidikan yang baik yang membiasakan seseorang memiliki nalar yang baik untuk menganalisa Alkitab. Tentu dalam hal ini nalar bukan segalanyatetapi suatu bagian yang sangat penting. Fakta dalam kehidupan ini, negara atau bangsa yang tidak menggunakan logikanya atau rationya dengan baik, selain miskin karena tidak menjadi negara yang maju tetapi juga negara yang penuh konflik, kejahatan moral dalam gelanggang politik, diskriminasi, ketidak-adilan dan kebejatan lainnya. Hal ini sangat diperankan atau dipengaruhi oleh filosofi hidupnya, dan filosofi hidup sangat ditentukan oleh kepercayaan yang dianutnya. Keadaan suatu masyarakat dapat menjadi tolak ukur kebenaran kepercayaannya.

Di lapangan, sering kita jumpai orang-orang yang kualitas hidupnya secara umum saja sudah rendah, tetapi mereka dengan alasan dipimpin ROH KUDUS atau menerima karunia ROH KUDUS mengajar dan membimbing orang lain yang kualitas umumnya bisa lebih baik. Disini terjadi proses pembodohan. Mengapa hal ini terjadi? Sebab banyak orang berpikir bahwa kebaikannya secara umum yang dimiliki dalam kehidupan ini karena tidak berkaitan dengan kegiatan gereja atau agama dianggap sebagai tidak bermutu. Padahal kebaikan secara umum juga bagian dari proses penyempurnaan untuk menjadi manusia unggul menurut Tuhan. Kalau secara umum seseorang sudah tidak baik atau tidak berkualitas, maka seseorang tidak akan mencapai keunggulan di hadapan Tuhan.

Kehancuran kehidupan umat Tuhan dewasa ini disebabkan oleh karena umat dimentor oleh orang-orang yang sebenarnya belum memiliki kebaikan secara umum yang memadai. Mereka adalah orang-orang gagal dalam “market place”, kemudian melarikan diri dalam pelayanan gereja untuk memiliki kemudahan-kemudahan hidup. Biasanya orang-orang seperti ini akan menjadi “dukun-dukun dalam gereja”. Mereka tidak mengajarkan kebenaran kepada umat tetapi “menjual jasa”. Hal ini mirip dengan praktek perdukunan dalam masyarakat. Banyak orang-orang berpendidikan tinggi yang memiliki kualitas yang baik datang kepada dukun-dukun yang pendidikan SMP saja tidak lulus. Kelebihan mereka adalah “sakti” dan memiliki kedekatan dengan “sumber kuasa” yang dapat memberi solusi bagi masyrakat.

Manusia unggul menurut Tuhan adalah orang-orang yang mengembangkan semua potensi yang ada padanya. Itulah ibadah yang sejati. Pada umumnya orang masih memisahkan antara ibadah kepada Tuhan dan kehidupan setiap hari. Mereka beranggapan bahwa ibadah kepada Tuhan adalah bagian dari hidup ini. Itulah sebabnya mereka membedakan antara kegiatan yang bersangkut paut dengan Tuhan seperti berdoa, menyanyi lagu rohani, ke gereja dengan kegiatan yang tidak bersangkut paut dengan Tuhan seperti bekerja di kantor, rekreasi dengan keluarga, olah raga, makan, minum dlsb. Pemisahan atau pembedaan ini biasa disebut juga antara yang rohani dan duniawi. Bila kita masih memiliki anggapan atau sikap berpikir seperti ini, berarti kita belum mengerti kebenaran. Kita tidak boleh lupa bahwa dunia ini diciptakan oleh Tuhan. Bukan oleh iblis. Dunia ini tidak najis atau berdosa. Sebab yang berdosa adalah manusia dan yang disebut najis adalah segala perbuatan dan produknya yang bertentangan dengan prinsip kebenaran Tuhan. Hendaknya kita tidak sesat seperti aliran agama-agama tertentu yang memandang dunia ini jahat, harus dijauhi. Karenanya orang yang mau hidup suci menjauhi dunia dengan segala kegiatannya. Termasuk tidak menikah padahal menikah itu kudus sebab Tuhan yang menciptakan seks. Dalam hal ini berumah tangga juga panggilan dari Tuhan (mandate prokreasi), karenanya kita harus membangun rumah tangga sesuai dengan pola Tuhan. Orang yang gagal berumah tangga karena kesalahan atau kebodohannya sulit untuk menjadi pelayan Tuhan yan baik. Perlu pertobatan dan pemulihan yang signifikan.

Dalam Kejadian 1:28-29, Tuhan berfirman agar kita mengelola dunia ini. Perintah untuk mengelola dunia ini sebagai penyelenggara kehidupan di bumi ini merupakan perintah kudus yang rohani yang tidak boleh kita identifikasi sebagai duniawi. Itulah sebabnya kita tidak boleh membedakan profesi duniawi dan rohani diukur dari jenis pekerjaan itu semata-mata. Karenanya pula kita tidak boleh merasa kurang kudus hanya karena kita memiliki profesi bukan pendeta atau tidak memiliki kegiatan di gereja. Dalam Roma 12:1-2, Paulus menjelaskan arti ibadah yaitu mempersembahkan tubuh sebagai korban yang hidup, kudus dan yang berkenan. Ini artinya membudidayakan tubuh untuk kepentingan kehidupan sesuai dengan maksud Tuhan dan tidak menggunakan tubuh dalam bentuk perbuatan yang melanggar Firman Tuhan. Untuk ini merupakan kewajiban agar anak-anak Tuhan meningkatkan kualitas kemampuan kerja dalam membudidayakan semua potensi yang ada di dalam dirinya dan belajar kebenaran Alkitab untuk mengerti bagaimana menggunakan tubuh sesuai dengan Firman Tuhan.

Seorang aktivis gereja jangan merasa lebih kudus hanya karena memiliki tugas dalam gereja sebagai penerima tamu, mengedarkan kantong persembahan, sebagai majelis dll. Hidup seseorang rohani atau tidak, bukan ditentukan oleh aktivitasnya didalam gereja. Tetapi motivasi kehidupan orang itu. Yang penting disini adalah bahwa seseorang harus mengerti kebenaran Firman Tuhan sehingga sampai kepada motivasi hidup yang benar yaitu hidup bagi Tuhan (Fil 1:21). 

Orang tidak akan memiliki motivasi hidup bagi Tuhan, kalau ia tidak bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan dari kebenaran Firman-Nya yang ditulis dalam Alkitab. Sekalipun ia seorang pejabat gereja kalau tidak bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan ia belum mampu hidup bagi Tuhan. Oleh sebab itu kita harus bertumbuh sehingga kita hidup hanya bagi Tuhan saja (Fil 1:21). 

Setiap manusia memiliki perasaan. Inilah bagian dari keunggulan yang dimiliki manusia, yang membedakan manusia dari binatang. Perasaan memberi warna hidup kepada manusia artinya bahwa perasaan inilah yang membuat manusia menikmati dunianya. Sebab dengan perasaan manusia dapat merasakan suasana dalam jiwanya antara lain: susah atau sedih, senang, cinta, sayang, benci, dendam, tersinggung, tersanjung dan lainnya. Perasaan memainkan sikap rendah diri, rendah hati atau kesombongan. Harga diri seseorang selain diperankan oleh pemahamannya mengenai hidup, juga sangat dipengaruhi oleh perasaan.
Perasaan merupakan institusi dalam jiwa yang memberi potensi seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungan khususnya dengan Tuhan dan sesama. Dalam hal ini kita temukan bila perasaan seseorang sehat maka sehatlah hubungannya dengan sesama. Bila perasaan seseorang sakit maka hubungan dengan sesama juga tidak harmonis.Perasaan memiliki peran yang sangat besar dalam hidup ini, sebab pilihan, keputusan, tindakan dan perilaku seseorang sangat dipengaruhi bahkan kadang ditentukan oleh perasaannya. Memang terdapat orang-orang tertentu yang lebih menggunakan logikanya dari pada perasaan, namun demikian tidak dapat disangkal bahwa peran perasaan tidak dapat diabaikan. Banyak keputusan-keputusan besar yang menentukan hidup seseorang terpengaruhi oleh perasaan bahkan ditentukan olehnya.

Perkembangan dan Tercemarnya Perasaan Dikarenakan oleh Dosa.

Seperti yang disinggung diatas bahwa perasaan terdapat dalam jiwa manusia. Dalam jiwa selain ada perasaan, juga ada pikiran atau ratio dan kehendak. Elemen-elemen ini saling mempengaruhi dalam jiwa manusia. Pada pembahasan ini kita memfokuskan pada “perasaan”. Untuk menjelaskan bagaimana proses perkembangan perasaan dalam hidup seseorang maka perlulah menjelaskan proses perkembangan jiwa. Lahirnya atau terciptanya jiwa dalam kehidupan manusia. Dalam sejarah gereja terjadi pergumulan mengenai struktur permanen manusia. Ini merupakan rahasia kehidupan yang tidak mudah diuraikan dan ditemukan formulasinya. Terdapat 2 pandangan yang diakui oleh gereja-gereja, yaitu teori dikhotomi dan trikhotomi. Gereja-gereja Barat pada umumnya menerima dikhotomi, bahwa manusia terdiri dari 2 unsur yaitu manusia batiniah dan manusia lahiriah atau unsur materi dan non materi. Tetapi gereja-gereja di Timur menganut pandangan teori trikhotomi, bahwa manusia terdiri dari 3 unsur yaitu roh (unsur religius), jiwa (unsur psikologis) dan tubuh (unsur fisik). Tentu masing-masing pandangan memiliki argumentasi yang menggunakan landasan Alkitab.
Sebenarnya sukar untuk mengatakan bahwa manusia ini terdiri dari 2 atau 3 unsur. Sebab kalau kita mencoba untuk membagi secara mutlak manusia dalam beberapa unsur atau unit maka kita bisa jatuh dalam kebingungan, sebab manusia sebuah personalitas yang tidak terpisahkan. Namun demikian manusia juga bukan 1 dalam arti hanya berunsur 1 komponen saja. Berdasarkan berita Alkitab ternyata memang ada unsur-unsur yang tergabung dalam diri mahkluk yang disebut manusia ini. Unsur-unsur ini adalah roh, jiwa dan tubuh (teori trikhotomi), yang oleh para penganut teori dikhotomi cukup dibagi 2 saja, yaitu manusia batiniah dan manusia lahiriah. Dalam teori dikhotomi roh dan jiwa disatukan.

Bila kita mengamati Alkitab manusia yang diciptakan segambar dengan Allah, keberadaan yang lahiriah (daging, tubuh jasmaniah) bukanlah satu-satunya yang membuat manusia dapat dinyatakan sebagai mahkluk manusia. Manusia juga memiliki roh dan jiwa. Oleh karena manusia harus mengelola bumi ini sebagai “manager” maka manusia diberi baju atau kemah (2Kor 5:1-2), dengan demikian manusia dapat bersentuhan dengan “alam lahiriah” ini dan mengelolanya. Tubuh yang diciptakan oleh Allah dari debu dengan 5 indera merupakan bagian hidup manusia yang memampukan manusia berhubungan dengan dunia materi (world conciousness).

Persenyawaan antara tubuh dan roh inilah ada jiwa. Jiwa inilah unsur batiniah manusia dimana pikiran, tubuh dan roh beraksi. Jadi Allah menjadikan manusia sebagai mahkluk hidup (living souldari kesatuan tubuh dan nafas hidup. Jiwa inilah tempat perasaan, kehendak dan pikiran atau akal budi. Disini manusia mampu memiliki kesadaran diri (self consciousness). Didalam kesadaran diri inilah perasaan “berdetak” atau bereaksi dan beraksi. Jiwa manusia bertumbuh seiring dengan perkembangan fisik manusia. Dalam jiwa inilah ada kesadaran. Ketika manusia lahir ia sudah memiliki jiwa, tetapi jiwanya belum “sadar”, si “aku” nya belum sadar. Seiring dengan waktu maka kesadaran jiwa atau si “aku” bertumbuh, didalamnya termasuk kesadaran tentang diri sehingga seseorang memiliki “harga diri”.

 

Kualitas perasaan Manusia.

Warna jiwa seseorang menentukan kualitas “perasaan” seseorang. Masalahnya sekarang adalah banyak jiwa yang sakit, itulah yang disebut tidak berkualitas. Bila jiwa sakit maka perasaannya juga sakit, cacat, luka atau tidak dewasa. Akar dari kerusakan hidup manusia adalah karena dosa (Rom 3:23).

Adapun yang mempengaruhi kualitas atau warna perasaan seseorang dapat dijelaskan sebagai berikut:

*Faktor keturunan. Bagaimanapun karakter orang tua terwariskan kepada anak. Anak-anak “merekam”  karakter orang tua didalam dirinya.                 

*Lingkungan. Antara lain pendidikan, keluarga, pergaulan dan lainnya.

*Pengalaman masa lalu. Pengalaman ini sangat memberi pengaruh terhadap pembentukan jiwa didalamnya termasuk perasaan.

 

Dalam hal ini ilmu jiwa juga mengakui, bahwa pengalaman masa lalu seseorang membentuk kepribadian seseorang termasuk perasaannya. Karena faktor-faktor diatas ini perasaan seseorang terbentuk. Ada orang yang gampang tersinggung, gila hormat, rendah diri, merasa tertolak, gampang marah dan lainnya. Bila perasaan yang sakit ini belum disembuhkan maka kehadiran orang tersebut akan melukai orang lain pula. Dalam gereja mereka menjadi sumber persoalan atau sumber kesulitan yang banyak org  dalam pelayanan.

Sebagaimana tubuh dan roh dapat sakit, jiwa juga dapat sakit. Sakitnya tubuh karena virus dan bakteri. Roh sakit atau mati karena dosa (Ef 2:1). Jiwa sakit dapat dikarenakan oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup seseorang. Pengalaman-pengalaman masa lalu tersebut adalah pengalaman-pengalaman yang menyakitkan dan seseorang tidak mampu mengantisipasinya, misalnya: penolakkan dari orang tua dan lingkungan, kekecewaan akibat penghianatan, melihat kejadian-kejadian yang menakutkan, pelecehan seksual, kemiskinan, penderitaan yang  berkepanjangan dan lain sebagaini.

Inilah yang dimaksud dengan luka batin (Yes 61:1,3 kata remuk disini adalah “bruises”, sama dengan pengertiannya dengan luka. Sejajar dengan Mazmur 147:3). Pengalaman-pengalaman tersebut dapat membentuk kepribadian seseorang, termasuk mempengaruhi perasaannya. Selain beberapa faktor yang membentuk perasaan maka ada beberapa faktor yang mempengaruhi perasaan seseorang antara lain: fisik dan suasana jiwa pada waktu tertentu. Oleh sebab itu pada waktu fisik terganggu dan suasana jiwa tidak baik hendaknya kita tidak mengambil keputusan.

 

Pemulihan Jiwa.

Berbicara mengenai keselamatan jiwa, maka kita tidak bisa memisahkan dengan pemulihan jiwa itu sendiri. Ini juga disebut sebagai pemulihan gambar diri. Pemulihan jiwa berorientasi mengenai pemulihan atau perbaikan karakter, kepribadian maupun moral seseorang. Dalam pemulihan jiwa juga ada perbaikan karakter (feeling atau sense).
Pemulihan ini bisa terjadi melalui pertobatan yang sungguh-sungguh dengan menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Selanjutnya Firman Tuhan dan pelayanan pembinaan pribadi intensif dan terpadu mendewasakan perasaan seseorang. Seseorang dapat dikatakan rohani bila perasaannya matang dan dewasa. Supaya rumah tangga utuh, pelayanan maju, hubungan dengan sesama harmonis. Oleh sebab itu gereja harus membina jemaat melalui pemberitaan Firman Tuhan dan berbagai saluran untuk mendewasakan perasaan.

Allah sangat memperhatikan luka jiwa seseorang. Tuhan hendak tampil sebagai penyembuh (Yer 30:17; Maz 147:3), sebab menjadi kehendak Allah agar kita hidup tidak bercacat, termasuk juga jiwa kita (1 Tes 5:23-24; Yak 1:4). Kita berharga dimata Tuhan (Yes 43:1-4a). Allah akan menyediakan fasilitas kesembuhannya, tetapi dari pihak kita Allah menuntut langkah-langkah guna menyambut kesembuhan tersebut.

•   Menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juru Selamat pribadi. Dalam hal ini roh manusia dihidupkan dahulu melalui kelahiran baru. Kelahiran baru inilah potensi seseorang beroleh kemungkinan untuk memperoleh pemulihan jiwa dan rohnya (Yoh 1:12; Ef 1:13; 2Pet 1:3-4).
•   Firman Tuhan mampu menghapus masa lalu kita dengan segala akibatnya terhadap jiwa kita (Mat 4:3,4; Rom 12:1-2; Yak 1:21). Firman berkuasa menyucikan kita dari segala sampah akibat masa lalu dalam jiwa.

•   Doa, Pujian dan Penyembahan Persekutuan dengan Allah dalam doa, pujian dan penyembahan memberikan sukacita ilahi. Kegembiraan inilah merupakan kebutuhan utama setiap jiwa kita. Inilah damai sejahtera yang dijanjikan oleh Yesus (Yoh 14:27). Damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal (Fil 4:7). Dalam doa, pujian dan penyembahan inilah seseorang dapat bertemu dengan Tuhan dan menerima lawatan-Nya (Yoh 21:15-19).
•   Dipenuhi ROH KUDUS. Dalam pengalaman rasul Petrus kita menemukan bahwa setelah ia dipenuhi ROH KUDUS, ia menjadi kuat (Kis 12:7). Ia tidak menjadi trauma dengan apa yang sudah terjadi. Jiwanya begitu teduh, bahkan diujung ancaman hukuman mati.
•   Persekutuan dengan orang percaya (Ibr 10:25). Persekutuan dengan orang percaya merupakan obat mujarab memulihkan hati yang luka, sebab dalam persekutuan tersebut terjalin hubungan kasih (Yoh 13:34,35; 15:11,12; Fil 2:1-5). Dalam hal ini gereja, keluarga dan persekutuan kita antara satu dengan yang lain haruslah merupakan persekutuan dimana setiap anggotanya menikmati belai kasih Kristus. Ini merupakan kebutuhan jiwa manusia. Oleh sebab itu setiap kita harus menyadari bahwa semua kita berharga dimata Allah.


Harga sebuah Perasaan

Kita harus sadar bahwa tatkala kita bertobat maka Tuhan telah menebus kita sepenuhnya termasuk perasaan kita. Oleh sebab itu kita tidak boleh menghargai diri kita secara berlebihan sehingga kita lupa bahwa kita bukan milik kita sendiri. Dalam keluarga, pergaulan dan pelayanan harga sebuah perasaan pada prinsipnya adalah “kesombongan”. Oleh sebab kita tidak mau dianggap rendah, miskin, bodoh maka kita bersikap menolak atau menentang secara “frontal”. Dalam kehidupan sering hal ini menjadi awal sebuah bencana.
Banyak orang yang memanjakan perasaannya sehingga ia mengorbankan kepentingan yang besar. Hal ini terjadi sebab pribadi orang tersebut tidak matang, perasaannya masih sakit belum sehat. Dalam hal ini kita harus mengerti bahwa penyaliban diri, bukan hanya menyangkut keinginan-keinginan yang bertentangan dengan Firman Tuhan, tetapi juga perasaan-perasaan negatif. Kita tidak boleh memanjakan perasaan demi kepuasan diri. Perasaan tidak boleh dihargai demi kepuasan diri. Bila Tuhan Yesus menjadi Tuhan, maka Ia juga majikan atau penguasa atas perasaan kita maka demi kepentingan Tuhan kita rela berbuat apa saja.
Berapakah harga perasaan kita sebenarnya? Seharga salib Tuhan Yesus, sebab kita telah disalibkan bersama Kristus. Kita telah dikuburkan bersama dengan Dia dan dibangkitkan dalam hidup yang baru (Rom 6:4). Bila kita menyadari hal ini maka kita tidak akan memanjakan perasaan dan memberi harga mahal yang akhirnya menyebabkan kita gagal menjadi berkat bagi orang lain. Proses pendewasaan perasaan.

Untuk mendewasakan perasaan kita, Tuhan menggunakan pengalaman-pengalaman hidup kita. Dalam hal ini berlaku Firman Tuhan besi menajamkan besi. Dalam Amsal 27:17 terdapat kalimat “besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya. (Niv. As iron sharpens iron so one man sharpens another). Apa artinya ini. Harus dimengerti dan diterima kebenaran ini: bahwa dalam pembentukan kita menuju kesempurnaan yang dikerjakan Tuhan melalui Roh-Nya, Allah menggunakan manusia disekitar kita untuk proses tersebut. Besi menajamkan besi, manusia ditajamkan oleh sesamanya. Ditajamkan disini maksudnya adalah dibuat makin dewasa, sempurna, matang dan berkenan kepada Allah. Allah memakai manusia lain untuk itu. Allah tidak memakai monyet atau hewan lain.

Anggapan yang keliru bahwa cukup melalui nasihat pembacaan Alkitab, buku-buku rohani, kotbah pendeta kita secara otomatis menjadi sempurna. Ini baru sebagian. Kebenaran Firman yang kita dengar dan pelajari harus dimatangkan dan dikenakan dalam kehidupan melalui berbagai benturan yang terjadi dalam hidup ini. Perhatikan bagaimana tokoh-tokoh iman dalam Perjanjian Lama disempurnakan Tuhan.

Yusuf harus ditajamkan oleh saudara-saudaranya. Kalau ia hanya tinggal dirumah Yakub ayahnya, mimpi yang ia terima yang merupakan janji besar dari Tuhan tidak akan terealisir. Ia ditajamkan oleh Ruben dan abang-abangnya yang lain. Ia ditajamkan oleh Nyonya Potifar. Ia ditajamkan oleh pejabat minuman raja yang melupakan budi baiknya.
Demikian pula Daud ditajamkan oleh sesamanya. Kalau ia tinggal dipandang rumput menggembalakan domba ia tidak akan pernah menjadi raja. Daud ditajamkan oleh Goliat, Saul, penduduk Zig yang mengkhianatinya dan segudang pengalaman lain yang menyakitkan. Semua itu merupakan cara Allah mempersiapkan Daud menjadi orang besar.

Demikian pula dengan perasaan kita didewasakan melalui berbagai peristiwa hidup yang kita alami. Perhatikan bagaimana Allah memproses kita melalui berbagai sarana seperti tersebut dibawah ini:

•   Melalui teman kantor. Perhatikan ada saja orang yang menjengkelkan kita dan merugikan kita. Jangan harap ada tempat dimana saudara nyaman tidak bertemu dengan orang yang tidak berkenaan di hati saudara.

•   Melalui pasangan hidup. Jangan harap saudara menemukan jodoh yang sempurna dan tidak memiliki kesalahan. Kita tidak menikah dengan malaikat. Kita menikah dengan manusia yang memiliki kelemahan kekurangan. Semua jodoh terdapat kekurangannya. Terimalah kekurangan, kelemahan dan kesalahan pasangan hidup saudara sebagai sarana penajaman itu.
•   Mertua, anak, ipar, orang tua, tetangga, teman bisnis, pendeta, majelis, teman sepelayanan, dan lain-lain.

Penajaman ini memang menyakitkan, bisa menimbulkan luka. Sebagai besi yang bergesekan, panas, bisa menciptakan pijaran api, melelahkan, menjengkelkan dan lain-lain. Tetapi inilah sarana indah Allah berikan.

Menyadari hal ini maka kita perlu memiliki langkah-langkah sebagai berikut:
•   Mengucap syukur untuk setiap kejadian termasuk manusia yang dipakai Tuhan untuk itu (Roma 8:28)

•   Tidak menyalahkan manusia lain yang dianggap sebagai biang persoalan atau penyebab kesusahan. Perhatikan bagaimana Yusuf tidak menyalahkan abang-abangnya walau mereka telah menyakitinya.

 

Harga Diri dan Kerendahan Hati.

Harga diri artinya kesadaran akan berapa nilai atau penghargaan yang diberikan kepada diri sendiri. Nilai harga diri seseorang bisa ditentukan oleh bermacam-macam ukuran sesuai dengan filosofi hidup seseorang. Ada yang menilai diri dengan materi atau kekayaan. Ada yang menilai diri dengan pendidikan. Ada yang menilai diri dengan pangkat. Ada yang menilai diri dengan “keakuan” (aku adalah aku. Aku terhormat, aku harus dihargai). Orang-orang seperti ini akan mudah terluka kalau direndahkan oleh siapapun. Mereka biasanya menuntut untuk dihargai orang lain.

Harga diri bertalian dengan perasaan, sebab ketika nilai yang diberikan orang kepada dirinya tidak seperti yang diharapkan maka ia tersinggung atau terluka karena merasa direndahkan. Harga diri inilah yang membuat seseorang menuntut orang memperlakukan dirinya sedemikian rupa sesuai dengan keinginannya. Kita harus sadar bahwa tatkala kita bertobat maka Tuhan telah menebus kita semuanya. Oleh sebab itu kita tidak boleh menghargai diri kita secara berlebihan sehingga kita lupa bahwa kita bukan milik kita sendiri.

Dalam keluarga, pergaulan dan pelayanan memasang tarif harga diri pada prinsipnya adalah “kesombongan”. Oleh sebab tidak mau dianggap rendah, miskin, bodoh maka bersikap menolak atau menentang secara “frontal” bila diperlakukan seperti itu. Dalam kehidupan sering hal ini menjadi awal sebuah bencana. Banyak orang yang memanjakan perasaannya sehingga ia mengorbankan kepentingan yang besar. Hal ini terjadi sebab pribadi orang tersebut tidak matang, perasaannya masih sakit, belum sehat. Dalam hal ini kita harus mengerti bahwa penyaliban diri, bukan hanya menyangkut keinginan-keinginan yang bertentangan dengan Firman Tuhan, tetapi juga perasaan dalam menilai diri. Kita tidak boleh memanjakan perasaan demi kepuasan diri. Bila Tuhan Yesus menjadi Tuhan juga atas kita maka demi kepentingan Tuhan kita rela tidak  memiliki harga diri.

Dalam Filipi 2:5 tertulis. Dalam teks bahasa Indonesia diterjemahkan "Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus". Kata "touto "(tauto)dapat diterjemahkan this (ini). Kata touto (tauto) memiliki kasus atau keterangan “demonstrative accusative neuter singular”, kata yang memberi impresi tekanan pada kalimat yang mengikutinya. Ternyata kalimat yang mendahului kata touto (tauto) adalah nasihat Paulus kepada jemaat Filipi bertalian dengan hidup bersama dalam jemaat Tuhan. Nasihat tersebut tertulis: Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas kasihan, karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga (Fil 2:1-4).

Dengan demikian dapat dimengerti, bahwa panggilan untuk meneladani Kristus bertalian dengan hidup bersama-sama dengan orang lain. Hal ini dimaksudkan bahwa meneladani gaya hidup Kristus bertujuan agar seseorang menjadi berkat bagi orang lain, dimanapun berada mendatangkan keuntungan bagi orang lain dalam bingkai pelayanan pekerjaan Tuhan.

 

Serupa Dengan Dia Dalam Kematian-Nya (Fil 3:10)

Dalam suratnya Paulus menulis: Persekutuan dalam penderitaan-Nya supaya aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya. Serupa dengan Dia dalam kematian-Nya pada dasarnya adalah kehidupan yang ditujukan untuk kepentingan kerajaan Allah sepenuhnya. Kata mati dalam teks aslinya disini adalah thanaton kata yang sama digunakan dalam Kolose 3:3; kamu telah mati. Dalam bahasa Yunani ada beberapa kata yang dapat diterjemahkan mati; thanatos, anairsis dan teleute. Dalam Kolose 3:3, Alkitab berkata: “Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam Allah”. Kata thanatos hendak menunjukkan bahwa kehidupan yang lama telah digantikan sama sekali, fokus hidup harus berubah sama sekali.

Berapakah harga perasaan kita sebenarnya? Seharga salib Tuhan Yesus, sebab kita telah disalibkan bersama Kristus. Kita telah dikuburkan bersama dengan Dia dan dibangkitkan dalam hidup yang baru (Roma 6:4). Bila kita menyadari hal ini maka kita tidak akan memanjakan perasaan dan memberi harga mahal yang akhirnya menyebabkan kita gagal menjadi berkat bagi orang lain.

Salah satu kebutuhan jiwa manusia selain rasa aman, dikasihi dll, juga rasa dihargai, “berharga”. Merupakan persoalan kalau seseorang sudah merasa tidak dihargai oleh lingkungannya, maka ia cenderung berbuat semaunya, sesuka hatinya dan tidak memperdulikan lingkungan. Orang seperti ini cenderung rusak moralnya. Tetapi jauh lebih berbahaya dan menyedihkan kalau seseorang merasa tidak berharga di mata Tuhan. Di dalam Mat 10:28-31 kita temukan akibat seseorang yang merasa tidak berharga di mata Tuhan.

Ada satu keistimewaan yang dimiliki Yesus yang juga menunjukkan kedewasaan dan kematangannya. Tuhan Yesus juga mengalami proses pertumbuhan yaitu melepaskan hak demi kepentingan orang lain (Luk 2:52). Ini merupakan salah satu ciri dari kedewasaan seorang anak Tuhan pula. Sikap seperti ini harus pula kita teladani. Pelepasan hak yang dilakukan Yesus dijelaskan dalam Filipi 2:5-8. Dalam fragmen kongkrit yang dicatat Alkitab kita menemukan antara lain: Ia mencuci kaki murid-murid (Yoh 13). Ia berkata bahwa Ia datang sebagai pelayan (Mat 20:28; Luk 22:27).

Memperhatikan kebenaran ini, bagaimanakah kita mengenakannya secara kongkrit dalam hidup kita. Orang percaya yang dewasa adalah orang percaya yang juga rela melepaskan hak-haknya dan memberi pengabdiannya bagi Tuhan dan sesama. Kita harus rela memberi tanpa menerima bahkan rela memberi lebih dari apa yang dikehendaki orang lain. Bukankah Tuhan juga memberi lebih dari apa yang kita doakan (Mat 5:40-42). Kita rela menghargai tetapi tidak dihargai. Kerendahan hati berpangkal pada kesadaran bahwa tidak ada sesuatu yang baik dari dalam hidup kita. Mengakui diri sebagai manusia berdosa. Inilah jalan kepada pertobatan yang benar (Luk 18:9-14), Mat 5:3). Dalam hal ini Kata "agama" yang dipahami oleh orang Yahudi pada waktu itu sebuah bentuk kesombongan yang membawa manusia justru menyalibkan Kristus. Kita diselamatkan bukan karena perbuatan baik (Ef 2:8-9; Fil 3:8-9).
Kerendahan hati berpangkal pada pengakuan bahwa segala sesuatu yang baik berasal dari Allah (Mat 23:8-12). Dalam persekutuan umat Perjanjian Baru, harus terjalin suatu ikatan persaudaraan dimana Kristus ditinggikan. Panggilan guru, pemimpin, penyelamat  haruslah huruf kecil. Kita semua hanya alat. Sesungguhnya  Allah yang mengerjakan.

Kerendahan hati berpangkal pada sikap tidak meninggikan diri sendiri (Luk 14:7-11). Menjadi kebiasaan manusia pada umumnya mencari hormat bagi dirinya sendiri dengan segala rekayasa yang dibuatnya. Yesus adalah Allah sendiri yang tentu saja memiliki segala kemuliaan, kekuasaan dan kehormatan sebagai Allah Yang Maha Tinggi. Kesediaan meninggalkan tahta kemuliaan-Nya adalah kerelaan kehilangan hak-hak-Nya. Dalam sejarah kehidupan Tuhan Yesus selama dalam dunia ini dengan memakai tubuh daging (sarkos), menampilkan kehidupan yang diwarnai dengan penderitaan baik secara fisik maupun psikis, yang semua itu merupakan ekspresi dari kerelaan kehilangan hak-hak-Nya.

Yesus terhina diantara manusia, hal ini menunjukkan kerelaan-Nya kehilangan kehormatan. Ketika Maria mulai mengandung, Yusuf tunangan Maria sudah berprasangka bahwa kehamilan Maria adalah aib. Itulah sebabnya Yusuf dengan diam-diam hendak meninggalkan Maria (Mat 1:18-19). Ini berarti tuduhan yang ditujukan kepada bayi Yesus adalah “anak haram”. Dari hal ini, Anak Allah yang akan lahir, bagian dari proses inkarnasi-Nya sudah tidak memiliki kehormatan, pada hal Ia adalah pribadi yang paling terhormat. Tentu proses ini sudah ada dalam pengetahuan Tuhan sebelum berinkarnasi, tetapi Ia bersedia.         Dalam perjalanan hidup-Nya selama 3,5 tahun, Ia juga telah kehilangan kehormatan-Nya dimata sebagian besar orang-orang Yahudi. Dalam suatu kesempatan Ia dituduh sebagai orang gila (Mar 3:21), juga dituduh menggunakan kuasa Beelzebul dalam mengusir setan (Luk 11:15). Dengan tuduhan tersebut, maka Yesus telah didakwa sebagai kerasukan setan. Kehormatan-Nya dimata manusia menjadi hancur sama sekali ketika Ia harus menghadapi panggilan Pilatus, imam besar dan Herodes (Mat 26:48-75). Penduduk Yerusalem meneriakkan seruan yang sangat menyakitkan, agar Yesus disalibkan. Akhirnya Ia disalib dengan tuduhan sebagai penghujat Allah dan penyesat rakyat agar melawan Kaisar. Ia disalib dengan penilaian publik sebagai penjahat besar dan dipandang sebagai terkutuk (Gal 3:13). Dalam hal ini jelas bahwa Ia merelakan kemuliaan hilang untuk sementara waktu. Yesus benar-benar rela kehilangan reputasi, harga diri dan prestise.

Dalam suatu percakapan Yesus berkata: “Sebab siapakah yang lebih besar: yang duduk makan, atau yang melayani? Bukankah dia yang duduk makan? Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan. Dari pernyataan Yesus ini jelas sekali menunjukkan bahwa Ia rela kehilangan hak kehormatan yang dimiliki-Nya sebagai Tuhan yang datang dari tempat Yang Maha Tinggi. Ekspresi kerelaan kehilangan hak dihormati manusia juga ditunjukkan dengan tindakan-Nya mencuci kaki murid-murid-Nya dalam suatu perjamuan terakhir sebelum Yesus menghadapi penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya (Yoh 13). Narasi pembasuhan kaki sungguh mengejutkan. Narasi ini berlatar belakang pra-paskah. Robert Kysar menyatakan bahwa peristiwa pembebasan yang Allah kerjakan bagi umat-Nya dalam beberapa hal merupakan sebuah pra-tanda bagi makna tindakan Allah dalam Kristus. Sikap Tuhan Yesus yang merendahkan diri sedemikian rupa itu, dinyatakan oleh Donald S. Whitney sebagai Hamba yang sempurna.

Paulus sebagai model seorang pelayan Tuhan yang telah menunjukkan kepiawaiannya sebagai pemimpin yang melayani, mengemukakan kesaksian hidupnya bahwa ia rela menjadi hamba bagi semua orang karena Kristus (1Kor 9:19). Menjadi hamba berarti rela direndahkan, kehilangan kehormatan. Sikap hati seperti Yesus yang telah dijelaskan diatas adalah sikap hati yang harus diteladani oleh setiap pengikut-Nya yang melayani Dia. Mereka harus rela kehilangan kehormatan dimata manusia demi tugas yang harus diemban. Tidak ada sesuatu yang boleh dapat menjadi nilai lebih dalam kehidupan seorang pemimpin yang melayani yang oleh karenanya ia merasa memiliki hak untuk menjadi terhormat. Perlu dikaji lebih jauh mengenai sikap rendah hati yang benar menurut ajaran Alkitab. Tidak semua sikap rendah hati yang ditampilkan orang memiliki kebenaran yang sesuai dengan iman Kristen. Oleh sebab itu ada beberapa hal yang mendasar untuk memiliki sikap rendah hati yang benar antara lain:

1. Sikap kerendahan hati yang benar harus digerakkan oleh kesadaran bahwa ada Allah yang hidup yang sumber segala sesuatu. Ini berarti semua orang terus dalam kesadaran bahwa ia ada sebagaimana ada hanya oleh karena pemberian-Nya. Semua dari Dia oleh Dia dan bagi Dia. Dengan demikian manusia tidak dapat memegahkan diri dan menjadi sombong. Kesombongan adalah sikap hati yang tidak mengakui keunggulan pihak lain di luar dirinya sendiri. Paulus dalam suratnya berkata 1Kor 4:7; pada umumnya orang tidak mengakui bahwa apa yang dimilikinya diterimanya dari Tuhan. Sebagai bukti bahwa seseorang tidak menerima kenyataan bahwa Tuhan adalah sumber berkat. Ia tidak rela memuliakan Tuhan dengan apa yang dimilikinya. Ia takut kehilangan apa yang telah dimilikinya dan merasa rugi bila menyerahkan apa yang dimilikinya bagi Tuhan. Padahal Tuhan sanggup menambahkan apa yang telah orang percaya berikan bagi kepentingan kerajaan-Nya. Melalui teks yang tersembunyi, “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia” (Rom 11:36), memberi isyarat bahwa karena kekuatan-Nyalah ia dapat mencapai segala prestasi yang dimilikinya hari ini, kekayaan, pangkat, gelar, kekuasaan dll. Oleh sebab itu seharusnya sebuah prestasi atau keberhasilan tidak perlu ditonjolkan dan mengharapkan orang lain mengetahui serta menghargainya. Hal inilah yang mendorong seseorang tidak merasa perlu menerima penghargaan atas jasa-jasanya. Dimanapun para pemimpin tergoda untuk berpesta dalam pujian orang-orang yang dipimpinnya. Hal ini bukanlah karakter kepemimpinan hamba yang Yesus tunjukkan. Dalam lingkungan gereja, seseorang yang membanggakan apa yang dimilikinya kepada sesama berarti merendahkan orang lain, seolah-olah orang lain tidak dihargai Tuhan. Hal ini bukan saja menyakitkan hati sesama kita tetapi juga menyakitkan hati Tuhan. Sikap ini merupakan fitnah kepada Tuhan. Tuhan ditunjuk sebagai tidak mengasihi manusia lain, selain dirinya. Oleh sebab itu kalau kita memiliki karunia khusus dari Tuhan, kita tetap bersikap rendah hati.

2.   Sikap kerendahan hati yang benar harus digerakkan oleh kesadaran bahwa Allah yang hidup menentukan segala perkara. Ini berarti bahwa Tuhanlah yang menaungi segala sesuatu. Kesadaran ini akan nyata dalam sikap hidup orang percaya yang selalu merendahkan diri dihadapan Tuhan untuk bergantung dan berharap sepenuh dalam segala sesuatu. Orang-orang yang bersikap seperti ini akan mencari Tuhan dengan sungguh-sungguh. Baginya kehidupan ini tidak lengkap tanpa Tuhan. Segala kesanggupan, kemampuan dan kecakapan tidak ada artinya tanpa Tuhan yang menaunginya. Tuhan yang menentukan miskin dan kaya. Tuhan yang mengangkat penguasa dan menurunkannya. Dari pada-Nya manusia beroleh jawaban dari segala kebutuhan dan pertanyaannya. Untuk hal ini manusia dituntut untuk tidak menaruh pengharapan dari sumber lain. Menaruh pengharapan pada sumber lain merupakan bentuk penghianatan yang mendatangkan kutuk. Dari uraian ini dapat dimengerti mengapa Allah menentang kehendak bangsa Israel yang meminta seorang raja, sebab Allah merekalah sebenarnya Raja mereka. Pribadi yang menjadi tumpuan semua rakyat Israel. Pengakuan aku percaya kepada Allah Bapa khalik langit dan bumi harus merupakan pengakuan hidup setiap hari yang dapat dilihat setiap orang. Demikianlah umat harus hidup dengan menjadikan Tuhan sebagai pusat kehidupan.

3.   Kerendahan hati yang benar harus digerakkan oleh kesadaran bahwa ada Allah yang hidup yang mengatur kehidupan setiap individu. Bila seseorang sadar akan hal ini maka ia akan belajar taurat Tuhan, hukum Tuhan untuk tunduk di bawah pengaturannya. Ia sadar bahwa ia tidak ada di daerah tak bertuan, tetapi ada di daerah yang bertuan kepada Tuhan Yesus Kristus, Tuhan semesta alam, Allah Israel. Setiap orang percaya harus mengakui bahwa Allah adalah Tuhan diatas segala Tuhan, Penguasa alam semesta dan tidak ada sesuatu atau seseorang yang dapat disamakan dengan Dia. Allah harus diakui sebagai Penguasa Satu-satunya yang harus dipatuhi. Bapa segala roh yang harus ditaati (Ib 12:9). Maksud ketaatan adalah agar manusia hidup sesuai dengan moral-Nya. Allah adalah Allah yang bermoral dan Ia menghendaki umat-Nya hidup sesuai dengan moral-Nya (1 Pet 1:13-16). Dalam hal ini harus disadari, kalau Tuhan memberikan hukum-hukum-Nya bukan semata-mata supaya hati Tuhan disenangkan dengan hukum-hukum yang dibuat-Nya untuk ditaati manusia. Tetapi landasan pertama adalah agar manusia hidup dalam moral-Nya, karena manusia tidak akan memiliki kehidupan yang berkualitas tanpa hidup didalam moral-Nya. Kalau manusia itu mengakui Allah adalah Penguasanya dan Tuannya yang dijunjung tinggi dengan segala kehormatan, maka ia dengan rela dan sukacita melakukan segala kehendak-Nya. Menuruti hukum-Nya dengan setia secara berkesinambungan adalah ibadah yang sejati dan yang dikehendaki Allah (Ams 5:24; Rom 12:1-2). Ketidaktaatan kepada Tuhanlah yang menyebabkan tercemar dan kecemaran ini akan memisahkan dirinya dengan Tuhan. Disini hubungan manusia dengan Tuhan menjadi tidak harmonis (Yes 59:1-3). Oleh sebab itu hal melakukan hukum Tuhan hendaknya tidak diterima bukan sekedar sebagi kewajiban tetapi sebagai kebutuhan.

4.   Sikap kerendahan hati yang benar harus digerakkan oleh kesadaran bahwa ada Allah yang hidup menjadi obyek pemujaan dan penyembahan. Untuk dapat memiliki sikap hati yang benar memuji dan menyembah Tuhan, seseorang harus sadar batas antara Allah dan umat tidak terhalangi. Dia adalah Allah yang Maha Tinggi dan manusia adalah ciptaan-Nya. Allah di dalam Alkitab menyatakan dengan tegas bahwa diri-Nyalah yang harus menjadi obyek penyembahan manusia ciptaan-Nya. Dalam Perjanjian Lama telah nampak embrio jelas bahwa Tuhan adalah sumber pengharapan yang menjadi pusat pujian, bukan alam, sekalipun bangsa Israel sangat bergantung pada alam. Hal ini seharusnya menjadi pijakan kuat umat Perjanjian Baru bersikap terhadap Allah semesta alam. Bila seseorang beranggapan demikian, niscaya dalam memuji, memuja dan menyembah Allah dilakukannya dengan terpaksa dan tidak ada sukacita yang sejati. Dengan demikian pujian, pemujaan dan penyembahannya kepada Tuhan tidak berkenan kepada Tuhan. Pujian dan penyembahan demikian ini terdapat dalam banyak agama-agama kafir, dimana umat memuji, memuja dan menyembah ilah dengan terpaksa dan dengan takut-takut terhadap hukuman sang dewa atau allahnya. Kalau seseorang sadar dan memahami bahwa Allah adalah pribadi yang Maha Mulia maka dalam memuji, memuja dan menyembah Allah dilakukannya dengan cinta kasih, kerelaan dan sukacita. Untuk dapat menaikkan pujian dan penyembahan serta sanjungan, seseorang harus memiliki kerendahan hati yang dalam. Kerendahan hati disini berangkat dari kesadaran bahwa kita adalah “hamba”, dan Dia adalah Tuan diatas segala tuan. Setiap orang percaya harus merendahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Ini bukan semata-mata mengenai kesanggupan menyanyikan lagu rohani, atau mengucapkan kalimat penyembahan yang diberi nada. Kerendahan hati ini adalah sikap hati, sesuatu yang bersifat batiniah. Bertalian dengan hal ini hambatan atau halangan seseorang memuji, menyanjung dan menyembah Allah adalah penilaian yang tidak tepat atas diri, pengagungan diri dan ketidak-sediaan menundukkan diri dihadapan Allah. Kesadaran ini akan membuat seseorang dengan tegas menolak segala bentuk pengkultusan atas dirinya. Pengkultusan diri baik secara terang-terangan maupun terselubung adalah sikap penolakan terhadap Tuhan sebagai satu-satunya yang layak disembah. Keberhasilan, sukses dan segala prestasi pelayanan hendaknya tidak menjadi alasan untuk meninggikan diri.

 

 

 

Jaminsen

Welcome, TO BE LIKE JESUS

Post a Comment

Previous Post Next Post