Pemulihan Gambar
Diri
Manusia sedang mengalami krisis gambar diri. Gambar diri adalah pengertian
seseorang mengenai siapa dirinya dan harus menjadi apa atau bagaimana dirinya
sendiri tersebut. Krisis gambar diri adalah kegagalan seseorang mengenal siapa dan
bagaimana dirinya di hadapan Tuhan. Apabila pandangan seseorang mengenai
manusia salah, maka salahlah semua gerak hidupnya. Krisis ini akan melahirkan
berbagai krisis kehidupan lainnya.
Dewasa ini banyak orang sedang berbicara mengenai gambar diri, baik di
dalam maupun di luar lingkungan gereja. Tampillah penceramah-penceramah,
pembicara-pembicara dan pengkotbah-pengkotbah yang mengambil tema ini sebagai
isi percakapannya. Dalam pelatihan-pelatihan para pemimpin dan pejabat gereja,
tema ini juga diangkat ke permukaan sebagai bahan ajarannya. Rupanya banyak
orang sudah menganggap pokok ini penting. Apakah sebenarnya yang dimaksud
dengan gambar diri itu (self image)? Gambar diri adalah pemahaman seseorang
mengenai siapa dirinya? (Who he is) dan harus menjadi apa atau bagaimana
dirinya tersebut (self esteem).
Jadi, gambar diri dimiliki dua aspek:
• Aspek
present atau kekinian (who I am now).
• Aspek
future atau yang akan datang (who I will be).
Ceramah mengenai gambar diri
yang diajarkan sering tidak memiliki ukuran yang jelas. Percaya diri dianggap
sebagai tanda seorang yang sudah menemukan gambar diri. Bila demikian
ukurannya, maka ini bukanlah kebenaran Alkitab. Ini hanyalah pengembangan
kepribadian yang juga diajarkan oleh para motivator umum. Pengembangan
kepribadian bila diajarkan tanpa kebenaran Injil akan membangun sikap humanisme
(berpusat kepada diri sendiri) dan tidak mengembangkan pola hidup seperti yang
disaksikan Paulus yaitu “hidupku bukan
aku lagi” (Gal 2:19-20). Tuhan menghendaki agar orang percaya memiliki kembali
gambar Allah yang rusak dalam dirinya. Tuhan Yesuslah teladannya. Itulah
sebabnya orang percaya harus mengenakan pikiran dan perasaan Kristus Yesus.
Gambar diri juga memiliki aspek future atau akan datang, yaitu bagaimana
seseorang akan membawa dirinya (self esteem). Gambaran dalam diri seseorang
dapat menjadi apa atau bagaimana dirinya di kemudian hari. Aspek ini sangat
diperankan oleh filosofi orang tersebut. Kalau ia memandang kekayaan adalah
nilai tertinggi maka bayangan dirinya adalah menjadi orang kaya. Kalau ia
memandang gelar adalah nilai tertinggi, maka ia berusaha mencapai jenjang
pendidikan tertentu untuk dapat meraih gelar. Kalau ia memandang kedudukan
adalah nilai tertinggi kehidupan, ia berusaha menjadi orang terhormat, baik di
gelanggang politik maupun di bidang lain. Dan manusia terus bergerak untuk
menjadi seseorang seperti yang diidolakan.
Apa yang dilakukan oleh
manusia pada hakekatnya adalah proses meniru. Dari generasi ke generasi proses
ini berlangsung secara otomatis. Pola pikir dan gaya hidup seseorang pada
umumnya meniru apa yang sudah dilakukan orang sebelumnya dan apa yang dilihat
dari lingkungannya. Ini yang disebut oleh Petrus sebagai cara hidup yang diwariskan
oleh nenek moyang (1 Pet 1:18-19). Inilah proses membangun gambar diri yang
salah.
Semua orang berjuang untuk
menjadi seseorang seperti yang diidolakan. Idola manusia pada umumnya adalah
menjadi orang yang berlimpah harta, berpendidikan tinggi, berpangkat,
berpenampilan menarik, cantik atau ganteng dan lain sebagainya. Pada umumnya
orang tua juga mendorong anak-anaknya mengidolakan apa yang diidamkan oleh
mereka. Kalau orang tua mengidolakan profesi dokter maka anaknya diusahakan
untuk menjadi dokter. Kalau orang tua mengidolakan ilmu, maka ia mendisain
anaknya untuk menjadi ilmuwan. Dari kecil setiap anak manusia sudah dijejali
obsesi-obsesi dan segala cita-cita yang berpusat kepada diri sendiri atau
berpusat kepada ausia (anthroposentris). Gambar diri yang dibangun oleh
seseorang untuk dapat diwujudkan secara konkret dalam kehidupan ini pada
umumnya adalah menjadi sosok yang dikagumi, dipuja dan dihormati manusia lain. Banyak orang mati dalam dosa
dan kegelapan, tahun-tahun umur hidupnya hanya digunakan untuk membangun gambar
diri yang salah. Inilah yang disebut “disorientasi” yaitu hidup dengan fokus
yang salah. Hal ini yang akan menyeret seseorang hidup dalam kesia-siaan (Pengk
1:2). Menjadi pintar, kaya, berkedudukan, terhormat, terkenal sebenarnya tidak
salah tetapi masalahnya adalah untuk apa semua itu? Bila prestasi kehidupan ini
hanya untuk supaya dikagumi manusia lain dan berharap bisa menikmati
kebahagiaan, maka ini adalah suatu penyesatan. Tuhan Yesus menyatakan bahwa apa
yang dikagumi manusia dibenci oleh Allah (Luk 16:15) dan hidup manusia tidak
tergantung dari kekayaannya (Luk 12:15). Selanjutnya, Alkitab juga mengajarkan
agar orang percaya tidak boleh menjadi sama dengan dunia ini (Roma 12:2).
Gambar Diri yang benar secara umum dan khusus
Ada dua macam gambar diri yang benar. Gambar diri secara umum dan gambar
diri secara khusus. Secara umum artinya gambar diri yang mengacu atau menunjuk
kepada manusia yang dikehendaki Allah, dalam hal ini Tuhan Yesus sebagai
teladan-Nya (Fil 2:4-7). Untuk ini Injil harus dibedah dan digali untuk
menemukan gambaran yang jelas, manusia macam apakah yang dikehendaki oleh Bapa
itu. Gambaran
mengenai manusia yang dikehendaki oleh Bapa adalah standar umum. Dalam hal ini
semua orang percaya memiliki peta gambar diri yang sama yaitu mengacu kepada
pribadi Tuhan Yesus Kristus sebagai model atau prototipenya. Gambar
diri ini bisa disebut sebagai landasan utama dan umum dari gambar diri untuk
semua orang percaya.
Gambar diri secara khusus
artinya kehendak Tuhan kepada masing-masing individu untuk menjadi sosok
pribadi macam apakah masing-masing individu itu. Dalam hal ini setiap orang
memiliki gambar diri yang berbeda-beda. Tidak ada yang sama. Setiap orang
memuat atau memikul rencana Allah secara khusus dan istimewa. Oleh sebab itu,
hendaknya kita tidak membandingkan keadaan diri kita dengan orang lain. Setiap orang dirancang Tuhan dengan keadaannya yang khas,
unik dan luar biasa. Sesuai dengan keberadaannya tersebut
Tuhan memiliki rencana untuk dapat digenapi pada masing-masing individu. Dalam
hal ini masing-masing orang memiliki peta diri yang berbeda. Disini nyata
kebijaksanaan Tuhan sekaligus kreativitasnya menciptakan manusia dengan
keberadaannya yang bermacam-macam modelnya. Tidak ada 2 orang yang sama di
dunia ini sekalipun mereka anak kembar. Mari renungkan, betapa dahsyat, bahwa
di kenyataan jagad raya ini hanya ada seorang, yaitu anda. Dalam hal ini tidak
seorangpun dapat dan boleh menghakimi sesamanya, sebab Tuhan yang Maha Tahu,
satu-satunya yang berhak menggelar penghakiman-Nya.
Peran Waktu
Sering kita mendengar orang berkata dan bermotto, bahwa bukan awal
perjalanan yang menentukan tetapi akhir perjalanan. Karena hampir semua orang
setuju dengan pernyataan tersebut, maka banyak orang Kristen pun ikut-ikutan
setuju. Apakah pernyataan ini benar? Apakah akhir perjalanan hidup seseorang
menentukan segalanya. Pernyataan tersebut mengesankan bahwa hanya saat-saat
terakhir kehidupan seseorang yang menentukan nasib kekalnya. Bila konsep ini
dibenarkan, maka ada kecenderungan untuk tidak mulai berjaga-jaga mempersiapkan
diri jauh-jauh hari sebelum mendekati hari kematian atau menghadap tahta
pengadilan Tuhan. Ini adalah sebuah kecerobohan, sebab seseorang tidak pernah
tahu kapan saat terakhir hidupnya. Itulah sebabnya Tuhan jarang sekali
memberitahu kapan seseorang dipanggil-Nya pulang. Hal ini paralel dengan hari
kedatangan Tuhan. Tidak seorangpun tahu kapan kedatangan-Nya yang kedua kali
untuk menyudahi sejarah dunia ini (Mat 24:36; Kis 1:7). Kalau manusia tahu hari
kedatangan-Nya, maka sikap berjaga-jaga yang benar tidak dimiliki secara benar.
Pertobatannya juga tidak benar.
Sebenarnya yang menentukan “nasib kekal seseorang” bukan
hanya akhir perjalanan hidup seseorang, tetapi juga awal, pertengahan dan
seluruh perjalanan hidupnya. Hendaknya kita tidak berpikir bahwa awal dan
pertengahan perjalanan hidup tidak terlalu penting. Seluruh waktu yang tersedia
adalah kesempatan untuk bersiap-siap bertemu dengan Hakim Agung. Ini berarti setiap
saat seseorang harus siap menghadap Tuhan untuk mempertanggung jawabkan seluruh
kehidupannya selama di dunia (2Kor 5:9-10). Bagi orang percaya pertanggungan
jawabnya adalah apakah telah menemukan gambar diri yang Allah kehendaki.
Disinilah letak perkenanan di hadapan Bapa. Untuk meraih hal ini orang percaya
harus memanfaatkan setiap detiknya guna pengembangan diri untuk sempurna
seperti Bapa..
Dalam bahasa Yunani ada beberapa kata yang dapat diterjemahkan “waktu”
dalam bahasa Indonesia. Pertama"Hora". Kata ini menunjuk kepada waktu
dalam pengertian durasinya (panjang pendeknya, lama singkatnya). Kita harus
memperhatikan bahwa durasi waktu hidup kita sangat singkat. Durasi waktu itu
merupakan kesempatan untuk merubah diri menjadi pribadi yang Tuhan kehendaki.
Dalam 70 tahun umur hidup ini, seseorang harus menemukan gambar dirinya sesuai
dengan kehendak Tuhan.
Kata kedua adalah "Kronos" artinya waktu dalam pengertian
urut-urutannya. Kata ini menjadi kronologi dalam bahasa Indonesia. Dalam
kebijaksanaan Tuhan, Tuhan telah merancang segala sesuatu indah. Rancangan
Tuhan tesebut seperti kurikulum mahasiswa yang dirancang agar mahasiswa dapat
menjadi lulusan yang berkualitas. Melalui urut-urutan peristiwa dalam kehidupan
ini seorang anak Tuhan dibentuk agar menemukan gambar dirinya yang benar
menurut Pencipta-Nya.
Sedangkan kata yang ketiga adalah "Kairos". Kairos berarti momentum. Ada saat-saat yang
berharga dan sangat berarti dalam kehidupan ini dimana Tuhan menggarap
seseorang. Momentum-momentum tersebut merupakan vitamin jiwa yang merubah warna
jiwa seseorang menjadi seperti yang Tuhan mau. Warna jiwa inilah yang
menentukan kualitas gambar diri seseorang.
Tiga kata untuk waktu ini (hora, kronos dan kairos)
mengisyaratkan bahwa seluruh perjalanan waktu hidup ini penting. Bukan hanya
awal perjalanan yang penting tetapi juga seluruh hora (durasi),
kronos (urut-urutan kejadian) dan kairos (momentum atau kesempatan) yang Tuhan sediakan bagi orang
percaya guna proses pendewasaannya. Dalam hal ini kita memahami betapa
berharganya setiap detik waktu kita. Setiap detik kita berharga untuk
mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar (Fil 2:12). Mengerjakan
keselamatan adalah usaha untuk memiliki pikiran dan perasaan Kristus (Fil
2:5-7). Inilah keselamatan itu, yaitu menemukan gambar diri
(memiliki pikiran dan perasaan Kristus) dan mengenakannya secara konkret.
Durasi hidup manusia sekarang hanya sekitar 70 tahun. 70 tahun tersebut
menentukan nasib kekal atau keberadaan bagi seseorang (2Kor 5:9-10). Paulus
menulis bahwa penderitaan ringan yang sekarang ini (70 tahun), mengerjakan bagi
orang percaya kemuliaan kekal yang melebihi segala-segalanya, jauh lebih besar
dari pada penderitaan itu. Kalau 70 tahun dibanding 7 juta tahun, satu detiknya
mengerjakan kemuliaan yang sangat berarti. Kalau 70 tahun dibanding 7 milyar
tahun, satu detiknya mengerjakan kemuliaan yang sangat besar. Kalau 70 tahun
dibanding 7 trilyun tahun, satu detiknya mengerjakan kemuliaan sangat-sangat
besar. Dan kalau 70 tahun dibanding
dengan kekekalan, maka satu detiknya mengerjakan kemuliaan yang tiada
tara. Mata perhatian kita tidak boleh hanya memandang detik terakhir hidup ini
dan menilainya lebih berarti, seolah-olah hanya detik terakhir yang menentukan
nasib kekal. Yang menentukan nasib kekal manusia bukan hanya akhir perjalanan
hidupnya tetapi sepanjang perjalanan hidupnya. Kalau awalnya sudah salah, sulit
pada pertengahan menjadi benar. Awalnya benar saja belum tentu pertengahannya
benar. Apalagi kalau awalnya sudah salah, maka kesalahan akan terjadi terus
sampai akhir. Harus diingat bahwa tidak seorangpun tahu kapan detik terakhirnya. Setiap
detik adalah momentum (Kairos) yang berharga yang memuat pelajaran rohani yang
berharga, sesuai dengan jadwal pembentukan yang Tuhan susun seperti kurikulum (kronos).
Itulah sebabnya Firman Tuhan menyatakan bahwa kita harus menggunakan waktu yang
ada sebab hari-hari ini adalah jahat (Ef 5:16). Satu detik kita memiliki arti
yang sangat berharga, karena itu bagian dari durasi (hora), urut-urutan
(kronos) dan kesempatan (kairos) yang Tuhan berikan. Bila menggunakan waktu itu
dengan baik maka waktu itu membawa manusia kepada kemuliaan. Harus kita ingat
bahwa waktu (hora) kita makin berkurang, kesempatan-kesempatan (kairos) dapat
berlalu tanpa hasil dan urut-urutan pembentukan Tuhan atas kita menjadi
sia-sia. Betapa berharganya waktu kita. Detik demi detik berlalu, Tuhan menunggu
anak-anak-Nya untuk menggunakan kesempatan hidup ini untuk meraih berkat
kesulungan yang dimiliki orang percaya yaitu kesempatan untuk sempurna agar
bisa dipermuliakan bersama-sama dengan Yesus. Tetapi kenyataan yang ada orang
Kristen yang menukar hak kesulungannya dengan semangkuk makanan. Ini adalah
percabulan rohani. Hal ini tindakan mengkhianati Tuhan. Suatu hari nanti
orang-orang seperti tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri (Ibr
12:16-17). Jadi bukan hanya detik terakhir yang menentukan tetapi juga semua
detik hidup yang diberikan Tuhan kepadanya.
Perjuangan
Membangun Gambar Diri
Mengapa dikalangan orang Kristen terdapat pemahaman bahwa yang penting
adalah akhir perjalanan. Harus diakui ada suatu pengertian yang salah mengenai
keselamatan yang ada dalam pikiran banyak orang Kristen. Keselamatan dianggap
begitu murahan dan gampangan (Luk 13:22-29). Inilah yang menyebabkan banyak
orang Kristen memiliki hidup kerohanian yang tidak bermutu. Dari
pernyataan-pernyataan Tuhan di perikop ini jelaslah dapat disimpulkan bahwa “keselamatan bukan
sesuatu yang gampangan dan murahan.” Perhatikan ucapan
Tuhan Yesus: Berjuanglah. Kata ini dalam
teks aslinya adalah “agonizeste” artinya struggle
atau strive (berjuang atau berusaha dengan keras). Pengertiannya yang lain
adalah labor fervently (bekerja dengan bersemangat atau bernyala-nyala).
Pemahaman keselamatan yang salah disebabkan pula intepretasi yang salah
terhadap fragmen di kayu salib, yaitu keselamatan yang diterima oleh salah satu
penjahat disamping Tuhan Yesus (Luk 23:39-43). Hanya mengucapkan: “Ingatlah aku
kalau Engkau datang sebagai Raja”, ia sudah selamat. Banyak orang tidak memahami
bahwa penjahat tersebut memiliki ” sikap hati yang luar biasa”, yang karenanya
ia layak menerima keselamatan.
Beberapa hal yang menunjukkan sikap hatinya nampak dalam
beberapa pernyataan yang diucapkan di kayu salib tersebut: Ia mengakui bahwa
Tuhan Yesus adalah Mesias, Sang Juru Selamat dan Yesus berkuasa menyelamatkan
dirinya di kekekalan. Ia percaya bahwa Yesuslah Raja. Pada saat orang-orang
meninggalkan Tuhan Yesus, bahkan murid-murid Yesus menyangsikan Dia adalah
Mesias, justru ia satu-satunya yang masih percaya pada waktu itu. Apakah kita
masih bisa mempertahankan iman Kristen dalam keadaan terjepit, atau bisa-bisa
menyangkal Yesus seperti Petrus. Kesetiaan sampai akhir yang menentukan
keselamatan seseorang, tetapi ini tidak hanya ditentukan oleh menit-menit.
Kemenangan petinju bukan hanya pada menit-menit terakhir ketika ada di ring
tinju tetapi hari-hari panjang pada waktu ia mempersiapkan diri bertinju di
ring tinjunya.
Penjahat ini menerima dengan rela hukuman salib terhadap dirinya. Ia merasa
bahwa ia pantas menerimanya. Ini menunjuk pengakuan dosanya yang tulus dan
jujur. Sukar mengatakan bahwa penjahat ini tidak bertobat. Inilah pertobatan
yang sesungguhnya, bukan pertobatan yang semu. Tidak mungkin sikap hati seperti
ini dapat dimilikinya secara mendadak. Tentu ia telah membangunnya melalui
detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun-tahun yang panjang. Apa yang
dilakukan penjahat ini adalah peta perjalanan yang telah dilaluinya. Ia bukan
penjahat kriminal tetapi penjahat politik di mata penjajah, yaitu kekaisaran
Roma. Oleh sebab itu detik terakhir penjahat ini bukan merupakan penentu
satu-satunya keselamatannya. Dari sikap penjahat yang baik ini kita menemukan
suatu gambar diri yang melayakkan ia dibawa ke Firdaus, sedangkan penjahat yang
tidak baik memiliki gambar diri yang tidak layak di bawa ke Firdaus.
Pelajaran berharga lain yang kita peroleh dari penjahat di samping salib
Tuhan itu adalah dari pernyataan-pernyataan penjahat tersebut di kayu salibnya
menunjukkan hormatnya kepada Tuhan Yesus (Luk 23:39-43). Rupanya penjahat ini
sudah mengenal Tuhan Yesus sebelum penyaliban mereka. Itulah sebabnya ia dapat
membela Tuhan Yesus dan mengatakan bahwa Yesus tidak bersalah. Hal ini bukan
diperolehnya dalam sehari tetapi tahun-tahun yang panjang dalam perjuangan yang
benar-benar serius. Penjahat yang baik ini tidak mempersoalkan masalah dunia fana tetapi ia
mempersoalkan perkara-perkara sorgawi, yaitu Firdaus. Sukar mengatakan ia tidak
rohani. Sebagai perbandingan adalah teman penjahatnya yang mempersoalkan
bagaimana ia bisa turun dari salib itu, ia masih mempersoalkan bagaimana
menikmati hidup di dunia ini. Sedangkan penjahat yang baik ini tidak. Dari
pernyataannya nampak kualitas sikap hati yang melayakkan ia masuk Firdaus.
Inilah yang dimaksud dengan: Mendahulukan kerajaan Allah (Mat 6:33), dan
mencari perkara-perkara yang diatas (Kol 3:1-4). Dalam kondisi yang terjepit
seperti penjahat ini, ia masih memandang Kerajaan Tuhan Yesus Kristus. Ia tidak
hanyut dalam keduniawian. Ia memiliki kepribadian sorgawi.
Tuhan tentu tidak sembrono mempersilahkan penjahat disampingnya masuk
Firdaus tanpa memenuhi kriteria penghuni Firdaus. Kalau penjahat tersebut masih
bermental penjahat masakan disamakan dengan orang-orang saleh di sorga.
Penjahat adalah status lahiriahnya tetapi mentalnya penduduk Firdaus. Dengan
melihat sikap hati penjahat disamping Tuhan, penjahat saleh ini kita belajar
sikap hati yang hati yang benar yang harus kita miliki dihadapan Tuhan.
Kualitas rohani penjahat ini pasti bukan dibangun dalam beberapa jam. Ia bukan
penjahat kriminal karena kejahatan yang dilakukan tetapi penjahat politik. Ia
ditangkap karena membela Yahwe Allah Israel.
Mampu Merubah Diri dan Lingkungannya. Hanya mahkluk manusia yang
memiliki kemampuan untuk mengenal dirinya sendiri dan kemampuan menentukan
keadaannya. Mahkluk lain tidak memiliki kemampuan ini. Belajar
mengenal diri dan memahami bagaimana seharusnya menjadi manusia yang sesuai
rancangan Penciptanya, sebenarnya sama dengan usaha untuk memanusiakan manusia, sebab
kejatuhan manusia ke dalam dosa membuat manusia telah tidak menjadi manusia
seperti yang dikehendaki Penciptanya. Manusia yang dikehendaki
Allah adalah manusia yang memiliki gambar diri seperti yang Tuhan kehendaki.
Jadi, kalau manusia belum menjadi manusia seperti yang dikehendaki Tuhan
berarti ia belum menjadi manusia yang ideal menurut Tuhan. Sebelum Tuhan
menciptakan manusia, Tuhan telah membuat rancangan mengenai “model” manusia
yang diinginkan-Nya. Tidak mungkin Tuhan menciptakan tanpa rancangan. Seperti
yang diinformasikan Alkitab bahwa dalam penciptaan manusia, Tuhan menciptakan
dengan musyawarah (Kej 1:26).
Selain mengenal dirinya
sendiri, manusia juga mampu merubah diri dan mengubah keadaan sekelilingnya.
Itulah sebabnya kalau kita belajar mengenai gambar diri, hal ini dimaksudkan
agar kita bukan saja mampu mengenal diri kita sendiri tetapi juga mengusahakan
diri agar menjadi manusia seperti yang dikehendaki oleh Tuhan Sang Pencipta
sehingga mampu mengubah keadaan. Keadaan diri kita dan keadaan lingkungan kita,
baik manusia maupun alamnya. Dalam hal ini yang dibutuhkan adalah mengenal diri
dengan jujur, memahami bagaimana manusia yang dikehendaki Tuhan.Seorang yang
belajar mengenal siapa dirinya (siapa manusia), berarti ia bersedia menerima
panggilan untuk bertobat dan diperbaharui agar menjadi manusia sesuai dengan
rancangan-Nya. Semua orang pasti memiliki konsep gambar diri di
dalam hidupnya dan harapan atau cita-cita bakal menjadi apa dirinya nanti.
Dari seluruh sikap hidup seseorang, apa yang menjadi hasrat dan
cita-citanya nampak konsep gambar dirinya. Sulitlah seseorang menyembunyikan
konsep gambar dirinya di mata manusia lain. Disini sebenarnya gambar diri
seseorang akan sangat mudah terbaca oleh sesamanya. Berkenaan dengan hal ini,
Tuhan Yesus berkata bahwa dari buahnya kita mengenal seseorang (Mat 7:16). Dari
seluruh tindakan hidup seseorang nampak peta kehidupan seseorang. Gambar diri
seseorang juga tidak bisa dipisahkan dari pemahamannya mengenai kehidupan.
Justru konsepnya mengenai kehidupan ini sangat mempengaruhi dan menentukan
gambar dirinya. Ide-ide yang diserap seseorang akan menjadi
pemikiran, pemikiran akan menjadi konsep. Konsep yang dimiliki merupakan
substansi dari jiwa yang membangun gambar diri. Misalnya, kalau seseorang
menganggap bahwa nilai tertinggi kehidupan adalah harta, maka ketika memiliki
banyak harta maka ia merasa dirinya sukses atau terhormat. Kalau ia miskin,
maka ia merasa diri gagal, tidak berarti dan menjadi rendah diri. Selanjutnya ia akan memburu
kekayaan agar ia menjadi “sosok orang kaya”, sebab baginya menjadi orang kaya
adalah bentuk keberhasilan kehidupan. Jadi, ketika Tuhan Yesus mengajarkan
kebenaran, maka kebenaran itu akan membangun konsep gambar diri yang benar
menurut Tuhan dan apa yang Tuhan kehendaki; bisa menjadi apa setiap individu
menurut Dia atau sesuai dengan rencana-Nya. Tanpa mengerti apa yang Tuhan Yesus
ajarkan, maka seseorang tidak akan menemukan gambar diri yang benar.
Keadaan Tidak
Berpotensi.
Sebenarnya pada dasarnya manusia yang telah jatuh dalam dosa dan kehilangan
kemuliaan Allah (Rom 3:23), terlahir dalam keadaan yang tidak berpotensi sama
sekali untuk memilih dan mengenal gambar diri yang benar. Ini bagian dari dosa
warisan yang diterima setiap anak-anak Adam (Maz 51:7). Jadi adalah keliru, kalau orang berpendirian bahwa ada manusia yang dapat
mengenal gambar dirinya tanpa mengenal kebenaran Injil. Adam
sendiri telah kehilangan kesempatan untuk menemukan gambar dirinya dengan benar
dan bertumbuh menuju keserupaan dengan Allah lebih baik. Oleh karena kejatuhan
manusia pertama tersebut maka semua keturunannya telah kehilangan kesempatan
untuk memiliki pengetahuan mengenai gambar dirinya, sampai Tuhan Yesus
menyelamatkannya.
Kejatuhan manusia dalam dosa karena bujukan iblis untuk menjadi seperti
Allah (Kej 3:1-6), menunjukkan manusia belum mengenal gambar diri dengan benar.
Kalau manusia memahami gambar diri dengan benar, maka ia tidak akan makan buah
yang terlarang untuk dimakan tersebut. Siapakah sebenarnya manusia itu? Manusia
adalah mahkota ciptaan Allah (ciptaan Allah dengan kualitas tertinggi). Raja di
bumi atas kuasa yang Tuhan berikan. Manusia diberikan kemampuan untuk
menaklukkan bumi (Kej 1:28). Pasti didalamnya termasuk semua rintangan yang
merintangi penyelenggaraan pemerintahannya. Kemungkinan potensi terbesar yang
akan mengganggu pemerintahan manusia adalah malaikat-malaikat pemberontak yang
dibuang ke bumi (Why 12:4).
Jadi pengertian yang benar mengenai kata krisis gambar diri bukan
mengembalikan gambar diri yang rusak, seolah-olah manusia pernah mencapai
gambar diri yang ideal atau sempurna dan telah menetap permanen dalam dirinya,
tetapi mengembalikan proses penyempurnaan untuk menemukan gambar diri yang
telah gagal oleh manusia pertama. Adam pertama gagal, Adam terakhir yaitu Tuhan
Yesus Kristus berhasil (Luk 2:52). Dengan keberhasilan Adam terakhir menemukan
gambar diri seperti yang Bapa kehendaki (Mat 3:17), maka orang percaya dan
mengikut Dia diberi kemungkinan untuk berhasil juga, sama seperti Dia (Rom
8:29). Dengan demikian panggilan untuk sempurna seperti Bapa adalah meneruskan
proses penyempurnaan manusia yang tertunda oleh Adam. Kedatangan Tuhan Yesus
sebagai Adam terakhir dari dimulainya kembali proses pencarian gambar diri oleh
manusia yang diciptakan segambar dengan Allah agar sempurna seperti Bapa di
Sorga. Melalui dan di dalam Dia, Bapa menciptakan manusia-manusia baru yang
akan dapat menjadi kesukaan Bapa. Dengan demikian bukan hanya kepada Tuhan
Yesus. Bapa menyatakan bahwa Bapa berkenan, tetapi juga kepada orang percaya
yang menemukan gambar dirinya seperti Yesus.
Menyangkal Diri.
Manusia sedang
mengalami krisis gambar diri. Konsep gambar diri setiap orang dibangun dari apa
yang dilihat, didengar dan dialami sejak masa kanak-kanak. Padahal apa yang
dilihat, didengar dan dialami seseorang belum tentu membawanya kepada gambar
diri yang dikehendaki Tuhan. Ternyata bukan hanya pengalaman yang menyakitkan atau yang
dianggap negatif yang dapat merusak gambar diri, tetapi pengalaman hidup yang
serba nikmat dan nyaman (yang dianggap positif) dapat menjadi pemicu rusaknya
gambar diri seseorang. Justru kadangkala keadaan nyaman, terhormat dan
kaya mengkondisi seseorang lebih sukar masuk Kerajaan Sorga. Ini sama dengan
kondisi dimana seseorang tidak mudah untuk diubahkan. Ceramah mengenai gambar
diri sering menyalahkan keadaan negatif sebagai kausalitas prima (penyebab
utama) rusaknya gambar diri. Padahal bukan hanya keadaan buruk saja yang dapat
merusak gambar diri, keadaan baik pun berpotensi sangat besar bisa merusak
gambar diri.
Kesalahan beberapa gereja selama ini adalah
tidak membongkar konsep-konsep salah mengenai kehidupan yang telah dipahami
oleh jemaat, yaitu mengenai gambar diri yang salah. Malah sebaliknya gereja
berusaha untuk membantu mewujudkan apa yang dipahami sebagai keberhasilan,
kemenangan, hidup yang berkelimpahan dan diberkati dan lain sebagainya. Jemaat
dilatih untuk mengembangkan self esteem yang bertentangan dengan rencana
pemulihan gambar diri. Jemaat bukan semakin menemukan gambar dirinya tetapi
semakin sesat jauh dari peta gambar diri yang Tuhan kehendaki.
Kegagalan
mengenal dirinya bersumber kepada satu hal saja yaitu tidak mengenal kebenaran
Tuhan. Sehingga mereka tidak mengerti bagaimana gambar diri yang dikehendaki
oleh Allah itu. Pengalaman hidup dlsb tidak menjadi pemicu yang berarti untuk
itu (walaupun memiliki pengaruh juga). Banyak pembicara
mengenai gambar diri sering menyalahkan pengalaman masa lalu sebagai kausalitas
rusaknya gambar diri, tetapi sebenarnya pengalaman apapun dapat merusak gambar
diri seseorang. Bukan hanya pengalaman yang menyakitkan (yang dianggap negatif)
yang bisa merusak kepribadian sehingga tidak memiliki gambar diri yang benar,
tetapi pengalaman yang baik (yang dianggap positif) juga bisa mengakibatkan
seseorang membangun gambar diri yang salah. Dunia yang fasik tanpa disadari
telah membangun gambar diri yang salah dalam kehidupan setiap individu. Hanya
kebenaran yang dapat mengantisipasinya. Untuk
mengembalikan gambar diri, seseorang harus bersedia menyangkal diri (Mat
16:24). Menyangkal diri adalah kesediaan untuk membuang konsep dan segala
asumsi-nya mengenai kehidupan ini; asumsi mengenai keberhasilan, kebahagiaan
dan lain sebagainya. Seperti yang telah dijelaskan bahwa konsep mengenai
kehidupan sangat mempengaruhi seseorang membangun gambar dirinya. Hanya dengan
penyangkalan diri maka gambar diri yang salah bisa diganti. Menyangkal diri
artinya bersedia menanggalkan gambar diri yang salah yang tertanam dalam
benaknya. Gambar diri ini diperoleh dari apa yang didengar dan dilihat pada
orang tua dan lingkungannya. Semua ini membangun konsep gambar diri seseorang.
Selama ini yang dipahami sebagai penyangkalan diri adalah sikap yang menolak
perbuatan salah yang dikategorikan melanggar moral dan kesediaan melakukan
hukum yang dianggap sebagai standar moral. Ini sebenarnya belum bisa dikatakan
penyangkalan diri tetapi pertarakan.
Penyangkalan diri adalah sikap yang menolak
semua filosofi hidup yang dipahami oleh orang tua dan lingkungan yang tidak
sesuai dengan kehendak Tuhan. Filosofi hidup yang diwariskan kepada kita pada
umumnya adalah perjuangan untuk meraih keberhasilan melalui sekolah, kuliah,
berkarir, berdagang, mencari nafkah dengan berbagai profesi, menikah, mempunyai
anak, membesarkan anak, mencari menantu, ikut membesarkan cucu dan lain
sebagainya.
Semua itu
dilakukan untuk meraih apa yang disebut sebagai keberhasilan atau paling tidak
sebuah kelayakan atau kewajaran hidup. Anak-anak Tuhan dipanggil untuk mengabdi
kepada Tuhan. Baik makan atau minum, atau melakukan sesuatu yang lain,
lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah (1Kor 10:31). Anak Tuhan memang
harus sekolah, kuliah, berkarir, dagang, menikah dan lain sebagainya, tetapi
semua itu harus dilakukan bagi Tuhan yang telah menebus kita dan membeli kita
dengan darah-Nya.
Ke Tingkat yang Lebih Tinggi
Sebenarnya jiwa manusia
penuh dengan perbendaharaan yang busuk yang tidak membangun diri menjadi
manusia yang tidak dikehendaki oleh Allah. Perbendaharaan itu antara lain:
keserakahan, kesombongan atau mau dihormati, kebencian, ambisi memerintah orang
lain atau mau berkuasa, tidak mau menerima orang lain sebagaimana adanya dlsb.
Inilah yang membuat gambar diri manusia semakin jauh dari gambar diri ideal
yang harus dicapai oleh setiap individu. Perbendaharaan jiwa yang busuk
tersebut juga merupakan penyakit jiwa yang tidak mudah disembuhkan. Banyak
orang merasa sudah sembuh dari hal-hal itu, tetapi sebenarnya belum. Karena
kecerdasan dan kelicikan hati seseorang, maka manifestasi dari kebusukan
jiwanya tidak mudah dikenali, bahkan oleh dirinya sendiri. Pendidikan budi
pekerti, pengembangan kepribadian dan berbagai ajaran etika sering hanya
memoles bagian luarnya tetapi tidak memperbaharui sampai kedalaman. Pada
dasarnya orang-orang seperti itu belum hidup baru dalam Tuhan seperi yang
dikemukakan dalam 2Kor 5:17. Kepada orang-orang seperti itu Tuhan menyatakan
bahwa mereka tidak dikenal atau tidak dapat dinikmati oleh Tuhan (Mat 7:21-23).
Keadaan mereka jauh dari standar kesucian atau kebenaran Tuhan. Bagaimana seseorang bisa
mengenal, bahwa dirinya masih jauh dari standar kesucian atau kebenaran Tuhan?
Ia harus memiliki kesungguhan untuk mencapai standar hidup yang luar biasa. Ia
tidak boleh merasa puas dengan kebaikan yang telah ia capai. Ia harus selalu
bertanya: Apakah ada yang lebih baik dari apa yang sudah kucapai hari ini,
seperti pertanyaan orang muda yang kaya dalam Matius 19:20: “Semuanya itu telah
saya lakukan, apa lagi yang masih kurang”? Hanya orang yang haus dan lapar akan
kebenaran yang akan dipuaskan (Mat 5:6). Orang yang selalu ingin
mencapai tingkat yang lebih tinggi dalam kesucian Tuhan yang akan memperoleh
jawaban.
Bagaimana seseorang dapat
dinaikkan ke tingkat yang lebih tinggi kalau ia sendiri tidak memiliki
keinginan untuk mencapainya. Banyak orang yang tidak memiliki kerinduan untuk
mencapai tingkat kesucian atau kebenaran yang lebih tinggi disebabkan karena
menganggap hal itu tidak terlalu penting. Bagi mereka segala kesenangan hidup
lebih berarti dan membahagiakan. Tanpa disadari, mereka merendahkan nilai-nilai
kesucian dan kebenaran Tuhan serta mencampakkannya seperti sampah. Pada
dasarnya mereka menghina Tuhan. Tetapi mereka tidak merasa demikian, sebab
mereka masih melakukan kegiatan gereja dan dihargai oleh sesamanya sebagai
orang baik. Inilah orang-orang yang tidak mendahulukan Kerajaan Sorga, walaupun
kadang-kadang mereka mendahulukan gereja. Kerinduan untuk mencapai tingkat yang
lebih tinggi harus berangkat dari diri sendiri. Hal ini tidak bisa dipaksakan.
Ini adalah pilihan. Bila seseorang menunda memilih hari ini, maka ia tidak akan
memiliki kerinduan tersebut untuk selamanya. Sia-sia hidup ini.
Semakin menjadi pribadi yang
dikehendaki oleh Tuhan atau menemukan gambar diri yang benar sama artinya
dengan semakin meningkatnya kesucian dan kebenaran Tuhan dalam hidup seseorang.
Hal ini rentang atau jaraknya bisa tidak terbatas. Seandainya seseorang
memiliki waktu umur hidupnya 1000 tahun, waktu itupun tidak akan cukup untuk
menjangkau kesucian dan kebenaran Tuhan yang tersedia bagi manusia. Sangat
mungkin, perkembangan kesucian dan kebenaran Tuhan dalam hidup seseorang akan
berlanjut nanti di langit baru dan bumi yang baru. Tetapi ini hanya dialami
oleh orang-orang yang selama hidup di dunia ini menghargainya. Menghargai
kesucian dan kebenaran Tuhan berarti berusaha untuk melakukan kehendak Tuhan
apa yang baik, yang berkenan dan yang sempurna (Rom 12:2). Orang-orang seperti
ini tidak curiga terhadap Tuhan Yesus dan kehendak-Nya bahwa kita harus
sempurna seperti Bapa (Mat 5:48).
Sayang sekali banyak orang mau memiliki rumah, mobil, kehormatan, pangkat dan fasilitas lain yang serba terbaik, tetapi tidak merindukan kehidupan rohani yang terbaik. Inilah yang Alkitab katakan sebagai orang-orang bodoh (Luk 12:15-21). Inilah orang-orang yang menukar hak kesulungannya dengan semangkuk makanan (Ibr 12:16-17). Kebodohan itu barulah disadari ketika seseorang menutup mata, ternyata ia miskin dalam keabadian. Penyesalan atas hal ini hanya bisa digambarkan dengan ratap tangis dan kertak gigi. Jadi, kalau Tuhan berfirman: kumpulkan harta di Sorga, itu dimaksud agar kita membenahi jiwa kita untuk diisi kebenaran Tuhan, menggantikan segala yang busuk yang ada di dalamnya. Nasihat Tuhan untuk mengumpulkan harta di Sorga berkenaan dengan kotbah Tuhan Yesus di Bukit (Mat 5-7), yaitu ketika Tuhan meletakan dasar moral untuk umat Perjanjian Baru. Bila jiwa seseorang diisi kebenaran Tuhan, maka ekspresi dari jiwa yang bersih tersebut akan pasti dirasakan manusia di sekitarnya.
Mengutamakan Kerajaan Sorga tidak akan
mengganggu kegiatan hidup kita setiap hari, bahkan sebaliknya Tuhan akan
membuat masalah pemenuhan kebutuhan jasmani kita tidak mengganggu pergumulan
untuk mencapai standar kesucian dan kebenaran Tuhan.
Proses keselamatan dalam
Yesus Kristus pada dasarnya adalah proses menjadikan manusia unggul bagi Tuhan.
Manusia unggul adalah manusia seperti rancangan semula. Inilah “cita-cita
Tuhan”. Keunggulan ini bukan diukur oleh nilai-nilai benda atau materi. Ukuran
keunggulan disini adalah ukuran Tuhan. Jadi tidak seorangpun berhak menghakimi
sesamanya dan menilai dari ukurannya sendiri. Untuk menemukan nilai keunggulan ini seseorang harus
belajar kebenaran Firman Tuhan. Dengan belajar kebenaran Firman Tuhan maka
seseorang mengenal pribadi Tuhan Yesus yang merupakan prototype manusia yang
dikehendaki oleh Allah. Dalam hal ini ayat-ayat Perjanjian Lama tidak bisa
menjadi tolok ukur kehidupan iman Kristen. Kalaupun kita mengambil ayat
Perjanjian Lama, maka kita harus melihat konteksnya dengan seksama. Ayat-ayat
Perjanjian Baru memuat kebenaran yang pantas dikenakan dalam kehidupan orang
percaya. Dari pemahamannya terhadap kebenaran Alkitab seseorang menemukan
gambar diri secara umum. Selanjutnya seseorang harus bergumul dengan Tuhan
setiap hari untuk menemukan gambar diri secara khusus. Semua orang percaya
memperoleh panggilan untuk ini. Untuk masuk dalam proyek menjadi manusia unggul
bagi Tuhan, seseorang harus mempertaruhkan segenap hidupnya bagi Tuhan. Tanpa
pertaruhan segenap hidup ini seseorang tidak akan menjadi manusia seperti yang
dikehendaki oleh Allah. Pertaruhan segenap hidup artinya harus sungguh-sungguh
serius. Bukan kegiatan sambilan. Disini berlaku Firman Tuhan yang mengatakan:
Kasihilah Tuhan Allah-mu dengan segenap hidupmu (Mat 22:37-40; Mark 12:28-34;
Luk 10:25-28). Kasih seseorang kepada Tuhan ditunjukkan dengan kesediaan
menjadi pribadi seperti yang Tuhan kehendaki. Langkah penyempurnaan sebagai orang yang menerima
keselamatan, dimulai dari manusia harus jadi manusia yang secara umum terlebih
dahulu, barulah dapat menjadi manusia unggul warga Kerajaan.
Di dunia ini kita dapat
menemukan orang-orang yang memiliki nilai kebaikan secara umum. Kebaikan secara
umum ini antara lain: memiliki kejujuran, santun dan etika, sehat jasmani,
cerdas berpikir, tidak ceroboh dalam mengambil keputusan, rajin dan giat
bekerja, hemat, bertanggung jawab dalam tugas, sopan dalam tutur kata, bisa
mengatur keuangan pribadinya dengan baik, produktif dan berguna di tempat
kerja, memiliki prestasi dalam study, karir maupun dalam bidang lainnya,
dibutuhkan masyarakat, bersosialisasi atau bermasyarakat dengan baik, tidak
membuat onar tetapi membawa kesejahteraan dan ketentraman, memiliki toleransi
yang tinggi terhadap orang lain dan berbagai aspek, menggunakan lidahnya dengan
baik, menguasai diri dan mampu mengontrol perasaan dengan seksama, tidak
mengingini milik orang lain dlsb. Orang-orang yang memiliki kebaikan secara
umum ini biasanya tidak atau kurang memiliki kesulitan dalam hidup berumah
tangga, ekonomi dan kesehatan jasmaninya. Jadi kalau seseorang harus terus
menerus mengalami problem rumah tangga, kesulitan ekonomi dan kesehatan, patut
memeriksa diri dengan seksama.
Kebaikan secara umum adalah
kebaikan yang telah dimiliki orang kaya yang mengingini hidup kekal dalam
Matius 19:16-26. Ia seorang yang telah melakukan hukum
Taurat. Orang seperti ini hidupnya berkualitas secara umum, tetapi
masih kurang satu lagi untuk memiliki hidup yang kekal atau hidup yang
berkualitas menurut Tuhan. Satu lagi itu adalah mengikuti perkataan Tuhan Yesus
(Mar 10:21). Tuhan menghendaki kita bukan saja
menjadi baik tetapi sempurna. Inilah manusia unggul menurut Tuhan itu (Mat
5:48).
Mengapa harus memiliki
kebaikan secara umum terlebih dahulu? Hal ini terjadi sebab manusia harus
menjadi manusia yang cukup memadai, yaitu sehat dalam berbagai aspek hidupnya
atau manusia yang utuh barulah dapat dibangun menjadi manusia yang sempurna. Manusia
yang utuh maksudnya adalah manusia yang pikirannya atau mentalnya sehat,
jasmaninya sehat dan lingkungan juga mendukung. Lingkungan yang mendukung bukan
berarti harus keadaan yang berlimpah materi, tanpa masalah dan menyenangkan.
Tetapi kondisi yang kondusif menurut Tuhan untuk pemulihan gambar diri.
Di lapangan, sering kita
jumpai orang-orang yang kualitas hidupnya secara umum saja sudah rendah, tetapi
mereka dengan alasan dipimpin ROH KUDUS atau menerima karunia ROH KUDUS
mengajar dan membimbing orang lain yang kualitas umumnya bisa lebih baik.
Disini terjadi proses pembodohan. Mengapa hal ini terjadi? Sebab banyak orang
berpikir bahwa kebaikannya secara umum yang dimiliki dalam kehidupan ini karena
tidak berkaitan dengan kegiatan gereja atau agama dianggap sebagai tidak
bermutu. Padahal kebaikan secara umum juga bagian dari proses penyempurnaan
untuk menjadi manusia unggul menurut Tuhan. Kalau secara umum
seseorang sudah tidak baik atau tidak berkualitas, maka seseorang tidak akan
mencapai keunggulan di hadapan Tuhan.
Kehancuran kehidupan umat
Tuhan dewasa ini disebabkan oleh karena umat dimentor oleh orang-orang yang
sebenarnya belum memiliki kebaikan secara umum yang memadai. Mereka adalah
orang-orang gagal dalam “market place”, kemudian melarikan diri dalam pelayanan
gereja untuk memiliki kemudahan-kemudahan hidup. Biasanya orang-orang seperti
ini akan menjadi “dukun-dukun dalam gereja”. Mereka tidak mengajarkan kebenaran
kepada umat tetapi “menjual jasa”. Hal ini mirip dengan praktek perdukunan
dalam masyarakat. Banyak orang-orang berpendidikan tinggi yang memiliki
kualitas yang baik datang kepada dukun-dukun yang pendidikan SMP saja tidak
lulus. Kelebihan mereka adalah “sakti” dan memiliki kedekatan dengan “sumber
kuasa” yang dapat memberi solusi bagi masyrakat.
Manusia unggul menurut Tuhan
adalah orang-orang yang mengembangkan semua potensi yang ada padanya. Itulah
ibadah yang sejati. Pada umumnya orang masih memisahkan antara ibadah kepada
Tuhan dan kehidupan setiap hari. Mereka beranggapan bahwa ibadah kepada Tuhan
adalah bagian dari hidup ini. Itulah sebabnya mereka membedakan antara kegiatan
yang bersangkut paut dengan Tuhan seperti berdoa, menyanyi lagu rohani, ke
gereja dengan kegiatan yang tidak bersangkut paut dengan Tuhan seperti bekerja
di kantor, rekreasi dengan keluarga, olah raga, makan, minum dlsb. Pemisahan
atau pembedaan ini biasa disebut juga antara yang rohani dan duniawi. Bila kita
masih memiliki anggapan atau sikap berpikir seperti ini, berarti kita belum
mengerti kebenaran. Kita tidak boleh lupa bahwa dunia ini diciptakan oleh Tuhan. Bukan oleh
iblis. Dunia ini tidak najis atau berdosa. Sebab yang berdosa adalah manusia
dan yang disebut najis adalah segala perbuatan dan produknya yang bertentangan
dengan prinsip kebenaran Tuhan. Hendaknya kita tidak sesat seperti aliran
agama-agama tertentu yang memandang dunia ini jahat, harus dijauhi. Karenanya
orang yang mau hidup suci menjauhi dunia dengan segala kegiatannya. Termasuk
tidak menikah padahal menikah itu kudus sebab Tuhan yang menciptakan seks.
Dalam hal ini berumah tangga juga panggilan dari Tuhan (mandate prokreasi),
karenanya kita harus membangun rumah tangga sesuai dengan pola Tuhan. Orang
yang gagal berumah tangga karena kesalahan atau kebodohannya sulit untuk
menjadi pelayan Tuhan yan baik. Perlu pertobatan dan pemulihan yang signifikan.
Dalam Kejadian 1:28-29,
Tuhan berfirman agar kita mengelola dunia ini. Perintah untuk mengelola dunia
ini sebagai penyelenggara kehidupan di bumi ini merupakan perintah kudus yang
rohani yang tidak boleh kita identifikasi sebagai duniawi. Itulah sebabnya kita
tidak boleh membedakan profesi duniawi dan rohani diukur dari jenis pekerjaan
itu semata-mata. Karenanya pula kita tidak boleh merasa kurang kudus hanya
karena kita memiliki profesi bukan pendeta atau tidak memiliki kegiatan di
gereja. Dalam Roma 12:1-2, Paulus menjelaskan arti ibadah yaitu mempersembahkan
tubuh sebagai korban yang hidup, kudus dan yang berkenan. Ini artinya
membudidayakan tubuh untuk kepentingan kehidupan sesuai dengan maksud Tuhan dan
tidak menggunakan tubuh dalam bentuk perbuatan yang melanggar Firman Tuhan.
Untuk ini merupakan kewajiban agar anak-anak Tuhan meningkatkan kualitas
kemampuan kerja dalam membudidayakan semua potensi yang ada di dalam dirinya
dan belajar kebenaran Alkitab untuk mengerti bagaimana menggunakan tubuh sesuai
dengan Firman Tuhan.
Seorang aktivis gereja jangan merasa
lebih kudus hanya karena memiliki tugas dalam gereja sebagai penerima tamu,
mengedarkan kantong persembahan, sebagai majelis dll. Hidup seseorang rohani
atau tidak, bukan ditentukan oleh aktivitasnya didalam gereja. Tetapi motivasi
kehidupan orang itu. Yang penting disini adalah bahwa seseorang harus mengerti kebenaran
Firman Tuhan sehingga sampai kepada motivasi hidup yang benar yaitu hidup bagi
Tuhan (Fil 1:21).
Orang tidak akan memiliki
motivasi hidup bagi Tuhan, kalau ia tidak bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan
dari kebenaran Firman-Nya yang ditulis dalam Alkitab. Sekalipun ia seorang
pejabat gereja kalau tidak bertumbuh dalam pengenalan akan Tuhan ia belum mampu
hidup bagi Tuhan. Oleh sebab itu kita harus bertumbuh sehingga kita hidup hanya
bagi Tuhan saja (Fil 1:21).
Bila kita mengamati Alkitab manusia yang
diciptakan segambar dengan Allah, keberadaan yang lahiriah (daging, tubuh
jasmaniah) bukanlah satu-satunya yang membuat manusia dapat dinyatakan sebagai
mahkluk manusia. Manusia juga
memiliki roh dan jiwa.
Oleh karena manusia harus mengelola bumi ini sebagai “manager” maka manusia
diberi baju atau kemah (2Kor 5:1-2), dengan demikian manusia dapat bersentuhan
dengan “alam lahiriah” ini dan mengelolanya. Tubuh yang diciptakan oleh Allah
dari debu dengan 5 indera merupakan bagian hidup manusia yang memampukan
manusia berhubungan dengan dunia materi (world conciousness).
Persenyawaan antara tubuh
dan roh inilah ada jiwa. Jiwa inilah unsur batiniah manusia dimana pikiran,
tubuh dan roh beraksi. Jadi Allah menjadikan manusia sebagai mahkluk hidup (living soul) dari kesatuan
tubuh dan nafas hidup. Jiwa inilah tempat perasaan, kehendak
dan pikiran atau akal budi. Disini manusia mampu memiliki kesadaran diri (self
consciousness). Didalam kesadaran diri inilah perasaan “berdetak” atau bereaksi
dan beraksi. Jiwa manusia bertumbuh seiring dengan perkembangan fisik manusia.
Dalam jiwa inilah ada kesadaran. Ketika manusia lahir ia sudah memiliki jiwa,
tetapi jiwanya belum “sadar”, si “aku” nya belum sadar. Seiring dengan waktu
maka kesadaran jiwa atau si “aku” bertumbuh, didalamnya termasuk kesadaran tentang
diri sehingga seseorang memiliki “harga diri”.
Kualitas perasaan Manusia.
Warna jiwa seseorang
menentukan kualitas “perasaan” seseorang. Masalahnya sekarang adalah banyak
jiwa yang sakit, itulah yang disebut tidak berkualitas. Bila jiwa sakit maka perasaannya
juga sakit, cacat, luka atau tidak dewasa. Akar dari kerusakan hidup manusia
adalah karena dosa (Rom 3:23).
Adapun yang mempengaruhi kualitas atau
warna perasaan seseorang dapat dijelaskan sebagai berikut:
*Faktor keturunan. Bagaimanapun karakter orang tua
terwariskan kepada anak. Anak-anak “merekam” karakter orang tua didalam
dirinya.
*Lingkungan. Antara lain pendidikan, keluarga, pergaulan dan
lainnya.
*Pengalaman masa lalu. Pengalaman ini sangat memberi pengaruh
terhadap pembentukan jiwa didalamnya
termasuk perasaan.
Dalam hal ini ilmu jiwa juga
mengakui, bahwa pengalaman masa lalu seseorang membentuk kepribadian seseorang
termasuk perasaannya. Karena faktor-faktor diatas ini perasaan seseorang
terbentuk. Ada orang yang gampang tersinggung, gila hormat, rendah diri, merasa
tertolak, gampang marah dan lainnya. Bila perasaan yang sakit ini belum
disembuhkan maka kehadiran orang tersebut akan melukai orang lain pula. Dalam
gereja mereka menjadi sumber persoalan atau sumber kesulitan yang banyak
org dalam pelayanan.
Sebagaimana tubuh dan roh dapat sakit,
jiwa juga dapat sakit. Sakitnya tubuh karena virus dan bakteri. Roh sakit atau
mati karena dosa (Ef 2:1). Jiwa sakit dapat dikarenakan oleh
peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup seseorang. Pengalaman-pengalaman
masa lalu tersebut adalah pengalaman-pengalaman yang menyakitkan dan seseorang
tidak mampu mengantisipasinya, misalnya: penolakkan dari orang tua dan
lingkungan, kekecewaan akibat penghianatan, melihat kejadian-kejadian yang
menakutkan, pelecehan seksual, kemiskinan, penderitaan yang berkepanjangan dan lain sebagaini.
Inilah yang dimaksud dengan
luka batin (Yes 61:1,3 kata remuk disini adalah “bruises”, sama dengan
pengertiannya dengan luka. Sejajar dengan Mazmur 147:3). Pengalaman-pengalaman
tersebut dapat membentuk kepribadian seseorang, termasuk mempengaruhi
perasaannya. Selain beberapa faktor yang membentuk perasaan maka ada beberapa
faktor yang mempengaruhi perasaan seseorang antara lain: fisik dan suasana jiwa
pada waktu tertentu. Oleh sebab itu pada waktu fisik terganggu dan suasana jiwa
tidak baik hendaknya kita tidak mengambil keputusan.
Pemulihan Jiwa.
Allah sangat memperhatikan luka jiwa
seseorang. Tuhan hendak tampil sebagai penyembuh (Yer 30:17; Maz 147:3), sebab
menjadi kehendak Allah agar kita hidup tidak bercacat, termasuk juga jiwa kita
(1 Tes 5:23-24; Yak 1:4). Kita berharga dimata Tuhan (Yes 43:1-4a). Allah akan
menyediakan fasilitas kesembuhannya, tetapi dari pihak kita Allah menuntut
langkah-langkah guna menyambut kesembuhan tersebut.
Untuk mendewasakan perasaan
kita, Tuhan menggunakan pengalaman-pengalaman hidup kita. Dalam hal ini berlaku
Firman Tuhan besi menajamkan besi. Dalam Amsal 27:17 terdapat kalimat “besi
menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya. (Niv. As iron sharpens iron so one
man sharpens another). Apa artinya ini. Harus dimengerti dan diterima kebenaran
ini: bahwa dalam pembentukan kita menuju kesempurnaan yang dikerjakan Tuhan
melalui Roh-Nya, Allah menggunakan manusia disekitar kita untuk proses
tersebut. Besi menajamkan besi, manusia ditajamkan oleh sesamanya. Ditajamkan
disini maksudnya adalah dibuat makin dewasa, sempurna, matang dan berkenan
kepada Allah. Allah memakai manusia lain untuk itu. Allah tidak memakai monyet
atau hewan lain.
Anggapan yang keliru bahwa
cukup melalui nasihat pembacaan Alkitab, buku-buku rohani, kotbah pendeta kita
secara otomatis menjadi sempurna. Ini baru sebagian. Kebenaran Firman yang kita
dengar dan pelajari harus dimatangkan dan dikenakan dalam kehidupan melalui
berbagai benturan yang terjadi dalam hidup ini. Perhatikan bagaimana
tokoh-tokoh iman dalam Perjanjian Lama disempurnakan Tuhan.
Demikian pula dengan
perasaan kita didewasakan melalui berbagai peristiwa hidup yang kita alami. Perhatikan bagaimana Allah
memproses kita melalui berbagai sarana seperti tersebut dibawah ini:
• Melalui teman
kantor. Perhatikan ada saja orang yang menjengkelkan kita
dan merugikan kita. Jangan harap ada tempat dimana saudara nyaman tidak bertemu
dengan orang yang tidak berkenaan di hati saudara.
Penajaman ini memang menyakitkan, bisa
menimbulkan luka. Sebagai besi yang bergesekan, panas, bisa menciptakan pijaran
api, melelahkan, menjengkelkan dan lain-lain. Tetapi inilah sarana indah Allah
berikan.
• Tidak menyalahkan manusia
lain yang dianggap sebagai biang persoalan atau penyebab kesusahan. Perhatikan
bagaimana Yusuf tidak menyalahkan abang-abangnya walau mereka telah
menyakitinya.
Harga Diri dan Kerendahan Hati.
Harga diri artinya kesadaran
akan berapa nilai atau penghargaan yang diberikan kepada diri sendiri. Nilai
harga diri seseorang bisa ditentukan oleh bermacam-macam ukuran sesuai dengan
filosofi hidup seseorang. Ada yang menilai diri dengan materi atau kekayaan.
Ada yang menilai diri dengan pendidikan. Ada yang menilai diri dengan pangkat.
Ada yang menilai diri dengan “keakuan” (aku adalah aku. Aku terhormat, aku
harus dihargai). Orang-orang seperti ini akan mudah terluka kalau direndahkan
oleh siapapun. Mereka biasanya menuntut untuk dihargai orang lain.
Harga diri bertalian dengan
perasaan, sebab ketika nilai yang diberikan orang kepada dirinya tidak seperti
yang diharapkan maka ia tersinggung atau terluka karena merasa direndahkan.
Harga diri inilah yang membuat seseorang menuntut orang memperlakukan dirinya
sedemikian rupa sesuai dengan keinginannya. Kita harus sadar bahwa tatkala kita
bertobat maka Tuhan telah menebus kita semuanya. Oleh sebab itu kita tidak
boleh menghargai diri kita secara berlebihan sehingga kita lupa bahwa kita
bukan milik kita sendiri.
Dalam keluarga, pergaulan dan pelayanan
memasang tarif harga diri pada prinsipnya adalah “kesombongan”. Oleh sebab
tidak mau dianggap rendah, miskin, bodoh maka bersikap menolak atau menentang
secara “frontal” bila diperlakukan seperti itu. Dalam kehidupan sering hal ini
menjadi awal sebuah bencana. Banyak orang yang memanjakan perasaannya sehingga
ia mengorbankan kepentingan yang besar. Hal ini terjadi sebab pribadi orang
tersebut tidak matang, perasaannya masih sakit, belum sehat. Dalam hal ini kita
harus mengerti bahwa penyaliban diri, bukan hanya menyangkut
keinginan-keinginan yang bertentangan dengan Firman Tuhan, tetapi juga perasaan
dalam menilai diri. Kita tidak boleh memanjakan perasaan demi kepuasan diri.
Bila Tuhan Yesus menjadi Tuhan juga atas kita maka demi kepentingan Tuhan kita
rela tidak memiliki harga diri.
Dalam Filipi 2:5 tertulis.
Dalam teks bahasa Indonesia diterjemahkan "Hendaklah
kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga
dalam Kristus Yesus". Kata "touto
"(tauto)dapat diterjemahkan this (ini). Kata touto
(tauto) memiliki kasus atau keterangan “demonstrative accusative neuter
singular”, kata yang memberi impresi tekanan pada kalimat yang mengikutinya.
Ternyata kalimat yang mendahului kata touto (tauto) adalah nasihat Paulus kepada
jemaat Filipi bertalian dengan hidup bersama dalam jemaat Tuhan. Nasihat
tersebut tertulis: Jadi karena dalam Kristus ada
nasihat, ada penghiburan kasih, ada persekutuan Roh, ada kasih mesra dan belas
kasihan, karena itu sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu sehati
sepikir, dalam satu kasih, satu jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari
kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan
rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri;
dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri,
tetapi kepentingan orang lain juga (Fil 2:1-4).
Dengan demikian dapat
dimengerti, bahwa panggilan untuk meneladani Kristus bertalian dengan hidup
bersama-sama dengan orang lain. Hal ini dimaksudkan bahwa meneladani gaya hidup
Kristus bertujuan agar seseorang menjadi berkat bagi orang lain, dimanapun
berada mendatangkan keuntungan bagi orang lain dalam bingkai pelayanan
pekerjaan Tuhan.
Serupa Dengan Dia Dalam Kematian-Nya
(Fil 3:10)
Dalam suratnya Paulus
menulis: Persekutuan dalam penderitaan-Nya supaya aku menjadi serupa dengan Dia
dalam kematian-Nya. Serupa dengan Dia dalam kematian-Nya pada dasarnya adalah
kehidupan yang ditujukan untuk kepentingan kerajaan Allah sepenuhnya. Kata mati
dalam teks aslinya disini adalah thanaton kata yang sama digunakan dalam Kolose
3:3; kamu telah mati. Dalam bahasa Yunani ada beberapa kata yang dapat
diterjemahkan mati; thanatos, anairsis dan teleute.
Dalam Kolose 3:3, Alkitab berkata: “Sebab kamu telah mati dan hidupmu tersembunyi bersama dengan Kristus di dalam
Allah”. Kata thanatos hendak menunjukkan bahwa kehidupan yang
lama telah digantikan sama sekali, fokus hidup harus berubah sama sekali.
Berapakah harga perasaan kita sebenarnya? Seharga salib
Tuhan Yesus, sebab kita telah
disalibkan bersama Kristus. Kita telah dikuburkan bersama dengan Dia dan
dibangkitkan dalam hidup yang baru (Roma 6:4). Bila kita menyadari hal ini maka kita tidak
akan memanjakan perasaan dan memberi harga mahal yang akhirnya menyebabkan kita
gagal menjadi berkat bagi orang lain.
Salah satu
kebutuhan jiwa manusia selain rasa aman, dikasihi dll, juga rasa dihargai,
“berharga”. Merupakan persoalan kalau seseorang sudah merasa tidak dihargai
oleh lingkungannya, maka ia cenderung berbuat semaunya, sesuka hatinya dan
tidak memperdulikan lingkungan. Orang seperti ini cenderung rusak moralnya.
Tetapi jauh lebih berbahaya dan menyedihkan kalau seseorang merasa tidak
berharga di mata Tuhan. Di dalam Mat 10:28-31 kita temukan akibat seseorang
yang merasa tidak berharga di mata Tuhan.
Ada satu keistimewaan
yang dimiliki Yesus yang juga menunjukkan kedewasaan dan kematangannya. Tuhan
Yesus juga mengalami proses pertumbuhan yaitu melepaskan hak demi kepentingan
orang lain (Luk 2:52). Ini merupakan salah satu ciri dari kedewasaan seorang
anak Tuhan pula. Sikap seperti ini harus pula kita teladani. Pelepasan hak yang
dilakukan Yesus dijelaskan dalam Filipi 2:5-8. Dalam fragmen kongkrit yang
dicatat Alkitab kita menemukan antara lain: Ia mencuci kaki murid-murid (Yoh
13). Ia berkata bahwa Ia datang sebagai pelayan (Mat 20:28; Luk 22:27).
Kerendahan hati
berpangkal pada sikap tidak meninggikan diri sendiri (Luk 14:7-11). Menjadi
kebiasaan manusia pada umumnya mencari hormat bagi dirinya sendiri dengan
segala rekayasa yang dibuatnya. Yesus adalah Allah sendiri yang tentu saja
memiliki segala kemuliaan, kekuasaan dan kehormatan sebagai Allah Yang Maha
Tinggi. Kesediaan meninggalkan tahta kemuliaan-Nya adalah kerelaan kehilangan
hak-hak-Nya. Dalam sejarah kehidupan Tuhan Yesus selama dalam dunia ini dengan
memakai tubuh daging (sarkos), menampilkan kehidupan yang diwarnai dengan
penderitaan baik secara fisik maupun psikis, yang semua itu merupakan ekspresi
dari kerelaan kehilangan hak-hak-Nya.
Yesus terhina
diantara manusia, hal ini menunjukkan kerelaan-Nya kehilangan kehormatan.
Ketika Maria mulai mengandung, Yusuf tunangan Maria sudah berprasangka bahwa
kehamilan Maria adalah aib. Itulah sebabnya Yusuf dengan diam-diam hendak
meninggalkan Maria (Mat 1:18-19). Ini berarti tuduhan yang ditujukan kepada
bayi Yesus adalah “anak haram”. Dari hal ini, Anak Allah yang akan lahir,
bagian dari proses inkarnasi-Nya sudah tidak memiliki kehormatan, pada hal Ia
adalah pribadi yang paling terhormat. Tentu proses ini sudah ada dalam
pengetahuan Tuhan sebelum berinkarnasi, tetapi Ia bersedia. Dalam perjalanan
hidup-Nya selama 3,5 tahun, Ia juga telah kehilangan kehormatan-Nya dimata
sebagian besar orang-orang Yahudi. Dalam
suatu kesempatan Ia dituduh sebagai orang gila (Mar 3:21), juga dituduh
menggunakan kuasa Beelzebul dalam mengusir setan (Luk 11:15). Dengan tuduhan
tersebut, maka Yesus telah didakwa sebagai kerasukan setan. Kehormatan-Nya
dimata manusia menjadi hancur sama sekali ketika Ia harus menghadapi panggilan
Pilatus, imam besar dan Herodes (Mat 26:48-75). Penduduk Yerusalem
meneriakkan seruan yang sangat menyakitkan, agar Yesus disalibkan. Akhirnya Ia disalib dengan tuduhan sebagai
penghujat Allah dan penyesat rakyat agar melawan Kaisar. Ia disalib
dengan penilaian publik sebagai penjahat
besar dan dipandang sebagai terkutuk (Gal 3:13). Dalam hal ini jelas bahwa
Ia merelakan kemuliaan hilang untuk sementara waktu. Yesus benar-benar rela
kehilangan reputasi, harga diri dan prestise.
Dalam suatu percakapan
Yesus berkata: “Sebab siapakah yang
lebih besar: yang duduk makan, atau yang melayani? Bukankah dia yang duduk
makan? Tetapi Aku ada di tengah-tengah kamu sebagai pelayan. Dari
pernyataan Yesus ini jelas sekali menunjukkan bahwa Ia rela kehilangan hak
kehormatan yang dimiliki-Nya sebagai Tuhan yang datang dari tempat Yang Maha
Tinggi. Ekspresi kerelaan kehilangan hak dihormati manusia juga ditunjukkan
dengan tindakan-Nya mencuci kaki murid-murid-Nya dalam suatu perjamuan terakhir
sebelum Yesus menghadapi penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya (Yoh 13).
Narasi pembasuhan kaki sungguh mengejutkan. Narasi ini berlatar belakang
pra-paskah. Robert Kysar menyatakan bahwa peristiwa pembebasan yang Allah
kerjakan bagi umat-Nya dalam beberapa hal merupakan sebuah pra-tanda bagi makna
tindakan Allah dalam Kristus. Sikap
Tuhan Yesus yang merendahkan diri sedemikian rupa itu, dinyatakan oleh Donald
S. Whitney sebagai Hamba yang sempurna.
Paulus sebagai model
seorang pelayan Tuhan yang telah menunjukkan kepiawaiannya sebagai pemimpin
yang melayani, mengemukakan kesaksian
hidupnya bahwa ia rela menjadi hamba bagi semua orang karena Kristus (1Kor
9:19). Menjadi hamba berarti rela direndahkan, kehilangan kehormatan.
Sikap hati seperti Yesus yang telah dijelaskan diatas adalah sikap hati yang
harus diteladani oleh setiap pengikut-Nya yang melayani Dia. Mereka harus rela
kehilangan kehormatan dimata manusia demi tugas yang harus diemban. Tidak ada
sesuatu yang boleh dapat menjadi nilai lebih dalam kehidupan seorang pemimpin
yang melayani yang oleh karenanya ia merasa memiliki hak untuk menjadi
terhormat.
Perlu dikaji lebih jauh mengenai sikap rendah hati yang
benar menurut ajaran Alkitab. Tidak semua sikap rendah hati yang ditampilkan
orang memiliki kebenaran yang sesuai dengan iman Kristen. Oleh sebab itu ada
beberapa hal yang mendasar untuk memiliki sikap rendah hati yang benar antara
lain:
1. Sikap
kerendahan hati yang benar harus digerakkan oleh kesadaran bahwa ada Allah yang hidup yang sumber segala
sesuatu. Ini berarti semua orang terus dalam kesadaran bahwa ia ada sebagaimana
ada hanya oleh karena pemberian-Nya. Semua dari Dia oleh Dia dan bagi Dia. Dengan
demikian manusia tidak dapat memegahkan diri dan menjadi sombong. Kesombongan
adalah sikap hati yang tidak mengakui keunggulan pihak lain di luar dirinya
sendiri. Paulus dalam suratnya berkata 1Kor 4:7; pada umumnya orang tidak
mengakui bahwa apa yang dimilikinya diterimanya dari Tuhan. Sebagai bukti bahwa
seseorang tidak menerima kenyataan bahwa Tuhan adalah sumber berkat. Ia tidak
rela memuliakan Tuhan dengan apa yang dimilikinya. Ia takut kehilangan apa yang
telah dimilikinya dan merasa rugi bila menyerahkan apa yang dimilikinya bagi
Tuhan. Padahal Tuhan sanggup menambahkan apa yang telah orang percaya berikan
bagi kepentingan kerajaan-Nya. Melalui teks yang tersembunyi, “Sebab segala
sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia” (Rom 11:36), memberi
isyarat bahwa karena kekuatan-Nyalah ia dapat mencapai segala prestasi yang
dimilikinya hari ini, kekayaan, pangkat, gelar, kekuasaan dll. Oleh sebab itu
seharusnya sebuah prestasi atau keberhasilan tidak perlu ditonjolkan dan
mengharapkan orang lain mengetahui serta menghargainya. Hal inilah yang
mendorong seseorang tidak merasa perlu menerima penghargaan atas jasa-jasanya.
Dimanapun para pemimpin tergoda untuk berpesta dalam pujian orang-orang yang
dipimpinnya. Hal ini bukanlah karakter kepemimpinan hamba yang Yesus tunjukkan.
Dalam lingkungan gereja, seseorang yang membanggakan apa yang dimilikinya
kepada sesama berarti merendahkan orang lain, seolah-olah orang lain tidak
dihargai Tuhan. Hal ini bukan saja menyakitkan hati sesama kita tetapi juga
menyakitkan hati Tuhan. Sikap ini merupakan fitnah kepada Tuhan. Tuhan ditunjuk
sebagai tidak mengasihi manusia lain, selain dirinya. Oleh sebab itu kalau kita
memiliki karunia khusus dari Tuhan, kita tetap bersikap rendah hati.
2. Sikap
kerendahan hati yang benar harus digerakkan oleh kesadaran bahwa Allah yang hidup menentukan segala
perkara. Ini berarti bahwa Tuhanlah yang menaungi segala sesuatu.
Kesadaran ini akan nyata dalam sikap hidup orang percaya yang selalu
merendahkan diri dihadapan Tuhan untuk bergantung dan berharap sepenuh dalam
segala sesuatu. Orang-orang yang bersikap seperti ini akan mencari Tuhan dengan
sungguh-sungguh. Baginya kehidupan ini tidak lengkap tanpa Tuhan. Segala
kesanggupan, kemampuan dan kecakapan tidak ada artinya tanpa Tuhan yang
menaunginya. Tuhan yang menentukan miskin dan kaya. Tuhan yang mengangkat
penguasa dan menurunkannya. Dari pada-Nya manusia beroleh jawaban dari segala
kebutuhan dan pertanyaannya. Untuk hal ini manusia dituntut untuk tidak menaruh
pengharapan dari sumber lain. Menaruh pengharapan pada sumber lain merupakan
bentuk penghianatan yang mendatangkan kutuk. Dari uraian ini dapat dimengerti
mengapa Allah menentang kehendak bangsa Israel yang meminta seorang raja, sebab
Allah merekalah sebenarnya Raja mereka. Pribadi yang menjadi tumpuan semua
rakyat Israel. Pengakuan aku percaya kepada Allah Bapa khalik langit dan bumi
harus merupakan pengakuan hidup setiap hari yang dapat dilihat setiap orang.
Demikianlah umat harus hidup dengan menjadikan Tuhan sebagai pusat kehidupan.
3. Kerendahan hati yang benar harus
digerakkan oleh kesadaran bahwa ada
Allah yang hidup yang mengatur kehidupan setiap individu. Bila
seseorang sadar akan hal ini maka ia akan belajar taurat Tuhan, hukum Tuhan
untuk tunduk di bawah pengaturannya. Ia sadar bahwa ia tidak ada di daerah tak
bertuan, tetapi ada di daerah yang bertuan kepada Tuhan Yesus Kristus, Tuhan
semesta alam, Allah Israel. Setiap orang percaya harus mengakui bahwa Allah
adalah Tuhan diatas segala Tuhan, Penguasa alam semesta dan tidak ada sesuatu
atau seseorang yang dapat disamakan dengan Dia. Allah harus diakui sebagai
Penguasa Satu-satunya yang harus dipatuhi. Bapa segala roh yang harus ditaati
(Ib 12:9). Maksud ketaatan adalah agar manusia hidup sesuai dengan moral-Nya.
Allah adalah Allah yang bermoral dan Ia menghendaki umat-Nya hidup sesuai
dengan moral-Nya (1 Pet 1:13-16). Dalam hal ini harus disadari, kalau Tuhan
memberikan hukum-hukum-Nya bukan semata-mata supaya hati Tuhan disenangkan
dengan hukum-hukum yang dibuat-Nya untuk ditaati manusia. Tetapi landasan
pertama adalah agar manusia hidup dalam moral-Nya, karena manusia tidak akan
memiliki kehidupan yang berkualitas tanpa hidup didalam moral-Nya. Kalau
manusia itu mengakui Allah adalah Penguasanya dan Tuannya yang dijunjung tinggi
dengan segala kehormatan, maka ia dengan rela dan sukacita melakukan segala
kehendak-Nya. Menuruti hukum-Nya dengan setia secara berkesinambungan adalah
ibadah yang sejati dan yang dikehendaki Allah (Ams 5:24; Rom 12:1-2). Ketidaktaatan
kepada Tuhanlah yang menyebabkan tercemar dan kecemaran ini akan memisahkan
dirinya dengan Tuhan. Disini hubungan manusia dengan Tuhan menjadi tidak
harmonis (Yes 59:1-3). Oleh sebab itu hal melakukan hukum Tuhan
hendaknya tidak diterima bukan sekedar sebagi kewajiban tetapi sebagai
kebutuhan.
4. Sikap
kerendahan hati yang benar harus digerakkan oleh kesadaran bahwa ada Allah yang hidup menjadi obyek
pemujaan dan penyembahan. Untuk dapat memiliki sikap hati yang benar
memuji dan menyembah Tuhan, seseorang harus sadar batas antara Allah dan umat
tidak terhalangi. Dia adalah Allah yang Maha Tinggi dan manusia adalah
ciptaan-Nya. Allah di dalam Alkitab menyatakan dengan tegas bahwa diri-Nyalah
yang harus menjadi obyek penyembahan manusia ciptaan-Nya. Dalam Perjanjian Lama
telah nampak embrio jelas bahwa Tuhan adalah sumber pengharapan yang menjadi
pusat pujian, bukan alam, sekalipun bangsa Israel sangat bergantung pada alam.
Hal ini seharusnya menjadi pijakan kuat umat Perjanjian Baru bersikap terhadap
Allah semesta alam. Bila seseorang beranggapan demikian, niscaya dalam memuji,
memuja dan menyembah Allah dilakukannya dengan terpaksa dan tidak ada sukacita
yang sejati. Dengan demikian pujian, pemujaan dan penyembahannya kepada Tuhan
tidak berkenan kepada Tuhan. Pujian dan penyembahan demikian ini terdapat dalam
banyak agama-agama kafir, dimana umat memuji, memuja dan menyembah ilah dengan
terpaksa dan dengan takut-takut terhadap hukuman sang dewa atau allahnya. Kalau seseorang
sadar dan memahami bahwa Allah adalah pribadi yang Maha Mulia maka dalam
memuji, memuja dan menyembah Allah dilakukannya dengan cinta kasih, kerelaan
dan sukacita. Untuk dapat menaikkan pujian dan penyembahan serta sanjungan,
seseorang harus memiliki kerendahan hati yang dalam. Kerendahan hati disini
berangkat dari kesadaran bahwa kita adalah “hamba”, dan Dia adalah Tuan diatas
segala tuan. Setiap orang percaya harus merendahkan diri sepenuhnya kepada
Tuhan. Ini bukan semata-mata mengenai kesanggupan menyanyikan lagu rohani, atau
mengucapkan kalimat penyembahan yang diberi nada. Kerendahan hati ini adalah
sikap hati, sesuatu yang bersifat batiniah. Bertalian dengan hal ini hambatan
atau halangan seseorang memuji, menyanjung dan menyembah Allah adalah penilaian
yang tidak tepat atas diri, pengagungan diri dan ketidak-sediaan menundukkan
diri dihadapan Allah. Kesadaran ini akan membuat seseorang dengan tegas menolak
segala bentuk pengkultusan atas dirinya. Pengkultusan diri baik secara
terang-terangan maupun terselubung adalah sikap penolakan terhadap Tuhan
sebagai satu-satunya yang layak disembah. Keberhasilan, sukses dan segala
prestasi pelayanan hendaknya tidak menjadi alasan untuk meninggikan diri.